TEMPO Interaktif, Jakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X membenarkan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Selasa (21/12) kemarin difasilitasi oleh Aburizal Bakrie. "Kemarin saya ketemu dijembatani Ical," ujar Sultan Hamengkubuwono X seusai peringatan Hari Ibu di Taman Mini Indonesia Indah, Rabu (22/12).
Menurut dia, hari Sabtu (18/12) Aburizal Bakrie pergi ke Yogyakarta, bertemu Sultan untuk menanyakan aspirasinya. Lantas terjadilah pertemuan anatara Sultan dengan SBY di Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Sultan menuturkan, pertemuan itu terbagi dalam dua segmen. Pertama-tama, Sultan bertemu empat mata dengan Presiden. Lantas Aburizal masuk dan ikut dalam diskusi.
Sayangnya, Sultan enggan mengungkapkan apa yang mereka bicarakan. "Saya tidak mau menyebutkan, jangan sampai mendahului dialog antara pemerintah dengan DPR, saat ini kan sedang reses," ucapnya.
Namun, ia menyiratkan tetap berbeda pendapat dengan pemerintah pusat soal pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sultan bersikukuh pada penetapan, bukan pemilihan. "Kita memang bicara itu, tapi kan proses, yang penting dibuka peluang dialog," katanya.
Jadi apakah penetapan adalah harga mati ? "Masalah itu kan aspirasi masyarakat," ujarnya.
Pram: Persoalan Jogja Harus Dibicarakan Secara Mendalam Senin, 13 Desember 2010 , 16:29:00 WIB
Laporan: Widya Victoria
RMOL. Terkait pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat bergantung dari bagaimana sikap fraksi-fraksi yang ada.
"Yang pasti cara pandang DPR akan sangat berbeda dengan cara pandang pemerintah dalam persoalan ini. Yang seperti itu harusnya dipahami, baik oleh pemerintah maupun para elit politik," ujar Wakil Ketua DPR Pramono Anung di Gedung DPR Senayan, Jakarta Pusat (Senin, 13/12).
Ia mengatakan, apa yang menjadi keresahan dalam masyarakat Jogjakarta bukanlah semata persoalan Sri Sultan Hamengkubuwono X ditetapkan atau tidak, tetapi yang lebih esensial adalah berkaitan dengan sejarah pendirian Republik Indonesia. Menurut Pram, jika dilihat dijalan dan spirit masyarakat Jogjakarta, sebenarnya lebih mengutamakan apa yang telah dilakukan Sultan Hamengkubuwono IX. Bukan yang berkaitan dengan keadaan sekarang, tetapi bagaimana komitmen Sultan HB IX pada bulan September 1945 dengan Bung Karno yang merupakan cikal bakal untuk pendirian Republik ini. Sehingga itu merupakan bagian dari komitmen Sultan HB IX yang saat ini ditagih oleh rakyat Jogja.
Pram menambahkan, hal ini merupakan hal yang harus dibicarakan secara mendalam dan dengan pengertian untuk kelanjutan Republik. Tidak bisa hanya melalui pendekatan pragmatis politik di DPR saja tapi harus dibicarakan lebih dalam.
"Drafnya menjadi heboh karena disosialisasikan di luar. Harusnya kalau mau membahas itu, dibahaslah di lembaga ini (DPR) yang memang mempunyai hak untuk membahas legislasi. Ini kan menjadi heboh, energi menjadi terbuang percuma karena terlalu banyak disosialisasikan di luar, apalagi sekarang ini dikaitkan dengan rencana pemerintah mendorong agar pemilihan Gubernur lewat DPRD tingkat Provinsi. Kalau mau dibahas di DPR, mungkin perbedaan itu bisa dipertemukan dan juga kita akan terbuka dalam pembahasan itu," tegas politisi PDI Perjuangan itu. [wah]
TEMPO Interaktif, Jimbaran - Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan penerapan mata uang tunggal ASEAN mungkin tidak jadi dilakukan. "Itu masih wacana," katanya di sela acara South East Asian Central Banks di Hotel Intercontinental Jimbaran, Bali, Jumat (10/12).
