Wednesday, 21 October 2009

PARADIGMA PERUBAHAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

http://empimuslion.wordpress.com/2008/04/01/paradigma-perencanaan-pembangunan-nasional/

PARADIGMA PERUBAHAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Oleh : Empi Muslion.JB

===============================

tanjung_priok_harbour_1935.jpg

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.

Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.

Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :

Dokumen perencanaan periode 1958-1967

Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Dokumen perencanaan periode 1968-1998

Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.

Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.

Dokumen perencanaan periode 1998-2000

Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.

Dokumen perencanaan periode 2000-2004

Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).

Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN

Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.

Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.

Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.

Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ?

Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan.

Catatan : Sudah pernah dipublikasikan pada Koran Kaba Luhan Nan Tuo

Semoga Bermanfaat

Soekarno Sosok yang Hidup dalam Ceritera

http://www.scribd.com/doc/20244580/Soekarno-Sosok-yang-Hidup-dalam-Ceritera

Soekarno
sosok yang hidup dalam cerita


Banyak hal yang bisa membuat fikiran manusia yang masih menjejak bumi ini terkejut, yaitu ketika mendengar bahwa Soekarno presiden pertama Republik Indonesia masih hidup. Pertama kali mendengar bahwa beliau masih hidup berasal dari pengakuan Pak Amat seorang penjual pisang ambon yang sering mangkal di sekitar pintu Kebun Raya Bogor. Hampir setiap malam setelah waktu isya, Pak Amat dan teman-temannya berkumpul di beranda rumah panggung yang berlantai geribik untuk menceritakan tentang kesaksian si Anu atau si Ini yang juga memiliki pengalaman yang sama dengan Pak Amat.
Saya melihat Pak Karno menggunakan caping bambu berjalan memeriksa kebun raya, Ucap Pak Amat berkali-kali untuk menyakinkan teman bicaranya. Dan ini bukan penglihatan yang pertama kali bagi Pak Amat, yang melihat dan sering berpapasan dengan beliau di sekitar kebun raya Bogor. Anehnya tidak ada satu orangpun yang meragukan cerita Pak Amat, bahkan kemudian pembicaraan mulai menghangat ketika teman bicaranya menambahkan cerita kesaksian orang lain yang juga melihat beliau di sekitar Istana Batutulis.
Masih jelas dalam ingatan saya ketika mantan presiden pertama RI dikabarkan meninggal di Jakarta dan kemudian di kuburkan di Blitar. Hampir setiap orang dewasa yang kebetulan bertemu akan membicarakan beliau. Bahkan orang tua sayapun yang terkenal pendiam, juga ikut membicarakan dan tampak sedih dengan beredarnya berita kematian tersebut.

Hidup dan Dihidupkan dalam Cerita

Pengaruh cerita Pak Amat dengan kawan-kawannya benar-benar membekas dalam hati saya. Dengan ditemani Jajat yang sama-sama belajar silat Cimande di Gang Selot, kami berdua masuk kebun raya Bogor untuk mencari tahu keberadaan beliau atau jika beruntung mungkin bisa bertemu dengan beliau secara tidak sengaja.
Pada pertengahan tahun 70-an tembok pagar kebun raya belum ditinggikan. Rendahnya tembok pagar ini sangat membantu kami untuk masuk kebun raya tanpa harus melapor atau mebayar. Dengan bermodalkan lampu senter dua batu, kami berdua menyusuri seluruh areal kebun raya dan mendatangi tempat-tempat yang diberitakan pernah terjadi perjumpaan. Hanya wilayah istana Bogor yang tidak kami masuki. Meskipun CPM penjaga istana tidak ada yang patroli sampai ke belakang istana pada malam hari, akan tetapi tidak ada satupun dari kami berdua yang memiliki cukup keberanian melompat pagar istana.
Hampir tiga kali dalam seminggu kami mengendap-endap dekat kuburan Mbah Jeprak yang berada dekat pagar istana di bagian belakang hanya untuk melihat apa yang di lakukan orang-orang yang duduk di sekitar kuburan. Ada yang duduk diam seperti patung selama berjam-jam dan ada juga yang hanya tidur-tiduran beberapa menit dan kemudian pulang. Rata-rata setiap acara ritual dilakukan sekurang-kurangnya oleh dua orang dan tidak lebih dari lima orang. Jarang sekali yang berani datang sendiri.
Tidak ada yang berbicara dengan suara keras di tempat ini. Mereka hanya berbisik-bisik di antara mereka dan terus terdiam agak lama. Entah siapa yang disebut dengan Mbah Jeprak yang secara rutin selalu didatangi oleh peziarah. Bahkan jika ditanyakan kepada kuncennya, mereka hanya

