http://www.wacananusantara.org/2/664/perahu:-sarana-penyebaran-budaya-di-nusantara-pada-masa-lampau
Perahu: Sarana Penyebaran Budaya di Nusantara pada Masa Lampau
Bambang Budi Utomo
(Pusat Penelitian Arkeologi)
Pengantar
Para pakar sejarah kemaritiman menduga bahwa perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah perairan Nusantara pada masa jauh sebelum bukti tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno). Dugaan ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat di Nusantara mulai dari Sumatra hingga Irian, Sulawesi Utara hingga Rote. Berdasarkan bukti-bukti ini, mereka yakin bahwa pada masa akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan perda¬gangan antara Nusantara dan Asia daratan. Kemudian pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan perdagangan antara Nusantara dan India. Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India (Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat (Patenggeng) dan Bali (Sem¬biran). Keberadaan barang-barang tembikar tersebut di Nusantara tentunya diangkut dengan perahu/kapal yang mampu mengarungi samudra.
Bukti tertulis tertua mengenai pemakaian perahu/kapal sebagai sarana transportasi laut tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi). Pada prasasti tersebut diberitakan:”Dapunta Hiyaŋ bertolak dari Minańa sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu...”. Pada masa yang sama, pada relief Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi dugaan bentuk-bentuk perahu/kapal yang sisa¬nya ba¬nyak ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, misalnya di Sumatra.
Dalam makalah yang sederhana ini saya akan sedikit membicarakan mengenai teknologi rancang-bangun perahu/kapal yang dahulu pernah malang melintang di perairan Nusantara. Data yang dipakai sebagai percontoh adalah sisa perahu dari Situs Samirejo dan Kolam Pinisi yang keduanya di temukan di wilayah Provinsi Sumatra Selatan.
Papan kayu yang merupakan sisa sebuah perahu kuno dari Situs Samirejo, Sumatra Selatan. Bentuk segi empat panjang berjajar di bagian atas papan adalah tambuko, bagian untuk mengikat satu pa-pan dengan papan lain. Di sebelah kanan tampak kemudi kuno yang ditemukan dekat dengan papan-papan kayu.
1. Bukti Arkeologis
Bukti arkeologis transportasi air banyak ditemukan di berbagai tempat di Nusantara. Bukti-bukti tersebut berupa papan-papan kayu yang merupakan bagian dari sebuah pe¬rahu dan daun kemudi yang ukurannya cukup besar. Dalam makalah sederhana ini saya akan kemukakan beberapa buah runtuhan perahu yang ditemukan di Sumatra Selatan (Situs Samirejo dan Kolam Pinisi).
1.1 Samirejo
Situs Samirejo secara administratif terletak di Desa Samirejo, Keca-matan Mariana, Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatra Selatan). Situs ini merupakan suatu tempat pada lahan gambut. Sebagian besar arealnya merupakan rawa-rawa. Bebera¬pa batang sungai yang berasal dari daerah rawa bermuara di Sungai Musi. Dari lahan rawa yang basah ini pada bulan Agustus 1987 ditemukan sisa-sisa perahu kayu. Sisa perahu yang ditemukan terdiri dari sembilan bilah papan dan sebuah kemudi. Dari sembilan bilah papan itu, dua bilah di antaranya berasal dari sebuah perahu, dan tujuh bilah lainnya berasal dari perahu yang lain.
Sisa perahu yang ditemukan itu dibangun secara tradisionil di daerah Asia Tenggara dengan teknik yang disebut “papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique) dan diper¬kuat dengan pasak kayu/bambu. Papan kayu yang terpanjang berukuran panjang 9,95 meter dan terpendek 4,02 meter; lebar 0,23 meter; dan tebal sekitar 3,5 cm. Pada jarak-jarak tertentu (sekitar 0,5 meter), pada bilah-bilah papan kayu itu terdapat bagian yang menonjol yang berde¬nah empat persegi panjang, disebut tambuko. Di bagian itu terdapat lubang yang bergaris tengah sekitar 1 cm. Lubang-lubang itu tembus ke bagian sisi papan. Tambuko disediakan untuk memasukkan tali pengikat ke gading-gading. Papan kayu dengan tebal 3,5 cm itu, dihubungkan dengan bagian lunas perahu dengan cara mengikatnya satu sama lain. Tali ijuk (Arenga pinnata) mengikat bilah-bilah papan yang dilubangi hingga ter-su¬sun seperti bentuk perahu. Kemudian dihubungkan dengan bagian lunas perahu hingga menjadi dinding lambung. Sebagai penguat ikatan, pada jarak tertentu (sekitar 18 cm) dari tepian papan dibuat pasak-pasak dari kayu/bambu. Dari hasil rekonstruksi dapat diketahui bahwa perahu yang ditemukan di desa Sambirejo berukuran panjang 20-22 meter. Berdasarkan analisis laboratorium terhadap Karbon (C-14) dari sisa perahu Samirejo adalah 1350 ± 50 BP, yang mana sesuai dengan tahun 610-775 Masehi.
