Wednesday, 31 October 2012

Melihat Nabi Muhammad SAW di Alam Nyata, Mungkinkah?

Mungkinkah melihat Nabi SAW dalam keadaan terjaga (sadar) setelah beliau wafat?
Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam tidur, maka ia akan melihatku ketika terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.”

Ulama berbeda pendapat mengenai maksud sabda beliau “maka ia akan melihatku ketika terjaga”. Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah “ia akan melihatku pada hari kiamat nanti”. Tapi pendapat ini dikritik, karena kalau demikian maka tidak ada gunanya pengkhususan bagi orang yang melihatnya di alam tidur, karena seluruh umatnya akan melihatnya pada hari kiamat kelak, baik yang pernah melihat sebelumnya ataupun yang tidak.

Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah orang yang beriman kepadanya dan belum pernah melihatnya karena saat itu ia sedang tidak hadir bersamanya, maka hadits ini menjadi kabar gembira baginya, yakni ia akan melihatnya di alam sadar sebelum mati.

Sebagian lagi mengartikannya secara zhohir (letterlek), yakni barangsiapa melihatnya di alam tidur, maka ia pasti akan melihatnya di alam sadar dengan kedua mata kepalanya. Ada juga yang menafsirkan dengan mata hatinya seperti dikatakan Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi.
Sedangkan Abu Bakr bin Abi Jamrah mengatakan dalam catatannya terhadap hadits-hadits yang ia pilih dari Shahih Bukhari: “Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa melihat Nabi SAW dalam mimpi, maka ia akan melihatnya di alam sadar. Apakah ini dipahami secara umum yaitu sebelum dan sesudah wafatnya, ataukah secara khusus sebelum wafatnya saja? Apakah itu juga mencakup semua orang yang melihatnya sacara mutlak ataukah khusus bagi yang memiliki ahliah (kapabilitas) dan ittiba’ (pelaksanaan) terhadap sunnah-sunnahnya saja?

Teks hadits itu memberikan pengertian umum, maka barangsiapa mengklaim kekhususan tanpa adanya indikasi pengkhususan, maka ia telah melanggar. Sebagian orang ada yang tidak mempercayai keumuman teks hadits itu. Ia mengatakan - sesuai dengan kadar akalnya, “Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal dapat dilihat orang yang masih hidup di alam nyata?”

Sebenarnya, ucapan ini mengandung dua konsekuensi berbahaya. Pertama, tidak percaya terhadap sabda Nabi SAW sedangkan beliau tidak pernah berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri. Kedua, tidak mengetahui kemampuan Sang Pencipta dan mukjizat-Nya, seakan-akan ia belum mendengar ayat dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, “Pukullah ia dengan sebagiannya. Demikianlah Allah menghidupkan yang sudah mati.” Begitu juga dengan kisah Ibrahim bersama burung yang terbagi menjadi empat dan juga kisah Aziz. Allah yang telah menghidupkan semua itu mampu menjadikan mimpi melihat Nabi SAW sebagai penyebab melihatnya di alam nyata. Menurut riwayat dari sebagian sahabat -sepertinya Ibnu Abbas, bahwa ia melihat Nabi SAW dalam mimpi, lalu ia teringat hadits ini dan selalu memikirkannya lalu ia pergi menemui sebagian istri Nabi SAW -sepertinya Maimunah, lalu menceritakan mimpinya padanya. Lalu Maimunah berdiri mengambil cermin Nabi dan memberikannya kepada Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat bayangan Nabi SAW dalam cermin itu, bukan bayanganku.”

Menurut riwayat dari sebagian salaf dan khalaf juga demikian, mereka melihat Nabi SAW dalam mimpi seraya membenarkan hadits ini, lalu mereka pun melihatnya di alam nyata. Mereka menanyakan berbagai persoalan yang mereka bingung menyikapinya, lalu Nabi pun memberitahu solusinya.

Orang yang mengingkari semua ini ada dua kemungkinan, ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali atau termasuk orang yang tidak percaya terhadapnya. Kalau ia termasuk orang yang tidak percaya terhadap karomah wali, maka selesai masalah, tidak perlu dibahas, karena ia mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan bukti-bukti yang jelas. Jika ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali, maka ini adalah salah satunya, karena para wali sering ditampakkan melalui kejadian luar biasa pada dua alam, atas dan bawah. Maka, tidak selayaknya mengingkari hal semacam ini selama ia percaya terhadap karomah wali. Demikian perkataan Ibnu Abi Jamrah.

