Monday 26 January 2015

SYEKH NURJATI

 
SYEKH NURJATI


Pintu gerbang menuju makam Syekh Datuk Kahfi


Syekh Nurjati adalah tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati,atau disebut juga dengan nama Gunung Jati.
            Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra putri. Lalu beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dimakamkan di Giri Amparan Jati.

Syekh Nurjati di Tempat kelahiran nya, pertengahan Abad ke- 14 
      Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datul Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada jamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil).
       Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon; dan seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka.  Lalu dari perkawinan tersebut lahir lah seorang putri yang kelak menikah dengan Dipati Unus dari Demak.


Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan pergi ke Mekah 
            Sehubung dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah dan menuntut ilmu disana, maka sebagian naskah menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah.


Syekh Nurjati pergi ke Bagdad
            Setelah menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
            Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim(kelak bergelar Pangeran Kejaksan). Fatimah(yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datuk Kahfid (kadang kadang disebut juga sebagai sosok Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya sendiri yaitu Syekh Datul Kahfi,atau Syekh Nurjati di beberapa manukrip yang lebih muda umur nya. Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad keran menikahi putri mahkota raja Bagdad.
            Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14 – 15 dan pernah bermukim di Bagdad. 
            Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan di karuniai empat orang putra putri. Kemudian Syekh Nurjati di utus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya di pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/Nyi Rara Api.


Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan
            Perkampungan yang dekat dengan Pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari,dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongannya. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanayk sepuluh pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
            Ditempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai da’i mengajak masyarakat untuk mengenal dan memeluk agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang orang berdatangan dan menyatakan diri nya masuk islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.
            Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari jawa barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria itu meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal , Hadijah bersama kedua orang tua nya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantern yang bernama Pesambangan Jati.
            Pernikahan Syekh Nurjati dengan Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki  Gede Krangken.

======
======

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri Amparan Jati
            Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amaparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-Tu). Armada angkatan Laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias  Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro beserta pengiringnya turun. Syekh Quro akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara  formal yang pertama kali di Jawa Barat, Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
            Gerakan dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling membantu satu sama lain. Syekh Quro mengirim orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya nisan Makam Penghulu Karawang di Amparan Jati.

            Keharmonisan dakwah anatara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
  1. Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Keraton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
  2. Putri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu,yang sampai sekarang masih terawat dengan baik.
  3. Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Diceritakan pada suatu waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran, yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro (Syekh Mursahadatillah). Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Puteri Subang Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa dari Singapura. Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang di pimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kencana. Raden Pamanah Rasa melamar sang putri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran Islam.
Dari perkawinan Raden Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang dikaruniai tiga orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang dan Pangeran Raja Sengara/ Kean Santang.


Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang Ke Amparan Jati
            Dikampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengilutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Gelius/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari Islam.
            Mereka adalah Cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati jalur Ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati disamping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra putri itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati.
            Syekh Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah yang berbunyi : Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah ( hai orang orang yang beriman masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan ). Kemudian ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam, yakni salat lima waktu, zakat, shaum (puasa), ibadah haji, umrah , perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu fiqih (aturan hukum keagamaan), dan ilmu tasawuf (penyucian diri).
            Ajaran perang sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
            Wejangan lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai berikut :
            Setelah ajaran tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan. Misalnya pelajaran ilmu fiqih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama Islam. Pelajaran ini masih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang tarikat, hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang menganut mazhab fikiih Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru Pangeran Nurbuat, tarekat Syattariah masuk ke wilayah Ciebon dibawa oleh Syekh Nurjati.
            Dari pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang,istri,dan adiknya mendapat anugerah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena cerita pertemuan Pangeran  Walangsungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusuk menekuni wejangan wejangan yang diterimanya.
            Sebelum menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis (istrinya) telah terlebih dahulu berguru kepada para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari ilmu-ilmu di luar ilmu ilmu islam.
            Setelah tiga tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat berupa reinterprestasi ajaran-ajaran non- Islam dari para guru Pangeran Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandangan Islam. Hal ini terungkap pada saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada tiga orang tersebut.
            Syekh Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada pada Pangeran Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walangsungsang bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki keteguhan iman. Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu untuk membuka perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk penyiaran agam Islam.


Syekh Nurjati Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
            Setelah menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa), Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lewah Wungkuk. Dikawasan tersebut ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih (mertua Somadullah).
            Setibanya di tempat tujuan, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo ‘tu; ketika saya telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang yang datang tersebut anaknya.
            Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan kebon pesisir.
            Dengan semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walangsungsang dapat menyelesaikan perkerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau kebon pesisir  diberi nama Caruban Larang dengan kuwu pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadi pangraksabumi yang bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan KI Cakrabumi.
            Pangeran Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah diatas laut).
            Seusai membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di kebon pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti nasehat Syekh Nurjati dan berhasil bertemu Syekh Ibrahim di Campa.
            Di Campa Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari Syekh Ibrahim, selnjutnya Syekh Ibrahim menyuruh keduanya untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.
            Setelah berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah.
            Syarif  Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan ini lahir lah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajan ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah Jawa.


