(Dr. Yusuf al-Qardhawi)
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki
akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik. (QS. 5. Almaaidah:49)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad saw dengan ajaran Islam yang dibawanya datang untuk memerintah
manusia dengan wahyu yang diturunkan Allah. Seorang Nabi adalah seorang
pemimpin yang mengatur rakyatnya dengan hidayah Allah. Kepemimpinan yang
menunjukkan supremasi Dinullah atas aturan-aturan hidup yang lainnya.
Ini telah dibuktikan dengan kepemimpinan Daulah Islamiyah dimana
Rasulullah saw bertindak sebagai Imam dan sekaligus kepala negara.
Kepemimpinan Rasulullah dilanjutkan…
oleh Sahabat-sahabat beliau. Para sahabat yang secara berturut-turut
menggantikan fungsi Rasulullah sebagai kepala negara mendapat jaminan
boleh diikuti sepak terjangnya dalam sistem pemerintahan Islam. Nabi
bersabda, “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin yang mendapatkan hidayah”.
Para ulama mengatakan bahwa khulafaur
Rasyidun ada empat: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib. Sebagian mereka mengatakan ada lima dengan menambah
Umar bin Abdul Aziz. Rasulullah juga berkata, “Khalifah sesudahku ada tigapuluh, kemudian sesudah itu kepemimpinan yang menggigit” Para ulama berlainan pendapat dengan
makna “tsalasin (tigapuluh)” . Ada yang mengatakan 30 tahun hijriyah ada
yang mengartikan 30 orang Khalifah yang adil sampai hari kiamat. Sistem
pemerintahan Islam dalam bentuk Khilafah telah mandeg sejak Tahun 1928
dengan Khalifah terakhir Sultan Abdul Hamid II dari Turki Othmani. Ini
terjadi disebabkan kelalaian kaum muslimin sendiri.
Setelah berakhirnya masa khulafaur
rasyidin sampai masa runtuhnya Khilafah Utsmaniyah tersebut telah
terbentuk pula kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di seluruh dunia.
Kekhilafahan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain
dmenanungi kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di seluruh dunia.
Dakwah Islam menjadi sebab utama munculnya berbagai kerajaan itu. Di
Indonesia pernah tegak kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Pagaruyung,
Palembang (Sumatera), Demak, Mataram, (Pulau Jawa), Pontianak, Pangkalan
Bun, Banjar, Kutai (Kalimantan), Kesultanan Makassar dan Bone
(Sulawesi), Kesultanan Ternate dan Tidore (Maluku), dan lain-lain. Para
wali yang menyebarkan Islam di berbagai kepulauan Nusantara tidak hanya
mengajarkan akidah, fiqih, dan akhlak tetapi juga membangun masyarkat
dan negara Islam. Mereka disebut Wali jamaknya auliya karena mereka
adalah pemimpin-pemimpin negara yang menyampaikan dakwah Islam ke
seluruh pelosok Nusantara. Gelar mereka pun Sunan yang lebih tinggi
derajatnya dari Sultan. Namun karena bentuknya yang kecil-kecil dan
jauhnya hubungan kerajaan-kerajaan tersebut dengan pusat Khilafah
semakin lama kerajaan-kerajaan itu semakin lemah sehingga satu persatu
dapat ditaklukan oleh Penjajah.
Ketika perang kemerdekaan, kaum muslimin
di Indonesia berdiri di front terdepan untuk membebaskan negerinya dari
penjajah. Namun kondisi ummat Islam di dunia benar-benar berada dalam
keadaan parah. Sementara itu masyarakat yang baru merdeka pada umumnya
terkena euforia nasionalisme Barat. Mereka mengatakan, “Kalau ingin maju
tirulah barat (yang selama ini menjajah kita) dan tinggalkanlah agama”.
Karena itu di dunia Islam sistem pemerintahan yang ada pada umumnya
tidak mengacu pada sistem Islam. Kaum muslimin seolah-olah lebih percaya
kepada selain ajaran Islam dan kaum muslimin untuk mengatur negeri ini.