Al-Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi, salah seorang ulama Malikiyah terkemuka, beliau mengatakan, “Melihat nabi dan malaikat serta mendengar ucapan mereka adalah mungkin bagi orang beriman sebagai bentuk karomah (kemuliaan) baginya, adapun bagi orang kafir sebagai hukuman.”
Ibnul Haaj mengatakan dalam Al-Madkhal sebagaimana dinukil oleh Izzuddin bin Abdissalaam dalam Al-Qawa’id Al-Kubra bahwa melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar (di alam nyata) adalah suatu kejadian langka yang jarang dialami oleh manusia kecuali bagi orang yang memiliki sifat-sifat yang langka dimiliki oleh orang-orang di zaman ini, bahkan mungkin telah musnah kebanyakan, meskipun kami tidak mengingkari orang yang mengalami hal tersebut dari kalangan para tokoh besar yang dijaga oleh Allah, lahir dan batin mereka.

Al-Yafi’i mengatakan, “Sesuatu yang mungkin dialami oleh para nabi sebagai bentuk mukjizat mungkin pula dialami oleh para wali sebagai bentuk karomah, selama tidak ada unsur menantang.”
Utsman bin Affan ketika rumah beliau di kepung oleh para pemberontak, beliau menyendiri di dalam kamar lalu melihat Rasulullah SAW di situ bersabda, “Kalau mau, kamu bisa ditolong atas mereka, atau kalau mau, kamu bisa juga kamu berbuka bersamaku.” Lalu Utsman memilih berbuka bersama Rasulullah SAW. Di hari itulah Utsman terbunuh sebagai syahid sebelum matahari terbenam.
Al-Aluusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani, ketika bercerita tentang turunnya Nabi Isa AS:
“Ada pendapat yang mengatakan bahwa Isa AS mengambil hukum-hukum dari Nabi SAW secara langsung dari mulut ke mulut setelah ia turun (ke bumi) sedangkan Nabi SAW berada dalam kuburnya yang mulia. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits Abu Ya’la berbunyi: Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, Isa Putra Maryam akan turun kemudian berdiri pada kuburanku lalu berkata: Wahai Muhammad, sungguh aku akan menjawabnya.

Boleh jadi hal itu terjadi dengan cara berkumpulnya dua ruh. Tidak ada bid’ah sama sekali dalam masalah ini. Sungguh melihat Nabi SAW setelah wafat telah dialami oleh lebih dari satu para makhluk sempurna dari umat ini, juga mereka mengambil langsung dari Nabi SAW.”
Lalu beliau menyebutkan kisah-kisah nyata para ulama dan wali yang pernah mengalami kejadian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar.

Imam Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya, At-Tadzkiroh fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhiroh:
“Syaikh kami, Syaikh Ahmad bin Umar telah berkata: Kematian para nabi itu berarti tertutupnya mereka dari kita sehingga kita tak dapat mengetahui mereka, meskipun mereka sendiri sebenarnya masih ada dan hidup. Kondisi itu mirip seperti malaikat, mereka ada dan hidup tapi tidak satu pun orang seperti kita ini yang melihatnya kecuali bagi orang tertentu yaitu wali-Nya yang diberi kekhususan oleh Allah berupa karomah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari:
“Orang yang melihat Nabi SAW setelah beliau wafat dan sebelum dikebumikan, maka yang paling benar adalah ia tidak termasuk sahabat. Jika tidak demikian, maka (niscaya akan disebut sahabat) setiap orang yang melihat jasad beliau yang mulia itu di dalam kuburannya meskipun di zaman ini, atau para wali yang dibukakan baginya tabir penutup lalu melihat Nabi SAW sebagai karomah. Hujjah yang dipakai oleh yang menetapkan status sahabat ketika Nabi SAW belum dikebumikan adalah karena beliau masih tetap hidup, padahal kehidupan ini bukan kehidupan duniawi melainkan kehidupan ukhrowi, tidak terkait dengan hukum-hukum dunia.”

Penegasan Ibnu Hajar di atas sekaligus menjawab pertanyaan, “Apakah orang yang pernah melihat Nabi SAW setelah beliau wafat disebut sahabat?”

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ketika ditanya, “Mungkinkah berkumpul dan bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga?” beliau menjawab: “Ya, mungkin itu. Sejumlah ulama telah menegaskan bahwa hal itu termasuk karomah para wali.” (Al-Fatawa Al-Haditsiyah halaman 297)
Imamul Qurro’ wal Muhadditsin Imam Ibnul Jazari mengatakan dalam mukaddimah kitabnya, Al-Hishnul Hashin, bahwa beliau pernah melihat dan berdialog dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga.