mengatakan bahwa Mbah Jeprak adalah salah satu keturunan Siliwangi yang dituakan di wilayah Bogor.
Hasilnya, hampir selama satu setengah tahun berkunjung ke kebun raya, kami tidak pernah melihat Sukarno atau bayangannya sekalipun. Sukarno seolah-olah raib ketika kami berusaha bertemu beliau. Hanya saja dalam perjalanan pencarian kami, banyak cerita-cerita pertemuan beliau dengan beberapa orang yang sempat kami ajak bicara.
Ketidakberkenannya beliau untuk bertemu dengan kami berdua telah membawa kepada pemikiran bahwa cerita pertemuan dengan Sukarno dengan berbagai kalangan hanya sebatas cerita saja untuk kami yang baru duduk di kelas satu SMA. Rasanya belum pantas kami bertemu dengan beliau karena dianggap belum cukup umur. Itu saja alasan yang bisa dihasilkan oleh pemikiran dua orang yang mencoba mencari alasan mengapa beliau tidak berhasil kita temukan.
Secara tidak sengaja ritual pencarian Sukarno pun terhenti. Banyak kemarahan orang tua yang harus saya terima karena keterlambatan waktu untuk sampai di rumah setiap kali selesai latihan silat. Akhirnya diputuskan saya tidak boleh lagi latihan silat Cimande yang dilakukan malam hari.
Keputusan untuk harus tetap tinggal berada di dalam rumah pada malam hari membuat saya lebih tertarik untuk membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi, yang tebalnya hampir sama dengan tinggi kotak rokok. Setiap halaman dibaca untuk mendapat pemahaman yang lebih lengkap tentang beliau. Celakanya hampir tidak ada yang dapat dimengerti oleh anak yang baru duduk di kelas dua SMA.
Pemahaman terhadap Soekarno menjadi lebih didasarkan pada cerita orang-orang yang masa mudanya begitu terpesona oleh kepiawaian beliau. Sampai perjalanan lima tahun ke depan, pemahaman terhadap kepemimpinan Soekarno semakin menjadi tidak luar biasa. Akan tetapi bagi seorang anak muda Menggali Warna 3
yang tidak pernah melihat keajaiban, Soekarno adalah satu keajaiban yang mudah dimengerti oleh anak muda ketika itu.
Dari perjalanan tersebut diperoleh pemahaman bahwa beberapa bagian masyarakat mengharapkan terjadinya suatu keajaiban dengan lahirnya seorang pemimpin nasional yang mampu meningkatkan setinggi-tingginya kesejahteraan rakyat dan disegani oleh dunia. Soekarno yang hanya berkesempatan merasakan sedikit keajaiban, secara bersama-sama digali oleh masyarakat dengan cara menambahkurangkan untuk membentuk sosok pemimpin nasional yang memiliki keajaiban secara imajinatif.
Ternyata sebagian besar dari kelompok masyarakat ini adalah kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi dan mengalami berbagai ketidakadilan prilaku masyarakat lainnya, sehingga berharap lahirnya pemimpin nasional yang mampu membuat berbagai keajaiban dalam mensejahterakan rakyatnya. Ditambah dengan terjadinya bencana alam yang berturut turut menghilangkan banyak nyawa rakyat, maka secara perlahan mulai tumbuh keyakinan yang besar dalam kelompok masyarakat akan lahirnya seorang pemimpin harapan.
Di satu sisi, pemimpin harapan ini digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki wibawa dan kekuasan di atas pemimpin dunia yang ada pada saat itu. Di sisi lain timbul juga pemahaman bahwa bentuk negara akan berubah menjadi kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang sangat disegani oleh dunia.
Tidak pernah terfikirkan oleh masyarakat yang terus bermimpi bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan berubah hanya dengan lahirnya seorang pemimpin yang ajaib. Perubahan bentuk negara oleh pemimpin dengan keajaiban seperti ini akan mengakibatkan lahirnya pergolakan yang berujung kepada perubahan pengertian terhadap pemimpin yang ajaib kepada pemimpin yang membawa azab.