Syekh Bayanullah (adik Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan 
            Syekh Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang) setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan Nyi Wandasari, putri Surayana, pengusa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, penguasa Kuningan, bernama Ratu Selawati adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak Bratawijaya (Arya Kemuning). Meraka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang. Pernikahan Maulana Arifin dengan Ratu Selawati dikarunia putri Nyi Mas Kencanawati yang menikah dengan Suranggajaya yang dikenal sebagai Adipati Kuningan


Kedatangan PangeranPanjunan
            Bagian ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarif Bagdad, dan Syarif Khafid mempelajari Tasawuf yang tidak disukai oleh Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon.
            Syarif Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan ke Cirebon sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga adiknya dan 1.200 pengikutnya yang di angkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan meminta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman ini dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan. Di tempat tersebut, Pangeran Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan.
            Pangeran Panjunan merupakan putra pertama dari Syekh Nurjati. Beliau menetap di daerah Panjunan dan mengembangkan industri gerabah di daerah tersebut. Pangeran Panjunan kemudian mendirikan Pesanggrahan Dakwah di Wringin Pitu (daerah Plangon Sumber, Kabupaten Cirebon) samapi akhir hayatnya dan dimakamkan di daerah tersebut.
            Sedangkan Syarif Abdurrakhim, putra kedua Syekh Nurjati, bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan serta membuat masjid di tempat tersebut.
            Mereka bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarif Bagdad menetap di Gunung Jati. Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putra nya diangkat menjadi mahkota.  Namun kedua putra nya baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/ syahid dalam usia muda.


Wejangan Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
            Setelah berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 mendarat di Amparan Jati dan menemui uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi kuwu Cirebon. Uwaknya sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung niatnya. Tetapi sebelumnya Pangeran Walangsungsang memberi nasehat agar sebelum melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru,  yakni Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petunjuk, bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam.
            Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya :
            “Wahai murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat islamiyah itu?”.
            Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
            Sebelum meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana sira ana ingsun” , yang artinya ada kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh Nurjati berperan bahwa Syekh Khafid adalah pengganti Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul Kahfi.
            Beberapa saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/ Syekh Nurjati yang meninggal dunia. Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai Guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, di singkat Syekh Jati.
            Semasa hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamati setiap santri yang akan meninggal Pangguron, dengan perkataan “settana” artinya berpegang teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati.


Gapura Bersayap di Pintu Makam Syekh Nurjati
            Syekh Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
            Gapura bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang Cirebon, pada awal abad ke 15 – 17 Masehi.
            Pintu yang ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia(ruh) unutk mencapai kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagai lambang kematian merupakan gambaran  yang sangat tepat dan sesuai dengan pribahasa Arab yang berbunyi “ al mautu babun wa kullunaasi dakhiluhu” , maut adalah pintu dan setiap orang akan memasukinya.
            Jika pintu bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambangan bagi Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para malaikat itu bersayap.


Sumur Jalatunda
            Di pasembangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, Yakni sumur Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa : seumur atau sepanjang kehidupan. “jala” dari bahasa Arab “jalla” yang artinya luhur atau agung, dan “tundha” yang artinya titipan, sedankan “tegangpati”  berarti serah jiwa.


Nama-nama Tokoh yang Dimakamkan di Gunung Jati bersama Syekh Nurjati
            Tercatat beberapa makam tokoh-tokoh penting cirebon diantaranya :
  1. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi)
  2. Syekh Siti Jenar
  3. Tentara Putri Ong Tin 
  4. Ki Gedeng Jati
  5. Penghulu Karawang
  6. Pangeran Jaya Sampurna
  7. Ki Jaka Tawa
  8. Dewi Rara Panas
  9. Syekh Tolhah
  10. Letjen (Purn) Ismail Saleh

KESIMPULAN
            Dalam kegiatan observasi ini dan penulisan karya ilmiah ini kami dapat mengetahui tentang sejarah perkembangan islam di cirebon dan sejarah tentang Syekh Nurjati. Adapun kesimpulan lainnya sebagai berikut.
  1. Syekh Nurjati adalah tokoh perintis dakwah islam di wilayah Cirebon.
  2. Syekh Nurjati adalah seorang tokoh agama islam yang berdakwah di Giri Amparan Jati merupakan fakta sejarah bukan tokoh fiksi.
  3. Pembuktian keberadaan Syekh Nurjati menggunakan bukti sekunder dan ingatan kolektif masyarakat serta bukti arkeologis di sekitar makam Syekh Nurjati.

