©Dina Y. Sulaeman
sumber : http://dinasulaeman.wordpress.com/2009/12/30/peran-bank-dunia-dalam-kemunduran-perekonomian-indonesia/
Sejarah Bank Dunia
Bank Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural
berada di bawah PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank
Dunia dibentuk tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods
yang berlangsung di AS. Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44
negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan Bank
Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia
adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu
negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.
Sejak tahun 1960-an, pemberian pinjaman difokuskan kepada
negara-negara non-Eropa untuk membiayai proyek-proyek yang bisa
menghasilkan uang, supaya negara yang bersangkutan bisa membayar kembali
hutangnya, misalnya proyek pembangunan pelabuhan, jalan tol, atau
pembangkit listrik. Era 1968-1980, pinjaman Bank Dunia banyak dikucurkan
kepada negara-negara Dunia Ketiga, dengan tujuan ideal untuk
mengentaskan kemiskinan di negara-negara tersebut. Pada era itu,
pinjaman negara-negara Dunia Ketiga kepada Bank Dunia meningkat 20%
setiap tahunnya.
Peran Bank Dunia dalam Ekonomi dan Politik Global
Rittberger dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia
mengubah konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang
perekonomian antara negara berkembang dan negara maju. Pada era itu,
seiring dengan merdekanya negara-negara yang semula terjajah, jumlah
negara berkembang semakin meningkat. Negara-negara berkembang menuntut
distribusi kemakmuran (distribution of welfare) yang lebih merata dan
negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan cara menyuplai dana
pembangunan di negara-negara berkembang.
Basis keuangan Bank Dunia adalah modal yang diinvestasikan oleh
negara anggota bank ini yang berjumlah 186 negara. Lima pemegang saham
terbesar di Bank Dunia adalah AS, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang.
Kelima negara itu berhak menempatkan masing-masing satu Direktur
Eksekutif dan merekalah yang akan memilih Presiden Bank Dunia. Secara
tradisi, Presiden Bank Dunia adalah orang AS karena AS adalah pemegang
saham terbesar. Sementara itu, 181 negara lain diwakili oleh 19
Direktur Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan menjadi wakil dari
beberapa negara).
Bank Dunia berperan besar dalam membangun kembali tatanan ekonomi
liberal pasca Perang Dunia II (Rittberger dan Zangl, 2006: 41).
Pembangunan kembali tatanan ekonomi liberal itu dipimpin oleh AS dengan
rancangan utama mendirikan sebuah tatanan perdagangan dunia liberal.
Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk tatanan moneter yang
berlandaskan mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger dan Zangl
(2006: 43) menulis, “Perjanjian Bretton Woods mewajibkan negara-negara
untuk menjamin kebebasan mata uang mereka untuk dikonversi dan
mempertahankan standar pertukaran yang stabil terhadap Dollar AS.”
Lembaga yang bertugas untuk menjaga kestabilan moneter itu adalah IMF
(International Monetary Funds) dan IBRD (International Bank for
Reconstruction dan Development). IBRD inilah yang kemudian sering
disebut “Bank Dunia”. Pendirian Bank Dunia dan IMF tahun 1944 diikuti
oleh pembentukan tatanan perdagangan dunia melalui lembaga bernama GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947. Pada tahun
1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World Trade Organization).
Meskipun tugas Bank Dunia adalah mengatur kestabilan moneter, namun
dalam prakteknya, Bank Dunia sangat mempengaruhi politik global karena
hampir semua negara di dunia menjadi penerima hutang dari Bank Dunia.
Sejak awal beroperasinya, Bank Dunia sudah mempengaruhi politik dalam
negeri negara yang menjadi penghutangnya. Penerima hutang pertama Bank
Dunia adalah Perancis, yaitu pada tahun 1947, dengan pinjaman sebesar $
987 juta. Pinjaman itu diberikan dengan syarat yang ketat, antara lain
staf dari Bank Dunia mengawasi penggunaan dana itu dan menjaga agar
Perancis mendahulukan membayar hutang kepada Bank Dunia daripada
hutangnya kepada negara lain. AS juga ikut campur dalam proses pencairan
hutang ini. Kementerian Dalam Negeri AS meminta Perancis agar
mengeluarkan kelompok komunis dari koalisi pemerintahan. Hanya beberapa
jam setelah Perancis menuruti permintaan itu, pinjaman pun cair.
Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi kebijakan
politik dan ekonomi suatu negara, disebut SAP (Structural Adjustment
Program). Bila negara-negara ingin meminta tambahan hutang, Bank Dunia
memerintahkan agar negera penerima hutang melakukan “perubahan
kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal
menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan
kebijakan yang diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas,
privatisasi, dan deregulasi.