Pemimpin Besar Kelompok Amanah

Banyak cerita keajaiban Soekarno yang akhirnya terpusat kepada keberadaan kekayaan republik yang disimpan di UBS Bank of Switzerland atau berbagai timbunan emas di gunung-gunung yang seluruhnya merupakan wewenang beliau. Anehnya, orang yang semula tidak percaya, tidak lama kemudian menjadi percaya terhadap kekayaan Republik Indonesia yang disimpan di Belanda, Swis, Vatikan, Amerika Serikat. Bahkan kekayaan tersebut terkait dengan perjanjian antara Repblik Indonesia, Republik Rakyat China, dan Amerika serikat berdasarkan Yunan Agreement.
Dari cerita-cerita yang beredar muncul beberapa nama seperti Soewarno, Ronggolawe, Pringgodigdo, Sarinah serta berbagai abah-abah dan bunda-bunda yang mengaku pernah berhubungan baik dan menerima amanah untuk menyimpan kekayaan rakyat dari beliau. Meskipun sulit ditemui, banyak kalangan yang menyatakan pernah bertemu dengan Soewarno di Belanda, Ronggolawe di Jogja, Pringgodigdo di Solo, serta Sarinah di Ujung Kulon. Dari hasil pertemuan mereka dengan para tokoh tersebut dibuktikan dengan sekumpulan dokumen bank dengan kualitas kertas dan standard dokumen dari jaman tempo doeloe, yang membuat pengikut kelompok amanah semakin yakin dan percaya dengan sistem pengaturan Soekarno yang terus hidup.
Kelompok amanah merupakan kelompok yang anggotanya mengaku mendapat amanat untuk menyimpan harta kekayaan milik Soekarno berupa uang, emas, berlian, dan beberapa jenis pusaka lainnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kelompok ini beranggotakan orang-orang tua yang mengaku berumur hampir mendekati seratus tahun atau lebih dan menyatakan menjadi saksi atas penyerahan harta kekayaan republik kepada seseorang.

Kelompok amanah yang terdiri dari orang setengah baya sering mengaku mendapatkan wahyu atau pertemuan dengan Soekarno yang bertugas untuk menyelesaikan dan menyerahkan kembali seluruh harta tersebut kepada rakyat. Sedangkan kelompok amanah yang terdiri dari anak muda berafiliasi dengan salah satu kelompok amanah yang berada di daerah mereka dan diberikan nomor sandi atau pin yang menjadi tanda bagi kelompok mereka sendiri.
Kelompok ini telah tersebar secara luas dari kota besar sampai ke desa-desa terpencil di pedalaman di seluruh pulau Jawa. Sedikit dari kelompok amanah yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa.
Dari seluruh kelompok amanah yang ada, terdapat ciri utama yang sama di antara mereka, yaitu mereka menganggap bahwa kekayaan republik yang diserahkan Soekarno kepada mereka sepenuhnya merupakan tanggung jawab setiap anggota kelompok. Ciri yang kedua adalah bahwa seluruh sistem komunikasi di antara kelompok amanah dengan Soekarno di lakukan berdasarkan pendekatan spritual yang dipimpin oleh oleh orang yang tertua yang disebut abah, mbah, bunda atau sebutan lainnya, yang menggambarkan adanya kemampuan spiritual yang tinggi di dalam diri pemimpin tersebut. Ciri yang ketiga adalah harta tersebut tidak diperkenankan untuk dijual belikan, akan tetapi dapat ditukar dengan mahar atau mas kawin dan baru kemudian dapat dipindah tangankan. Ciri yang keempat adalah seluruh harta merupakan milik rakyat yang harus diserahkan kembali kepada rakyat dengan mekanisme yang mereka tentukan. Artinya, secara implisit seluruh ciri tersebut merupakan penjabaran pesan Soekarno kepada setiap kelompok amanah dalam menjalankan tugas mereka.
Fanatisme inilah yang menyebabkan Soekarno tetap hidup dan dihidupkan kembali oleh penganutnya tanpa memperdulikan kenyataan bahwa beliau sudah meninggal dan dikuburkan di Blitar. Jadi tidak mengherankan jika saat ini