SARAN
            Agar melalui buku ini dapat masyarakat dapat mengetahui sejarah tentang Syekh Nurjati dan Sunan Gunung Jati , serta dapat mensosialisasikan tentang sosok Syekh Nurjati. Dan agar masyarakat tidak salah persepsi tentang Syekh Nurjati


DAFTAR PUSTAKA
Drh. H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon : Zulfana Cirebon

Monday 12 January 2015

Kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Meletusnya Krakatau



Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah, 20 April 570 lahir waktu setelah penyerangan pasukan gajah yang dipimpin Abrahah ke kota Makkah. Peristiwa ini diabadikan didalam sebuah surat dalam Al-Qur’an, yaitu Surat Al-Fiil (105).





1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah bertindak terhadap tentara bergajah?
2. Bukankah dia Telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?
3. Dan dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,
4. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
5. Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)

Beberapa bulan sebelum Nabi dilahirkan, beberapa gunung berapi didunia ini meletus, termasuk Gunung Krakatau di Selat Sunda.




Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 535 Masehi. Akibat letusan hebat dari gunung-gunung berapi tersebut, untuk beberapa tahun sesudahnya, hampir diseluruh negara didunia, mengalami hujan abu, dan sinar matahari tidak dapat menembus ketebalan awan debu vulkanik yang terbawa angin.

Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang tercatat dalam katalog tsunami. Tsunami yang terjadi ini disebabkan oleh beberapa fenomena geologi, di antaranya erupsi gunung api bawah laut Krakatau, Ledakan Gunung Krakatau yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami yang sangat besar dan berdampak pada seluruh dunia, bahkan menghancurkan dapat wilayah terdekat yaitu Jawa Barat ketika zaman Kerajaan Tarumanegara


David Keys, Ken Wohletz, and others have postulated that a violent volcanic eruption, possibly of Krakatoa, in 535 may have been responsible for the global climate changes of 535–536.[15] Keys explores what he believes to be the radical and far-ranging global effects of just such a putative 6th-century eruption in his book Catastrophe: An Investigation into the Origins of the Modern World. Additionally, in recent times, it has been argued that it was this eruption which created the islands of Verlaten, Lang, and the beginnings of Rakata —all indicators of early Krakatoa's caldera's size. To date, however, little datable charcoal from that eruption has been found.
Thornton mentions that Krakatoa was known as "The Fire Mountain" during Java's Sailendra dynasty, with records of seven eruptive events between the 9th and 16th centuries.[16] These have been tentatively dated as having occurred in 850, 950, 1050, 1150, 1320, and 1530.
Fenomena bumi “yang murka”. Dari sisi agama,kita menyebutnya sebagai Bumi yang sedang menjalankan perintah Tuhan yang Maha Hakim menghukum suatu masyarakat karena pembangkangan atas perintah-Nya. Refleksi yang senada dapat kita tangkap dari tulisan tentang letusan Krakatau jauh di masa lalu (kemungkinan tahun 535 M) yang mengubah peradaban dunia. (Oman Abdurahman : Geomagz Volume 1 No. 3 - 13 December 2011)

Dalam cuaca seperti inilah Nabi dilahirkan, yaitu pada tanggal 12 rabi’ul Awal tahun Gajah, yang diperkirakan jatuh pada tanggal 20 April 570 M, di kota Makkah. Ayah Nabi bernama Abdullah, sedangkan ibunya adalah Aminah. Ayahnya termasuk keluarga Bani Hasyim yang sangat dihormati dalam Suku Quraisy. Adikayahnya adalah Abu Thalib, yang juga ayahanda dari Ali bin Abu Thalib kw. Sedangkan ayah dari Abdullah bernama Abdul Muthalib.

Pemeluk Islam Pertama di Nusantara

Sejarawan asal Italia, G. E. Gerini di dalam bukunya Futher India and Indo-Malay Archipelago, mencatat bahwa sekitar tahun 606-699M telah banyak masyarakat Arab, yang bermukim di Nusantara. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nusaantara hingga ke China selatan.

Sekitar tahun 625M, sahabat Rasulullah Ibnu Mas’ud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim di Sumatera. Di dalam catatan Nusantara, Thoiyk disebut sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). (Sumber : Akar Melayu, Kerajaan Melayu Islam Terawal di Nusantara, Kesultanan Majapahit, Realitas Sejarah Yang Disembunyikan [Hermanus Sinung Janutama]).


Berdasarkan catatan-catatan yang ada, mari kita coba mengungkap misteri, siapa sesungguhnya pemeluk Islam pertama asal Tanah Jawi.

