Kasus Bank Century, sebuah kasus yang entah lah apa namanya, ada yang mengatakan kasus mega korupsi, kasus kesalahan sistem, kasus konspirasi tingkat tinggi, atau mungkin masih ada sebutan lain?… Namun yang jelas, kasus ini begitu menyedot energi bangsa ini ! dari ruang rapat pejabat hingga ke pematang sawah di pelosok kampung sana, tema century selalu “seksi” untuk dibicarakan.
Untuk membongkarnya?
lagi-lagi kita mengandalkan solusi normatif yang sudah terbukti jitu
menurunkan seorang presiden. Solusi normatif tersebut adalah melalui
jalur parlemen, yaitu hak angket yang tentu pertanyaan-pertanyaan dalam
hak angket tersebut didapat dari investigasi dan “perjuangan” melelahkan
dari Panitia Khusus (Pansus) yang menurut bisik-bisik dari media bahwa
dana operasional pansus sudah lebih dari cukup untuk merenovasi 25
gedung ES-DE kita yang pada doyong …
Di minggu pertama
Februari ini, kita menyaksikan fase akhir dari drama perjalanan Pansus
yang sebelumnya telah mempertontonkan kepada kita betapa seriusnya
Bapak-bapak Pansus ini dalam niatnya untuk membongkar kasus Bank
Century. Saking seriusnya, sampai-sampai forum pansus tak ubahnya media
penghakiman bagi para saksi, tak jarang Bapak-bapak anggota legislatif
yang terhormat ini terlibat debat yang tidak substansial antar mereka
sendiri, hmm …
Fase akhir tersebut
berupa kesimpulan (ada sebagian fraksi yang tidak setuju dengan
penggunaan kata “kesimpulan” ini) yang katanya pada Maret nanti akan
dibawa ke sidang paripurna DPR. Itu pun jika usia pansus tidak
diperpanjang, masih menurut bisik-bisik dari media, ada kemungkinan usia
pansus akan diperpanjang mengingat adanya testimoni Bapak Komjen Susno
Djuaji yang memerlukan investigasi lebih rumit karena dalam testimoni
tersebut menyebut-nyebut orang nomor 2 di Republik ini. Jika itu
terjadi, artinya budget pansus akan sama dengan biaya renovasi 50 gedung
ES-DE kita yang pada doyong tersebut, he …
Stop, di tulisan
ini saya tidak sedang membicarakan perjalanan Pansus Century. Tapi saya
mengajak kita semua untuk menganalisa lebih mendalam tentang “Mengapa
terjadi silang pendapat antar pejabat BI sendiri tentang status uang 6,7
T ?, Mengapa ada perubahan tentang besaran kucuran hingga membengkak
menjadi 6,7 T ? Mengapa para pejabat BI terkesan tutup mulut tentang apa
sebetulnya yang terjadi ?, Bagaimana sebetulnya mekanisme kebijakan
yang ada di BI ? Bagaimana pula uang sebesar 6,7 T bisa tidak terlacak
oleh lembaga kredibel seperti PPATK ?…”, serta mengapa, mengapa lainnya
yang jika kita pertanyakan satu persatu akan membuat kita semakin
frustasi.
Ok, kita simpulkan saja pertanyaan di atas dengan satu pertanyaan, “Apa sebetulnya yang terjadi pada Bank Century ? …” Sebelum masuk ke substansi masalah, ada baiknya saya me-review
sedikit tentang perjalanan ekonomi Negeri ini dari era Soekarno,
Soeharto, hingga era reformasi ini. Agar kita bisa menangkap kerangka
yang utuh tentang apa sebetulnya yang terjadi pada kasus Bank Century,
dan selanjutnya kita bisa mengambil kesimpulan arif yang tidak
bertendensi apapun.
Empat Puluh Tujuh tahun
silam, tepatnya pada November 1963, Presiden kita yang pertama Ir.
Soekarno pernah mengadakan sebuah perjanjian dengan Presiden Amerika,
John F. Kennedy yang dikenal dengan The Green Hilton Agreement. Perjanjian yang oleh dunia moneter dipandang sebagai fondasi kolateral ekonomi dunia.