Menurut Muliaman, hingga kini belum ada langkah-langkah yang diambil Bank Indonesia terkait dengan rencana penerapan mata uang tunggal itu. Apa yang terjadi di Yunani, Irlandia, dan Spanyol seiring dengan penerapan mata uang tunggal euro, kata Muliaman, harus menjadi pelajaran bagi ASEAN bila ingin menerapkan kebijakan serupa.
Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara atau ASEAN kembali menyuarakan keinginan memiliki mata uang tunggal seperti halnya Uni Eropa dengan euro. Wacana mata uang tunggal tersebut sempat bergulir dua tahun lalu bersama tiga macan Asia: Cina, Jepang, dan Korea Selatan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alimsyah menambahkan, masalah yang dihadapi ASEAN berbeda dengan 12 negara di Uni Eropa. Penerapan euro dilakukan lewat proses panjang. Pembahasan sudah dilakukan pascakrisis 1930-an. "Munculnya perang di Eropa juga menjadi alasan keinginan membuat mata uang bersama," ujarnya.
Masalah yang dihadapi ASEAN umumnya tekanan, yang justru datang dari luar kawasan. Menurut Halim, penerapan mata uang tunggal ASEAN baru bisa dilakukan jika aktivitas perdagangan meningkat, sehingga mengurangi jurang perbedaan di antara negara ASEAN.
"Jadi, ketika perekonomian sudah sama-sama tinggi, baru konvergensi ekonomi yang lebih tinggi bisa dilakukan," katanya. Bila di suatu kawasan masih terdapat perekonomian suatu negara yang tertinggal, tidak mungkin dipaksakan untuk memakai mata uang bersama. "Kita harus setara dulu."
Editor's Note: The following report is excerpted from Jerome Corsi's Red Alert, the premium online newsletter published by the current No. 1 best-selling author, WND staff writer and senior managing director of the Financial Services Group at Gilford Securities.
The Institute of International Finance, a group that represents 420 of the world's largest banks and finance houses, has issued yet another call for a one-world global currency, Jerome Corsi's Red Alert reports.
"A core group of the world's leading economies need to come together and hammer out an understanding," Charles Dallara, the Institute of International Finance's managing director, told the Financial Times.
An IIF policy letter authored by Dallara and dated Oct. 4 made clear that global currency coordination was needed, in the group's view, to prevent a looming currency war.
(Story continues below)
"The narrowly focused unilateral and bilateral policy actions seen in recent months – including many proposed and actual measures on trade, currency intervention and monetary policy – have contributed to worsening underlying macroeconomic imbalances," Dallara wrote. "They have also led to growing protectionist pressures as countries scramble for export markets as a source of growth."
Dallard encouraged a return to the G-20 commitment to utilize International Monetary Fund special drawing rights to create an international one-world currency alternative to the U.S. dollar as a new standard of foreign-exchange reserves.
Likewise, a July United Nations report called for the replacement of the dollar as the standard for holding foreign-exchange reserves in international trade with a new one-world currency issued by the International Monetary Fund.
The 176-page report, titled "United Nations World Economic and Social Survey 2010," was issued at a high-level meeting of the U.N. Economic and Social Council and published in its entirety on the U.N. website.
For more information on demands for a global currency, read Jerome Corsi's Red Alert, the premium, online intelligence news source by the WND staff writer, columnist and author of the New York Times No. 1 best-seller, "The Obama Nation."
Red Alert's author, who received a doctorate from Harvard in political science in 1972, is the author of the No. 1 New York Times best-sellers "The Obama Nation" and (with co-author John E. O'Neill) "Unfit for Command." He is also the author of several other books, including "America for Sale," "The Late Great U.S.A." and "Why Israel Can't Wait." In addition to serving as a senior staff reporter for WorldNetDaily, Corsi is a senior managing director in the financial-services group at Gilford Securities.
