Mungkinkah melihat Nabi SAW dalam keadaan terjaga (sadar) setelah beliau wafat?
Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam tidur, maka ia akan
melihatku ketika terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.”
Ulama berbeda pendapat mengenai maksud sabda beliau “maka ia akan
melihatku ketika terjaga”. Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah
“ia akan melihatku pada hari kiamat nanti”. Tapi pendapat ini dikritik,
karena kalau demikian maka tidak ada gunanya pengkhususan bagi orang
yang melihatnya di alam tidur, karena seluruh umatnya akan melihatnya
pada hari kiamat kelak, baik yang pernah melihat sebelumnya ataupun yang
tidak.
Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah orang yang beriman
kepadanya dan belum pernah melihatnya karena saat itu ia sedang tidak
hadir bersamanya, maka hadits ini menjadi kabar gembira baginya, yakni
ia akan melihatnya di alam sadar sebelum mati.
Sebagian lagi mengartikannya secara zhohir (letterlek), yakni
barangsiapa melihatnya di alam tidur, maka ia pasti akan melihatnya di
alam sadar dengan kedua mata kepalanya. Ada juga yang menafsirkan dengan
mata hatinya seperti dikatakan Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi.
Sedangkan Abu Bakr bin Abi Jamrah mengatakan dalam catatannya terhadap
hadits-hadits yang ia pilih dari Shahih Bukhari: “Hadits ini menunjukkan
bahwa barangsiapa melihat Nabi SAW dalam mimpi, maka ia akan melihatnya
di alam sadar. Apakah ini dipahami secara umum yaitu sebelum dan
sesudah wafatnya, ataukah secara khusus sebelum wafatnya saja? Apakah
itu juga mencakup semua orang yang melihatnya sacara mutlak ataukah
khusus bagi yang memiliki ahliah (kapabilitas) dan ittiba’ (pelaksanaan)
terhadap sunnah-sunnahnya saja?
Teks hadits itu memberikan pengertian umum, maka barangsiapa mengklaim
kekhususan tanpa adanya indikasi pengkhususan, maka ia telah melanggar.
Sebagian orang ada yang tidak mempercayai keumuman teks hadits itu. Ia
mengatakan - sesuai dengan kadar akalnya, “Bagaimana mungkin orang yang
sudah meninggal dapat dilihat orang yang masih hidup di alam nyata?”
Sebenarnya, ucapan ini mengandung dua konsekuensi berbahaya. Pertama,
tidak percaya terhadap sabda Nabi SAW sedangkan beliau tidak pernah
berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri. Kedua, tidak mengetahui
kemampuan Sang Pencipta dan mukjizat-Nya, seakan-akan ia belum mendengar
ayat dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, “Pukullah ia dengan
sebagiannya. Demikianlah Allah menghidupkan yang sudah mati.” Begitu
juga dengan kisah Ibrahim bersama burung yang terbagi menjadi empat dan
juga kisah Aziz. Allah yang telah menghidupkan semua itu mampu
menjadikan mimpi melihat Nabi SAW sebagai penyebab melihatnya di alam
nyata. Menurut riwayat dari sebagian sahabat -sepertinya Ibnu Abbas,
bahwa ia melihat Nabi SAW dalam mimpi, lalu ia teringat hadits ini dan
selalu memikirkannya lalu ia pergi menemui sebagian istri Nabi SAW
-sepertinya Maimunah, lalu menceritakan mimpinya padanya. Lalu Maimunah
berdiri mengambil cermin Nabi dan memberikannya kepada Ibnu Abbas. Lalu
Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat bayangan Nabi SAW dalam cermin itu,
bukan bayanganku.”
Menurut riwayat dari sebagian salaf dan khalaf juga demikian, mereka
melihat Nabi SAW dalam mimpi seraya membenarkan hadits ini, lalu mereka
pun melihatnya di alam nyata. Mereka menanyakan berbagai persoalan yang
mereka bingung menyikapinya, lalu Nabi pun memberitahu solusinya.
Orang yang mengingkari semua ini ada dua kemungkinan, ia termasuk orang
yang percaya terhadap karomah wali atau termasuk orang yang tidak
percaya terhadapnya. Kalau ia termasuk orang yang tidak percaya terhadap
karomah wali, maka selesai masalah, tidak perlu dibahas, karena ia
mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan bukti-bukti
yang jelas. Jika ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali,
maka ini adalah salah satunya, karena para wali sering ditampakkan
melalui kejadian luar biasa pada dua alam, atas dan bawah. Maka, tidak
selayaknya mengingkari hal semacam ini selama ia percaya terhadap
karomah wali. Demikian perkataan Ibnu Abi Jamrah.
Al-Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi, salah seorang ulama Malikiyah terkemuka,
beliau mengatakan, “Melihat nabi dan malaikat serta mendengar ucapan
mereka adalah mungkin bagi orang beriman sebagai bentuk karomah
(kemuliaan) baginya, adapun bagi orang kafir sebagai hukuman.”
