Hari itu saya katakan kepada teman saya. Ternyata negeri kita “negeri orang gila”. Betapa tidak saya sebut gila. Uang rupiah berceceran di luar sistem. Berpeti-peti, berkontiner-kontiner dengan nilai ribuan triliun. Dollar Amerika Serikat (USD) juga bertebaran berpeti-peti. Uang Brazil (UB) juga berton-ton beratnya. Bahkan belakangan, ada sekelompok teman yang sedang menyimpang Dollar Singapura terbaru dan mata uang Cina, Yuan. Sebuah nilai tak terhingga. Mereka tukarkan mata uang itu sedikit demi sedikit melalui money changger. Dan memang asli. Jadi wajar saya sebut “negeri orang gila”.
Ketika ada sekelompok orang yang tidur di atas tumpukan uang, sisi lain sebagian masyarakat kita hidup dalam keprihatinan. Cadangan devisa kita tak sampai USD 70 milyar, padahal angka ekspor kita setahunnya mencapai nilai cadangan itu. Bandingkan dengan Singapura dengan tanah secuil itu, cadangan devisa bisa mencapai USD 170 milyar. Malaysia mencapai lebih dari USD 130 milyar.
Hasil perjalanan saya selama ini, beberapa pebisnis di tanah air mengetahui persis adanya dana-dana tercecer di luar sistem itu. Sebuah perbuatan yang sia-sia, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menjaganya dan memeliharanya bertahun-tahun. Mengapa Bank Indonesia dan Pemerintah tidak membentuk Tim Khusus untuk melakukan pendekatan terhadap pemilik uang tercecer itu. Jika Pemerintah dan BI tidak memiliki kolateral sebagai syarat untuk memasukkan uang itu, barangkali saya bisa menuntun melalui jaringan fund manager di luar negeri yang bisa membantu masalah ini. Karena kolateral yang berasal dari aset bangsa Indonesia di luar negeri juga bervariasi nilainya. Mulai dari USD 100 juta hingga mencapai USD/Euro 100 milyar. Aneh memang, tapi itu nyata. Bundelan dokumen agen-agen keuangan Eropa selalu mempublikasikan kolateral-kolateral tersebut. Bahkan di Indonesia sendiri, menurut saya ada kolateral yang layak dipercaya kebenarannya. Hanya saja perlu penelitian dan penyelelidikan yang mendalam dan profesional.
Persoalan yang terjadi adalah, karena masing-masing pihak ingin memiliki sendiri aset itu sebagai milik dan haknya. Jika ada sedikit saja, keiinginan para pihak untuk mengurangi nafsu “gila” uang itu, maka jalan keluar akan terbuka. Sebab, syarat masuk uang baru ke dalam sistem bank adalah mengharuskan adanya koletaral, sehingga rupiah tidak terganggu. Menurut saya, Pemerintah dan BI harus membentuk Tim Khusus secara terbuka, jangan dilakukan secara diam-diam seperti sekarang ini. Kerja diam-diam ada prasangka buruk bagi kita sebagai rakyat. Soalnya menyangkut uang begitu banyak.
Bagi saya, tercecarnya rupiah, USD, Euro dan mata uang lainnhya di luar sistem di negeri kita, merupakan kegagalan semua pihak. Atau itu sebagai akibat “kegilaan” orang yang punya hak untuk itu. Dan saling mencurigai satu sama lain. Salah seorang pemilik uang berkata: “Saya tidak mau masuk sistem, karena terlalu banyak potongannya.” Benarkah BI memberikan potongan amat mahal jika mereka memasukkan uang? Saya pikir BI harus transparan dan mengumumkannya dengan gerakan semacam “aktualisasi rupiah” sehingga menjadi tambahan cadangan devisa negera kita. Jika itu merupakan uang palsu, saya pikir semua pihak harus memusnahkannya, karena keberadaannya akan mengganggu sistem keuangan kita.
Melalui tulisan ini saya tidak menyinggung soal darimana uang-uang tersebut berasal. Tetapi yang jelas ada sejarahnya. Bahkan konon, ceritanya IDR dicetak pada era Soeharto ketika masih menjadi Presiden. Kala itu George Soros memberikan janji kepada Soeharto agar mencetak rupiah dalam jumlah banyak, sebagai kolateralnya Soros berjanji menyiapkannya. Padahal kolateral yang dimaksudkan Soros itu adalah kolateral yang sudah ia koleksi berpeti-peti dari Indonesia sendiri. Bahkan hampir setengah dari aset Soros habis terpakai untuk membiayai pemburuan aset-aset bangsa Indonesia itu. Tapi sayang, setelah rupiah di cetak di Australia, Soros gagal memenuhi janjinya. Resikonya, nilai rupiah turun tajam sehingga menebus angka 1 USD = Rp 14.000,- dan menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan. Akibatnya, rupiah yang sudah dicetak beratus kontiner itu jadi barang mati. Inilah kemudian yang menjadi masalah. Sementara Pemerintah dan BI seakan tutup mata. Padahal itu order negara dan dibayar dengan uang negara.
Tetapi, apapun soalnya, saya kira ada jalan keluar. Yang penting ada kiinginan bersama bahwa dana-dana tersebut untuk membangun bangsa dan negara yang sudah terpuruk ini. Sebab, rupiah yang tercecer itu saja mencapai ribuan triliun rupiah, atau setara setahun APBN kita. Luar biasa. Kapan sih, kita hidup tanpa “kegilaan dalam bayangan nafsu.” Semoga bulan Ramadhan nanti bisa mengurangi hawa nafsu itu. (*****).
Penulis :
Ia pendiri IFID (International Fund for
Indonesia Development) yang berkantor di Hong Kong. Berprofesi sebagai
jurnalis diawali di Harian Prioritas 1987, setelah dibredel Orde Baru,
ia bergabung dengan Majalah Warta Ekonomi, ANTV, dan terakhir di Lativi
(kini TvOne) 2005. Karir jurnalistik dirintisnya semasa kuliah di UIN
Jakarta dan sempat aktif pada Himpunan Pers Mahasiswa Indonesia, sebelum
melanjutkan studi ke Pascasarjana Fikom Universitas Padjadjaran
Bandung.