Depok, 07 Maret 2011. Demokrasi Versus Nomokrasi
Zaim Saidi - Di W IN :
Sebuah penjelasan yang jarang diperoleh tentang tata pemerintahan Islam versus humanis-atheis.
Demokrasi :[ Apakah factanya demokrasi di NKRI Cocok dan semanis inikah ?].[ Wiki.Ped].
adalah
suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya
berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau
melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1] Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani δημοκρατία – (
dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[2] yang dibentuk dari kata δῆμος (
dêmos) "rakyat" dan κράτος (
Kratos)
"kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan
abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena,
menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.[3] Istilah demokrasi
diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan
berada di tangan orang banyak (rakyat).[4] Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburgnyamendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat".[5] Hal ini berarti kekuasaan tertinggi
dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak,
kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan
pemerintahan.[6] Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan
suara terbanyak.[7]
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem
pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin
menyuarakan pendapat mereka.[5] Dengan adanya sistem demokrasi,
kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan
pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.[5] Demokrasi memberikan
kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya
belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya
laki-laki saja.[8] Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan
penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk
itu.[9] [8]
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan
pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan
anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.[10] Bagi
Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya
peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian
dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa
yang dia inginkan.[11] Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti
setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya,
tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta
pertolongan untuk mencapai hal tersebut.[11]
Sejarah demokrasi
Sebelum
istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia.[9] Ketika itu,
bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen.[9] Di
setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk
mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan
konsensus atau mufakat.[9]
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di
Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari
demokrasi modern.[9] Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (
poleis)
yang kecil dan independen.[12] [3] Negara kota tersebut memiliki sistem
pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan
juga demokrasi.[3] Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba
sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi
langsung.[13] Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah
Solon, seorang penyair dan negarawan.[3] Paket pembaruan konstitusi yang
ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun
Solon tidak berhasil membuat perubahan.[3] Demokrasi baru dapat tercapai
seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawanAthena.[3]
Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan
sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan
pendapat dan memilih kebijakan.[14] Namun dari sekitar 150,000 penduduk
Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan
pendapat mereka.[8]
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa
Romawi pada 510 SM hingga 27 SM.[9] Sistem demokrasi yang dipakai adalah
demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan
di Senatdan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.[14]
Bentuk-bentuk demokrasi.
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.[5]
Demokrasi langsung.
Demokrasi
langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat
memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan.[5]
Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih
suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap
keadaan politik yang terjadi.[5] Sistem demokrasi langsung digunakan
pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika terdapat
suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul
untuk membahasnya.[5] Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis
karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan
seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit.[5] Selain itu,
sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan
rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua
permasalahan politik negara.[5]
Demokrasi perwakilan.
Dalam
demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui
pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi
mereka.[5]
Prinsip-prinsip demokrasi.
Rakyat dapat secara bebas menyampaikanaspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip
demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah
terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15]
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang
kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi".[16] Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:[16]
- Kedaulatan rakyat;
- Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
- Kekuasaan mayoritas;
- Hak-hak minoritas;
- Jaminan hak asasi manusia;
- Pemilihan yang bebas dan jujur;
- Persamaan di depan hukum;
- Proses hukum yang wajar;
- Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
- Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
- Nilai-nilai
toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
.Asas pokok demokrasi.Gagasan
pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan
hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang
sama dalam hubungan sosial.[17] Berdasarkan gagasan dasar tersebut
terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:[17]
- Pengakuan
partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil
rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan
rahasia serta jujur dan adil; dan
- Pengakuan hakikat dan
martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi
hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik
Dalam
perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan
dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.[4] Ciri-ciri suatu
pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:[4]
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya
pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih)
pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan
rakyat.
- Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Pengorganisasian masyarakat Islam dilaksanakan dalam suatu tatanan masyarakat kesejahteraan yang dijalankan oleh suatu
Daulah, mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam syariah. Menurut Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi (2002) dalam
Sultaniyya kata
Daulah (Arab: Dawla) memiliki akar kata
dal-alif-lam
dan memiliki arti 'merubah setiap saat, mengambil giliran, menggantikan
dan memutar'. Kata ini juga bermakna 'memenangkan dan mengungguli';
juga memiliki arti 'menukar, dan meneruskan'. Dari sini dijelaskan
pengertiannya yang lebih luas bahwa tatanan politik Islam harus
didasarkan kepada pergerakan dan pemerataan kekayaan. Tiga kekuatan yang
melekat di dalamnya yang akan menggerakkan kekayaan ini adalah: pasar
dan perdagangan, zakat, dan sebagai instrumen pemerataan terakhir,
melalui jalan pembagian harta pampasan perang (ghanam).
Nomokrasi :
Tatanan politik Islam in dapat dikenali sebagai Nomokrasi: bermakna 'hukum yang berkuasa' (
rule of law).