Sudah menjadi rahasia
umum jika Indonesia memiliki asset kekayaan yang melimpah sebagai
peninggalan raja-raja Nusantara. Menurut para tetua di negeri ini dan
menurut literatur sejarah yang saya dapat, dahulu kala para raja dan
kalangan darah biru di Nusantara lebih menyukai menyimpan harta kekayaan
dalam bentuk batangan emas di The Javache Bank, bank
central milik Belanda (kini menjadi BI). Karena nafsu kolonialnya,
Belanda memboyong seluruh harta tersebut ke negerinya. Pada waktu pecah
perang antara Belanda dengan Jerman yang dimenangkan oleh Jerman, Hitler
dengan Nazinya memboyong seluruh harta tersebut ke Jerman. Pada waktu
pecah perang dunia II, Jerman kalah perang oleh Amerika, maka harta
itupun berpindah tangan ke Amerika. Dan dengan modal harta tersebut,
Amerika mendirikan The Federal Reserve Bank (FED), yaitu BI-nya Amerika.
Keberadaan harta dalam
bentuk batangan-batangan emas yang tersebar di Bank-Bank Eropa dan
Amerika, menjadi berita buruk sekaligus berita baik bagi Bung Karno dan
Rakyat Indonesia yang kala itu tengah dilanda krisis moneter yang
mencekik. Peluang untuk kembali mandapatkan hak sebagai pemilik harta
tersebut sangat kecil. Namun, argumentasi Barat yang selalu mengatakan
bahwa perang dunia I dan II adalah force majeur yang
memungkinkan ketiadaan kewajiban pengembalian harta tersebut, ternyata
patah oleh kekuatan diplomasi Bung Karno yang berhasil meyakinkan para
petinggi Eropa dan Amerika bahwa, asset harta kekayaan yang diakuisisi
oleh mereka itu adalah berasal dari Indonesia dan milik Rakyat Indonesia
dengan fakta-fakta yang menunjukan bahwa ternyata ahli waris para
pemilik harta tersebut masih hidup.
Nah, salah satu klausul
dalam perjanjian The Green Hilton Agreement tersebut adalah membagi
50%-50% antara Indonesia dan Amerika dengan “bonus” cuma-cuma berupa
satelit Palapa. Artinya, 50% dijadikan kolateral untuk membangun ekonomi
Amerika serta beberapa Negara Eropa dan 50% lagi dijadikan sebagai
kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan Negara manapun untuk
menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun
dengan biaya sewa pertahun sebesar 2.5% (Bung Karno menerapkan sistem
zakat dalam Islam…) yang dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama
The Heritage Foundation (The HEF) dengan instrumentnya
adalah lembaga-lembaga otoritas keuangan dunia (IMF, World Bank, The
FED). Bisa dibayangkan, selama 41 tahun biaya sewa tersebut yang
dibayarkan oleh Negara-negara peminjam sudah melebihi harta pokok
penjamin (Hampir 99% Negara di dunia ini menggunakan harta kekayaan
Rakyat Indonesia sebagai kolateral). Jika harta pokok yang dijadikan
sebagai kolateral tersebut sejumlah 57.150 Ton emas, dengan asumsi 1
gram emas Rp. 250.000, coba hitung selama 41 tahun berapa biaya sewa
yang musti dikeluarkan oleh 1 negara peminjam, hampir tidak ada
kalkulator yang bisa menghitungnya ..
Mengenai keberadaan
account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia manapun yang
dapat “menyentuh” rekening khusus ini, termasuk pajak. Karena
keberadaannya yang sangat rahasia, maka banyak para taipan kelas dunia
yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini. Tercatat
orang-orang seperti George Soros, Bill Gate, Donald Trump, Raja Yordan,
Putra Mahkota Saudi Arabia adalah termasuk orang-orang yang menitipkan
kekayaannya pada rekening khusus tersebut. Menurut cerita di lingkungan
para tetua, hanya Bung Karno saja yang bisa mencairkan dana tersebut.