Karena adanya SAP ini, tak dapat dipungkiri, pengaruh Bank Dunia
terhadap politik dan ekonomi dalam negeri Indonesia juga sangat besar,
sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Kinerja Bank Dunia di Indonesia
Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga
saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program
pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725
triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The
World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah
digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi,
industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi
selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada
masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7
Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai
pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.
Anggoro (2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia.
Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on
Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang
dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI “membantu” pembangunan di
Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik
untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal.
Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi
kepentingan negara-negara dan lembaga donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar,
bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank
Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan
privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan
jasa secara kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat
bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara
pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya
kepada Indonesia.
b. Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program
Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk
melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga
harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya.
Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah
mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja
daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri
(27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari
total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut,
anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan
sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk
pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya
beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi
juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan
belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working
for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun
beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari
Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di
Indonesia.
Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis,
kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank
Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
-Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan
mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses
pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
transnational partner Bank Dunia)
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan
dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan
negara donor lainnya.
-Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena
Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing,
yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak
bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga
penelitian dan universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi
kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas
pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan
infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia,
tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
- Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung
kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang
dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum
yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga
keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya
dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun
peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam
bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar
300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN,
sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman
400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam
menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan
hutang, diceritakan secara detil oleh John Perkins dalam bukunya,
“Economic Hit Men”. Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang
bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan
teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek
insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal dari
hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.
Mengenai pekerjaannya itu, Perkins (2004: 13-16) menulis, “…saya
mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify)
kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan
disalurkan melalui Main dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya
(seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui
proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus
bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman
raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor
Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh
para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu
akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita
kehendaki seperti pangkalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau
akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Dalam wawancaranya dengan Democracy Now! Perkins mengatakan,
“Pekerjaan utama saya adalah membuat kesepakatan (deal-making) dalam
pemberian hutang kepada negara-negara lain, hutang yang sangat besar,
jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu
syarat dari hutang itu adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk
negara seperti Indonesia atau Ecuador—negara ini harus memberikan 90%
dari hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur,
misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel. Ini adalah
perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun
jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani
segelintir keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di
sana akan terjebak dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa
mereka bayar.”
Untuk kasus Ekuador, Perkins menulis, negara itu kini harus
memberikan lebih dari 50% pendapatannya untuk membayar hutang. Hal itu
tentu tak mungkin dilakukan Ekuador. Sebagai kompensasinya, AS meminta
Ekuador agar memberikan ladang-ladang minyaknya kepada
perusahaan-perusahaan minyak AS yang kini beroperasi di kawasan Amazon
yang kaya minyak.
Tak heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002
mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak
bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”.
Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi
tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal
tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menjaga
kestabilan ekonomi.
Melihat kinerja seperti ini, menurut Anggoro (2008), Bank Dunia
sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang menyebutkan, “to employ
international machinery for the promotion of the economic and social
advancement of all peoples”. Dengan kata lain, Bank Dunia sebagai salah
satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan operasinya
pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi perusahaan
multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan
hutang tak berkesudahan.[]
Tulisan terkait: Tentang Liberalisme Ekonomi (1): Sri Mulyani Itu Orang Baik Kok!
—–
Daftar Pustaka
Volker Rittberger dan Bernard Zangl, 2006, International Organization, New York:Palgrave MacMillan.
Ponny Anggoro, Why Does World Bank Control Indonesia, dimuat di jurnal Global Justice Update, Volume VI, 1st Edition, May 2008, http://www.globaljust.org/index.php?option=com_content&task=view&id=187&Itemid=133
John Perkins, Economic Hit Man (edisi terjemahan), Jakarta: Abdi Tandur.
http://en.wikipedia.org/wiki/World_Bank
http://en.wikipedia.org/wiki/Structural_adjustment
http://www.antara.co.id/berita/1247296978/pengamat-lipi-data-kemiskinan-bps-jadi-tertawaan
Rizal Ramli, Membangun dengan Lilitan Utang, sebagaimana diberitakan dalam http://www.news.id.finroll.com/articles/75304-____membangun-bangsa-dengan-lilitan-hutang-(2)-oleh-yudhi-mahatma____.html
Transkrip wawancara dengan John Perkins
http://www.democracynow.org/2004/11/9/confessions_of_an_economic_hit_man
Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 T
(Liputan diskusi dengan Managing Director World Bank)
http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/01/30/20/79590/20/total-utang-ri-ke-world-bank-rp243-7-t
Website resmi PBB, http://www.un.org/
Wikipedia
Search results
Facebook Comment
Info Archive
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :
"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"
http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya
THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907
http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya
THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907