1. Penganut Islam pertama
Berasal dari Nusantara, kemungkinan adalah Para Leluhur Bangsa Aceh, yang ikut serta menghantar Ibnu Mas’ud ra. bersama kabilahnya. Di dalam buku Arkeologi Budaya Indonesia, karangan Jakob Sumardjo, diperoleh informasi, berdasarkan catatan kekaisaran Cina, diberitakan tentang adanya hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam Ta Shi di Nusantara. Bahasa Cina menyebut muslim sebagai Ta Shi. Ia berasal dari kata Parsi Tajik atau kata arab untuk Kabilah Thayk (Thoiyk). Kabilah Thoiyk ini adalah kabilahnya Ibnu Mas’ud r.a, salah seorang sahabat Nabi, seorang pakar ilmu Alquran (Sumber : Arkeologi Semiotik Sejarah Kebudayaan Nuswantara).





2. Penguasa Nusantara
Pertama memeluk Islam adalah Raja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman. Pada sekitar awal abad ke 8, orang-orang Persia Muslim mulai berdomisili di Sriwijaya akibat mengungsi dari kerusuhan Kanton. Dalam perkembang selanjutnya, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sebanyak 35 kapal perang dari dinasti Umayyah dengan hadir di Sriwijaya, dan semakin mempercepat perkembangan Islam di Sriwijaya (Sumber : Sejarah Umat Islam; Karangan Prof. Dr. Hamka).

Ditenggarai karena pengaruh kehadiran bangsa Persia muslim, dan orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Srivijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718M (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). 

Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Syiria. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar kholifah sudi mengirimkan da’i ke istana Srivijaya (Sumber : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII; Karangan Prof. Dr. Azyumardi Azra MA) (Sumber : Wikipedia : Kerajaan Melayu Kuno dan Hadits Nabi, Negeri Samudra dan Palembang Darussalam).




3. Penduduk pulau Jawa
Penduduk yang pertama memeluk Islam adalah Pangeran Jay Sima (Suku Jawa) dan Rakeyan Sancang (Suku Sunda).






1) Pangeran Jay Sima

Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau Jawa. Pada tahun 654M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Kalingga pada saat itu, di pimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil kunjungan duta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya

Menurut Carita Parahyangan Cicit Ratu Shima adalah Sanjaya yang menjadi Raja Galuh, dan menurut Prasasti Canggal adalah pendiri Kerajaan Medang di Mataram. Berdasarkan Naskah Wangsakerta disebutkan bahwa Ratu Shima berbesan dengan penguasa terakhir Tarumanegara

2. Rakeyan Sancang

Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M). Raja Suraliman Sakti ( 568 – 597 M ) Putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan adalah saudara sepupu Rakeyan Sancang inilah yang sering dirancukan dengan putra Sri Baduga Maharaja, yaitu Raja Sangara, yang menurut Babad Godog di Garut terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci.

Kertawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudhawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat Hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut. Putrinya Setiawati dinikahi Kertawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan (dan mungkin dilupakan).

Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia. Anaknya oleh Ki Parangdami dipanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali bin Abi Thalib (599 -661) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.

Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali bin Abi Thalib. namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir. Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, Rakeyan Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali. Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudhawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kertawarman) turut memimpin pasukan.

Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudhawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kertawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang/ Kian Santang/ Prabu Kiansantang mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan. Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang bernama Rakeyan Sancang.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10155599281584304&id=825989303

SUPER VOLCANO KRAKATAU 535 M & PERUBAHAN PERADABAN DUNIA

“Bumi berguncang keras disusul dengan letusan yang menggelegar. Letusan Krakatau tahun 535 itu berlangsung sepuluh hari, dengan letusan puncaknya selama 34 jam. Debu halus, pasir, krikil, hingga bom sebanyak 200 km3, dilontarkan ke stratosfer, menutupi cahaya matahari, sehingga hampir seluruh langit gulita. Di khatulistiwa, suhu turun 10o C, telah menyebabkan terjadinya perubahan peradaban secara global. Karena begitu banyaknya material yang diledakkan, terjadilah kekosongan di dalam, menyebabkan tubuh gunung ini ambruk, menghasilkan kaldera 40 km x 60 km dan membentuk Selat Sunda.”

David Keys, seorang arkeolog dan koresponden koran “The Independent” London, meluncurkan sebuah buku berjudul “Catastrophe: An Investigation into the Origins of the Modern World” (1999). Ada hal yang menarik dalam buku tersebut, yaitu kesimpulannya bahwa Krakatau pernah meletus tahun 416 M atau 535 M dan implikasinya terhadap terjadinya perubahan peradaban dunia secara global. Dalam hal ini Keys merujuk pada catatan sejarah sebagai berikut: Angka 416 M dikutip dari sebuah teks Jawa kuno berjudul ‘Pustaka Raja Purwa’ yang bila diterjemahkan bertuliskan: “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra”. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 m dpl dengan lingkaran

PERADABAN-2 1
Gambar 2. Buku Pustaka Raja Purwa yang memuat keterangan mengenai letusan gunung api yang sangat dahsyat.

pantainya mencapai 11 km.