Ibnul Haaj mengatakan dalam Al-Madkhal sebagaimana dinukil oleh Izzuddin
bin Abdissalaam dalam Al-Qawa’id Al-Kubra bahwa melihat Nabi SAW dalam
keadaan sadar (di alam nyata) adalah suatu kejadian langka yang jarang
dialami oleh manusia kecuali bagi orang yang memiliki sifat-sifat yang
langka dimiliki oleh orang-orang di zaman ini, bahkan mungkin telah
musnah kebanyakan, meskipun kami tidak mengingkari orang yang mengalami
hal tersebut dari kalangan para tokoh besar yang dijaga oleh Allah,
lahir dan batin mereka.
Al-Yafi’i mengatakan, “Sesuatu yang mungkin dialami oleh para nabi
sebagai bentuk mukjizat mungkin pula dialami oleh para wali sebagai
bentuk karomah, selama tidak ada unsur menantang.”
Utsman bin Affan ketika rumah beliau di kepung oleh para pemberontak,
beliau menyendiri di dalam kamar lalu melihat Rasulullah SAW di situ
bersabda, “Kalau mau, kamu bisa ditolong atas mereka, atau kalau mau,
kamu bisa juga kamu berbuka bersamaku.” Lalu Utsman memilih berbuka
bersama Rasulullah SAW. Di hari itulah Utsman terbunuh sebagai syahid
sebelum matahari terbenam.
Al-Aluusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani, ketika bercerita tentang turunnya Nabi Isa AS:
“Ada pendapat yang mengatakan bahwa Isa AS mengambil hukum-hukum dari
Nabi SAW secara langsung dari mulut ke mulut setelah ia turun (ke bumi)
sedangkan Nabi SAW berada dalam kuburnya yang mulia. Pendapat ini
dikuatkan oleh hadits Abu Ya’la berbunyi: Demi Dzat yang menggenggam
jiwaku, Isa Putra Maryam akan turun kemudian berdiri pada kuburanku lalu
berkata: Wahai Muhammad, sungguh aku akan menjawabnya.
Boleh jadi hal itu terjadi dengan cara berkumpulnya dua ruh. Tidak ada
bid’ah sama sekali dalam masalah ini. Sungguh melihat Nabi SAW setelah
wafat telah dialami oleh lebih dari satu para makhluk sempurna dari umat
ini, juga mereka mengambil langsung dari Nabi SAW.”
Lalu beliau menyebutkan kisah-kisah nyata para ulama dan wali yang
pernah mengalami kejadian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar.
Imam Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya, At-Tadzkiroh fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhiroh:
“Syaikh kami, Syaikh Ahmad bin Umar telah berkata: Kematian para nabi
itu berarti tertutupnya mereka dari kita sehingga kita tak dapat
mengetahui mereka, meskipun mereka sendiri sebenarnya masih ada dan
hidup. Kondisi itu mirip seperti malaikat, mereka ada dan hidup tapi
tidak satu pun orang seperti kita ini yang melihatnya kecuali bagi orang
tertentu yaitu wali-Nya yang diberi kekhususan oleh Allah berupa
karomah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari:
“Orang yang melihat Nabi SAW setelah beliau wafat dan sebelum
dikebumikan, maka yang paling benar adalah ia tidak termasuk sahabat.
Jika tidak demikian, maka (niscaya akan disebut sahabat) setiap orang
yang melihat jasad beliau yang mulia itu di dalam kuburannya meskipun di
zaman ini, atau para wali yang dibukakan baginya tabir penutup lalu
melihat Nabi SAW sebagai karomah. Hujjah yang dipakai oleh yang
menetapkan status sahabat ketika Nabi SAW belum dikebumikan adalah
karena beliau masih tetap hidup, padahal kehidupan ini bukan kehidupan
duniawi melainkan kehidupan ukhrowi, tidak terkait dengan hukum-hukum
dunia.”
Penegasan Ibnu Hajar di atas sekaligus menjawab pertanyaan, “Apakah
orang yang pernah melihat Nabi SAW setelah beliau wafat disebut
sahabat?”
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ketika ditanya, “Mungkinkah berkumpul dan
bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga?” beliau menjawab: “Ya,
mungkin itu. Sejumlah ulama telah menegaskan bahwa hal itu termasuk
karomah para wali.” (Al-Fatawa Al-Haditsiyah halaman 297)
Imamul Qurro’ wal Muhadditsin Imam Ibnul Jazari mengatakan dalam
mukaddimah kitabnya, Al-Hishnul Hashin, bahwa beliau pernah melihat dan
berdialog dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga.
Sumber:
Forum Diskusi Hadits (facebook)
Referensi:
-
Tanwirul Halak karangan Imam Suyuthi
-
Ru’yatun Nabiyyi Yaqazhah