Peradaban Besar di Nusantara
sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2011/03/25/peradaban-besar-di-nusantara/OPINI | 25 March 2011 | 09:49 127 8 Nihil
Nusantara adalah wilayah yang sekarang bernama Indonesia. Nusantara telah ada sejak ribuan tahun sedangkan nama Indonesia baru muncul pada abad 18. Wilayah Nusantara ternyata jauh lebih luas dari wilayah Indonesia saat ini.
Minat masyarakat tentang sejarah Nusantara mulai meningkat sejak munculnya novel sejarah karya Langit Kresna Haryadi yang berjudul “Gajah Mada”. Novel ini telah mendorong diskusi-diskusi tentang sejarah Majapahit yang merupakan kerajaan besar di masa 700 hingga 500 tahun yang lalu.
Setelah itu mulai diterjemahkan buku-buku karya penulis asing yang menggambarkan peradaban besar yang pernah berkembang di nusantara sejak ribuan tahun lalu.
Sebelum masyarakat heboh dengan buku Santos tentang Atlantis di Indonesia telah diterjemahkan juga sebuah buku karya Robert Dick-Read yang menggambarkan pengaruh peradaban nusantara di Afrika. Sayangnya buku ini tidak booming seperti buku Santos tentang Atlantis di Nusantara, padahal buku karya Dick-Read menggambarkan suku-suku bangsa di Nusantara adalah pelaut-pelaut pertama di dunia yang menjelajahi samudra. Bagi yang lahir di tahun 70an tentu masih sempat mengenal lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” yang menggambarkan betapa gagah beraninya mereka mengarungi samudra.
Pelopor Penjelajah Samudra
Menurut riset Dick-read seperti yang tertulis dalam bukunya “Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008″ , seribu tahun sebelum Chengho maupun Columbus mengarungi samudra, ternyata pelaut-pelaut Nusantara telah mencapai Afrika yaitu pada abad 5 bahkan di duga jauh sebelumnya. Artinya jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika selain gurun Saharanya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi menemukan kota kota-kota eksotis di pantai timur Afrika seperti Kilwa,Lamu dan Zanzibar.
Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput di hijrahkan ke sana, semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian George Murdock, profesor berkebangsaan Amerika pada 1959, tanaman-tanaman itu dibawa orang-orang Indonesia saat melakukan perjalan ke Madagaskar.
Atlantis di Nusantara
Prof. Arysio Santos penulis buku “Atlantis, The lost Continent Finally Found” tidak sempat mengunjungi Indonesia. Ia meninggal setelah menyelesaikan buku ini.
Melalui penelitian panjang dan melelahkan selama lebih dari 30 tahun, Santos menemukan keserupaan dalam cerita mistis tentang asal-usul serta ilmu pengetahuan dan kebudayaan di hampir semua peradaban. Hasil penelitiannya telah mengubah cara pandang kita tentang sejarah manusia, agama , antropologi , dan bidang-bidang yang terkait.
Salah satu yang menarik dari buku Santos tentang Atlantis di Indonesia adalah bahwa banyak cara pandang baru bagaimana metoda untuk memahami dan membuktikan sejarah masa ribuan tahun lalu. Mengembangkan imajinasi untuk memahami masa lalu itu sangat penting.Soal penamaan peradaban besar sebagai Atlantis tidaklah menjadi penting, Yang terpenting bahwa buku Santos “Atlantis, The lost Continent Finally Found” memberi gambaran bagaimana Nusantara (Nama wilayah Indonesia di masa lalu) adalah awal berkembangkan peradaban dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahun 2010 terbit buku terjemahan karya Oppenheimer,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Edisi asli buku ini terbit sejak 1998 dan telah menggoncang kalangan ilmuwan arkeologi dan paleoantropologi pada waktu itu. Buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland adalah Taman Firdaus (Taman Eden), suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, lalu para penghuninya mengungsi ke mana-mana : Eurasia, Madagaskar, dan Oseania dan menurunkan ras-ras yang baru. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi.
Berdasarkan geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan muka laut dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan muka laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi.
Ketiga buku tersebut pada prinsipnya sama-sama membahas berkembangnya peradaban besar nusantara dalam kurun ribuan tahun lalu. Peradaban nusantara ini menjadi sumber dan pemicu majunya peradaban-peradaban besar di seluruh dunia seperti peradaban India, Cina, Mesir, Yunani, Persia dan Maya. Sementara itu di sejarah resmi yang berkembang di Indonesia mengatakan bahwa pada masa-masa itu nusantara masih primitif atau baru mengalami masa megalitikum. Hal ini terjadi karena para arkeolog Indonesia masih mengganggap bahwa suku-suku bangsa di Indonesia berasal dari asia.
Asal Suku-Suku Bangsa di Nusantara
Dalam sejarah resmi disebutkan bahwa suku-suku bangsa di nusantara berasal dari benua asia. Selain buku Santos tentang atlantis dan buku Openheimer tentang surga di timur ternyata riset DNA terbaru justru memutar balikkan sejarah resmi tersebut. Justru riset-riset DNA tersebut membuktikan bangsa Asia berasal dari suku bangsa di kepulauan asia tenggara (nusantara). Ini berarti bangsa-bangsa di Asia akan menyebut suku-suku bangsa di Asia Tenggara sebagai saudara tua bukan sebaliknya.