Setelah runtuhnya Khilafah islamiyah
berbagai upaya menegakkan kembali sistem ini dilakukan oleh para mujahid
dakwah. Salah satu yang mengambil jalan bertahap dan sistemik adalah
Imam Syahid Hasan Albanna dengan gerakan dakwah Al Ikhwanul Muslimun.
Beliau memiliki pandangan yang tajam dan terencana untuk membangun
kembali kejayaan peradaban Islam. Mutiara pemikiran beliau yang
terserak-serak tentang perbaikan pemerintahan akan kita sajikan kembali
di sini dalam bentuk yang telah disesuaikan untuk keadaan sekarang.
Keharusan Ishlahul Hukumah
Ajaran Islam yang hanif ini mengharuskan
pemerintahan yang diakui kaum muslimin tegak di atas kaidah sistem
sosial yang telah digariskan oleh Allah untuk ummat manusia. Ia tidak
menghendaki terjadinya kekacauan dan tidak membiarkan ummat Islam hidup
tanpa pemimpin. Rasulullah saw bersabda kepada sebagian sahabatnya,
“Jika engkau berada di sebuah negeri yang tidak ada kepemimpinan di dalamnya, maka tinggalkanlah negeri itu”.
Pada hadits yang lain beliau juga bersabda kepada para sahabat,
“Dan jika kalian bertiga, maka hendaklah salah seorang (di antara kalian) memimpin”
Barangsiapa beranggapan bahwa agama
–terlebih lagi Islam– tidak mengungkap masalah politik atau bahwa
politik tidak termasuk dalam agenda pembahasannya, maka sungguh ia telah
menganiaya diri dan intelektualitasnya sendiri. Kita tidak mengatakan
bahwa ia telah menganiaya Islam, karena Islam itu syariat Allah yang
sama sekali tidak mengandung kebatilan baik di depan maupun belakangnya.
Sungguh indah kata-kata Imam Al Ghazaly,
“Ketahuilah bahwa syariat itu pondasi, dan raja itu penjaganya. Sesuatu
yang tidak ada pondasinya pasti akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada
penjaganya niscaya akan hilang”.
Daulah Islamiyah tidak akan tegak kecuali
bertumpu di atas pondasi dakwah, sehingga ia menjadi sebuah
pemerintahan yang menghasung sebuah misi, bukan sekedar bagan struktur,
dan bukan pula pemerintahan yang materialistis; yang gersang tanpa ruh
di dalamnya. Demikian juga dakwah tidak akan tegak kecuali jika ada
jaminan perlindungan yang akan menjaga, menyebarkan, dan
mengiokohkannya.
Merupakan kesalahan yang fatal ketika
kita melupakan akar pemikiran ini, sehingga dalam prakteknya kita sering
memisahkan urusan agama dari urusan politik meski secara teoritis
sebagian kita mengingkari pemisahan seperti ini. Para pakar politik
seringkali merusak citra Islam dalam persepsi dan pikiran khalayak,
serta merusak keindahan Islam dalam realitas kehidupan. Hal ini mereka
lakukan dengan keyakinan dan kesadaran penuh untuk menjauhkan
pesan-pesan agama dari kancah politik. Inilah awal dari persangkaan yang
keliru dan ini pulalah pangkal kerusakan.
Tiang-tiang Penyangga Pemerintahan Islam
Pemerintahan dalam Islam tegak di atas
kaidah-kaidah yang sudah populer dan baku. Kaidah-kaidah itu merupakan
kerangka pokok bagi sistem pemerintahan Islam. Ia tegak di atas tiga
pilar: rasa tanggungjawab pemerintah, kesatuan masyarakat, dan sikap
menghargai aspirasi rakyat.
Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah dalam menjalankan tugasnya
bertanggung-jawab kepada Allah dan rakyatnya. Pemerintah adalah pelayan
dan pekerja, sedangkan rakyat adalah tuannya. Rasulullah saw pernah
bersabda,
“Pemimpin suatu bangsa adalah pelayan mereka”
“Setiap kalian adalah penggembala dan setiap kalian bertanggungjawab atas yang digembalakan”
Ketika Abu Bakar ra diangkat menjadi khalifah, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata, “Wahai
sekalian manusia, aku dulu bekerja untuk keluargaku. Akulah yang
menghasilkan makan buat mereka. Namun, kini aku bekerja untuk kalian,
maka bayarlah aku dari baitulmaal kalian”.