Berbeda dari demokrasi yang mengenal tiga pilar sebagaimana disebut di
atas nomokrasi hanya mengenal dua pilar: eksekutif dan yudikatif. Dalam
tata pemerintahan Islam tidak dikenal lembaga legislatif. Dengan kata
lain, berbeda dari negara demokrasi yang mengatur kehidupan berdasarkan
ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh manusia (legislatif), dan karena
itu kekuasaan (
sovereignty) ada di tangan beberapa orang (yang
disebut sebagai Parlemen itu), nomokrasi Islam mengatur kehidupan
berdasarkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariah.
Konsekuensi
pertama dari tata pemerintahan yang berbeda ini adalah ada atau
tidaknya 'kelas politisi'. Dalam demokrasi, dengan sendirinya,
diciptakan kelas politisi, yang mengklaim diri mereka mewakili warga
negara lainnya, tetapi dalam kenyataannya hanya bertindak untuk menjaga
kepentingan tertentu yang diabdinya. Paling jauh mereka mewakili
kepentingan pribadi mereka. Dalam nomokrasi Islam tidak dimungkinkan
terciptanya 'kelas politisi', apalagi 'kelas kapitalis', karena dua
alasan. Pertama, Islam tidak mengenal konsep perwakilan politik
sebagaimana telah disebutkan di atas. Kedua karena riba dilarang dalam
Islam, mekanisme utama terbangunnya kapitalisme tidak dimungkinkan.
Untuk
mempertegasnya, sekali lagi, tata pemerintahan Islam tidak dijalankan
atas dasar kekuasaan pada manusia (konstitusi, Parlemen) melainkan atas
dasar ketentuan hukum (
rule of law, syariah). Hukum buatan
manusia bukanlah hukum yang sebenarnya yang bertujuan menciptakan
keadilan, melainkan cerminan kepentingan-kepentingan mereka yang
menyusunnya. Dalam nomokrasi, kalaupun ada semacam Parlemen maka
perannya bukanlah membuat dan menetapkan undang-undang, tetapi merupakan
lembaga konsultatif, yang dikenal sebagai
shura. Hukum syariah juga bukan 'milik' eksekutif, karena ia bersifat abadi.
Para
fuqaha yang mengendalikan cabang eksekutif semata-mata hanya
menafsirkan syariah berdasarkan ketentuan fikih. Kita akan kembali
membahas soal ini nanti, dan menunjukkan kekeliruan para pembaru Islam,
yang mengajukan suatu konsepsi yang disebut sebagai 'sistem hukum modern
berdasarkan syariah'. Pembentukan otoritas dalam nomokrasi Islam, yang
sekaligus menjadi sumber legitimasinya, tidak dilakukan dengan cara
'pemilihan umum' sebagaimana dalam sistem demokrasi, melainkan melalui
pengakuan langsung atas otoritas sang pemimpin (
baiat).
Penegakkan Amr
Pengakuan dan pembentukan otoritas (
amr), dalam Islam, wajib hukumnya. Al Mawardi dalam bukunya,
Al Ahkam as-Sultaniyyah mengatakan, 'Kepemimpinan ditetapkan untuk melanjutkan kerasulan sebagai cara untuk menjaga
dien dan mengelola urusan dunia'. Ibn Khaldun, dalam bukunya
Muqaddimah,
juga menyatakan hal yang sama. Ia mengatakan, 'otoritas untuk dapat
melakukannya (memenuhi ketetapan syariah dan urusan dunia) dipegang oleh
wakil hukum agama, yakni Rasul; dan kemudian pihak yang meneruskannya,
para khalifah'. Dan otoritas yang terbentuk ini, seperti telah
disinggung di atas, tidak mewakili kehendak kolektif rakyat - yang bisa
benar atau salah - tetapi mewakili kehendak Allah, yang tidak mungkin
salah.
Satu-satunya standar untuk mengevaluasi otoritas bersangkutan adalah apakah ia
accountable
atau tidak terhadap ketetapan syariah. Dengan kata lain, sang pemimpin,
harus tunduk terhadap ketetapan otoritas yang lebih tinggiyang bukan
datang dari manusia lain (yang diklaim sebagai 'rakyat' [Konstitusi]
dalam sistem demokrasi), tetapi dari Allah. Di sini fungsi sebenarnya
para fuqaha adalah sebagai kekuatan pengendali para pemegang otoritas,
bukan seperti yang terjadi di zaman kini ketika para ulam ajustru
mengambilalih kepemimpinan umat. Akibatnya, terbentuklah semacam
'kerahiban' di satu sisi, dan kevakuman kepemimpinan politik umat di
lain sisi.
Dalam buku-buku teks ilmu politik pandangan semacam
ini, tentu saja, tidak pernah dituliskan. Sebab teori politik modern
didasarkan kepada keyakinan bahwa 'Kekuasaan" ada di tangan 'rakyat' dan
di luar itu diberi arti sebagai tirani. Dalam Islam otoritas tertinggi
dan valid tiada lain, tentu saja, adalah yang ada pada Allah sendiri.