Disclosure: Gilford Securities, founded in 1979, is a full-service boutique investment firm headquartered in New York City providing an array of financial services to institutional and retail clients, from investment banking and equity research to retirement planning and wealth-management services. The views, opinions, positions or strategies expressed by the author are his alone and do not necessarily reflect Gilford Securities Incorporated's views, opinions, positions or strategies. Gilford Securities Incorporated makes no representations as to accuracy, completeness, currentness, suitability or validity of any information expressed herein and will not be liable for any errors, omissions or delays in this information or any losses, injuries or damages arising from its display or use.
[Edisi 416]. Tepat 28 Rajab 1429 H ini, kita telah memperingati 86 tahun momentum yang paling menyakitkan bagi umat Islam di seluruh dunia, yaitu runtuhnya Khilafah. Tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924, Kemal Attaturk (seorang agen Inggris), secara resmi membubarkan Kekhilafahan Turki Utsmani. Malam harinya, tengah malam, Khalifah Islam terakhir, Sultan Abdul Majid, diusir!
Empat bulan kemudian, 24 Juli 1924, Perjanjian Laussane ditandatangani. Di antara isinya, Inggris mengakui kemerdekaan Turki sekaligus menarik pasukannya dari Turki. Merespon sikap Inggris ini, seorang perwira Inggris saat itu memprotes Menteri Luar Negeri Inggris, Curzon. Dengan enteng Curzon menjawab, �Yang penting, Turki telah kita hancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spiritualnya, yaitu Khilafah dan Islam!� (Zallum, 2001: 184).
Curzon benar. Setelah sekitar 84 tahun menjadi republik, menerapkan hukum-hukum Barat sekular, dan membuang hukum-hukum Islam, Turki memang tidak pernah bangkit; kemakmuran tidak pernah terwujud; dan cita-cita untuk menjadi negara modern seperti Eropa tidak pernah terbukti. Turki bahkan nyaris bangkrut. Pada tahun 1994, 1 US$ dihargai 10.000 Turkish Lira (uang Turki). Pada tahun 2004, 1 US$ setara 1.500.000 Turkish Lira. Turki telah lama mengalami mega inflasi (di atas 100% pertahun). Di Turki ongkos naik bis kota pernah mencapai sejuta! (Fahmi Amhar, 2004).
Bandingkan kondisi Turki saat masih dalam wadah Khilafah dan menerapkan syariah. Tentang Kekhilafahan Turki Utsmani, Paul Kennedy, seorang pemikir Barat, menulis, �Imperium Utsmani lebih dari sekadar mesin militer; ia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dibandingkan dengan yang pernah dimiliki oleh Imperium Romawi�� (Paul Kennedy-The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000).
Kehebatan dan keagungan Khilafah Islam bukan hanya pada masa Turki Utsmani, tetapi juga pada masa-masa Kekhilafahan sebelumnya, baik Abbasiyah, Umayah dan tentu saja masa Khulafaur Rasyidin. Tentang ini, Paul Kennedy, kembali menulis, �Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.� (Paul Kennedy-The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000),
Kepastian Kembalinya Khilafah
Meski sedemikian fakta sejarah membuktikan, dan pengakuan pun datang bukan hanya dari pakar Islam, tetapi juga pakar non-Muslim, tetap saja ada pihak yang meragukan kembalinya Khilafah. Bahkan ada yang menganggap kembalinya Khilafah itu mustahil, dan orang yang hendak menegakkannya kembali itu bagaikan tengah berfantasi.
Berkaitan dengan soal di atas, perlu kami tegaskan di sini, bahwa orang yang mengatakan bahwa Khilafah tidak akan bisa tegak itulah yang justru tengah berfantasi. Dengan izin Allah, Khilafah akan tegak kembali. Keyakinan ini ditopang oleh empat perkara:
Pertama, jaminan dari Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana yang pernah diberikan kepada para pendahulu mereka.
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS an-Nur [24]: 55).
Kedua, kabar gembira dari Rasulullah saw. berupa akan kembalinya Khilafah Rasyidah ala Minhaji Nubuwwah (berdasarkan metode kenabian), setelah fase penguasa diktator pada zaman kita ini., Nabi saw. Bersabda, sebagaimana dituturkan Hudzaifah al-Yaman:
�Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase penguasa yang zalim, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Setelah itu, akan datang kembali Khilafah ala Minhajin Nubuwah (berdasarkan metode kenabian).� Kemudian Baginda saw. diam. (HR Ahmad).