Sumber: Forum Diskusi Hadits (facebook)
Referensi:
Tanwirul Halak karangan Imam Suyuthi

Ru’yatun Nabiyyi Yaqazhah



sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/18/melihat-nabi-muhammad-saw-di-alam-nyata-mungkinkah/

Monday, 29 October 2012

Bukti Tenggelamnya Firaun Dan Tentaranya


 

Seorang Arkeologi bernama Ron Wyatt pada ahir tahun 1988 mendakwa bahwa dirinya telah menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur kuno didasar laut merah. Menurutnya, mungkin ini merupakan bangkai kereta tempur Fir’aunyang tenggelam di lautan tersebut ketika digunakan untuk mengejar Musa bersama para pengikutnya. Menurut pengakuannya, selain menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur berkuda, Wyatt bersama para krunya juga menemukan beberapa tulang manusia dan tulang kuda ditempat yang sama.Penemuan ini tentunya semakin memperkuat dugaan bahwa sisa-sisa tulang belulang itu merupakan bagian dari kerangka para bala tentara Fir’aun yang tenggelam di laut Merah. Apalagi dari hasil pengujian yang dilakukan di Stockhlom University terhadap beberapa sisa tulang belulang yang berhasil ditemukan, memang benar adanya bahwa struktur dan kandungan beberapa tulang telah berusia sekitar 3500 tahun silam. Menurut sejarah,kejadian pengejaran itu juga terjadi dalam kurun waktu yang sama.

Selain itu, ada suatu benda menarik yang juga berhasil ditemukan, yaitu poros roda dari salah satu kereta kuda yang kini keseluruhannya telah tertutup oleh batu karang, sehingga untuk saat ini bentuk aslinya sangat sulit untuk dilihat secara jelas.

Mungkin Allah sengaja melindungi benda ini untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa mukjizat yang diturunkan kepada Nabi-Nya merupakan suatu hal yang nyata dan bukan merupakan cerita karangan belaka. Di antara beberapa bangkai kereta tadi, ditemukan pula sebuah roda dengan 4 buah jeruji yang terbuat dari emas. Sepertinya, inilah sisa dari roda kereta kuda yang ditunggangi oleh Fir’aun sang raja.
Lokasi penyeberangan diperkirakan berada di Teluk Aqaba di Nuweiba. Kedalaman maksimum perairan di sekitar lokasi penyeberangan adalah 800 meter di sisi ke arah Mesir dan 900 meter di sisi ke arah Arab. Sementara itu di sisi utara dan selatan lintasan penyeberangan (garis merah) kedalamannya mencapai 1500 meter.

Kecerunan laut dari Nuweiba ke arah Teluk Aqaba sekitar 1/14 atau 4 derajat, sementara itu dari Teluk Nuweiba ke arah daratan Arab sekitar 1/10 atau 6 derajat. Diperkirakan jarak antara Nuweiba ke Arab sekitar 1800 meter. Lebar lintasan Laut Merah yang terbelah diperkirakan 900 meter.
Dapatkah kita membayangkan berapa daya atau tekanan yang diperlukan untuk membelah air laut hingga memiliki lebar lintasan 900 meter dengan jarak 1800 meter pada kedalaman perairan yang rata-rata mencapai ratusan meter untuk waktu yang cukup lama, mengingat pengikut Nabi Musa yang menurut sejarah berjumlah ribuan? (menurut tulisan lain diperkirakan jaraknya mencapai 7 km, dengan jumlah pengikut Nabi Musa sekitar 600.000 orang dan waktu yang ditempuh untuk menyeberang sekitar 4 jam).