Berita yang dimuat oleh media online dari Universitas Oxford (ox.ac.uk/media) menyebutkan bahwa studi yang dipimpin oleh Universitas Leeds dan diterbitkan dalam bulan Mei 2008, Molecular Biology and Evolution,menunjukkan bahwa sebagian besar dari garis-garis DNA mitokondria (diwarisi oleh keturunan perempuan) telah berkembang di kawasan pulau Asia Tenggara untuk jangka waktu yang lebih lama, yaitu sejak manusia modern tiba sekitar 50.000 tahun yang lalu. DNA menunjukkan garis keturunan penduduk pada waktu yang sama dengan naiknya permukaan laut dan juga menunjukkan migrasi ketaiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan Asia Tenggara - dalam 10.000 tahun terakhir.
Pada tahun 2009, para ilmuwan Asia yang di pimpin oleh ahli biomolekuler Indonesia , Prof. Sangkot Marzuki juga melakukan riset DNA dan melaporkan hasilnya risetnya seperti yang dimuat di kompas.com, yaitu:
“Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika sekitar 100.000 tahun lalu itu menyusuri sepanjang pesisir selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai kawasan di utaranya di Asia,” kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Dr Sangkot Marzuki kepada pers di Jakarta, Jumat (11/12/2009).
Menurut Sangkot Marzuki, kesimpulan terbaru ini membantah teori sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, serta membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan.
Hal itu terlihat pula dari keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik-etnik di kawasan Asia lebih utara lebih homogen. Demikian dikatakan Sangkot yang merupakan salah satu pemrakarsa riset tersebut.
Riset ini dilakukan oleh lebih dari 90 ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (Single-Nucleotide Polymorphisms) dinaungi Human Genome Organization (Hugo) yang meneliti 73 populasi etnik Asia di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang, dan Taiwan) dengan total sekitar 2.000 sampel.
Menurut Sangkot, kesimpulan dari riset yang memakan waktu tiga tahun dan telah dirilis di jurnal Science pada 10 Desember 2009 berjudul “Mapping Human Genetic Diversity in Asia” itu jauh lebih akurat dibanding riset-riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA mitokondria atau kromosom Y karena menganalisis seluruh kromosom.”
Jika riset-riset DNA telah membuktikannya, bagaimana dengan respon para arkeolog Indonesia menanggapi 2(dua) riset DNA di atas yang membuktikan bahwa bangsa-bangsa di Asia justru berasal dari kepulauan di Asia Tenggara (Nusantara)
Ekspansi hingga Benua Amerika
Pada Januari 2011 lalu, Yayasan Turangga Seta mempresentasikan penemuannya kepada Pemda Kabupaten Blitar tentang pembacaan relief di Candi Panataran.
Dalam pahatan relief terkuak sejarah jika nenek moyang kita pernah melakukan ekspansi hingga Benua Amerika dengan mengalahkan bangsa Indian dan sempat berperang dengan prajurit Bangsa Maya. Mereka kemudian menguasai wilayah tersebut hingga diangkat sebagai penguasa.
Seperti termuat dalam buku “The Emergence Of Man“, Jose Imbelloni dari Argentina mengatakan bahwa siapapun tidak dapat memahami benar, sejarah suku bangsa dan kebudayaan Benua Amerika yang dulu, tanpa memperhatikan bantuan bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Sementara relief yang lain digambarkan beberapa bangsa lain seperti Bangsa Han (China), Bangsa Campa, Bangsa Maya, Bangsa Yahudi dan Bangsa Mesir tunduk pada leluhur kita. Demikian seperti diungkapkan Ketua Yayasan Turangga Seta, Agung Bimo Sutejo.
Ras Manusia Kera, Ras Raksasa dan Manusia Biasa.
Dalam presentasinya di hadapan pemda Kabupaten Blitar Agung Bimo Sutejo juga mengatakan bahwa dalam pahatan lain terungkap jika pada waktu itu terdapat 3 species yang sudah mempunyai peradaban yakni ras manusia kera, ras raksasa dan manusia biasa. Mereka pun hidup saling berdampingan.
Gambaran pada relief ini sekaligus membantah teori Darwin yang menyatakan manusia berasal dari evolusi kera. Dalam tata cara kematian manusia jaman dulu mereka yang meninggal jasadnya akan diperabukan sehingga fosilnya tidak akan ditemukan. Sedangkan ras manusia kera dan raksasa dengan cara dikubur sehingga fosil yang banyak ditemukan arkreolog tersebut adalah fosil ras manusia kera atau manusia raksasa yang berbeda dengan species kita saat ini. Ras manusia kera dan raksasa dan telah punah walaupun di masa lalu pernah hidup berdampingan dengan ras manusia biasa.
Sumber: lakubecik.org, humas pemda blitar, ox.ac.uk/media dan dari berbagai sumber.