Inilah nomokrasi yang, secara pejoratif, acap dilabelisasi sebagai
teo-krasi. Nomokrasi merupakan tatanan masyarakat yang berdasarkan pada
fitrah. Sedangkan demokrasi, atau tepatnya sistem negara struktural,
adalah tatanan masyarakat yang dikendalikan oleh sebuah mesin kekuasaan,
sistem yang dirancang atas dasar rasionalisme. Tujuan negara struktural
adalah untuk mengendalikan dan menindas hak-hak pribadi warga negaranya
sendiri.
Dalam konteks ini dengan mudah dapat ditunjukkan
inkonsistensi 'teori politik Islam' yang mengajarkan tentang 'demokrasi
Islam'. Seorang pemimpin yang menetapkan bahwa 'riba itu haram' berarti
ia bertindak 'mewakili' Allah dengan menjalankan syariah. Ia menjadi
penguasa yang
accountable. Sedang demokrasi adalah keputusan
berdasarkan suara terbanyak. Seandainya mayoritas, kehendak kolektif
publik, mengatakan bahwa 'riba itu halal' dan penguasa mengikutinya dan
memutuskan bahwa 'riba itu halal', ia telah bertindak demokratis. Tapi,
keputusan ini tidak lantas menafikan ketetapan syariah, bahwa 'riba itu
haram'. Hal ini hanya membuktikan bahwa 'perwakilan rakyat', bagaimana
pun, tidak dapat melangkahi otoritas Allah.
Daulah Islam,
berbeda dengan negara fiskal, tidak menarik pajak dari warganya.
Satu-satunya 'pajak' yang ditariknya, secara terbatas kepada orang kaya
saja dan dalam proporsi yang sangat kecil (tergantung komoditas yang
terkena ketentuan), adalah zakat. Zakat, tidak seperti pajak, tidak
sedikitpun yang dibolehkan untuk dipakai membiayai keperluan
pemerintahan, melainkan sepenuhnya harus didistribusikan kepada anggota
masyarakat yang berhak. Pembagian zakat harus dilaksanakan dalam waktu
yang sangat segera dan karenanya tidak dimungkinkan terjadinya
penimbunan(yang dalam konteks sekarang berarti berada dalam sistem
perbankan). Pendapat sejumlah orang yangmengatakan bahwa pajak adalah
'zakat modern' sungguh keblinger. Zakat bukan (sumber) pendapatan
pemerintah, tetapi merupakan bagian dari kewajiban pelayanan pemerintah
kepada masyarakat.
Islam Tak Mengenal Negara
Di
sini sangat penting bagi kita untuk memahami makna istilah 'negara'
secara tepat. Kita harus menemukan padanan yang paling sesuai dengan
hukum Islam untuk suatu pengertian yang mengacu kepada suatu fungsi
otoritas. Istilah yang tepat untuk itu hanyalah 'pemerintahan' (
government) bukan 'negara' (
state) yang secara lebih tepat berarti 'negara fiskal' (
fiscal state) sebagaimana telah diuraikan di atas. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dan akan kita buktikan segera di sini,
negara fiskal adalah konsepsi negara kapitalis yang asing bagi Islam.
Dengan
sangat mudah dapat dibuktikan, di dalam mesin kekuasaan negara fiskal -
negara-negara republik dan demokratis atau monarki parlementer atau
negara sosialis - sebgaian besar pajak yang dikumpulkan negara dari
rakyatnya berasal dari atau kembali kepada (sistem) perbankan. Modus ini
beroperasi sejak awal terbentuknya negara fiskal ini, mengikuti
diakhirinya tata pemerintahan personal di Eropa pada awal abad ke-18 dan
abad ke-19. Perubahan radikal tata pemerintahan ini dimulai oleh
Revolusi Perancis (1789), kemudian Revolusi 1848 (gerakan
republikanisme) yang terjadi di berbagai wilayah Eropa.
�Dalam
kapitalisme lanjut di zaman modern kini negara-bangsa justru kembali
menjadi tidak relevan. Kedaulatan politik pada tingkat pemerintahan
nasional telah hilang karena telah dipisahkan dari motor sumber
kekuasaan itu, yakni uang. Rezim pemerintahan sah yang dibentuk melalui
prosedur demokrasi (Pemilihan Umum) tidak lagi menjadi kewenangan,
karena telah diambilalih oleh 'Kekuatan Uang' internasional. Prosedur
pemilu demokratis itu sendiri telah sepenuhnya menjadi sekadar formula
aritmatik yang berfungsi sebagai mesin politik yang menghasilkan
pemimpin-pemimpin berkualitas buruk yang sebelumnya - melalui mekanisme
partai politik - telah ditapis oleh kekuatan uang. Siapapun yang mampu
mengumpulkan angka (suara) terbanyak;, yang dapat diperoleh dengan
kekuatan uang (tanpa harus berarti membeli suara), dia yang akan
memimpin.
sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=414949425182652