Menurut perkiraan, diperlukan tekanan (gaya per satuan luas) sebesar 2.800.000 Newton/m2 atau setara dengan tekanan yang kita terima jika menyelam di laut hingga kedalaman 280 meter. Jika kita kaitkan dengan kecepatan angin, menurut beberapa perhitungan, setidaknya diperlukan hembusan angin dengan kecepatan konsisten 30 meter/detik (108 km/jam) sepanjang malam untuk dapat membelah dan mempertahankan belahan air laut tersebut dalam jangka waktu 4 jam!!! sungguh luar biasa, Allah Maha Besar.

sumber : http://ldkbabussalam.wordpress.com/2012/10/29/bukti-tenggelamnya-firaun-dan-tentaranya/

Saturday, 27 October 2012

Indonesia Historical Time Line


Indonesia Historical Time Line





Pangeran Wangsakerta Sejarawan Pertama Indonesia


Pangeran Wangsakerta Sejarawan Pertama Indonesia

















Pangeran Wangsakerta dari Cirebon mungkin merupakan orang Indonesia yang pertama kali berusaha menyusun sejarah bangsanya selengkap mung­kin. Untuk keperluan penyusunan “buku induk” sejarah itu, ia melaku­kan hal-hal positif yang bahkan menurut penilaian orang Indonesia se­karang masih terlalu “ilmiah” sehingga diragukan (Ayotrohaedi 1981).


Apalagi karena secara kebetulan usaha untuk lebih memperkenalkannya baru dilakukan setelah muncul ihwal pemalsuan catatan harian Adolf Hitler di Jerman. Apakah naskah yang disusun Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawannya, juga hanya karya orang iseng setelah tahun 1950?
Usaha memperkenalkan karyanya, walaupun sedikit demi sedikit, sudah dilakukan sejak tahun 1981 yang lalu (Ayatrohaedi 1981, 1981a, 1983, 1983a, 1983b, 1983c, 1983d, 1983e, 1983f, 1983g, 1984, 1984a, 1984b; Yoseph Iskandar 1983, Saleh Danasasmita 1982) sedemikian jauh, jus­tru usaha untuk memperkenalkan sang sejarawan sendiri belum pernah dilakukan.
PANGERAN TANPA WILAYAH

Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya dari Cirebon. Girilaya yang meninggal tahun 1662 adalah cucu Sunan Gunung Jati dan ber­kuasa di Cirebon menggantikan kakeknya, karena ayahnya sendiri sudah meninggal ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa.
Girilaya menikah dengan seorang putri Mataram, dan perkawinan itu menghasilkan tiga anak lelaki.

1. Anak sulung bernama Pangeran Martawijaya yang kemudian menjadi Sultan Sepuh I dan menurunkan para penguasa kesepuhan,
2. anak kedua bernama Pangeran Kartawijaya yang menjadi Sultan Anom I dan menjadi leluhur para sultan Kanoman,
3. sedangkan anak ketiga Pangeran Wangsakerta, tidak memperoleh warisan daerah. Ia kemudian menjadi “tangan kanan” abangnya, Sultan Sepuh I (Kosch 1979; 85; PS Sulendraningrat 1974; 66).
Hubungan baik dengan Mataram berkat perkawinan Girilaya dengan putri Mataram itu rupanya tidak berjalan mulus. Sultan Mataram tidak urung mencurigai Panembahan Girilaya sehingga akhirnya berhasil menawan Girilaya dan kedua anaknya di Mataram. Girilaya diundang ke Mataram, disertai Martawijaya dan Kartawijaya, tetapi sesampai disana tidak diper­bolehkan kembali ke Cirebon. Karena Wangsakerta tidak ikut ke Mataram, ia pun tidak ditawan (Edi S Ekajati 1984…).
Setelah Panembahan Girilaya meninggal di Mataram, kedua anaknya kem­bali ke Cirebon, dan dengan persetujuan Sultan Banten, Cirebon dipecah menjadi Kasepuhan dan Kanoman. Walaupun Wangsakerta juga menpero­leh daerah, ia tidak diangkat sebagai sultan.
PUSTAKA RAJYARAJYA I BHUMI NUSANTARA

Pangeran Wangsakerta seorang “kutu buku”. Petunjuk kearah itu kita peroleh dari jilid terakhir karya utamanya yang bernama Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara (‘Kitab tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara’). Jilid terakhir yang merupakan daftar pustaka itu menyebut­kan tidak kurang dari 1.700 judul naskah atau karangan yang pada masa itu terdapat di perpustakaan kerajaan Cirebon, terutama Kasepuhan, me­ngingat Wangsakerta menjadi pembantu utama Sultan Sepuh I (Ayatrohaedi 1983.. ).
Usahanya menyusun buku induk itu pun nampaknya didasari oleh kegemar­annya membaca itu. Disamping itu, ada alasan lain yang secara resmi dikemukakannya dalam Purwaka ‘Kata pengantar’ tiap jilid karyanya itu. Menurut kata-katanya sendiri, karya itu dikerjakan karena :
“ …… di­nawuhan de ning ayayahku yata pangeran rasmi kawan namasidam panembahan adiningratkusuma athawa panembahan girilaya ngaranya waneh ri kala sang rama ta tan angemasi. Mangkang juga ngwang dinawuhan anyerat iti pustaka de ning sultan banten yata pangeran adulpatha abdulpatah lawan pramanaran abhiseka sultan ageng tirtayasa. Kumwa juga susuhunan mataram yata pangeran arya prabhu adi mataram i kang ngaran ira susuhunan amangkurat mahyun i mangkana, kumwa jugakweh manih sang pinakadi i bhumi swarnadwipa mwang jawadwipanung mahgyung ing mangkana”.