Di tempat lain, seorang bishop Suriah, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535 – 536 M. Adapun isi dari chronicle yang tercatat adalah: “Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat ataudilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung selama 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi”. Dokumen lainnya dari Dinasti Cina mencatat: ”suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil
jauhnya ke barat daya Cina”.

PERADABAN-3 1
Gambar 3. Tempat jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang gunung api Krakatau Purba yang ditemukan pada contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es Antarktika dan Greenland, (Keys, 1999).

Catatan sejarah tersebut, selanjutnya divalidasi dengan data hasil penelitian Krakatau Purba dari Berend George Escher dan Verbeek juga didukung beragam dokumen sejarah dari Nusantara, Siria, dan Cina tentang sebuah bencana yang sangat dahsyat terjadi di abad 5 atau 6 Masehi dan mengakibatkan Abad Kegelapan di seluruh dunia. Batuan inti (Ice Cores) di lapisan es Antartika dan Greenland juga mencatat jejak ion sulfat vulkanik berumur 535- 540 M dan diperkirakan kiriman bencana dahsyat Gunung Purna Krakatau. Jejak-jejak belerang gunung api Krakatau pun tersebar di kedua belahan Bumi selatan dan utara (Gambar 3).

Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka Keys mengajukan sebuah hipotesis bahwa Krakatau pernah meletus pada tahun 535 M dan letusan itu menghasilkan dampak bencana yang dirasakan di seluruh dunia sebagai peristiwa tragedi besar yang mampu merubah bentuk fisik alam dengan terbentuknya Selat Sunda dan terjadinya perubahan peradaban secara global. Selanjutnya Keys menyusun sebuah rangkaian kejadian letusan Krakatau tahun 535 M, sebagai berikut:

 Gempa bumi. Tanda awal reaksi gunung api. Tanda awal ini sudah dirasakan sampai Batavia (Jakarta);
 Letusan bak guntur yang menggelegar. Letusan ini menghasilkan suara hingga terdengar sampai Australia. Letusan ini juga menghasilan gelombang kedap udara yang lazim terjadi pada ledakan bom sehingga menghasilkan korban jiwa;
Letusan yang dihasilkan dari pecahnya kaldera melontarkan ribuan kubik material (pijar) ke lapisan Stratosfer. Fragmen bebatuan panas ini kemudian ditemukan pada bongkahan es Greenland dan Antartika;
Ledakan yang besar itu mengguncang tanah sehingga ambles dan memisahkan daratan Jawa dan Sumatra dan terbentuklah selat Sunda;
Bebatuan berbagai ukuran, debu, pasir, krikil, hingga bom, yang terlontar ke Stratosfer menjadikan hampir seluruh langit bumi gelap dan menutupi cahaya matahari. Suhu udara di bumi turun mencapai 10 derajat di ekuator. Turunnya suhu dan minimnya matahari menjadikan bumi tak ubahnya planet Venus. Komponen vegetasi di bumi rusak sehingga cadangan makanan menjadi minim. Kejadian itu selanjutnya mengakibatkan pergolakan sosial dalam memperebutkan cadangan makanan.
Apabila kita setuju dengan pendapat mengenai Letusan Krakatau 535 M tersebut di atas, maka beberapa kejadian perubahan fisik dan peradaban yang merupakan dampak dari letusannya.
PERADABAN-4
Gambar 4. Penampang berarah barat – timur yang menghipotesiskan runtuhnya kaldera akibat letusan Krakatau Purba dan menyebabkan terbentuknya Selat Sunda pada abad ke-6 (Keys, 1999).

Pembentukan Selat Sunda
Beberapa hal menarik dalam tulisan Keys, 1999, di antaranya adalah hasil pemodelan yang menyatakan bahwa Pulau Jawa dan Pulau Sumatra masih menyatu sebelum letusan Krakatau pada 535 M.

Berikut sebuah kutipan dari buku tersebut: “A mighty thunder which was answered by a furious shaking of the earth, pitch darkness, thunder and lightning and then came forth a furious gale together with a hard rain, a deadly storm darkening the entire world, in no time there came a great flood. When the water subsided it could be seen that the island of Java had been split in two, thus creating the island of Sumatra.” David Keys from Javanese writings (Book of Kings).

(Petir menggelegar menyebabkan bumi bergetar, gelap gulita, guruh dan kilat sambar-menyambar disusul badai disertai dengan hujan deras, badai gelap mematikan seluruh dunia, dalam waktu singkat banjir besar melanda. Ketika air surut dapat dilihat bahwa pulau besar telah terbelah dua, menciptakan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra).