Namun, Bung Karno adalah seorang yang futuristik. Tidak mungkin seorang
futuristik sekaliber Bung Karno menggantungkan nasib Rakyat Indonesia
pada perjanjian 41 tahun tersebut. Beliau pasti sudah menyiapkan second strategy
sebagai antisipasi jika strategi A tidak berjalan mulus. Terbukti dalam
perjalanannya, beberapa kali George Soros dengan dibantu ole CIA
berusaha untuk membobol account khusus tersebut. Bahkan, masih menurut
sumber yang bisa dipercaya, pada akhir 2008 lalu, George Soros pernah
mensponsori sepasukan kecil yang terdiri dari CIA dan MOSSAD mengadakan
investigasi rahasia dengan berkeliling di pulau Jawa demi untuk
mendapatkan user account dan PIN The HEF tersebut.
Masih berkaitan dengan
kerahasiaan The HEF, pada dekade 1964-1965 atau pada masa-masa awal
berlakunya The Green Hilton Agreement, organisasi underground yahudi
yang tidak setuju dengan kebijakan John F. Kennedy, berhasil menembak
mati presiden Amerika tersebut. Tragedi masih berlanjut, keculasan
agen-agen yahudi berhasil melobi CIA untuk meng-infiltrasi TNI-AD dan
akhirnya seperti yang kita ketahui bersama, terjadilah peristiwa G-30
S/PKI yang amat menghebohkan itu. Tujuan dari serentetan operasi rahasia
tersebut adalah jelas, menguasai account The HEF dengan cara
“menghilangkan” para peneken The Green Hilton Agreement …
Waktu berjalan, Orde Baru
dengan pilotnya Jend. Soeharto berkuasa. Dengan segala daya upaya,
Soeharto berusaha mencairkan dana ummat manusia se-jagat ini yang
tersimpan di account The FED. Pada tahun 1995, Soeharto atas masukan
dari sebagian para ahli waris yang dititipi dokumen yang berisi daftar
asset raja-raja nusantara, mengajukan proposal ke The Bank International of Sattlement (BIS)
untuk pengambil alihan kepemilikan asset. Otoritas keuangan dunia
tersebut menolak pengajuan Soeharto dalam point pengambil alihan, hanya
disetujui hak cetak uang dengan kolateral 6 dokumen daftar asset dengan
nilai nominal 13.000 Trilyun. Tahun 1996, diadakanlah tender untuk cetak
uang yang diikuti 3 negara, yaitu ; Jerman, Israel dan Australia.
Tender ini dimenangkan oleh Australia. Maka pada tahun 1996, Soeharto
mengintruksikan kepada 49 orang Jenderal yang terdiri dari para Jenderal
bintang 4, 3 dan 2 serta para pejabat teras BIN untuk melakukan kontrol
dan pengawasan yang ketat terhadap proses pencetakan uang yang
dilakukan di dua Negara, Australia dan Thailand. Pada tahun 1997, proses
pencetakan uang polymer pecahan 100 ribu-an bergambar Soekarno senilai
Rp. 13.000 Trilyun selesai dilakukan. Namun, baru hanya 9% dari total
Rp. 13.000 Trilyun yang sudah diregistrasi oleh BI sebagai uang sah yang
dapat digunakan sebagai alat transaksi, George Soros dengan konsorsium
yahudinya membom bardir rupiah dengan melarikan rupiah ke luar negeri.
Maka, terjadilah pembelian besar-besaran rupiah atas dollar sehingga
mengakibatkan krisis ekonomi yang melanda negeri ini yang kita kenal
dengan krisis moneter. Nilai rupiah tidak ada artinya sama sekali
dihadapan dollar US. Untuk membeli sebungkus kopi di warung saja, orang
musti membawa 1 tas dengan setumpuk rupiah, he ..