Jadi, menurut Wangsakerta, sekurang-kurangnya ada tiga orang penguasa di Jawa yang menugasinya menyusun naskah itu, yaitu :
1. Panembahan Girilaya (Cirebon),
2. Sultan ageung Tirtayasa (Banten),
3. dan Sultan Amangkurat II (Mataram).

Disamping itu para penguasa daerah lain yang lebih kecil di Jawa dan Sumatra pun menunjang usaha tersebut.
Ketiga penguasa Jawa itu berkuasa sekitar paro-akhir abad ke-17. Me­ngingat keterangan Wangsakerta sendiri yang menyebutkan bahwa kedua abangnya masing-masing menjadi Sultan Sepuh dan Sultan Anom, dapat dipastikan bahwa tugas yang diterima sebelum ayahnya meninggal (1662) itu, baru dilaksanakannya pada masa pemerintahan abangnya.
Berdasarkan kolo­fon yang tercantum pada akhir setiap jilid memang dapat diketahui bahwa seluruh naskah itu disusun selama 21 tahun (1670-91 Masehi) (Ayatroha­edi 1983 …).
Pangeran Wangsakerta mempunyai nama lain, al :
- Abdulkamil Muhammad Nasaruddin, yaitu namanya setelah ia berkedudukan sebagai Panembahan Car­bon.
- Nama lainnya lagi, yang kurang dikenal, ialah Panembahan Agong Gus­ti Carbon
- dan Panembahan Tohpati.

Di kalangan Cirebon sendiri, Wangsa­kerta lebih dikenal sebagai pangeran Arya Carbon yang menyusun naskah Purwaka Caruban Nagari (1720).
PANITIA WANGSAKERTA ; TUGAS NYA

Untuk melaksanakan tugas dari ketiga sultan itu, Pangeran Wangsakerta meminta bantuan tujuh orang pemuka dan ahli di Cirebon. Mereka itulah yang pada hakekatnya bertindak sebagai “Panitia Wangsakerta” dengan tugas yang cukup berat itu. Para anggota itu ialah :
- Ki Raksanagara,
- Ki Ang­gadiraksa,
- Ki Purbanagara,
- Ki Singhanagara,
- Ki Anggadiprana,
- Ki Angga­raksa,
- dan Ki Neyapati.

Kesejarahan tokoh-tokoh itu seharusnya tidak usah diragukan, mengingat enam orang diantara mereka tercatat namanya dalam Dagregister (Atja 1984)
Pangeran Wangsakerta bertindak selaku penanggungjawab, pengambil kepu­tusan terakhir, dan penyusun tunggal naskah akhir naskah setelah “bahan baku”nya tersedia. Bahan baku itu diperoleh dengan berbagai macam ca­ra, antara lain :
- dengan pengumpulan sumber di lapangan,
- wawancara dengan para ahli,
- kajian kepustakaan,
- dan seminar atau lokakarya khusus.
- Ki Raksanagara bertugas sebagai penulis naskah dan mengurus keperluan para ahli yang dikumpulkan di Cirebon. Sebagai penulis ia mempunyai wakil, yaitu Ki Anggadiraksa yang juga bertindak sebagai bendahara proyek itu.
- Ki Purbanagara bertugas untuk mengambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara, sekaligus memilih mana yang meme­nuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.
- Ki Sanghana­gara bertugas sebagai kepala rumah tangga keraton dan menempatkan para duta selama mereka berada di Cirebon, ia mempunyai anak buah sebanyak 70 orang.
- Ki Anggadiprana bertugas sebagai duta keliling ke berbagai negara, mengundang mereka untuk mengikuti pertemuan di Cirebon, dan ju­ga menjadi juru bahasa dalam pertemuan.
- Ki Anggaraksa, bertugas mengurus jamuan dan hidangan,
- sedangkan Ki Nayapati bertanggungjawab atas pemon­dokan, pengangkutan, dan keamanan.