banyak yang menganggap Soekarno masih hidup dalam keadaan sehat wal afiat dan tetap awet muda.
Anggapan tentang Soekarno yang masih hidup menjadi sulit dibedakan secara nyata atau tidak nyata. Pada pelaksanaannya, setiap anggota kelompok amanah selalu mendasarkan kegiatannya seolah-olah Soekarno masih hidup dan tetap menjadi pemimpin besar kelompok amanah.
Kemiskinan Melahirkan Bangsa yang Bodoh
Kelelahan sebagian masyarakat yang berharap-harap lahirnya pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam waktu singkat, menunjukkan bahwa selama ini belum ada konsep pembangunan yang jitu dan pemimpin tangguh karismatik.
Komentar masyarakat terhadap tingginya laju percepatan pembangunan saat ini hanya digambarkan sebagai tingginya laju interaksi program pembangunan yang hanya lari di tempat dan tidak mampu bergerak secara cepat seiring dengan laju perkembangan pembangunan global. Jika anggapan ini benar akan berarti bahwa pihak eksektuif tidak mampu melakukan perencanaan dan pelaksanaan program secara tepat sehingga terjadi kebuntuan konsep pembangunan. Hal ini juga akan berarti bahwa pihak legislatif tidak mampu membentuk dan mengarahkan peningkatan percepatan pembangunan ke dalam fase fase pembangunan yang diharapkan, yaitu sesuai dengan tugas dan fungsi badan legislatif dalam perancangan aturan main. Dan lebih celaka lagi adalah ketika lembaga yudikatif tidak mampu mengekspresikan aturan main kedalam perikehidupan bangsa dan negara.
Artinya konsep pembangunan yang ada saat ini memasuki situasi kebuntuan dan belum mendapatkan jalan terang melalui inovasi-inovasi konsep yang sesuai bagi upaya pencapaian kesejahteraan rakyat. Dan jika ini benar, maka

wajar saja jika sebagian masyarakat begitu mengharapkan lahirnya pemimpin yang memiliki pendekatan yang cerdas untuk menemukan cara dan pendekatan yang mampu mengembalikan kepada laju percepatan pembangunan yang tidak hanya berlari di tempat.
Sebaliknya jika anggapan sebagian masyarakat tadi salah, maka manfaat laju percepatan pembangunan yang ada saat ini belum terdistribusi secara merata kepada seluruh rakyat. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa anggapan masyarakat terhadap konsep pembangunan saat ini memiliki arti separuh sampai seluruhnya benar.
Terlepas dari benar atau salahnya anggapan masyarakat terhadap program pembangunan, yang pasti dialami oleh masyarakat adalah keputus asaan yang sangat mendalam sampai-sampai harus mengharapkan lahirnya pemimpin idaman seperti itu. Keputus asaan seperti ini menunjukkan adanya proses pemikiran panjang masyarakat yang terbentur pada kenyataan rasional bahwa tidak ada pemimpin yang terlahir seperti idaman mereka saat ini. Sampai pada tataran pemikiran seperti itu, maka secara serempak setiap individu mulai berfikir dengan menggunakan irasionalitas sehingga mampu menghibur keputus-asaan yang mereka alami. Dalam hal ini, cara berfikir irasional lebih berfungsi sebagai alat penghibur dalam situasi yang dianggap tidak ada harapan.
Hal yang terlupa adalah semakin besar irasionalitas yang digunakan oleh masyarakat akan menunjukkan cara berfikir yang semakin tidak rasional. Dengan demikian terbukti bahwa keputus asaan yang dialami oleh sebagian kelompok masyarakat miskin merupakan alasan utama yang menjadikan kelompok tersebut menjadi tidak rasional. Dalam bahasa kasarnya, ketidak rasionalan adalah bentuk lain dari kebodohan cara berfikir dan atau kesalahan cara memandang suatu masalah.