Inilah awal malapetaka
bangsa ini. Beribu-ribu peti uang yang belum diregistrasi oleh BI
hanyalah lembaran kertas yang secara hukum merupakan uang illegal (uang
tidak sah untuk dijadikan sebagai alat transaksi). Uang illegal yang
kemudian dikenal dengan IDR (Instrument Deposit of Registered) ini
banyak dikuasai oleh para pejabat teras TNI dan BIN serta para pejabat
di lingkaran cendana. Secara kasat mata, tidak ada perbedaan mencolok
antara uang yang sudah diregistrasi dengan uang IDR. Perbedaan yang
paling mendasar hanyalah terletak pada serangkaian nomor seri. Namun,
siapa yang perduli dan rajin mlototin nomor seri ?. yang
masyarakat umum tahu, keduanya sama-sama uang, sama-sama merah,
sama-sama polymer, sama-sama 100.000, sama-sama bergambar Soekarno.
Masalah legal dan illegal itu masalah sistem, bukan masalah fisikly, berbeda dengan upal yang memang sudah bermasalah dari sisi fisik …
Inilah celah yang banyak
dimanfa’atkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebanyak
hampir 12.000 Trilyun uang IDR menjadi ajang bisnis baru bagi
orang-orang yang memiliki link dengan para Jenderal dan
lingkaran cendana. Tidak hanya menggunakan tangan orang lain, tak jarang
sang Jenderal pun turun langsung melakukan bisnis haram ini. Tengok kasus
Brigjen (Purn) Zyaeri, mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu BIN yang terjadi pada pertengahan 2005 lalu.
Sejak kemunculannya pada
tahun 1999 lalu hingga kini, uang IDR selalu menjadi lahan subur untuk
dijadikan ajang bisnis yang menggiurkan. Tak heran, “dana cadangan” ini
selalu muncul di setiap event pesta demokrasi baik pilkada maupun
pemilu, sponsorshipnya? bisa si calon yang kebetulan pensiunan Jenderal
yang mengetahui persis seluk beluk IDR, atau bisa tim pendukungnya yang
memang lingkaran para Jenderal. Pertanyaannya, kok bisa? itukan uang
illegal? hmm… yang mengatakan itu uang illegal kan sistem bung ! he..
Begini, untuk mendapatkan
uang sah, para pelaku melakukan pertukaran 1:2, 1:3, 1:4 atau 1:5,
tergantung kemampuan keuangan si korban. Artinya, 1 lembar uang sah bisa
ditukar dengan 2,3,4 atau 5 lembar uang IDR. Siapa yang tidak tergiur?
secara kasat mata, sama-sama uang, tidak ada yang aneh. Orang awam yang
tidak mengetahui masalah legal dan illegal dalam hukum perbankan, saya
jamin pasti akan setuju. Nah, ini pula yang terjadi pada Bank Century.
Yang membedakan hanya caranya saja, modusnya tetap sama. Jika transaksi
kisaran 100 juta - 1 milyar cukup dilakukan dengan face to face, maka untuk transaksi berskala 1 milyar ke atas, musti dilakukan dengan cara sistematis dengan BI sebagai fasilitatornya. Hmm … canggih bukan ?
Kembali ke fokus kita, kasus Bank Century. Dengan iming-iming 1:2,3,4 atau 5, maka terjadilah deal
antara dewan komisaris Bank Century dengan si Pelobi pemberi
iming-iming (silahkan Anda berinterpretasi sendiri siapa si pemberi
iming-iming tersebut). Celakanya, uang sah yang dijadikan pertukaran
tersebut adalah uang nasabah yang berbentuk deposito, bukan tabungan
biasa. Maka tak heran, 100% uang nasabah yang raib di Bank Century
adalah nasabah yang menitipkan uangnya dalam jumlah besar. Disinyalir,
praktek seperti ini tidak hanya dilakukan pada Bank Century saja, pada
Bank-Bank konvensional lainpun kerap dilakukan. Indikasi ini diperkuat
dengan banyaknya dana “cadangan” yang tersimpan di Yayasan yang
dikomandoi Aulia Pohan. Dimana yayasan tersebut lebih berfungsi sebagai
wadah untuk (ma’af) membuang hajat yang akan digunakan pada
saat-saat terjepit, seperti kasus BLBI yang banyak meminta korban,
diantaranya ; Aulia Pohan sendiri dan Burhanuddin Abdullah. Namun, kali
ini Bank Century ketiban apes. Ini disebabkan adanya keputusan
di tingkat global (baca ; World Bank) yang memutuskan bahwa keberadaan
uang IDR tersebut musti diputihkan. Artinya, IDR yang sebanyak ± 12.000
Trilyun tersebut musti dihanguskan ! dan akan diganti dengan uang sah.