Tugas utama Panitia Wangsakerta ialah menyusun “buku induk” sejarah Nusantara. Untuk maksud tersebut, panitia menempuh tahap-tahap pengum­pulan bahan, penyaringan sumber, penyusunan naskah. Jadi, sama halnya dengan kegiatan yang pasti dilakukan oleh para sejarawan modern seka­rang ini.
Tahap pengumpulan sumber mencakup kegiatan-kegiatan pengumpulan sumber di lapangan, wawancara dengan para ahli, kajian kepustakaan, dan penyelenggaraan seminar atau lokakarya sejarah. Pengumpulan sumber di la­pangan terutama dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang tugasnya memang me­ngambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara. Ki Purbanagara jugalah yang rupanya diberi tugas untuk mengundang para ahli untuk turut berperan dalam seminar atau lokakarya yang diselenggarakan di Cirebon.
Kajian kepustakaan menjadi tugas Pangeran Wangsakerta, se­suai dengan pengakuannya sendiri :
“…. karana mami wus akweh mangajya sarwasastra katha ning rajya-rajya i bhumi nusantara ….” “…. karena saya sudah banyak mempelajari segala macam kitab kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara …. ”.

Wawancara dengan para ahli dilakukan terutama bersamaan waktunya de­ngan penyelenggaraan lokakarya. Kegiatan itu dipusatkan di paseban keraton Kasepuhan, Cirebon. Pesertanya berasal dari seluruh Nusantara, terdiri dari :
- para mahakawi,
- para duta yang ada di Cirebon,
- mantri pa­tih,
- senapati,
- ulama (dang accaryagama),
- ahli kemasyarakatan (widya­janapada),
- ahli ilmu agama (widyagama),
- dan ahli ilmu politik (widyanagara).

Tercatat tidak kurang dari 70 daerah yang mengirimkan utusan ke loka­karya tersebut, disamping “hana juga pirang amatyanung tan taka” ada juga (banyak) ahli yang tidak datang. Mereka berkumpul di Cirebon, selain untuk bersawala dalam lokakarya, juga menulis bermacam monografi mengenai daerahnya masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa di per­pustakaan keraton Kasepuhan pada akhir abad ke-17 itu, terdapat tidak kurang dari 1.700 buah naskah yang sempat tercatat oleh Pangeran Wang­sakerta dalam jilid terakhir karyanya.
Diantara naskah itu, ada yang isinya tentang bahasa, penduduk, para pahlawan, para raja dan penguasa yang memerintah di daerah masing-masing.
Tahap penyaringan rupanya menjadi tugas khusus panitia, terutama ketu­anya, Pangeran Wangsakerta. Penyaringan pertama juga dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang dalam kegiatan mencari dan mengumpulkan naskah di berbagai negara, sekaligus juga sudah memilih naskah yang memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.
Tetapi jelas, pe­nyaringan itu terutama dilakukan oleh Pangeran Wangsakerta sendiri, apalagi jika terjadi sawala yang panas dan berkepanjangan diantara para peserta lokakarya. Jika suasana panas itu memuncak, Pangeran Wang­sakerta menutuskan untuk mengambil alih masalah dan menentukan pilihan terakhir, karena bukankah dengan pengetahuannya yang luas mengenai se­gala macam kitab itu ia “angasoraken sira kabeh” “mengalahkan mereka semua”?
Pilihan terakhir itu biasanya merupakan lampah tengah! “jalan tengah”, dengan senantiasa mengingatkan para peserta akan tujuan uta­ma pertemuan mereka, yaitu menyusun “buku induk” sejarah. Namun Pa­ngeran Wangsakerta tetap mengakui adanya kemungkinan kesalahan menyu­sun, dan karenanya ia meminta maaf jika sampai terjadi hal semacam itu, “yadyapin mangkana waraksamakena yan hanekang salah atau kaluputan ing panusun iti pustaka”.
Tahap penyusunan akhir menjadi tugas Pangeran Wangsakerta sendiri, dibantu oleh para anggota panitia, terutama Ki Raksanagara dan Ki Anggadiraksa sebagai penulis dan wakil penulis naskah. Nampaknya penyusunan itu memang merupakan tugas yang sangat sukar, antara lain sebagai akibat munculnya berbagai beda pendapat di antara para peser­ta lokakarya yang cenderung menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya paling baik.
Rupanya kegiatan penyaringan itulah yang ber­langsung lama. Akibatnya, penyusunan naskahnya pun menjadi berkepan­jangan juga. Seluruh naskah yang terdiri dari 25 jilid itu baru sele­sai digarap dalam waktu 21 tahun. Dengan catatan bahwa ada masa-teng­gang selama 12 tahun antara penyusunan jilid terakhir parwa keempat (jilid 20) dengan seluruh parwa, kelima (jilid 21-5). Masa tenggang itu dipergunakan oleh Pangeran Wangsakerta untuk menyusun sejumlah naskah lain yang diantaranya bersumber kepada naskah utama itu juga.
KARYA PANGERAN WANGSAKERTA