Dengan penjelasan ini maka beliau telah
memberikan penafsiran yang paling baik dan adil terhadap teori hubungan
sosial antara pemerintah dengan rakyatnya. Bahkan beliau telah
meletakkan dasar-dasarnya, bahwa masing-masing pihak harus menjaga
hak-hak dan kewajiabnnya serta memelihara kepentingan bersama. Jika dia
baik dalam melakukan tugasnya, maka baginya pahala. Namun jika
sebaliknya, maka baginya telah sudah ditetapkan sanksi hukuman.
Kesatuan Ummat
Ummat Islam adalah ummat yang satu
–karena ukhuwwah yang dengannya Islam telah mempersatukan hati mereka–
adalah salahsatu landasan iman. Tidak ada kesempurnaan iman kecuali
dengan ukhuwah, dan tidak akan terealisir iman kecuali dengan
menegakkannya. Namun hal itu tidak berarti menghalangi kebebasan
menyatakan pendapat dan menyampaikan nasihat dari yang kecil kepada yang
besar, atau dari yang besar kepada yang kecil. Hal inilah yang
merupakan tradisi Islam, yakni memberi nasihat, amar makruf nahi munkar,
Rasulullah Saw bersabda,
“Agama itu nasihat. Mereka berkata,
“Bagi siapa wahai Rasulullah ?? Rasulullah menjawab, “bagi Allah,
Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kalangan ummat
mereka”
Rasulullah Saw bersabda,
“Jika engkau melihat ummatku takut
berkata kepada orang yang berbuat zalim, “Wahai si zhalim, maka ia telah
keluar dari kelompok mereka”
Pada riwayat lain beliau menambahkan, “Dan perut bumi lebih baik bagi mereka daripada permukaannya”.
Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin
Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di hadapan pemimpin durjana
dengan memerintah berbuat makruf dan melarang dari perbuatan munkar,
kemudian ia dibunuh”
Di kalangan ummat Islam tidak terdapat
perbedaan dalam persoalan-persoalan prinsip antara satu dengan yang
lain, karena sistem sosial yang mereka yakini adalah satu, yakni Al
Islam yang telah dikenal luas oleh mereka. Sementara itu, perbedaan
dalam hal furu’ (cabang) tidaklah membahayakan, tidak akan menimbulkan
kebencian, permusuhan, dan fanatisme golongan. Meskipun demikian,
diperlukan adanya penelitian dan kajian, musyawarah dan saling
menasihati,. Apa yang sudah ada nashnya tidak perlu dilakukan ijtihad
terhadapnya. Sedangkan yang tidak ada maka kepala negaralah yang
memutuskan agar ummat tetap bersatu dengannya. Dan tidak ada lagi yang
sesudah itu.
Menghargai Aspirasi Rakyat
Di antara hak ummat Islam adalah
melakukan kontrol terhadap pemerintah dengan secermat-cermatnya dan
menasihatinya jika dirasa hal itu membawa kebaikan. Sedangkan pemerintah
hendaknya bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dengan
mengambil yang baik dari masukan-masukannya. Allah Swt telah memberikan
kepada kepala pemerintahan agar melakukan hal itu,
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran: 159)
Bahkan Allah memuji kebaikan kaum muslimin atas prinsip tersebut,
“Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka”. (Assyura: 3 8)
Masalah ini juga ditegaskan oleh Sunnah Rasulullah Saw dan Khulafa’ur Rasyidin,
“Jika datang kepada mereka suatu
masalah, mereka mengumpulkan para ahli dari kaum muslimin. Kemudian
mereka saling bermusyawarat dan mengambil yang benar dari rangkaian
pendapat mereka. Bahkan para ahli tadi mengajak dan menganjurkan kamu
berpegang kepada pendapat yang benar tadi”
Abu Bakar As Shiddiq berkata,
“Jika kalian melihat aku dalam
kebenaran maka dukunglah (untuk melaksanakannya) dan jika kalian
melihatku dalam kebatilan, maka betulkan dan luruskanlah”
Sistem Islam bukanlah slogan dan julukan
semata, selama kaidah-kaidah pokok di atas tadi bisa diwujudkan (dimana
tidak mungkin suatu hukum akan tegak tanpanya) dan diterapkan secara
tepat sehingga dapat menjaga keseimbangan dalam berbagai situasinya
(yang masing-masing bagian tidak mendominasi bagian lainnya).