Ketiga, umat Islam yang hidup dan dinamis tentu akan menyambut perjuangan bagi tegaknya Khilafah dan siap mendukung perjuangan ini hingga Allah mewujudkan janji-Nya. Setelah itu, mereka akan bahu-membahu merapatkan barisan untuk menjaga Khilafah. Sesungguhnya umat ini diturunkan sebagai umat terbaik (khayra ummah), yang akan selalu bergerak untuk mewudukan predikat itu. Allah SWT berfirman:
Kalian adalah umat terbaik, yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia. Kalian harus menyerukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran serta tetap mengimani Allah. (QS Ali �Imran [3]: 110).
Keempat, adanya partai (hizb) yang ikhlas, yang terus bekerja dengan sungguh-sungguh siang dan malam bagi tegaknya Khilafah semata karena hingga janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah saw. itu benar-benar terwujud. Partai itu, sikapnya lurus, tidak pernah takut terhadap cacian orang yang mencaci, tuntutannya tidak pernah melunak serta tekadnya tidak pernah melemah sampai cita-citanya tercapai. Seolah-olah ini membenarkan sabda Nabi saw., sebagaimana dikeluarkan Muslim dan Tsauban:
Akan selalu ada satu kelompok dari umatku, yang selalu memperjuangkan kebenaran. Mereka tidak akan bisa dinistakan oleh siapa pun yang menistakan mereka, hingga urusan Allah ini menang, dan mereka pun tetap seperti itu.
Sesungguhnya berdasarkan satu faktor di atas saja cukup untuk menyatakan bahwa perjuangan demi tegaknya Khilafah bukanlah fantasi. Lalu bagaimana jika keempat fakta tersebut menyatu?
Tegaknya Khilafah adalah Cita-cita dan Perjuangan Umat Islam
Dalil-dalil yang membuktikan kewajiban untuk menegakkan kembali Khilafah sangat banyak, baik al-Quran, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Itu sudah sering dan berulang kami kemukakan dalam berbagai kesempatan. Karena itu, kami tidak perlu mengemukakannya kembali. Apalagi masalah ini merupakan perkara ma�l�m min ad-d�n bi ad-dhar�rah (urusan agama yang sudah diyakini urgensitasnya).
Karena itulah, lihatlah sejarah dengan jujur, sejak Baginda Rasulullah saw. wafat, umat Islam berturut-turut mengangkat para khalifah; mulai dari Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib); Khilafah Umayah, Khilafah Abbasiyah hingga Khilafah Utsmaniyah. Selama berabad-abad umat Islam tidak pernah putus di tengah jalan untuk terus mempertahankan Khilafah. Mereka tidak pernah menunda pengangkatan khalifah baru jika khalifah sebelumnya wafat. Konsistensi sikap umat Islam ini tidak lepas dari kesadaran mereka akan wajib dan urgennya Khilafah bagi umat Islam. Ini sekaligus membuktikan kebenaran sabda Rasulullah saw.:
Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku; yang akan ada adalah para khalifah dan mereka berjumlah banyak. (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Alhamdulillah, kini umat Islam pun paham, bahwa Khilafah telah menjadi satu-satunya tuntutan mereka. Umat pun telah merindukannya. Ditambah lagi dengan fakta dan peristiwa yang terjadi akibat ulah negara-negara kafir penjajah�baik di Irak, Afganistan maupun Palestina�seperti kezaliman, pembunuhan, perampokan kekayaan alam dan upaya memperbudak rakyatnya untuk memuaskan nafsu penjajahan mereka. Semuanya itu terekam dengan baik dalam benak umat, dan mereka sadar, bahwa umat ini membutuhkan kekuatan. Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan Khilafah. Dengannya umat Islam di seluruh dunia ini akan bersatu padu sebagai satu umat.