PERADABAN-5 1
Gambar 5. Pulau Jawa dan Sumatra ketika masih bersatu, atas. Setelah letusan dahsyat Krakatau terbentuk kaldera besar yang dan terbentuk dua pulau besar, masing-masing Pulau Sumatra dan Pulau Jawa, bawah (Keys, 1999).

Para ahli menyetarakan letusan dahsyat (violent eruption) Krakatau yang mampu membentuk Selat Sunda tersebut dengan 2 milyar kali bom atom Hiroshima atau bisa 11,11 kalinya letusan Krakatau 1883 serta menghasilkan kaldera sebesar 5,7 – 8,5 kalinya kaldera Krakatau 1883.

Hasil pemodelan Keys tersebut telah memperkuat teori Van Bemmelen (1952) dalam “De Geologische Geschiedenis van Indonesie” menyatakan; bahwa pada saat itu sebelum tahun 1175 Gunung Krakatau belum merupakan pulau kecil seperti sekarang karena kondisinya belum memungkinkan di lewati kapal laut.

Pulau-pulau besar kecil masih banyak berserakan di Selat Sunda. Sumatra dan Jawa masih bergandeng menjadi satu. Perbatasan antara Swarnadwipa (Sumatra) dan Jawadwipa (Jawa) pada masa itu masih berupa suatu teluk yang menjorok jauh ke pedalaman di daerah Jambi. Demikian menurut catatan para pelaut Arab dan Cina (van Bemmelen, 1952, hal. 126-127).

The Dark Age (Abad Kegelapan)
Istilah “Dark Age” selalu dikaitkan dengan masa kegelapan bangsa Eropa yang dimulai sejak redupnya kekaisaran Romawi pada 476 M akibat migrasi dan tekanan kaum Barbar. Keruntuhan Romawi terjadi
ketika kaisar terakhir dari kekaisaran Romawi Barat, Romulus Augustus, diberhentikan oleh Odoacer, seorang Jerman (Julius Nepos) yang menjadi penguasa Itali dan meninggal pada tahun 480 M. Sejak saat itu dikatakan Eropa telah memasuki masamasa Kegelapan (Dark Ages). Masa-masa Kegelapan ini berlangsung kira-kira dari tahun 476 M itu hingga masa Renaisans (1600).

Apa penyebab migrasi kaum Barbar di awal periode Dark Age yang terjadi di Eropa itu? Banyak jawaban yang diberikan, tapi kini argumentasi yang menguatkannya adalah letusan besar Krakatau 535 M. K. Wohletz, seorang ahli vulkanologi di Los Alamos National Laboratory, Amerika Serikat, telah melakukan serangkaian penelitian letusan Krakatau 535. Hasil simulasinya menunjukkan betapa dahsyatnya letusan itu. Letusan sebesar itu telah melontarkan 200 km3 magma (bandingkan dengan Krakatau 1883 yang melontarkan magma sejumlah 18 km3). Letusan Krakatau 535 M berlangsung selama sepuluh hari, tetapi letusan puncaknya berlangsung selama 34 jam dan menghasilkan kawah berukuran antara 40-60 km (Gambar 4). Kecepatan bahan yang dimuntahkan (mass discharge) sebesar 1 miliar kg/detik. Awan letusan (eruption plume) telah membentuk perisai di atmosfer setebal 20-150 m, dan menurunkan temperatur 50-100 C selama 10-20 tahun.

PERADABAN-6 1
Gambar 6. Sebuah ilustrasi awan melayang yang menutupi sebagian besar permukaan bumi dalam beberapa hari dan minggu setelah letusan Krakatau Purba (Keys, 1999).

Bencana tersebut telah mendatangkan wabah sampar yang mendunia, gagal panen, dan revolusi. Kekurangan pangan membuat kaum Barbar bermigrasi dan menyerang kemana-mana. Pada saat itu di Eropa terjadi transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Bizantium, kejayaan Persia Purba, dan South Arabian berakhir. Sementara di bagian dunia lainnya, misalnya di Benua Amerika seperti peradaban Nazca yang penuh teka-teki, Metropolis Teotihuacan, dan kota besar Maya Tikal berakhir. Jadi pasca letusan Krakatau 535 M tersebut membuat dunia dalam keadaan keos (chaos). Matahari dan bulan bersinar lebih redup karena tertutup debu vulkanik selama 18 bulan, menyebabkan perubahan iklim global.