Kemudi perahu yang ditemukan mempunyai ukuran panjang 6 meter. Bagian bilah kemudinya berukuran lebar 50 cm. Kemudi ini dibuat dari sepotong kayu, kecuali bagian bilahnya di¬tambah kayu lain untuk memperlebar. Di bagian atas dari sumbu tangkai kemudi terdapat lubang segi empat untuk memasukkan palang. Di bagian tengah kemudi terdapat dua buah lubang yang ukurannya lebih kecil untuk memasukkan tali pengikat kemudi pada kedudukannya. Bentuk kemudi semacam ini banyak ditemukan pada perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Nusantara, misalnya perahu Pinisi.
1.2 Kolam Pinisi
Situs ini terletak di kaki sebelah barat Bukit Siguntang, sekitar 5 km. ke arah barat dari kota Palembang. Ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1989 berhasil ditemukan lebih dari 60 bilah papan sisa sebuah perahu kuno. Meskipun ditemukan dalam jumlah yang banyak, namun keadaannya sudah rusak sebagai akibat aktivitas penduduk di mala lampau untuk mencari harta karun. Papan-papan kayu tersebut pada ujungnya dilancipkan kemudian ditancapkan ke dalam tanah untuk memperkuat lubang galian.
Papan-papan kayu yang ditemukan berukuran tebal sekitar 5 cm dan lebar antara 20-30 cm. Seluruh papan ini mempunyai kesamaan dengan papan yang ditemukan di Situs Samirejo, yaitu tembuko yang terdapat di salah satu permukaannya, dan lubang-lubang yang ditatah pada tembuko-tembuko tersebut seperti halnya pada tepian papan untuk memasukkan tali ijuk yang menyatukan papan perahu dengan gading-gading serta menyatukan papan satu dengan yang lainnya. Pada bagian tepi papan terdapat lubang-lubang yang digunakan untuk menempatkan pasak kayu/ bambu untuk memperkuat badan perahu. Pertanggalan karbon C-14 menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi.
2. Teknik rancang-bangun perahu/kapal
Entah sejak kapan nenek moyang bangsa Indonesia mengenal pembuatan perahu. Hanya sedikit data arkeologi maupun data sejarah yang berhasil mengung-kapkan tentang hal itu. Satu-satunya data arkeologi yang sedikit mengungkapkan teknologi pembangunan perahu adalah dari lukisan gua. Di situ kita dapat melihat bagaimana bentuk perahu pada masa prasejarah. Bentuk perahu pada masa itu dapat dikatakan masih sangat sederhana. Jika dibandingkan dengan teknik pembuatan perahu pada masyarakat yang masih sederhana, mungkin ada kesamaannya. Sebatang pohon yang mempunyai garis tengah batang cukup besar mereka tebang. Kemudian bagian tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, seperti beliung dari batu. Nampaknya mudah, tetapi dalam kenyataannya cukup sulit. Dinding perahu harus dapat diperkirakan tebalnya. Tidak boleh terlampau tebal atau terlampau tipis. Jangan sampai badan perahu mudah pecah atau bocor apabila terantuk karang atau kandas di pantai yang keras. Apabila bentuk dasar sudah selesai, kemudian barulah diberi cadik di sisi kiri dan kanan badan perahu. Perahu jenis ini dinamakan perahu lesung atau sampan. Ukuran panjangnya kira-kira 3-5 meter dan lebar sekitar 1 meter. Contoh membangun perahu dengan tekno¬logi yang masih sederhana ini dapat dilihat pada suku-suku bangsa yang masih sederhana yang bermata-pencaharian dari menangkap ikan di sungai, danau atau di laut dangkal.
Pada jaman prasejarah, perahu bercadik memainkan peranan yang besar dalam hubungan perdagangan antar-pulau di Indonesia dan antara kepulauan di Indonesia dengan daratan Asia Tenggara. Karena adanya hubungan dengan daratan Asia Tenggara, maka terjadilah tukar menukar informasi teknologi dalam segala bidang, misalnya dalam pembangunan candi, pembangunan kota, dan tentu saja pembangunan perahu.
Akibat ada hubungan dengan daratan Asia Tenggara, dalam pembangunan perahu pun ada suatu kemajuan. Di seluruh perairan Nusantara, banyak ditemukan runtuhan perahu/kapal yang tenggelam atau kandas. Dari runtuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan teknologi pembangunan perahu. Para pakar telah merumuskan teknologi tradisi pembangunan perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu Wilayah Budaya Asia Tenggara dan Wilayah Budaya Cina (Manguin 1987: 47-48).