Keseimbangan ini tidak mungkin dapat terpelihara tanpa adanya nurani
yang selalu terjaga dan perasaan yang tulus akan kesakralan ajaran ini.
Dengan memelihara dan menjaganya akan tercapailah keberuntungan di dunia
dan keselamatan akhirat.
Itulah yang dalam istilah politik modern
kita dikenal sebagai kesadaran politik, atau kematangan politik, atau
pendidikan politik, atau istilah-istilah sejenis yang semua itu bermuara
pada satu hakikat; keyakinan akan kelayakan sistem dan rasa kepedulian
untuk menjaganya. Teks-teks ajaran saja tidak akan cukup untuk
membangkitkan ummat. Demikian juga, sebuah undang-undang tidak akan
berguna jika tidak ada seorang hakim yang adil dan bersih yang
mempelopori penerapannya.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi oang-orang yang yakin?” (QS. 5. AlMaaidah:50)
Telah dibahas dalam kajian pertama bahwa
sistem pemerintahan Islam tegak di atas tiga pilar: tanggungjawab
pemerintah, kesatuan ummat, dan penghargaan terhadap aspirasi rakyat.
Kesemuanya telah terwujud sempurna pada masa khulafaur rasyidin. Para
Khalifah ini memiliki rasa tanggungjawab yang besar dalam mengemban
amanah yang dipikulkan di atas pundak mereka selaku pemimpin. Hal ini
tercermin baik dalam pidato-pidato mereka maupun perilaku mereka selama
memimpin. Berbagai kebijakan yang telah diambil juga dirasakan
keadilannya oleh seluruh rakyat yang dipimpinnya. Simaklah pidato Umar
bin Khattab ketika baru diangkat sebagai khalifah,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
aku telah diangkat untuk menjadi pemimpin kalian. Kalau bukan
Rasulullah aku diharap untuk menjadi yang terbaik di antara kalian, yang
paling kuat untuk bisa mengurusi kalian, dan paling sensitif untuk bisa
menyelesaikan perkara-perkara penting kalian, tentu aku tidak akan mau
menjadi pemimpin di antara kalian. Cukuplah tugas Umar ini begitu
menyedihkan, sambil menanti detik-detik hari perhitungan. Dia mengambil
dan meletakkan hak-hak kalian sebagaimana yang telah ia lakukan dan ia
hidup bersama kalian sebagaimana ia telah lakukan. Sungguh Tuhankulah
Dzat yang berhak dimintai pertolongan”.
Umar merasa tidak mempunyai kekuatan
kecuali jika ada rahmat, pertolongan, dan dukungan dari Allah. Berkenaan
dengan besarnya rasa tanggungjawab sebagai pemimpin beliau berkata,
“Seandainya ada unta yang hilang di
dekat sungai eufrat, sungguh saya khawatir jangan-jangan keluarga
Khattab yang akan dimintai pertanggungjawaban.”
Sementara itu Umar bin Abdul Aziz dalam sebuah khutbahnya mengatakan,
“Amma ba’du, sesungguhnya tidak ada
seorang Nabi pun setelah Nabi kalian Muhammad Saw. Tidak ada kitab yang
akan diturunkan setelah Kitab yang diturunkan kepada beliau. Ingatlah
bahwa apa yang dihalalkan oleh Allah itu akan tetap halal sampai hari
kiamat dan apa yang diharamkan Allah akan tetap haram sampai hari
kiamat. Aku bukanlah seorang hakim tetapi aku seorang penyeru kepada
keselamatan. Aku bukanlah seorang mubtadi’ (pembuat bid’ah) tapi aku
seorang muttabi’ (yang berittiba kepada Rasulullah). Tidak ada seorang
pun yang boleh ditaati dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya, aku
bukanlah yang terbaik di antara kalian, hanya saja Allah telah
menjadikan aku orang yang paling berat dalam menanggung beban daripada
kalian”.
