Sebelum muncul teknologi penempaan logam, manusia melakukan transaksi ekonomi melalui benda-benda alami. Barter antarbarang adalah langkah paling awal yang dilakukan manusia untuk memperoleh kebutuhan hidupnya. Di Tana Toraja kini masih terdapat sistem barter saat diadakan upacara kematian.
Begitu kebutuhan hidup makin kompleks dan jumlah manusia makin bertambah, manusia mulai memikirkan cara yang lebih efesien. Penemuan akan logam mulia, emas, mendorong tumbuhnya transaksi yang lebih elegan dan mudah. Nilai barang dipertukarkan dengan nilai emas. Namun, perputaran emas sebagai alat tukar tak serentak terjadi di semua belahan dunia. Di bagian bumi di mana emas jarang ditemukan, otomatis alat tukar pun masih berupa benda alam, seperti kerang kauri; atau benda olahan manusia yang nilainya lebih rendah dari emas, seperti keramik atau perunggu.
Dari semua jenis alat tukar, ada yang menentukan kegunaan mereka sebagai alat pembayaran: mahal. Mahal di sini bisa mengacu pula pada keindahan estetika seperti yang terdapat pada benda perunggu, motif keramik, atau keunikan pada kerang kauri.
Kerang, Perunggu, dan Keramik Cina
Asia Tenggara—yang sejak abad belasan menjadi lintasan kapal-kapal dagang—merupakan jalur persimpangan alat tukar dari berbagai jenis. Lombard mencatat (2008: 158), kerang kauri, yang kebanyakan berasal dari Maladewa dan dari Borneo, terutama diedarkan oleh pelabuhan-pelabuhan Bengali (India) yang meneruskannya ke wilayah Arakan, Pegu, hingga Yunnan, yang diteruskan ke Siam. Marcopolo pada abad ke-13 mencatat adanya kerang sebagai alat pembayaran di Yunnan. Di timur Asia Tenggara, persebaran benda keramik asal Cina telah menggeser pemakaian benda dari perunggu.
Mengenai pemakaian benda perunggu sebagai alat tukar, di Pulau Alor masih terdapat transaksi yang menggunakan genderang perunggu (sejenis moko). Ini mengingatkan kita pada jenis budaya Dongsong, yang merupakan jejaring sosial-budaya yang sangat kuno.
Namun, lambat-laun pemakaian benda perunggu dilibas oleh kehadiran keramik. Keramik tersebut tentu bernilai tinggi, seperti tenpayan, pinggan seladon, dan mangkuk biru putih, baik yang tersebar di Filipina, Kalimantan, Sulawesi, maupun timur Indonesia. Di titik-titik tertentu di Kalimantan, kerimik Cina masih dipergunakan sebagai “mata uang”, sementara di wilayah pantainya, terutama di Kuching dan Pontianak, orang-orangnya masih membuat guci yang lalu dikumpulkan oleh orang Dayak pedalaman. Di “Pulau Dewata” Bali, pada awal abad ke-20 kepeng Cina masih dipakai sebagai mata uang dan selalu ditawarkan kepada para wisatawan untuk ditukarkan dengan uang rupiah.
Hingga kini, para kolektor benda seni, terutama dari Barat dan Jepang, begitu semangat berburu koleksi keramik dengan harga yang begitu tinggi; dan ini membuktikan bahwa nilai keramik tetap tak bergeser meski fungsinya bukan tidak lagi sebagai alat pembayaran nominal.
Kepeng Cina “Caixa” dan “Uang Perak”
Setelah “periode” benda perunggu dan keramik, selanjutnya giliran kepeng Cina mendominasi persebaran alat pembayaran. Kepeng Cina merupakan uang dari tembaga yang ditempa agar diperoleh bentuk khusus dengan lubang kecil di tengah-tengah diameternya. Lubang tersebut berfungsi untuk mengikat rangkaian kepeng. Idiom “setali tiga uang” memperlihatkan pada kita tentang fungsi lubang pada uang itu.
Kepeng logam Cina mulai menyebar ke Asia Tenggara bersamaan dengan majunya perniagaan Dinasti Sung (960-1279). Salah satu tempat yang banyak dibanjiri kepeng jenis ini adalah Jawa, di mana para pedagangnya berperan besar dalam jaringan perniagaan regional. Mata uang Cina ini beredar terutama di pesisir Jawa. Kendati begitu, kehadiran kepeng Cina ini tak serta merta merata dan langsung tersebar. Orang ketika itu melihatnya sebagai suatu cara untuk memperoleh komoditas yang sangat digemari, yakni tembaga (Lombard, 2008: 159).