Pada relief Candi Borobudur terdapat 11 buah gambar perahu/kapal, dan van Erp (1923) membaginya dalam tiga jenis, yaitu 1) perahu lesung, 2) pe-rahu yang dipertinggi dengan cadik, dan 3) perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik.
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung) perahu ber¬bentuk seperti huruf V sehingga bagian lunasnya berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk masa kini, adalah cara mereka menyambung papan. Sela¬in tidak menggunakan paku besi, cara menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya dengan tali ijuk. Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang me¬nonjol ini, diberi lubang yang jumlahnya 4 buah menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak kayu/bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique).
Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo dan Kolam Pinisi, juga sisa perahu yang ditemukan di tempat lain di Nusantara dan negara jiran, ada kesamaan umum yang dapat kita cermati, yaitu teknologi pembuatannya. Teknologi pembuatan perahu/kapal yang ditemukan itu, antara lain a) teknik ikat, b) teknik pasak kayu/ bambu, c) teknik gabungan ikat dan pasak kayu/bambu, dan d) perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi. Melihat teknologi rancang-bangun perahu/kapal tersebut, dapat kita ketahui pertanggalannya.
Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak kayu/bambu dalam pembuatan perahu/kapal di Nusantara berasal dari sumber Portugis awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut Jung (berkapasitas lebih dari 500 ton) dibuat tanpa sepotong besipun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut masih tetap ditemukan di Nusantara, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.
Kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi Cina mempunyai ciri-ciri khas antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu/kapal dibuat berpetak-petak dengan dipasangnya sekat-sekat yang strukturil, antara satu papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, dan mempunyai kemudi sentral tunggal. Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Teng-gara. Keturunan dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal Pinisi dan beberapa perahu tradisionil di berbagai daerah di Nusantara. Pada perahu Pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang agak modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara.
Dalam bukunya, Antonio Galvao, seorang Portugis, pada tahun 1544 telah menguak tabir pembangunan perahu/kapal di Nusantara sebelah timur (daerah Maluku dan sekitarnya) (Poesponegoro dkk. 1984 (3): 112-113). Dia menguraikan antara lain teknik pembangunan kapal orang Maluku. Menurutnya, bentuk kapal orang Maluku yang menyerupai telur dengan kedua ujung dibuat melengkung ke atas dimaksudkan supaya kapal itu dapat berlayar maju dan mundur.
Sukubangsa Bugis adalah sukubangsa perantau. Banyak di antara mereka pergi meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau ke tempat-tempat lain di Nusantara. Di tempat yang mereka tuju, mereka tinggal di tepi-tepi dan muara sungai besar, misalnya di Batanghari (Jambi). Di tepi sungai dekat hutan mereka membangun pemukiman dan juga membangun perahu pinisi. Bahan baku kayu diambil dari hutan sekitarnya. Setelah perahu selesai mereka pergi meninggalkan kampung tersebut.
Kapal itu tidak dipaku atau didempul, tetapi diikat dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di bagian lunas, rusuk, linggi depan, dan linggi belakang. Di bagian dalam terdapat bagian yang menonjol dan berbentuk cincin untuk tempat memasukkan tali ijuk pengikatnya. Papan-papan disambung dengan pena (pasak) kayu atau bambu yang dimasukkan pada lubang kecil di ujung depan. Sebelumnya, pada bagian sambungan papan diolesi dengan baru (semacam damar) agar air tidak dapat masuk. Kemudian papan-papan pun disambung berapit-apit dengan kemahiran tinggi, sehingga orang yang melihatnya akan mengira bahwa bentuk itu terbuat dari satu bilah papan saja. Pada bagian haluan kapal dibuat hiasan ular naga bertanduk.