Tampuk kekuasaan diserahkan kepada Umar
bin Abdul Aziz setelah pemakaman Sulaiman bin Abdul Malik (Khalifah
sebelumnya). Namun beliau meminta untuk ditunda. Beliau kemudian menaiki
kudanya dan kembali ke rumah. Salah seorang pelayannya yang bernama
Muzahim masuk ke rumah seraya berkata, “Wahai amirul mukminin,
kelihatannya ada yang penting?” Beliau menjawab, “Perkara yang menimpaku
saat inilah yang kuanggap sangat penting. Sesungguhnya tidak ada
satupun ummat Muhammad di Barat maupun di Timur kecuali punya hak yang
aku harus menunaikannya, meskipun ia tidak menuliskan atau memintanya
kepadaku untuk melaksanakannya”.
Dulu ummat bersatu kata dengan berpegang
teguh kepada tali-tali agama, yakni akan keutamaan hukum-hukumnya,
memelihara perintah Rasulullah Saw dan peringatan keras beliau untuk
menjaga persatuan. Demikian, pentingnya arti jamaah dan persatuan di
bawah naungannya, sampai-sampai Rasulullah memerintahkan untuk membunuh
siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah dan keluar dari ketaatan.
Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang datang kepada
kalian – sementara kalian sudah bersatu – untuk memecah belah kekuatan
kalian, maka penggallah ia dengan pedang, bagaimana pun keadaannya”.
Sebagaimana beliau juga bersabda,
“Barangsiapa yang keluar dari
ketaatan dan menentang jamaah kemudia ia mati, maka ia mati dalam
keadaan jahiliyyah. Dan barangsiapa yang berperang di bawah bendera
ashobiyah, marah karena ashobiyah, menyeru kepada ashobiyah, atau
menghidupkan ashobiyah, kemudian, ia mati terbunuh maka ia mati dalam
keadaan jahiliyyah. Barangsiapa yang keluar dari ummatku, mencela yang
baik maupun yang buruknya, tidak mau berhati-hati terhadap orang-orang
mukmin dan tidak mau menepati janji, maka dia tidak termasuk golonganku
dan aku bukan bagian daripadanya”.
Demikian, juga aspirasi dan kehendak
rakyat, ia merupakan sesuatu yang sangat dihormati dan dihargai. Abu
Bakar tidak memutuskan suatu keputusan pun bagi rakyatnya, kecuali
setelah bermusyawarah dengan mereka, terutama dalam hal yang tidak ada
nash hukumnya. Demikian, pula Umar bin Khattab. Untuk menduduki posisi
Khilafah sesudahnya, beliau menunjuk enam orang – yang Rasulullah ridha
kepadanya sampai akhir hayatnya – untuk bermusyawarah.
Pada saat ini kaum muslimin di negeri
kita telah mengadopsi sistem demokrasi dan parlemen dari Eropa, dan
menjadikannya sebagai pijakan pemerintahan kita. Maka sejauh manakah
kesesuaiannya terhadap Islam? Manfaat apa yang bisa kita peroleh dari
diterapkannya di negeri kita selama lebih dari setengah abad?
Sikap Islam Terhadap Demokrasi dan Sistem Perwakilan
Sebagaian ummat menganggap demokrasi
sebagai suatu kemungkaran dan kekafiran yang nyata, sementara mereka
belum mengetahui secara persis apa itu hakikat dan esensi demokrasi
tersebut. Mereka hanya mengetahui kulit luarnya saja dan langsung
mengecam kelompok lain yang memanfaatkan sistem demokrasi dalam
memperjuangkan dakwah Islam. Karena itulah Dr. Yusuf Qardhawi di dalam
bukunya “Fiqhud daulah” menjawab dengan tangkas berbagai bentuk keraguan
tentang hubungan Islam dengan demokrasi.
Menurut beliau hakikat demokrasi –
berbeda jauh dengan definisi dan terminologi akademis kebanyakan orang –
adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata
persoalan mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasa yang
tidak mereka sukai atau rezim yang mereka benci. Dalam demokrasi yang
sebenarnya masyarakat diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila dia
keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila dia menyimpang.