Persebaran kepeng Cina di Nusantara berlaku terutama di daerah pesisir sebagai gerbang perniagaan. Para penjelajah Eropa dan teks Cina banyak mencatat keberadaan kepeng Cina sebagai alat pembayaran, terutama di Jawa. Kepeng Cina rupanya telah berlaku di Jawa pada abad ke-12 dan ke-13. Dari sinilah kemungkinan besar dibuatnya mata uang pertama hasil “cetakan” orang Jawa, yang mengambil model dari kepeng Cina. Teks-teks dari Cina berulang kali menyebutkan adanya mata uang dari logam campuran yang dibuat di Jawa. Kronik Cina pertama yang menyebutkan hal itu adalah Lingwai Daida pada abad ke-12, dan Zhufan Zhi karya Zhao Rugua berkali-kali mengutip kalimat-kalimant dalam Lingwai Daida. Pada tahun 1349 kronik Cina lain yang berjudul Daoyi Zhileu memberitakan: “Kebiasaan orang negeri itu (Jawa) adalah membuat uang logam dengan campuran perak, timah, timbel, dan tembaga yang dilebur menjadi satu …. Uang itu dinamakan ‘uang perak’.”
Pada abad ke-13, Zhao Rugua dalam karyanya, Zhufan Zhi, memberitakan bahwa para penyelundup mengekspor kepeng dari Cina secara rahasia, karena besarnya permintaan mata uang tersebut di Jawa. Pada 1433, Ma Huan, sekretaris Zheng He, menulis bahwa “mata uang tembaga Cina dengan cap dari pelbagai wangsa lazim dipakai di sana”. Tome Pires pada awal abad ke-16 memberitakan bahwa caixa Cina adalah mata uang yang lazim berlaku baik di Pasundan maupun di Jawa. Penulis Portugis itu menambahkan bahwa “di Jawa tak ada uang emas dan perak”. Antonio Nunez (1544) menulis bahwa di Sunda 120 caixa “sama dengan satu tanga perak; caixa adalah mata uang dari tembaga yang berlobang di tengah-tengah, yang dikatakan sudah bertahun-tahun lamanya diimpor dari Cina: di negeri itu (Sunda) caixa berlimpah-limpah.” Uang kepeng atau “caixa” mungkin dipergunakan sebagai alat pembayaran dalam lalu lintas perniagaan internasional dan perpajakan pada abad ke-14 di sekitar Jawa.
Mata uang kepeng Cina
Mengenai “uang perak” dalam kronik Daoyi Zhileu, Indonesian Heritage menyebutkan bahwa pada masa Majapahit terdapat mata uang yang disebut gobog. Inilah yang oleh Lombard (2008: 160) disebut “mata uang takhayul”. Mata uang ini merupakan tiruan kasar dari kepeng Cina, dibuat dari campuran tembaga dengan lubang persegi di tengah-tengah tetapi dengan garis tengah yang lebih besar (kira-kira 4 cm) dari kepeng Cina. Bentuk lubangnya pun bervariasi: bulat, segi empat, dan segi enam. Pada sisi depan dan belakang, terdapat pelbagai motif—menggantikan aksara Cina—paling sering karakter wayang, dan tak pernah ada cetakan angka nilainya. Tak ada kepastian yang bisa menyatakan di mana uang-uang Jawa itu dicetak. Juga tak ada bukti atas kekuasaan pemerintah siapa dan kapan uang tersebut dibuat. Mata uang ini sudah berhenti dicetak sebelum awal abad ke-16, dan kini digunakan sebagai zimat oleh orang Jawa karena dianggap pembawa rezeki.
Raffles memerikan dalam bukunya yang mahatebal The History of Java sejumlah gambar mata uang yang ditemukan di sekitar candi-candi yang rapuh, terbuat dari kuningan dan tembaga. Raffles menyertakan gambar-gambar mata uang kuno tersebut dari berbagai zaman, yang diduga berasal dari tahun 852 (tertua) hingga tahun 1568 (termuda). Berdasarkan keterangan dari Kiai Adipati Demak, Raffles menyebutkan adanya penanggalan dengan sistem candrasengkala pada sisi uang-uang logam itu, seperti yang berangka candrasengkala 8651. Ada pula yang bertarikh 1489 dengan tulisan aksara Jawa “Pangeran Ratu”, gelar bagi seorang pangeran Bantam (Banten) yang berkuasa saat itu dan dikenal oleh orang-orang Jawa. Namun Raffles meragukan keakuratan penanggalan tersebut. Mata uang ini, begitu pendapat Raffles (2008: 425), kelihatannya merupakan buatan rumah tangga—jadi bukan atas perintah kekuasaan politik tertentu—karena pengerjaannya kasar. Karena itulah Lombard berani menamai “mata uang takhayul”. Meski demikian, figur-figur yang tergambar di dalamnya secara umum terlihat jelas dan dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, ekspresinya pun cukup jelas. Raffles pun melihat sebuah mata uang perak kecil, menggambarkan pagoda Madras, dengan tanda salib kecil, dan karakternya digambarkan kasar dan sulit dipahami.