Keputusan di tingkat global ini tidak terlepas dari lobi-lobi para
tetua, pemilik asset amanah yang dengan ikhlas, sabar dan konsisten
memperjuangkan hak-hak Rakyat Indonesia di forum-forum internasional.
Merujuk kepada masa sewa
yang tertuang dalam The Green Hilton Agreement, semestinya masa sewa
tersebut habis pada November 2004. Namun, karena berbagai interest Barat
yang ditopang dengan kekuatan lobi yahudi, maka dengan Berkat Rahmat
Allah YME, perjuangan para tetua dan pengemban asset amanah Rakyat
Indonesia menemui titik terang pada pertengahan 2008 lalu. Efeknya?
krisis ekonomi global terparah melanda dunia. Ini disebabkan harta
kekayaan Rakyat Indonesia yang dijadikan sebagai fondasi kolateral
ekonomi dunia ditarik oleh si yang Mpunya …maka, terjadilah
kekalutan luar biasa di kalangan para banker kelas dunia karena tidak
ada lagi dokumen sebagai penjamin bagi eksistensi Bank-bank mereka.
Tidak heran dalam berbagai kesempatan George Soros mengatakan bahwa,
masa depan dunia perbankan yang hidup dari jamin-menjamin dokumen akan
suram.
Dalam skala lokal,
kekalutan luar biasa pun terjadi. BI sebagai fasilitator terjadinya
pertukaran IDR dengan uang sah bak kambing kebakaran jenggot. Di sisi
lain, dewan komisaris Bank Century yang merasa dibohongi oleh kebijakan
BI-pun tidak ingin kecolongan (Robert Tantular selalu nguntit
kemanapun Pejabat BI pergi, hatta rapat KSSK, Robert dengan setia
menunggu di sekitar gedung BI). Uang IDR yang menumpuk di gudang Bank
Century sebagai hasil pertukaran dengan uang nasabah menjadi sangat
tidak berarti apa-apa, karena statusnya sudah dihanguskan. Padahal,
perubahan kebijakan tersebut bukanlah keinginan BI. Secara internal,
saya hakkul yakin para pejabat BI sangat menginginkan adanya win win solution
yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Namun apa daya, kebijakan BI
secara struktural menginduk kepada World Bank, bukan kepada kebijakan
Presiden, apalagi mengacu kepada Bank-Bank lokal. he ..
Ibarat judul film, posisi
BI sekarang maju kena mundur kena. Untuk menutupi praktek yang tidak
lazim sejak tahun 2000, mau tidak mau BI musti mengganti kerugian Bank
Century senilai 6,7 Trilyun. Makanya dalam berbagai kesempatan, baik
Budiono maupun Sri Mulyani selalu menggunakan argumentasi yang sangat
sulit dicerna oleh orang awam, yaitu ; Bailout dana Bank Century adalah
sebagai antisipasi agar tidak terjadi krisis ekonomi sistemik yang bisa
melanda dunia perbankan di Indonesia. Hmm, tambah Njelimet Pak’e, Buk’e…..
Sampai di sini, saya
harap apa yang saya paparkan bisa menjawab penasaran kita tentang apa
sebetulnya yang terjadi pada Bank Century …
Dari paparan di atas,
maka dapat dimengerti mengapa para pejabat BI terkesan tutup mulut
mengenai apa sebenarnya yang terjadi pada Bank Century. Karena jika
diblow-up, konsekwensi yang akan dihadapi adalah hilangnya kepercayaan
publik terhadap kredibilitas Bank Central kita ini. Bahkan pada titik
ekstrim, bisa terjadi chaos, terjadi parlemen jalanan seperti yang terjadi pada 1998 silam.