Mereka tidak boleh digiring dengan paksa untuk mengikuti berbagai sistem
ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula
mereka sukai. Bila sebagian mereka menolak, maka mereka tidak boleh
disiksa, dianiaya atau dibunuh.
Demokrasi yang sebenarnya memberikan
beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum,
mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan
hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan
kemandirian peradilan. Hakikat demokrasi seperti ini tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam, sebab Islam tidak membenarkan seorang yang
dibenci atau tidak disukai makmum menjadi imam mereka. Nabi berkata,
“Ada tiga tipe orang yang sholatnya
tidak naik di atas kepalanya walaupun satu jengkal. Yang pertama dari
mereka “orang yang mengimami suatu kaum sedang ia dibenci oleh kaum itu”.
Dalam masalah politik Nabi bersabda,
“Imam atau pemimpin kalian yang
terbaik adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka yang mencintai
kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka juga mendoakan kalian. Imam
atau pemimpin kalian yang terburuk adalah orang-orang yang kalian benci
mereka juga membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka juga
mencela kalian”.
Islam dapat menerima demokrasi karena
ajarannya mencela penguasa diktator atau penguasa yang mengaku tuhan di
muka bumi. Kisah-kisah yang diceritakan Al Qur-an kepada kita menjadi
pelajaran bahwa para diktator seperti Namrudz di zaman Ibrahim AS, dan
Fir’aun di zaman Musa AS adalah model penguasa yang dibenci Allah dan
kaum muslimin harus menganggapnya sebagai sumber kemungkaran. Dari kisah
Musa AS, Al Qur-an mengungkapkan bahwa kediktatoran terbangun
berdasarkan aliansi empat pihak yang keji dan tercela,
Pertama: Penguasa yang
angkuh yang mengaku tuhan di muka bumi, yang berlaku sewenang-wenang
terhadap hamba-hamba Allah, penguasa seperti ini penggambarannya
diwakili oleh Fir’aun.
Kedua, Politikus
oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani
kepentingan penguasa tiran, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan
popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi rakyat. Politikus seperti
ini diwakili oleh Haman.
Ketiga, Kapitalis dan
feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintahan yang zalim. Mereka
mendukung pemerinthan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk
mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan memeras keringat dan
darah rakyat. Kelompok ini diwakili oleh Qarun….
Keempat, Para penasihat
spiritual, para dukun, yang selalu menipu rakyat dengan meligitimasi
perbuatan zalim penguasa berdasarkan pembodohan rakyat dengan
dalil-dalil supranatural. Kelompok ini diwakili oleh tukang-tukang sihir
Fir’aun termasuk mantan ulama bernama Bal’aam bin Baura.
Keempat kelompok ini bergabung karena
kepentingan materi dan pemuasan syahwat. Al Qur-an mengungkapkan aliansi
keempat kelompok tersebut dan sikap mereka dalam menghadang risalah
Musa AS, sehingga akhirnya Allah membungkam mereka dengan kekuasaan-Nya.
Dengan cermat sekali Al Qur-an mengaitkan
antara kezaliman penguasa dengan tersebarnya kerusakan, yang merupakan
penyebab runtuhnya berbagai bangsa di masa lalu,
Apakah kamu tidak memperhatikan
bagaimana Rabbmu berbuat terhadap kaum ‘Aad, (yaitu) penduduk Iram yang
mempunyai bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota)
seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamut yang memotong
batu-batu yang besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai
pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam
negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena
itu Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Rabbmu
benar-benar mengawasi. (QS. 89. Al Fajr:6-14)
Kadang-kadang Al Qur-an mengungkapkan
“kezaliman” dengan kata “keangkuhan”, yaitu kesombongan dan keangkara
murkaan dengan menghina dan merendahkan hamba-hamba Allah. Allah
berfirman tentang Fir’aun,
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah,
dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki
mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya
Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. 28. Al Qashsash:4)
Firman Allah,
“Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas”. (Ad Dukhan: 3)
Disamping mencela penguasa yang sombong
dan mengaku Tuhan. Al Qur-an juga mencela bangsa yang tunduk kepada
orang-orang yang zalim itu. Al Qur-an membebankan tanggungjawab ke
pundak berbagai bangsa itu berikut para pemimpinnya. Firman Allah
tentang kaum Hud,
“Dan itulah kisah kaum Aad yang
mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai
Rasul-rasul Allah dan menuruti semua perintah penguasa yang
sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran)”. (Hud: 59)
Firman Allah tentang kaum Fir’aun,
“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya
(dengan perkataanitu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya
mereka adalah kaum yang fasik” (Az Zukhruf:54)
“Tapi mereka mengikuti perintah
Fir’aun, padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukanlah perintah yang
benar. Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka
ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi”. (Hud: 97-9 8)
Al Qur-an membebankan tanggungjawab
kepada berbagai bangsa itu karena merekalah yang menjadikan Fir’aun
sebagai Fir’aun yang zalim dan kejam. Hal ini sejalan dengan anekdot
yang sering dikemukakan di masyarakat. Ketika Fir’aun ditanya, “Kenapa
kamu jadi Fir’aun?” Dia menjawab, “Saya tidak menemukan orang yang akan
meluruskan tindakan saya”.
Bila demokrasi di tengah suatu masyarakat
dibangun untuk memberdayakan masyarakat tersebut, untuk menolak
kediktatoran suatu rezim, atau untuk membangun iklim dan budaya
musyawarah di tengah masyarakat, maka Islam mengakui dan menerima
demokrasi. Bahkan prinsip-prinsip demokrasi yang seperti itu sejalan
atau mendekati amar ma’ruf nahi munkar, tawsiyah bil hak, dan
upaya-upaya menegakkan keadilan. Norma-norma dan prinsip penentangan
terhadap kezaliman telah lebih dahulu di tetapkan Islam jauh sebelum
adanya istilah “demokrasi” di muka bumi. Namun Islam menyerahkan
perinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan nilai-nilai
dasar agama mereka, dan sejalan pula dengan kepentingan duniawi dan
perkembangan kehidupan mereka di setiap tempat dan waktu.
Melalui perjuangan panjang melawan
kezaliman dan para diktator dari kalangan raja dan kaisar, demokrasi
membentuk berbagai sarana yang sampai sekarang masih dianggap sebagai
sarana terbaik untuk menjamin dan melindungi rakyat dari
kesewenang-wenangan kaum tiran, walaupun disana sini masih terdapat
kekurangan, karena kreasi manusia memang tidak ada yang sempurna.
DR. Yusuf Qardhawi mengatakan, “Tidak ada
salahnya bagi suatu bangsa, bagi pemimpin dan pemikirnya, untuk
berpikir dengan menggunakan berbagai konsep lain, barangkali dia akan
menemukan sesuatu yang lebih baik dan sempurna. Namun sebelum hal itu
dapat terwujud dan terlaksana dalam kenyataan, maka sebaiknya kita
mengambil pelajaran dari berbagai konsep dan prinsip demokrasi yang ada,
demi terwujudnya keadilan, musyawarah, menghormati hak-hak asasi
manusia, dan menghadapi para penguasa tiran yang berlaku angkuh di muka
bumi.
Di antara kaidah syariat yang telah
disepakati adalah segala sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kewajiban
kecuali dengannya, maka dia juga wajib. Dan bila terbukti suatu sarana
diperlukan untuk merealisir tujuan syariat, maka sarana itu sama
hukumnya dengan tujuan itu. Secara syariat tidak ada halangan untuk
memanfaatkan gagasan politis atau solusi praktis dari non-muslim.
Contohnya, dalam perang Al Ahzab, Nabi Saw pun menerima
pemikiran”menggali parit” di seputar kota madinah yang seperti diketahui
pemikiran tersebut berasal dari Persia.
Pemilu dan Sistem Perwakilan Kita Dalam Pandangan Islam
Di antara sistem demokrasi yang lazim
berlaku adalah sistem pemilihan umum. Menurut pandangan Islam, Pemilu
merupakan “kesaksian” terhadap calon atas kelayakannya. Karena itu
pemilih diharuskan memenuhi persyaratan seorang saksi, seperti adil dan
di atas usia tertentu. Persyaratan keadilan boleh saja diringankan
sesuai dengan keadaan, sehingga rakyat dapat memberikan kesaksian
sebanyak mungkin. Semua orang diharapkan memberikan kesaksian, kecuali
orang yang telah dibuktikan pengadilan melakukan tindak kriminal yang
mencemari kehormatan dan harga diri dan seumpamanya.
Di Indonesia, yang diberikan kesaksian di
dalam Pemilu adalah Partainya. Sayang karena kebodohan masyarakat
terhadap politik mereka tidak mengetahui kualitas kandidat-kandidat
calon wakil rakyat yang diajukan oleh Partai tersebut. Padahal dalam
kesaksian ini setiap muslim dituntut untuk sejujurnya memberikan
penilaian kepada Partai dan orang yang menjadi kandidat tersebut.
Karena itu siapa yang memberikan
kesaksian bahwa seorang itu baik, padahal sesungguhnya dia tidak baik
maka dia telah melakukan persaksian palsu yang tergolong dusta yang
dosanya disejajarkan dengan menyembah berhala, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (Al Hajj: 30)
Orang-orang yang memberikan suaranya
dalam pemilihan umum kepada seorang calon bahwa dia baik dan layak untuk
dipilih hanya karena yang bersangkutan adalah kerabat dan putera
daerahnya, atau karena kepentingan pribadi, maka dia telah melanggar
perintah Allah, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.(Ath Tholaq: 2)
Sebaiknya suara diberikan dengan landasan
karena Allah dengan kriteria yang sesuai dengan kehendak Allah yaitu
kepada orang yang paling taqwa kepada-Nya dan terbaik dalam beramal
soleh di tengah kehidupan masyarakat. Maka para calon itu hendaknya
diketahui kualitas agamanya, kebiasaan amal solehnya, dan kemampuannya
beramar ma’ruf dan nahi munkar. Identitas mereka tidak boleh
disembunyikan.
Pemilu menunjukkan wala (loyalitas)
seorang pemilih kepada orang-orang yang dipilihnya. Tingkat terendah
dari wala adalah afiliasi kepada orang atau Partainya. Karena itu
seorang muslim memilih harus berdasarkan firman Allah berikut,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)”. (QS. 4. An Nisaa:144)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
(QS. 5. Al Maaidah:51)
Pemilu itu pada dasarnya untuk memilih
wakil rakyat. Para pakar hukum perundang-undangan mengatakan bahwa
sesungguhnya sistem perwakilan itu ditegakkan di atas pondasi
tanggungjawab pemerintah, kedaulatan rakyat, dan penghargaan terhadap
aspirasi mereka. Dalam sistem perwakilan juga tidak ada yang menghalangi
persatuan dan kesatuan ummat. Perpecahan dan perbedaan pun termasuk
syarat tegaknya, kendati sebagian dari mereka bahwa salahsatu tiang
penyangga sistem parlementer adalah sistem kepartaian. Akan tetapi
kalaupun ini telah menjadi tradisi, sesungguhnya ia bukan merupakan
pondasi bagi tegaknya sistem ini. Karena sangat mungkin sistem
parlementer tanpa adanya partai dan tanpa keluar dari kaedah-kaedah
aslinya.
Atas dasar ini tidak ada kaidah-kaidah
sistem parlemen yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang digariskan
oleh Islam dalam menata pemerintahan. Dengan demikian, berarti sistem
parlemen tidak jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam. Karena
itulah sewajarnya kaum muslimin mempunyai Partai, ikut serta dalam
Pemilu, mempunyai wakil-wakil di Parlemen untuk menyuarakan aspirasi
mereka di tengah bangsanya yang majemuk. Tanpa kehadiran mereka, ada
banyak keburukan akan terlahir dari dua poros besar,
Pertama, munculnya pemimpin-pemimpin yang
dibenci oleh Ummat Islam. Yaitu pemimpin yang akan bertindak diktator
dengan mengatasnamakan demokrasi….
Kedua, semakin leluasanya orang-orang
kafir dan sekuler membuat undang-undang dan aturan yang akan merugikan
Islam dan kaum muslimin.