Mereka juga sadar, bahwa umat Islam ini adalah satu; akidah mereka satu; agama mereka satu; al-Quran mereka satu; kiblat mereka satu; syariah mereka satu; dan kepemimpinan mereka pun�sebagaimana yang dituntut Allah dan Rasul-Nya�harusnya satu. Itulah Khilafah Islam. Kesadaran itu kini bagaikan bola salju yang terus menggelinding. Karena itu, kembalinya Khilafah tinggal soal waktu. Semuanya ada di tangan Allah. Karena itu, hanya dengan izin dan pertolongan Allah, Khilafah pasti akan tegak kembali! Wallahu a�lam
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Abdi dalem Darno Pawoko berjaga di seberang Bangsal Kencono di kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Kamis (18/11/2010), yang sepi pengunjung. Pascaerupsi Gunung Merapi, jumlah rata-rata wisatawan domestik yang berkunjung ke keraton tersebut turun dari 1.500 menjadi sekitar 150 orang per hari. Jumlah wisman yang berkunjung juga turun dari rata-rata 300 menjadi 70 wisatawan per hari.
CIREBON, KOMPAS.com - Para sultan atau raja di Nusantara yang tergabung dalam Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara mendukung keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu dibahas oleh para sultan yang tergabung dalam forum itu pada saat Festival Keraton Nusantara di Palembang berlangsung.
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat, Minggu (5/12/2010) di Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Jawa Barat mengatakan, di dalam pertemuan di sela-sela perayaan FKN itu, keistimewaan Yogyakarta menjadi salah satu tema diskusi. Hasilnya, Yogyakarta mendapatkan dukungan dari anggota Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIK) yang berjumlah 40 keraton se-nusantara.
"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini," kata Arief.
Keunikan Yogyakarta, tambah Arief juga merupakan kekayaan Nusantara. Seharusnya keunikan itu tidak diseragamkan.
TEMPO Interaktif, Tokyo-- Dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi terhadap mata uang rival utamanya di pasar Asia Selasa (7/12) karena ketidakpastian kebijakan moneter The Fed.
Indeks dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia turun 0,034 (0,04 persen) menjadi 79,537. Dolar AS
Dolar AS sore ini melemah ke level yen 82,43 dibanding posisi kemarin di yen 82,64. Euro juga menguat 0,0039 (0,29 persen) menjadi US$ 1,3346, dan poundsterling Inggris juga naik 0,0061 poin (0,38 persen) menjajadi US$ 1,5776.
“Pada saat yang sama mata uang euro sedang terjebak dalam faktor positif dan negatif," menurut David Forrester,analis pasar uang dari Barclays Capital.
Gubernur bank sentral AS, Ben Bernanke dalam komentarnya mengatakan bahwa The Fed bisa memperpanjang program pembelian obligasi senilai US$ 600 miliar menjadi sentimen negatif bagi greenback (sebutan dolar AS).
Laporan di media bahwa telah tercapai kesepakatan antara Konggres dan pemerintahan Presiden Barack Obama untuk memperpanjang berlakunya pemotongan pajak di era presiden Bush dan pajak gaji liburan selama dua tahun memberi sentimen positif.
“Sedangkan ketidaksepakatan publik terhadap langkah otoritas Uni Eropa untuk menerbitkan obligasi untuk mencegah meluasnya krisis utang memberikan sentimen negatif bagi mata uang euro,” papar Forrester.
“Euro sedikit terapresiasi setelah media lokal menyatakan anggaran Irlandia akan lolos di konggres setelah dua anggota konggres independen menyatakan untuk berfikir terlebih dahulu,” kata Sue Trinh, analis mata uang dari Royal Bank of Canada.
Lolosnya pembahasan anggaran ini untuk mengamankan paket bantuan Irlandia senilai euro 85 miliar (US$ 113 miliar) dari Uni Eropa dan IMF (lembaga moneter internasional).
Berita mengejutkan yang dilansir oleh surat kabar harian The Age terbitan Australia sungguh bagai sebuah coreng di muka bangsa Indonesia.