3. Penutup
Berbicara mengenai kebaharian, rasanya kurang lengkap kalau tidak membicarakan Śrīwijaya. Berdasarkan berita-berita tertulis yang sampai kepada kita, kerajaan ini telah malang melintang di perairan Asia Tenggara sampai ke daerah Madagaskar di selatan benua Afrika. I-tsing, seorang pendeta agama Buddha dari Cina, banyak mencatat perkembangan Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar abad ke-7 Masehi. Ia mengatakan bahwa pelayaran ke negeri Cina dilakukan oleh kapal-kapal Śrīwijaya. Sebuah studi pelayaran masa lampau juga memperoleh bukti, bahwa banyak nama-nama tempat di pantai Campa dan Annam (Vietnam sekarang) berasal dari bahasa Melayu. Hal ini mendukung pendapat bahwa pelayaran orang-orang Mālayu ke negeri Cina memang dilakukan oleh pelaut-pelaut Mālayu dengan meng-gunakan perahunya sendiri. Studi Wolters, seorang pakar Śrīwijaya dari Cornell University, mengenai abad-abad praŚrīwijaya pun membawa kita pada kesimpulan bahwa “the shippers of the ‘Persian’ trade” adalah orang-orang Mālayu (Wolters 1967). Orang-orang Mālayu memang pelaut ulung, sehingga orang-orang Portugis membuat buku pandu laut (roteiros) berdasarkan petunjuk-petunjuk dari pelaut Mālayu. Ketangguhan bangsa Mālayu sebagai pelaut ulung hingga sekarang masih tersisa, misalnya seperti yang masih dapat disaksikan pada suku bangsa Melayu di daerah Kepulauan Riau.
Bukti tertulis mengenai penggunaan perahu sebagai sarana transportasi pada masa Śrīwijaya diperoleh dari prasasti, Berita Cina, dan Berita Arab. Prasasti Śrīwijaya yang menyebutkan penggunaan perahu adalah prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 16 Juni 682 Masehi. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hiyaŋ berangkat dari Minańa dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 buah peti perbekalan yang diangkut dengan perahu-perahu. Apabila kita bandingkan dengan perahu Pinisi yang dapat mengangkut 500 orang, maka perahu yang dibutuhkan Dapunta Hiyaŋ dalam ekspedisinya sekurang-kurangnya 40 buah perahu yang seukuran dengan perahu Pinisi.
Di daerah kepulauan itu tinggal suku bangsa yang hidupnya sebagian besar tergantung kepada hasil laut. Di samping itu kesenian daerahnya pun selalu meng-gambarkan kehidupan laut. Ingatlah akan salah satu syair dendang Melayu yang bunyinya Perahu Cina ke Indragiri. Anaklah Riau jadi nahkoda. Dan masih banyak lagi syair-syair dendang Melayu yang berbau laut.
Tidak ada satupun sukubangsa yang berkebudayaan lebih maritim daripada sukubangsa Orang Laut. Sukubangsa ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur Pulau Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Malaysia sampai ke Muangthai selatan (Lapian 1979:99). Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka ‘orang laut’ dalam arti yang sesungguhnya. Sebuah berita Cina yang berasal dari tahun 1225 menguraikan tentang rakyat di kerajaan Swarnnabhūmi. Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tangkas dalam peperangan baik di darat maupun di laut. Dalam peperangan dengan negara lain, mereka berkumpul. Berapa pun keperluannya, dipenuhi. Mereka sendiri yang memilih panlima dan pemimpinnya. Semua pengeluaran utuk persenjataan dan perbekalan ditanggung oleh mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain sukar dicari tadingannya. Mungkinkah Orang Laut yang mendiami Sumatra bagian timur itu keturunan dari mereka itu ?
Akhirnya, mungkin perlu kita cermati dan tindaklanjuti pidato salah satu pimpinan parpol pemenang Pemilu 1999 yang mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara maritim tetapi dalam bidang kemaritiman (termasuk ketahanan laut) kita sangat tertinggal, dan pentingnya sumberdaya laut yang belum tergarap maksimal. Khusus untuk pertahanan laut, seorang sastrawan terkenal pemenang Magsasay berkomentar “Sebagai negara maritim mengapa kita tidak membangun angkatan laut, dan mengapa justru angkatan darat yang diperkuat”. Meskipun dengan teknologi yang sederhana, nenek moyang kita dapat berjaya di Nusantara dan dapat mengarungi samudra yang luas.
Kepustakaan
Koestoro, Lucas Partanda, 1993, “Tinggalan Perahu di Sumatra Selatan: Perahu Sriwijaya?”, dalam Sriwijaya dalam perspektif arkeologi dan sejarah hal. C1-1-10. Palembang: Pemerintah Da¬erah Tk. I Provinsi Sumatra Selatan.
Lapian, A.B., 1979, “Pelayaran dalam Periode Sriwijaya”, dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya hal. 95-104. Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala Departemen P&K.
Petersen, Eric, 2000, Jukung Boats from the Barito Basin, Borneo. Roskilde: The Viking Ship Museum.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka.
Wolters, O.W., 1967, Early Indonesian Commerce: A Study of the origin of Sriwijaya. New York: Cornell University Press.
Makalah yang diajukan dalam Diskusi Panel Ahli II (Pembahasan Materi Tata Pamer Museum Bahari) yang diselenggarakan pada tanggal 21 Oktober 2002 di Ruang Rambuti, Hotel Sofyan Cikini, Jakarta.
Sumber Tulisan: