Dalam sebuah pertemuan di Keraton Kasepuhan, Cirebon, lebih dari 20 Sultan se-Nusantara kembali mengenali Dinar dan Dirham.
Laksamana Slamet Soebiyakto beserta jajarannya dari Majelis Kebangsaan memberikan penjelasan betapa sistem demokrasi telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam persoalan kemanusiaan secara mendasar. Demokrasi yang didasarkan kepada persaingan bebas telah menghilangkan sifat-sifat dasar yang baik pada manusaia, seperti kasih sayang, tolong menolong, serta gotong royong, dan menghilangkan martabat manusia.
'Kita harus kembali kepada musyawarah. Kepemimpinan tidak seharusnya ditetapkan melalui proses pemilihan berdasarkan suara terbanyak,' adalah bagian dari solusi yang diberikan Majelis Kebangsaan.
Dalam salah satu sesi, Pak Zaim Saidi, yang hadir sebagai pengamat atas undangan Sultan Sepuh XIV, menambahkan bahwa ada soal penting lain yang harus dibahas, yaitu soal finansial. Harus dipahami bahwa sumber kekuasaan politik ada pada uang, yang saat ini dimanipulasi dan dikendalikan oelh segelintir orang. Solusi untuk itu, sebagaimana ia sampaikan kepada peserta, 20 di antaranya adalah para Sultan dari berbagai pelosok Nusantara, adalah menyatukan kembali kekuasaan dan sumbernya menuruti hukum Ilahi, Syariat Islam. Dan itu berarti mengembalikan peran dan wewenang para Sultan untuk menerbitkan dan mengedarkan Dinar dan Dirham, dan menarik zakat atasnya, untuk diratakan kepada kaum Dhuafa, beserta Fulus untuk uang recehnya .
Atas uraian yang singkat dari Pak Zaim tersebut, para Sultan menyambut dengan gembira, dan berharap agar mendapat penjelasan yang lebih detil nantinya dalam kesempatan lain. Kepada para Sultan Pak Zaim membagikan sebuah risalah berjudul 'Di Ambang Runtuhnya Demokrasi: Menyongsong Kembalinya Sultaniyya di Nusantara'. Para Sultan, tampak sangat paham bahwa Dinar dan Dirham dan syariat Islam, bukan barang asing, melainkan bagian dari tradisi masa lalu para tetua kita dulu.(001)
sumber : http://wakalanusantara.com/detilurl/Sultan.Nusantara.Cermati..Dinar.Dirham/1066/id