Dalam artikel yang berjudul “Playing the game”, The Age secara terbuka mengungkapkan terjadinya kasus penyuapan terhadap pejabat BI (Bank Indonesia) yang dilakukan oleh RBA (Reserve Bank of Australia) terkait dengan pemenangan tender proyek pencetakan uang pecahan Rp100 ribu senilai 500 juta pada tahun 1999 semasa Syahril Sabirin menjadi Gubernur BI.
RBA yang merupakan bank sentral Australia sekaligus otoritas pencetakan uang di negara Kanguru memiliki unit usaha pencetakan uang yaitu Securency International and Note Printing Australia seperti halnya Peruri di Indonesia.
Lebih lanjut, pengungkapan yang dilakukan The Age didasarkan pada bocoran faksimili dan email yang bersifat rahasia antara Radius Christanto dengan pihak RBA dan Securency/NPA. Seperti yang tertulis dalam arikel lain yang berjudul “RBA Firms Agreed to Pay Bribes of $US 1,3 juta”, The Age juga mengungkapkan bahwa RBA melalui mediatornya di Indonesia, Radius Christanto, telah melakukan penyuapan sebesar $US 1,3 juta kepada dua pejabat BI.
Pengungkapan kasus ini terjadi setelah Age/ABC Four Corners dalam investigasinya mempeoleh keterangan dari seorang mantan pegawai Securency/NPA yang menyatakan bahwa dia diminta untuk membayar suap dan menyediakan wanita penghibur bagi beberapa pejabat Bank Sentral dari negara lain.
Dari bocoran korespondensi yang dilakukan Radius Christanto, terungkap pula bahwa dia menerima komisi sebesar $US 3.65 juta dari Securency/NPA melalui rekening banknya yang berada di Singapura atas keberhasilannya dalam memenangkan kontrak pencetakan uang pecahan Rp100 ribu pada tahun 1999, Bank Indonesia.
Selain itu, dalam faksimilinya juga terindikasi adanya pejabat BI yang berinisial “S” dan “M” yang menerima $US 1,3 juta dari RBA. The Age meyakini bahwa “S” dan “M” adalah pejabat senior Bank Indonesia yang memainkan peran kunci bagi keberhasilan RBA memenangkan kontrak pencetakan tersebut.
Dari apa yang diungkap oleh The Age, terbukti bahwa ketidakberesan yang terjadi terkait dengan praktek korupsi yang dilakukan oleh BI sesungguhnya sudah berlangsung lama sejak dulu.
Menjadi wajar jika dalam kasus penggelontoran dana bail-out Bank Century, Ketua KKSK sekaligus mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan tegas menyatakan hanya bertanggung jawab atas dana sebesar RP632 milyar yang telah disetujui, dan bukan pada Rp6,7 triliun yang akhirnya digelontorkan.
Nampaknya menjadi makin jelas kemana larinya dana Rp6,1 triliun sisanya…
THE golf course was where Radius Christanto did his finest work. Hired by the Reserve Bank of Australia's banknote printing companies Securency and Note Printing Australia, the Jakarta middleman's passion for golf was such that the companies' senior executives would answer his phone calls by asking, ''What course are you on now?''
According to a former Securency employee, among Christanto's regular companions at the tee were top officials from the Indonesian central bank, Bank Indonesia, and state-owned currency printer Perum Peruri.
They were useful partners for a businessman who offered himself to the biggest players in the global banknote industry as the ''go to guy'' when it came to winning money-printing contracts in Indonesia.
Advertisement: Story continues below
Whenever executives from the RBA companies prepared to travel to Jakarta throughout 1999 to discuss a contract to print 500 million Indonesian banknotes, Christanto would often email or fax them with the reminder ''don't forget your golf shoes''.
The year 1999 turned out to be a good one for Christanto and his golfing friends. Securency and NPA landed their first Bank Indonesia contract to print half-a-billion 100,000 rupiah banknotes. The RBA companies promised the golf-playing Bank Indonesia officials more than $US1.5 million in payments, and Christanto was to be rewarded with a $US3.65 million commission for his trouble.
References to the rounds of golf and the huge commission payments are included in dozens of documents obtained by The Age that detail Christanto's confidential faxes and emails to the RBA companies during 1999.
