http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=119585 Frans Seda:
Pemerintah Tak Punya KEBERANIANSejak awal bulan ini, bangsa Indonesia kembali mengalami berbagai persoalan yang menggugat ikatan kesatuan anak bangsa sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari soal Papua, Aceh, ditandatanganinya kesepakatan damai antara pemerintah dengan GAM, soal asumsi dalam RAPBN 2006 yang jauh melenceng dari kondisi riil, sampai terakhir melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dolar AS belakangan telah menyentuh kisaran Rp 10.500 per dolarnya. Dalam rangka mencari solusi atas berbagai masalah yang dihadapi Indonesia wartawan Suara Karya, Kentos R. Artoko dan Hedi Suryono mewawancarai Frans Seda, mantan menteri termuda era Soekarno, mantan Menteri Perkebunan dan mantan Menteri Keuangan di era Soeharto. Berikut petikannya: Menurut Bapak, bagaimana kondisi perekonomian nasional belakangan ini? Saat ini, benar kita sedang terpuruk. Akan tetapi bukan berarti kita tidak bisa bangkit dari masalah-masalah seperti fluktuasi nilai rupiah yang tidak kunjung stabil, melambungnya harga minyak dunia, soal Amerika Serikat dan bank sentralnya yang menaikkan suku bunga, dan larinya sejumlah modal (capital flight-Red) ke luar negeri. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang ini memiliki tiga visi dan misi. Yaitu, menciptakan Indonesia yang aman dan damai, menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya menilai, agenda ini terlalu umum, tidak menggigit dan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Sebenarnya yang perlu dilakukan oleh SBY untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut adalah KEBERANIAN. Semuanya harus ditulis dengan huruf besar. Sekarang masyarakat melupakan adanya keberanian dalam diri Presiden SBY, presiden kita ini. Bagaimana komentar Bapak tentang asumsi RAPBN yang tidak berdasar pada kondisi riil? Masalah RAPBN 2006 yang penting menurut saya bagaimana asumsi itu dipakai menjadi dasar dalam menjalankan kebijakan di berbagai sektor. Yang paling penting, adalah masalah Belanja Negara. Untuk apa Rp 500 triliun lebih pendapatan negara itu dipergunakan. Dalam sebuah negara yang penting itu adalah soal belanja negara, uang yang digunakan itu untuk apa dan kemana saja larinya. Dalam sebuah negara, proses pembuatan RAPBN itu seharusnya parlemen membicarakan dan memutuskan bersama Presiden tentang belanja negara itu. Kemudian Presiden memberikan instruksi kemana saja sumber dana negara digunakan dan dibelanjakan. Kabinet bertugas untuk mencari sumber-sumber tersebut. Apabila penting untuk dibentuk undang-undang, maka pemerintah dalam hal ini Presiden harus membuatkan legalitas undang-undangnya. Ada empat hal yang dapat digali sebagai sumber pemasukan negara, yaitu pajak dalam negeri, privatisasi dan penjualan aset negara, pinjaman dalam atau luar negeri, dan terakhir adalah defisit negara. Mengenai pinjaman dan defisit, pemerintah cukup menetapkan plafon saja, tentu setelah memperhitungkan posisi hutang, kas, defisit dan akibat dari kondisi fiskal-moneter. Masalah asumsi bagaimana pak? RAPBN 2006, seperti dikemukakan oleh SBY dalam pandangan saya kok ndak ada yang baru sama sekali, kecuali penetapan asumsi yang tidak realistis itu tadi ha..ha..ha. Pemerintah, sama sekali tidak memikirkan krisis. Jadilah krisis bahan bakar minyak (BBM) dan krisis ekonomi. Secara umum saya melihat berbagai krisis ini ditangani secara tradisional seperti peningkatan subsidi, kompensasi dan distribusi langsung. Mereka tidak belajar dari penerapan dan kegagalan social safety net di masal lalu. Tidak ada kebijakan baru dalam penanganan krisis! Krisis bisa berlanjut? Saya kira begitu. Jika krisis multidimensi ini belum selesai dan makin meluas, maka hal tersebut harus tercermin dalam RAPBN. Saya pernah mengemukakan di masa lalu, bahwa sebuah APBN adalah rencana kerja pemerintah yang termanifestasikan dalam angka-angka. Rencana kerja ini harusnya realistis dan diarahkan pada kenyataan dan masalah yang dihadapi. Misalnya, krisis BBM dihadapi secara tradisional. Kondisinya sekarang kita bukan negera net exporter, tapi sebaliknya kita sudah menjadi negara net importer. Jadi mustahil kalau menetapkan asumsi 40 dolar AS per barel. Karena harga minyak dunia cenderung terus naik. Salah seorang kolega saya di Jerman mengemukakan bahwa harga minyak dunia bakal melambung sampai 100 dolar AS per barel. Apabila prediksi ini benar, maka pemerintahan SBY keliru dan sangat keblinger kalau menetapkan harga 40 dolar AS. Memang, minyak itu tergantung season, tapi sekarang patokan tersebut sudah dihilangkan dalam ekonomi. Jadi menurut Bapak asumsi harga minyaknya harus 100 dolar AS, begitu, kalau ini yang dilakukan bukankah harga rupiah malah makin melorot? Ya, itu tadi patokan yang dibuat harus realistis. Kalau harga yang dibuat rendah maka biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah juga makin meningkat. Sekarang masalahnya, pemerintah punya uang nggak untuk menutup masalah ini. Untuk masalah ini saya mengusulkan 4 hal. Pertama, menghapuskan subsidi BBM. Kedua, memberikan bantuan terhadap kebutuhan rakyat kecil seperti minyak tanah dan solar lewat biaya dari APBN. Ketiga, mempropagandakan alternatif pengganti minyak seperti biodiesel dan batubara atau sejenisnya. Keempat, membentuk direktorat energi alternatif tadi, bekerjasama dengan BPPT atau lembaga sejenis lainnya. Jadi jatuhnya rupiah ini disebabkan karena faktor BBM itu? Bukan hanya itu, The Fed yang menaikkan suku bunga juga menjadi faktor pemicu. Sebab dengan dinaikkannya suku bunga, maka bakal banyak dana dalam bentuk dolar AS kembali ke negara itu. Overheating economy juga merupakan faktor lain. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kelemahan dalam fundamental perekonomian nasional yang belum bisa diatasi dari waktu ke waktu. Bisa lebih diperjelas? Fundamental ekonomi Indonesia itu kan sebenarnya hanya dua, yaitu pertumbuhan ekonomi dan besarnya kesenjangan yang terjadi antara kaya dan miskin. Jadi perkuat dulu fundamental perekonomian, baru kemudian melihat tabungan kita apakah cukup untuk melakukan intervensi di pasar uang atau tidak. Sekarang ini, pemerintah sudah menyuntikkan dana tidak kurang dari 4 miliar dolar AS untuk mengembalikan rupaih pada posisi semula. Tapi, dalam kenyataan bukannya rupiah naik, tapi rupiah malah makin turun. Hal tersebut disebabkan karena pasar uang sudah tidak percaya lagi pada pemerintah. Stimulus apa yang perlu dilakukan untuk mencegah lebih parahnya penurunan rupiah? Caranya dengan menetapkan 4 (empat) kebijakan yang saya utarakan tadi; meningkatkan pajak, privatisasi, pinjaman dan defisit. Insentif lainnya bisa dilihat per kasus, misalya menghapuskan hambatan investasi, hapuskan hambatan perdagangan dan memberikan nilai lebih berinvestasi di Indonesia. Stimulus lainnya? Stimulus lainnya yang bisa digunakan untuk mengembangkan perekonomian bangsa adalah mengelola dengan baik defisit negera. Jadi bukan sekadar persentase dari Gross Domestic Product, tapi juga sebagai sumber keuangan untuk membiayai pembangunan atau pertumbuhan ekonomi. Misalnya, manajemen Surat Utang Negara (SUN) sebagai sumber pembiayaan, manajemen pembayaran utang, privatisasi dan yang tidak kalah penting adalah manajemen perimbangan keuangan pusat dan daerah. Semua manajemen tadi ke depan diarahkan untuk mengatasi krisis nasional, mendongkrak pertumbuhan ekonomi, memerangi pengangguran dan meningkatkan pembangunan pertanian. Meskipun pembangunan pertanian tidak populer, tapi signifikan untk mendorong pertumbuhan domestik secara stabil. Bersama investasi dan ekspor, maka ekonomi Indonesia akan kuat. Ada usul konkret dari situasi ini? Saya mengusulkan agar selama krisis terjadi, introduksi dari sistem Unified Budget System (UBS) ditangguhkan. Meneg PPN/Ketua Bappenas Sri Mulyani, baru-baru ini mengusulkan untuk menerapkan sitem UBS tersebut. Sebenarnya sistem ini bukan baru. UBS bermaksud untuk menyatukan anggaran rutin dan anggaran pembangunan, agar tidak terjadi double budget atau anggaran dobel. Terjadinya pengeluaran dobel itu memang perlu dicegah, tapi tidak perlu mengganti sistem dan mengintroduksi sebuah sistem baru dalam kondisi negara seperti saat ini. Bapak optimis atau pesimis dengan kondisi perekonomian kedepan? Saya sejak zaman Soekarno dulu selalu optimis. Bahkan yang mengundang Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia ke Indonesia itu saya. Saya katakan kepada mereka, apa mereka mau bantu kita, sementara kita ini bangsa yang miskin. Ternyata mereka mau membantu. Tapi, membantu bukan dalam arti kita harus menurut atau didikte oleh mereka.***