Proses pembodohan masyarakat ini tidak dapat digunakan untuk mempersalahkan Soekarno. Soekarno lebih tepat disebut sebagai sosok yang menjadi korban karena memiliki sedikit keajaiban dan sebagai individu yang harus bertanggung jawab terhadap proklamasi yang menjanjikan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi rakyat.
Pergeseran Paradigma Gotong Royong kepada Ekonomi
Sejak dikebumikannya Soekarno di Blitar, waktu seolah berjalan dengan cepat. Setiap manusia Indonesia disibukkan oleh peningkatan ekonomi keluarga dengan masuknya berbagai produk-produk asing yang menjanjikan kemudahan dan kenikmatan hidup. Masyarakat yang semula hanya dapat menonton televisi hitam putih di kantor-kantor desa, dalam beberapa tahun kemudian telah dapat menikmati tayangan televisi berwarna di rumah masing-masing. Bahkan tidak memerlukan waktu sampai dua dekade penuh, hak penyiaran televisi mulai diserahkan kepada televisi swata yang menjanjikan lebih banyak hiburan bagi masyarakat.
Pemandangan hari minggu pagi di jaman Orde Lama dan awal Orde Baru yang selalu dipenuhi oleh kegiatan gotong royong untuk membersihkan jalan yang berbatasan dengan rumah masing-masing sudah jarang ditemui di pertengahan tahun 80-an. Kegiatan gotong royong hanya bertahan di pedesaan terkait dengan kecilnya kemungkinan pemuka masyarakat untuk mengumpulkan dana untuk kepentingan publik. Sampai ketika waktu mulai mendekati akhir abad 20, kegiatan gotong-royong di kota dan pedesaan sudah sulit ditemukan.
Hal yang menjadi sulit dipercaya, kekuatan perekonomian rakyat yang semula bertumpu pada karakteristik gotong-royong dapat dengan seketika lenyap dalam diri manusia Indonesia

seolah-olah konsep gotong royong merupakan penemuan baru dan bukan lahir dari proses perkembangan budaya yang panjang. Seketika itu pula konsep gotong royong menjadi jargon besar yang mengusung dan menjunjung tinggi pertumbuhan individualisme dengan mengatas-namakan gotong-royong. Keadaan ini dibuktikan dengan semakin tidak percayanya manusia Indonesia terhadap koperasi dan mulai malasnya tuan-tuan besar di kota besar untuk ikut kegiatan ronda atau membersihkan saluran air di depan rumahnya.
Kalaupun Soekarno pada saat ini masih hidup akan kehabisan kata-kata untuk kembali menjelaskan betapa pentingnya konsep gotong-royong dan renteng-tanggung yang menjadi dasar budaya dalam pembentukan sistem perekonomian, pertahanan dan keamanan. Bahkan mungkin Soekarno akan berdoa setiap hari agar lebih cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa ketika melihat bangsa ini menggunakan gotong-royong sebagai dasar tindak kejahatan korupsi dan pengabaian terhadap peraturan perundangan oleh setiap elemen bangsa.

Tuesday, 20 October 2009

Final Warning: A History of the New World Order (Illustrated Edition)

http://www.scribd.com/doc/6491259/Final-Warning-A-History-of-the-New-World-Order-Illustrated-Edition

The definitive resource on the origin and history of the movement toward one-world government. This is the rogue Illustrated Edition and contains 2000 pictures

Final Warning: A History of the New World Order (Illustrated Edition)

WORLD GLOBALIZATION OF THE BANKING & REGULATORY STRUCTURE

http://www.mail-archive.com/cia-drugs@yahoogroups.com/msg12850.html
By Joan Veon
June 29, 2009


BASEL, SWITZERLAND -The power base of the world has shifted…it is no longer in
London, New York City, Washington D. C., or Tokyo. Neither is it in Beijing or
Moscow. It is Basel, Switzerland. In 1930, the Bank for International
Settlements-BIS was set up as a result of the Young Plan which was named after
the man who presided over the Allied Reparation Committee, Owen D Young.