The correspondence, which does not include replies from Securency or NPA, makes it clear that senior management at the RBA companies were well aware of the demand for bribes from Bank Indonesia officials and were, it seems, prepared to pay them.
''As Securency and NPA have signed the contract, all the total dollar figure is very clear. Please kindly issue the total COMM [commission] level in exact amount … please kindly understand my difficult position because it involves a very huge amount of money which have [sic] been committed to our friends,'' Christanto advised a top Securency executive in mid-1999.
This should have raised alarm bells at Securency and NPA about the type of business practices their Jakarta agent might be exposing them to, not to mention the institution that owned them, the well-regarded RBA.
But it did not and Christanto remained in active communication with the RBA companies until at least 2006, according to emails obtained by The Age.
Christanto, the RBA companies and Bank Indonesia were brought together because of the fear that the much-hyped ''millennium bug'' or Y2K phenomenon would lead to the collapse of computer systems around the world with the advent of the year 2000.
As 1999 progressed, governments and corporations worldwide took precautions to deal with possible problems arising from Y2K. Central banks were no different, and during 1999 they increased their banknote orders so that they would have plenty of cash at hand in the event computers crashed.
Bank Indonesia wanted to stockpile 100,000, 50,000 and 20,000 rupiah banknotes. For the 100,000 rupiah note, the central bank decided to try Securency's polymer formula for the first time - a decision largely resulting from the backroom dealings of Christanto and his Bank Indonesia golfing partners.
According to his correspondence with the RBA companies, Christanto made sure the executives in Melbourne knew early on in 1999 that Bank Indonesia officials were taking a strong interest in the rates of commission for the 100,000 rupiah contract.
In May 1999, just weeks before Bank Indonesia was due to announce who would print the 100,000 rupiah note, Christanto advised Securency executives of a strategy he had worked out with his ''friend'' at Bank Indonesia.
''Because of this moment everything is still strictly confidential, the Bank request not to fax the quotation but send them with the courier. I have discussed a lot and agreed with the following strategy:
''1. You mark up the price 20 per cent in your first quotation.
''2. Our friend will reply to you, the price is too high and please kindly reduce your price.
''3. Your second letter agrees to lower 15 per cent.
''4. Our friend will issue their final offer which reduce the additional 5 per cent.''
The upshot of this strategy was that if it was followed according to Christanto's instructions, Securency/NPA would have achieved a 10 per cent ''mark up'' on the actual cost of supplying Bank Indonesia with the banknotes. Securency told Bank Indonesia it would cost $US55.5 million to supply the banknotes, according to Christanto's correspondence.
On May 18, Bank Indonesia formally announced that the 100,000 rupiah note would be printed on the special plastic that was exclusively manufactured and promoted by the RBA companies. This was a coup, considering Indonesia had traditionally printed its money on paper.
Three days later, Christanto faxed a top Securency executive to nail down his commission, which he stated had previously been agreed as $US3.65 million. He referred to a May 19 fax from Securency to support his contention.
But Christanto was not finished. His fax outlined that Securency, as previously agreed, would also have to pay a man regularly referred to in the 1999 correspondence as ''Mr S'' the figure of $US1 million. In addition, Christanto advised that at least $US250,000 was owing to another man known as ''Mr M''.
The Age understands these two men occupied senior roles within Bank Indonesia's currency department during 1999. Christanto advised Securency that Mr M was important because he had written the ''owner's estimate'' - a Bank Indonesia document outlining the bank's expectation on what it would cost Securency/NPA to deliver the banknotes.
By late July, Bank Indonesia had paid the RBA companies the first instalment for the 100,000 rupiah banknote. Christanto again faxed a top Securency executive to advise him of the down payment and asked for his commission to be paid to a Bank of New York account in Singapore that in turn was held by a Swiss bank. He reminded the Securency executive that ''our friends'' at Bank Indonesia ''keep on asking me'' about when the commission will be paid.
It is not known whether Securency complied with Christanto's request, but his correspondence indicates the money was paid as he made no complaint about not receiving his fee.