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara dapat diketahui bahwa Pangeran Wangsakerta sangat rajin me­nulis. Disamping menyusun naskah Pustaka tersebut, ia juga menulis sejumlah naskah yang lain, terutama pada masa tenggang 12 tahun (1680-91). Selama itu ia menulis karya sejarah yang lain, semuanya tidak kurang dari 18 jilid. Disamping itu, ada sebuah naskah lain yang ditulisnya pada waktu yang lebih kemudian, yaitu Pustaka Purwaka Caruban Nagari (1720).
Dengan demikian, seluruh naskah yang ditulisnya selama 50 tahun ialah :
- Pustaka Rajya-rajya i bhumi Nusantara (25 jilid),
- Naga­rakertabhumi (8 jilid),
- Pustaka Pararatwan (Jawamandala, Sundamandala, daerah lain, 10 jilid.),
- dan Purwaka Caruban Nagari (1 jilid).

Dibandingkan dengan kebiasaan menulis “kisah sejarah” yang terdapat pada umumnya orang Indonesia masa itu, gaya Wangsakerta jelas sekali berbeda. Tidak seperti karya “sejarah” yang lain (babad, hi­kayat, sejarah, kisah, tambo, atau carita) banyak sekali mengandung unsur mitos, dongeng, atau legenda yang berada “di luar akal sehat”/tidak masuk akal.
Hal itu menyebabkan tugas ahli sejarah untuk menyaring sumber-sumber tersebut (babad, hi­kayat, sejarah, kisah, tambo, atau carita) cukup berat. Sejarawan dihadapkan kepada suatu suasana yang mencampur-adukan dongeng dan peristiwa sejarah.
Keadaan seperti itu tidak terdapat didalam karya Wangsakerta. Ia me­nyusun karyannya berdasarkan sumber sejarah yang (menurut hematnya) benar-benar dapat dipercaya. Karena itu, hasilnya pun tentu saja sebuah karya yang dapat dipercaya juga. Karya itu, terutama Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, oleh sebagian sarjana Indone­sia dianggap “terlalu sejarah” untuk masyarakat Indonesia 300 tahun yang lalu. Rupanya mereka lupa bahwa sebelum tahun 1000 pun orang In­donesia sudah “terlalu maju teknologi” sehingga menghasilkan Borobudur, Prambanan, Sewu, dan Ratubaka!
MASA HIDUP WANGSAKERTA

Sedemikian jauh belum diperoleh data yang pasti mengenai usia Wangsa­kerta. Ada dua titimasa yang dapat dipergunakan untuk mencoba memperkirakan kapan Wangsakerta hidup.
- Titimasa pertama ialah tahun kematian Panembahan Girilaya, ayahnya,
- sedangkan titimasa kedua ada­lah tahun penyusunan Purwaka Caruban Nagari.