Basel was chosen as its location because everyone could get on a train from
anywhere in Europe to attend its meetings. When you walk out of the main train
station, the BIS is within easy walking distance of one block. A modern 18
story high building belies the power it extends globally. There is nothing
about the building that calls anyone’s attention to it other than the plaque
near the glass front doors that basically says it is private property. The
world’s power brokers walk to the BIS without fanfare and are set apart from
the citizenry by their business suit and ID pass.

Yet within its walls the world’s monetary system is being designing and
directed by many illuminated and brilliant people from inside and from without,
those who visit regularly from all over the world include: central bank
ministers, treasury secretaries, regulators, insurance supervisors, deposit
insurers and accountants. Truly the BIS is all powerful. Dr. Carroll Quigley in
his book, Tragedy and Hope, wrote that,

The powers of financial capitalism had another far reaching aim, nothing less
than to create a world system of financial control in private hands able to
dominate the political system of each country and the economy of the world as a
whole. This system was to be controlled in a feudalistic fashion by the central
banks of the world acting in concert, by secret agreement, arrived at in
frequent meetings and conferences. The apex was to be the Bank for
International Settlements in Basel, Switzerland (pp. 324-25).

If this power was not evident before, it is in the process of becoming greater
and more immense. While the BIS has always been the focal point of central bank
activity globally, it now is finalizing the structure Dr. Quigley wrote about.
Bi-monthly, the Group of Ten central bankers, along with those from majoring
developing nations come together to discuss global monetary policy, among other
things. Over the years it has expanded to the point that every aspect of
banking, finance, insurance, deposit insurance, and regulation now constitute
its core workings.

In the mid-1990s the word “globalization” came into our vocabularies as we were
faced with naming the process whereby the barriers between the countries of the
world started to fall. Beginning with the establishment of the International
Monetary Fund and World Bank in 1944, the financial barriers between countries
fell; with the establishment of the United Nations in 1945, the political
barriers fell; with the establishment of the World Trade Organization in 1994,
the trade barriers fell; with the establishment of the International Criminal
Court in 1998, the legal barriers fell; and with the September 11, 2001 attack
on the World Trade Center, the military and intelligence barriers fell.

Similarly, during the 1990s, the Bank for International Settlements started to
set up its own level of globalization. In1998, the International Association of
Insurance Supervisors was set up and is comprised of insurance supervisors from
all over the world. In 1999, the Financial Stability Forum was set up which was
comprised of the Group of Seven treasury secretaries, central bankers, and
regulatory agencies. Recently this organization was expanded to include the
Group of Twenty. Then in 2002 the International Association of Deposit Insurers
was set up. This organization is comprised of the “FDICs” of the world. Another
organization which was set up in 1973 and then reconfigured in 1984 is the
International Organization of Security Commissions-IOSCO which is basically a
global “security and exchange” commission which has facilitated a global stock
exchange.

What the 2008 Credit Crisis has provided is an opportunity to further enhance
and empower these organizations which will and are in the process of
transferring respective responsibilities from the national level to the global
level, thus completing the process of banking, insurance, auditing, accounting,
and regulatory globalization. It should be mentioned that in order for the
United States to play its role in this process, the Obama Administration will
have to set up a single national regulator over our seven different regulators
that currently work independently. This is so important a step that the
Financial Times recently ran an editorial on June 20 that warned America,

The need for thorough regulatory reform is still pressing. One concern stands
out: the risk of the whole financial system breaking down, as it did last
autumn. Those who want to give central banks the power and responsibility to
monitor systemic risks are right. They include the US Treasury, whose proposals
this week seek to turn the Federal Reserve into a systemic super-regulator.
These proposals are contested. They should not be; the alternatives are worse.
Reforms to rein in systemic risk must not now fall prey to politics. They must
be enacted before the memory of last autumn fades.

Let us examine what the first paragraph of the Bank for International
Settlements 79th Annual Report stated with regard to the credit crisis:

How could this happen? No one thought that the financial system could
collapse. Sufficient safeguards were in place. There was a safety net: central
banks that would lend when needed, deposit insurance and investor protections
that freed individuals from worrying about the security of their wealth,
regulators and supervisors to watch over individual institutions and keep
managers and owners from taking on too much risk. Since August 2007, the
financial system has experienced a sequence of critical failures.

While it provides their assessment of what went wrong, the report summarizes
the problem and the solution this way:

In summary, financial regulators, fiscal authorities, and central bankers
face enormous risks. Building a perfect, fail-safe financial system—one capable
of maintaining its normal state of operations in the event of a failure—is
impossible. Standing in the way are both innovation and the limits of human
understanding, especially regarding the complexity of the decentralized
financial world. We have no choice but to take up the challenge of first
repairing and then reforming the international financial system.

Their recommendations include the BIS standard-setting committees (the Basel
Committee on Banking Supervision, the Central Bank Governance Forum, the
Committee on Payment and Settlement Systems, and the Markets Committee) and the
Financial Stability Board. For our purposes we will discuss the newly
centralized power of the Financial Stability Board.

First it should be noted that with this kind of total economic and monetary
failure, the entire system should be scrapped and perhaps we should go back to
being individual nation-states, but you see for their purposes, they are
expanding and empowering another level of control which will move the assets of
the entire world into their domain. No physical war, no guns, no
bullets—electronic financial warfare.

The Financial Stability Board was originally the Financial Stability Forum-FSF.
When it was set up in 1999, I interviewed its Secretary-General, Svein Andresen
who told me that there was no guarantee that it would be able to protect the
global system from problems. However, it was believed that if you brought the
central bank ministers together with the treasury secretaries and the
regulatory agencies from the Group of Seven countries that it would provide a
framework to protect the global financial system. Obviously they failed in
their mission. The alternative instead of liquidating the FSF was to expand and
empower it. When I asked FSB Chairman Mario Draghi about the role and input of
the international bankers like Sir Evelyn de Rothschild, he replied,

We are in contact with various --say bankers association, market
association—banks, hedge funds, securities fora and lots of other bodies. We
look at what they do and then we make up our own mind. So it is an interesting
context but in the end, ours is a forum where you have the regulators—banking
regulators, market regulators, financial ministries and international
organization and institutions and standard setters. So it is our own mind in
the end which we look at.

It is important to note that the internationalization or globalization of the
financial system is here. It constitutes tearing down the final barrier between
the countries of the world. It has been almost fully operational for at least
10 years. At this point in the game, the integration between a handful of
international organizations is apparent.


The need to coordinate international accounting through the International
Accounting Standards Board with the American counterpart, Financial Accounting
Standards Board- FASB with the FSB and G20 is already happening. IOSCO is
working with the BIS Joint Forum and FSB. In order to develop high quality
international standards for auditing, assurance, ethics and education for
professional accountants, the Monitoring Group was set up and a Charter was put
in place in 2008 by Memorandum of Understanding. Those participating include:
IOSCO, the Basel Committee of Banking Supervision, the European Commission, the
International Association of Insurance Supervisors, the World Bank, the
Financial Stability Board and the International Forum of Independent Audit
Regulators.


There are so many working groups which now comprise a new level of regulatory
oversight operating internationally that it is almost impossible to go back to
the power of the individual nation-state. The number and the oversight of these
groups will make your head spin. Can we go back? Any country who would dare say
no would be completely destroyed—ask the 5 Asian countries that chose to say no
to the WTO Financial Services Agreement in the mid-1990s. It is now the
Financial Stability Board which is now empowered with becoming the “United
Nations of Financial and Regulatory Control” over countries.

© 2009 Joan Veon - All Rights Reserved



Joan Veon is a businesswoman and international reporter, who has covered over
100 Global meetings around the world since 1994. Please visit her website:
www.womensgroup.org. To get a copy of her WTO report, send $10.00 to The
Women's International Media Group, Inc. P. O. Box 77, Middletown, MD 21769. For
an information packet, please call 301-371-0541

E-Mail: t7w...@aol.com

Website: www.womensgroup.org

More Veon Articles:

http://www.newswithviews.com/Veon/joan165.htm

Monday, 19 October 2009

Silsilah Raja-raja Kerajaan Sunda Padjadjaran

http://www.scribd.com/doc/20122526/Silsilah-Raja-raja-Kerajaan-Sunda-Padjadjaran

Silsilah Raja-raja Kerajaan Sunda Padjadjaran

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907