Mengenai status uang yang
dikucurkan ke Bank Century, saya 100% yakin bahwa uang itu adalah hasil
transaksi tidak lazim yang dilakukan BI pada Bank-Bank konvensional
lainnya sejak diluncurkannya uang pecahan Rp. 100.000,- pada tahun 1999
silam. Ini diperkuat dengan pernyataan para pejabat BI dan LPS yang
tidak satu koor. Ini menunjukan bahwa dana itu adalah dana
“siluman” yang keberadaannya di luar keuangan Negara. Lalu, kenapa pula
PPATK tidak mampu “menyentuh” transaksi-transaksi tidak lazim tersebut?
jelas bahwa transaksi yang dilakukan serba kes, tidak ada satu pun yang
via rekening, karena memang melakukan transaksi dengan uang IDR tidak
bisa dilakukan secara sistem, yong uangnya juga tidak ter-registrasi di sistem, he…
Yang dilakukan dengan
melalui sistem hanyalah pertukaran berdasarkan perbandingan seperti yang
saya kemukakan di atas. Adapun pengalihan uang semuanya kes, murni via
teller …
Mengenai perubahan
besarnya kucuran dana century, ini mencerminkan betapa kalutnya para
pejabat BI menghadapi perubahan peraturan yang dikeluarkan oleh World
Bank. Seperti biasa, kekalutan biasanya melahirkan kebijakan-kebijakan
yang tidak ter-planning, tidak popular dan tanpa SOP yang jelas.
So, untuk
mencari jalan keluar kasus Bank Century, satu-satunya jalan adalah
menunggu “suntikan” dana pengganti IDR dari World Bank. Setajam apapun
investigasi yang dilakukan oleh pansus, tidak akan berimplikasi apapun
terhadap penggantian uang para nasabah yang sudah raib entah kemana.
Bola api kasus century kini ada di tangan Presiden SBY. Sebagai seorang
kepala Negara, sudah seharusnya beliau mengambil tanggungjawab agar
kasus century ini tidak menjadi polemik berkepanjangan. Seperti komentar
seorang penelepon di acara Bedah Editorial MetroTv dalam tema Negeri
se-olah-olah tadi pagi, Ibu Nani kalo ga salah nama penelpon tersebut berkata ; “Saya sangat menunggu Pak SBY berkata, This is my responsibility“.
Saya pribadi yakin, SBY
beserta lingkarannya mengetahui secara pasti tentang apa yang sebenarnya
terjadi di balik kasus Bank Century. Apalagi beliau adalah seorang
mantan Jenderal dan pernah dekat dengan lingkaran cendana. Namun, apa
yang dilakukan oleh BI dengan praktek-prakteknya yang tidak lazim
merupakan bagian dari kesalahan sistem masa lalu.
Seperti judulnya, artikel
ini mencoba mengajak kita semua untuk melihat dengan gamblang latar
belakang terjadinya kasus Bank Century yang saya rasa, ini tidak mungkin
muncul ke permukaan.
Terakhir, jika IDR ini
adalah pembawa malapetaka, maka tuahnya mungkin bisa sampai tujuh
turunan. Seperti halnya legenda keris pusaka penyebar maut, sebuah
senjata sakti tanpa sarung karya Mpu Gandring yang dibuat atas
permintaan Ken Arok demi untuk mewujudkan nafsu ambisiusnya, yaitu
merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung, menguasai Tumapel dan
menjadi raja Singosari. Namun, belum rampung pembuatannya, Ken Arok
mengambilnya secara paksa dari tangan Mpu Gandring dan membunuh sang
Mpu. Sumpah Mpu Gandring yang menjadi korban pertama dari ambisi Ken
Arok terbukti hingga memakan korban 6 turunan. Sejarah pasti berulang,
Anda boleh berinterpretasi siapa Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Arok,
Anusapati dan Tohjaya masa kini ? Mari kita saksikan drama century
selanjutnya. WallaHu A’lam …sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/02/08/idr-sumber-malapetaka-di-kasus-bank-century/