Menurut catatan yang ada, Panembahan Girilaya meninggal tahun 1662, dan ia meninggalkan tiga orang anak lelaki. Wangsakerta sebagai anak ketiga (bungsu), tentunya harus sudah lahir sebelum tahun itu. Jika disesuaikan dengan pernyataannya sendiri bahwa ayahnyalah yang menu­gasinya. Menyusun sejarah, berarti ketika menerima perintah itu ia su­dah cukup dewasa. Karena tugas itu baru dilaksanakan pada masa kekua­saan Sultan Sepuh I, abangnya, itu berarti bahwa kegiatan lokakarya itu seharusnya berkangsung antara tehun 1662 (kematian Girilaya) dan 1669 (selesai penyusunan jilid pertama).
Mengingat bahwa ketika pemerintahan Sultan Sepuh I, Wangsakerta menja­di tangan kanan dan pembantu utama Sultan, seharusnya ketika itu ia sudah cukup matang di sidang pemerintahan dan bacaan. Jika dianggap bahwa usia 25 tahun merupakan kemungkinan paling muda untuk mengukur kedewasaan kejiwaan seseorang, berarti Wangsakerta lahir sekitar tahun 1645, tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Dugaan ini cocok, mengingat bahwa dua orang sultan yang memberinya perintah (Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Sultan Amangkurat II dari Mataram) juga berkuasa sesudah tahun 1650. Artinya, pada masa pemerintahan ke­dua orang sultan itu, Wangsakerta memang sudah menjadi seorang yang dewasa dan matang.
Titimasa penulisan Purwaka Caruban Nagari dapat dipergunakan untuk memperkirakan tahun akhir hayatnya. Mengingat bahwa naskah itu disusun tahun 1720, dapat dipastikan bahwa sampai tahun itu Wangsakerta masih hidup. Itu berarti bahwa Wangsakerta sedikit-dikitnya hidup selama 75 tahun (1645-720), dan 50 tahun terakhir dari usianya itu selalu diper­gunakan untuk mempelajari, menyusun, dan menulis karya sejarah. Sungguh suatu prestasi yang sukar dicari bandingannya, & semua karyanya itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari kacamata modern.

Naskah Wangsakerta


Naskah Wangsakerta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Naskah Wangsakerta adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh "Panitia Wangsakerta". Menurut isi Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa (bagian) V sarga (jilid/naskah) 5 yang berupa daftar pustaka, setidaknya perpustakaan Kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya.
Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di Bandung.[1]

Daftar isi

Panitia Wangsakerta

Dalam pengantar setiap naskah Wangsakerta selalu diinformasikan mengenai proses dibuatnya naskah-naskah tersebut. Panitia--yang dipimpin oleh Pangéran--Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala (simposium/seminar) antara para ahli (sajarah) dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M).

Karya Panitia Wangsakerta

Naskah-naskah yang dihasilkan oleh Panitia Wangsakerta bisa digolongkan menjadi beberapa judul:
  • Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
  • Pustaka Pararatwan
  • Pustaka Carita Parahyangan i Bhumi Jawa Kulwan
  • Pustaka Nagarakretabhumi
  • Pustaka Samastabhuwana
  • Salinan kitab-kitab hukum Majapahit
  • Kumpulan carita, katha, dan itihasa
  • Pustaka mengenai raja desa dan raja kecil
  • Salinan beberapa naskah Jawa Kuna
  • Mahabharata
  • Kumpulan kathosana
  • Salinan prasasti
  • Salinan surat-surat perjanjian persahabatan
  • Naskah mengenai cerita para pedagang
  • Naskah dalam berbagai bahasa daerah lain dan bahasa asing
  • Kumpulan widyapustaka (aneka ilmu)
  • Pustaka keislaman
  • Sarwakrama raja-raja Salakanagara
  • Sarwakrama raja-raja Tarumanagara
  • Sarwakrama raja-raja Galuh dan Pajajaran
  • Sarwakrama raja-raja Galuh
  • Sarwakrama raja-raja Jawa Tengah dan Timur
  • Raja-raja dan pembesar Majapahit
  • Raja-raja dan pembesar Bali
  • Raja-raja dan pembesar Janggala dan Kadiri
  • Raja-raja dan pembesar Sriwijaya
  • Raja-raja daerah Bali, Kadiri, dan Janggala
  • Salinan naskah-naskah karya Prapanca

Kontroversi

Ditemukannya naskah Wangsakerta pada awal tahun 1970-an, selain menimbulkan kegembiraan dan kekaguman akan kelengkapannya, untuk banyak pihak justru menimbulkan keraguan dan kecurigaan, bahkan para sarjana dan ahli sejarah menduga bahwa naskah ini aspal (asli tapi palsu). Di antara alasan-alasan yang meragukan naskah ini, yaitu:
  • terlalu historis, isinya tidak umum sebagaimana naskah-naskah sezaman (babad, kidung, tambo, hikayat);
  • cocoknya isi naskah dengan karya-karya sarjana Barat (J. G. de Casparis, N. J. Krom, Eugene Dubois dsb.), sehingga ada dugaan bahwa naskah ini disusun dengan merujuk pada karya para ahli tersebut (tidak dibuat abad ke-17);
  • keadaan fisik naskah (kertas/daluang, tinta, bangunan aksara) menunjukkan naskah yang dijadikan rujukan merupakan salinan dan tulisannya kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.[2]

Catatan kaki

Rujukan

SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Naskah_Wangsakerta

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907