“Uang perak” abad ke-14 zaman Majapahit,
Yang sebentulnya terbuat dari campuran perak, timah, timbel, dan tembaga
Masa Uang Emas dan Perak
Penempaan logam putih, menurut Lombard, dimulai pertama kali di Bengali pada abad ke13. Pada periode yang kurang lebih sama, di Sumatra Utara dimulai penempaan uang emas—yang bertahan hingga abad ke-18. Ini terlihat dari bukti adanya mata uang mas bermotif Sultan Muhammad Malik al-Zahir dari Samudra Pasai (1297-1326). Mata uang tersebut kecil saja dengan garis tengah 10 mm dan berat 0,58 gram. Di Pasai itu telah ditempa mata uang dari timah, yang kemudian ditiru di Malaka pada pertengahan abad ke-15. Setelah Sultan Mughayat Syah (meninggal pada 1530) memaksa orang menerima dominasi Aceh Darussalam, maka berlangsunglah penempaan emas (bukan lagi timah) di Kota Aceh.
Tak diragukan lagi bahwa Pulau Sumatradisebut dengan nama yang indah dan menggiurkan: Swarnadwipa, “Negeri Emas”. Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, daerah Minangkabau merupakan sumber-sumber emas yang merangsang perekonomian Aceh, namun kemudian habis pada akhir abad ke-17, yang mana membuat Belanda yang sebelumnya menaruh harapan besar, kecewa. Sekarang yang tersisa adalah tambang emas di Simau, dekat Bengkulu). Sementara sumber-sumber emas di Jawa—tempat lahir cincin-cincin emas yang indah pada abad ke-9 dan ke-10 dan tempat asal pertukangan emas masa selanjutnya (Majapahit)— pada abad ke-15 sudah tak ada lagi. Emas tersebut yang berbentuk bubuk atau batangan tak pernah dicetak menjadi uang di Jawa. Di saat makin menjarangnya emas, berkembanglah uang kepeng Cina dalam jumlah besar serta munculnya bengkel penempaan uang di berbagai wilayah Nusantara.
Selain emas, logam lain yang digunakan sebagai bahan mata uang adalah timah. Barang bukti bahwa di Malaka pernah ada penempaan uang timah adalah penemuan uang timah dari masa Sultan Muzaffar Syah (1445-1459). Pada abad ke-15 pula Siam mulai membuat tikal perak berupa bola-bola kecil yang mempunyai berat tetap dan bercap. Pada awal abad ke-16, Tome Pires memberitakan adanya “tikal” di Ayutya dan Pegu. Di Kamboja, Raja Khan (1498-1505) telah memerintahkan penempaan mata uang pertama dari perak. Pada abad selanjutnya, abad ke-16 dan ke-17 di Kamboja ditempat pula mata uang (di Patani dan di Kelantan) dari emas bergambar kijang, mata uang dari timah dan perak (di Kedah dan Perak). Ada pula logam campuran Banten dan emas dari Makassar yang ditempat menjadi mata uang di daratan Kamboja.
Gambar mata uang emas dari Samudra Pasai
Mata uang dirham dari emas yang ditemukan di Samudra Pasai tentu dikeluarkan oleh pemerintahan Sultan Pasai. Ini berhubungan erat dengan perkembangan perniagaan di Sumatra dan kemudian Malaka (Raja Malaka, Parameswara menikah dengan putrid Sultan Pasai, lalu masuk Islam). Uang emas pertama dicetak atas perintah Sultan Muhammad (1297-1326). Berat untuk setiak kepingnya adalah 0.60 gram, mutu 19-20 karat, garus tengah 10 mm. Semua raja Pasai memerlukan untu menuliskan frasa al-sultan al-‘adil pada dirham mereka, yang diambil dari teks Al Quran: Allah menitahkan keadilan, membuat kebajikan, kebebasan seluruh umat manusiaserta keturunannya, serta Allah melarang segala perbuatan memalukan dan ketidakadilan ….”
Ada pun jenis mata uang lain, yaitu mata uang buatan Eropa, kebanyakan dari perak. Terhadap mata uang Eropa ini, begitu Tome Pires bersaksi, penduduk Nusantara begitu menghargainya. Dan begitu melihat mata uang Portugis, orang Jawa berkata bahwa “negeri yang menempa mata uang semacam itu mestinya seperti Jawa.” Satu setengah abad kemudian, pendapat Pires dibenarkan oleh Tavernier: “Ada pun mata uang dari perak … para raja membiarkannya berlaku sebagaimana datangnya dari negeri-negeri asing, dan tidak meleburnya. Di Bantam, di seluruh Jawa, di Batavia, dan di beberapa tempat di Maluku, yang kelihatan hanya real-real Spanyol, riksdalder dari Jerman, dan ecu dari Prancis, sebagian besar setengah-realan, perempat-realan, dan perdelapan-realan” (Lombard, 2008: 162).
Kepustakaan
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian II, Jaringan Asia. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’Extreme-Orient.
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 3, Sejarah Modern Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Terjemahan. Yogyakarta: Narasi.