Dampak Letusan Krakatau 535 M sangat besar dan di Eropa saat itu, istilah “Dark Age” bukan hanya menunjukkan “gelap” dalam arti sesungguhnya, tetapi juga menunjukkan arti lain sebagai kemunduran peradaban. Sementara di kawasan lainnya seperti di Arabia disebut periode “Jahiliyah”. Istilah apa yang tepat untuk Indonesia? Seperti apa kira-kira yang terjadi di sini? Di Indonesia sendiri, khususnya di Jawa dan Sumatra sejarah kerajaan-kerajaan tidak ada yang lengkap atau istilah Keys adalah “the missing link of the history”.

Keys mencontohkan di Pulau Sumatra terjadi kesenjangan (sejarah yang hilang) hampir 100 tahun, (535 – 650 M), yaitu antara kerajaan yang berbasiskan budaya Pasemah sampai kemunculannya kerajaan Sriwijaya. Sementara di Pulau Jawa kesenjangan terjadi hampir 200 tahunan (535 – 750 M), yakni antara kerajaan yang berada di Jawa bagian barat sampai kemunculan kerajaan-kerajaan di Jawa bagian tengah.

Memang secara fisik akan sangat sulit menelusuri sejarah yang hilang tersebut, karena dampak erupsi super volcano Krakatau mengakibatkan kerusakan  fisik yang luar biasa beratnya termasuk hancurnya peradaban. Tentu akan sulit untuk merekontruksinya.

Namun sebetulnya sejarah itu tidak hilang apabila mengacu pada silsilah raja-raja di tanah Sunda menurut naskah-naskah Pangeran Wangsakerta. Menurut naskah Wangsakerta tersebut jaman keemasan Tarumanagara terjadi pada masa Raja Purnawarman (395-434) yang mampu memperluas wilayah Tarumanagara, dan banyak diabadikan di dalam bentuk Prasasti. Prasasti terpenting yang mengabarkan keberadaan Purnawarman dimuat dalam prasasti Ciaruten, menjelaskan: “Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak telapak kaki Wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanagara”.

Pada jaman itu pula, masalah hubungan diplomatic ditingkatkan. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan bahwa kekuasaan Purnawarman saat membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Dikemudian hari secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan rajaraja penguasa Jawa Barat pada masa silam, demikian juga pada masa Manarah dan Sanjaya di Galuh.

Langkah-langkah pengembangan Tarumanagara oleh Purnawarman secara terperinci diuraikan di dalam Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Seperti usaha memindahkan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, di tepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jayasingapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Ia pun pada tahun 398 sampai 399 M mendirikan pelabuhan di tepi pantai. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal-kapal kerajaan Tarumanagara.

Dari model rekonstruksi Keys yang menggambarkan pulau Sumatera dengan Pulau Jawa masih bersatu sebelum erupsi super volcano Krakatau 535, maka perpindahan ibu kota Kerajaan Tarumanagara dari Teluk Lada Pandeglang ke Sundapura secara geologi dapat dipahami, yakni:

Kegiatan perdagangan Kerajaan Tarumanagara sangat tergantung pada jalur pelayaran Samudera Hindia, sementara akses menuju Selat Malaka dan Laut Jawa tidak ada, walaupun ada celah-celah sempit Selat Sunda, namun kemungkinan hanya dapat dilayari kapal laut kecil.

Kegiatan perdagangan di sekitar Salakanegara sangat terganggu akibat aktivitas Gunung Krakatau Purba terus meningkat, sehingga banyak kegiatan perdagangan melalui laut lebih memilih jalur Selat Malaka untuk mendapatkan sumber daya rempahrempah di Kepulauan Al Mulk (Maluku).

Dengan kondisi seperti itu efektivitas perdagangan Tarumanagara menjadi terganggu. Tentu saja Purnawarman sebagai Raja Tarumanagara memiliki inisiatif mencari wilayah untuk mempertahankan perekonomian kerajaan dengan melebarkan sayap perdagangan ke daerah yang aman dan berisiko minimal. Pilihannya adalah wilayah Sundapura yang berada di zona gempa ringan dengan potensi sumber daya air berlimpah, dan sumber daya tanah yang subur. Perpindahan ibukota pun kemungkinan terjadi secara alamiah sesuai perkembangan perekonomian kerajaan. Kajayaan tersebut berlanjut terus sampai pada masa raja Candrawarman (515-535 M).

Sampailah pada tahun 535 M, Gunung Krakatau Purba meletus dan pata tahun itu pun Raja Candrawarman wafat. Peristiwa ini merupakan awal memudarnya Kerajaan Tarumanegara seperti yang diberitakan melalui Prasasti Purnawarman di Pasir Muara. Prasasti tersebut menceritakan peristiwa pengembalian pemerintahan daerah kepada Raja- Raja Sunda yang di mulai pada tahun 536 M, sehingga terjadi perubahan status bahwa Ibukota Sundapura pada waktu itu telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Sama halnya dengan kedudukaan Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Salakanegara ke Tarumanagara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.

Sangat mungkin letusan besar Krakatau 535 telah meluluhlantakan sebagian besar wilayah Kerajaan Tarumanagara terutama yang berada di wilayah Banten, sehingga Raja-Raja Tarumanagara pun terus disibukkan dengan bencana ikutan (sekunder) dari letusan Krakatau Purba, seperti perubahan iklim (global), gagal panen, wabah penyakit, dll. Peristiwa tersebut menyebabkan Tarumanagara kehilangan wibawa dan tidak lagi memiliki pamor. Selanjutnya satu persatu pengembalian kekuasaan kepada raja-raja daerah terus berlangsung. Akhirnya pada masa Raja Linggawarman (666-669 M) Kerajaan Tarumanagara benar benar berakhir dan yang ada hanya kerajaan-kerajaan kecil.

Periode 535-669 M atau selama 100 tahun lebih pasca letusan Krakatau Purba dapat dikatakan sebagai jaman kegelapan (Dark Age) di Tatar Sunda sebagaimana terjadi di bagian dunia lainnya. Data fisikpun sangat sulit diperoleh selain dari naskahnaskah kuno dan cerita rakyat. Namun dengan mulai ditemukannya situs Candi Batujaya di Kabupaten Karawang Jawa Barat, maka bukti-bukti fisik Kisah kejayaan Terumanegara lambat laun mulai terkuak dan secara perlahan kisah Kejayaan Tarumanagara akan terungkap.

PENUTUP
Dampak letusan Krakatau tahun 1883 pun tidak kalah dahsyatnya dibandingkan letusan Krakatau tahun 535 karena pertumbuhan penduduk pada tahun 1883 jauh lebih banyak. Mulai 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau 1883, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba yang masih aktif dan bertambah tinggi pula. Percepatan ketinggian Anak Krakatau saat ini sekitar 20 inci (sekitar 50 cm) per bulan. Artinya setiap tahun gunung ini menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki (sekitar 6 m) lebih lebar 40 kaki (sekitar 13 m). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 m per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi Anak Krakatau mencapai 100 m lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 m dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, namun fakta-fakta geologi dan seismik di Jawa dan Sumatra yang aneh akan memastikan bahwa apa yang pernah terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus besar. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan besar ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun, pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia seperti yang terjadi pada 26 Desember 2004 harus pula menjadi perhatian dalam mengeluarkan kebijakan.

Sementara itu, menurut Profesor Ueda Nakayama, salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saatsaat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus dahsyat. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun, korban yang akan ditimbulkan jelas lebih besar daripada letusan sebelumnya karena semakin padatnya penduduk. Oleh karena itu, kewaspadaan menghadapi bencana harus ada pada sanubari bangsa Indonesia. Kearifan lokal tentang peringatan dini yang telah ditanamkan oleh para leluhur harus tetap dipertahankan. Demikian pula nama-nama geografis yang mencerminkan keadaan fenomena alam sekitar jangan diganti dengan nama-nama manusia yang seolah pengkultusan.

Pada akhirnya yang tersisa kekaguman, bahwa Indonesia ternyata menjadi perhatian dunia karena Krakatau. Salah satu gunung yang menjadi bagian dari keluarga besar Cincin Api Nusantara ini ternyata sangat terkenal di dunia karena pernah menjadi sebab atas berakhirnya sebagian peradaban dunia. Letusan Krakatau yang dahsyat tersebut, ternyata di sisi lain memiliki pesona dan keunikan, sehingga layak dinobatkan sebagai geoheritage (warisan geologi) yang mendunia. Tentu saja nilai warisan geologi ini akan berdampak positif bila dikembangkan sebagai geopark Internasional atau lebih dikenal sebagai Geopark Jejaring Unesco. Perwujudan sebagai geopark tidak lain sebagai perwujudan Kejayaan Tarumanagara atau di masa kini sebagai Kejayaan Republik Indonesia.

Penulis adalah Fungsional Penyelidik Bumi, Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan Badan Geologi

ACUAN
Ajip Rosidi (penyunting), 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya.
Keys, 1999. Catastrophe: A Quest for the Origins of the Modern World, Ballentine Books, New York).
Winchester’s, S. 2003. Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883.
http://www.salakanegara.com/p/mulabukaningtatar- pasundan.html
http://mitchtestone.blogspot.com/2009/11/weredark- ages-triggered-by-volcano.html
http://www.ees1.lanl.gov/Wohletz/Krakatau_6th_ Century.pdf
http://www.vectortemplates.com/raster/globes/ globes-013.png
http://kelompeta.multiply.com/photos/album/18/ Gunung_Anak_Krakatau

Sumber : http://geomagz.geologi.esdm.go.id/super-volcano-krakatau-535-m-a-perubahan-peradaban-dunia/

WaLlahu a’lamu bishshawab

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907