And later in 1999, he referred to an inquiry from Bank Indonesia officials about whether commission rates for future contracts would be the same as the 100,000 rupiah-note commission fee.
While Christanto made no complaints about his financial circumstances, the same cannot be said for the mysterious Mr M. Numerous faxes and emails from Christanto to Securency executives outline Mr M's concern about a delay in his payment, as well as the amount he said he was owed.
Christanto repeatedly contacted a senior Securency figure in mid-1999 to request that one of the company's top sales executives visit Jakarta to sort out the ''pending issue'' with Mr M, who ''calls me every day asking for the $US300,000''.
The correspondence shows Christanto documenting the visit of a senior Securency executive in August and an agreement to increase Mr M's payment to $US300,000. Christanto thanked top Securency figures in Melbourne for solving the problem, adding that it would help him and his Bank Indonesia friends prevent rival banknote manufacturers winning upcoming contracts.
On November 11, Christanto advised Securency that since it had agreed to match the commission rate it paid for the 100,000 rupiah contract for future tenders, Bank Indonesia officials had ''committed to help me and stop the paper [rival product] tender for the 20,000 and 50,000''. But Christanto was to prove unsuccessful and the contracts were not awarded to Securency.
Christanto outlined one further transaction between the RBA companies and Bank Indonesia in 1999. This time the Australian companies needed to pay because they were late in meeting the central bank's deadline to ensure it had enough banknotes stockpiled to deal with any Y2K problems.
According to Christanto's correspondence, both he and the RBA companies knew they could not meet Bank Indonesia's expectations when they signed the contract in May 1999. But it appears neither informed Bank Indonesia, with Christanto telling a Securency executive, ''before you sign the contract I dare not disclose the delivery problem''.
Later in the year, when it became apparent the RBA companies were running behind schedule, Bank Indonesia summoned senior Securency and NPA executives to Jakarta to explain themselves and work on some form of compensation.
In October, Christanto drafted a letter from Securency and NPA to Bank Indonesia in which they acknowledged ''some penalty payment is likely''. Over a game of golf, Christanto negotiated with his Bank Indonesia contacts that Securency would pay $US344,000.
He reported the arrangement back to Securency and NPA executives in Melbourne, telling them the money was likely to be split into ''official'' and ''unofficial'' amounts. It appears the money was paid.
IN ADDITION to his love of golf, Radius Christanto was also fond of using code names to describe himself. According to sources and documents, Christanto was known to RBA banknote executives and Bank Indonesia officials as ''Kaiser''. At Indonesia's state-owned currency printing factory, Perum Peruri, he was known as ''Napoleon'', according to a 2007 report in the leading Indonesian current affairs magazine, Tempo.
An investigation by Tempo nominated Christanto as a man with much influence at the Indonesian currency printing facility. He was, according to the magazine, for many years just about the only person a foreign company could go through to win supply contracts with Bank Indonesia and Perum Peruri.
The name ''Kaiser'' appears in Christanto's 1999 correspondence with Securency and NPA. When Christanto contacted Securency in July that year to request his commission payment be made into the nominated Singapore bank account, he asked for it to be marked to the attention of ''Kaiser''.
Other pieces of correspondence from Christanto to Securency/NPA refer to the mysterious sounding ''Kaiser Project''. What the Kaiser Project was is unclear.
Was it, perhaps, a plan by Christanto and the RBA companies to convince Bank Indonesia to award them more banknote contracts?
Christanto's correspondence does provide one certainty about the Kaiser Project: it was to be discussed over a round of golf with his Bank Indonesia friend, the mysterious ''Mr S''.
Islamedia: Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasi si pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara. Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini. Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.
‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakt-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’. Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara. Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah yang berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat di masa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut. Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat.
Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:
Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid.
Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.
Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.
Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundanyang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran suf, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu. Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo. Disamping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisan Gajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’. Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.
Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu. Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari Timur Tengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan ‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranakpinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaan Nusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.
Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarah itu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan. Wallahu A’lam Bishshawab. [sejarah-kompasiana]
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :
"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"
THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat