http://www.wacananusantara.org/3/672/perkembangan-alat-tukar-dan-pembayaran-kuno-di-nusantara?mycustomsessionname=bd15b75f62aaff4bdfd66fcbae4f52ff
Perkembangan Alat Tukar dan Pembayaran Kuno di Nusantara
Perkembangan Alat Tukar dan Pembayaran Kuno di Nusantara
Tim Wacana Nusantara
22 May 2010
Sebelum muncul teknologi penempaan logam, manusia melakukan transaksi ekonomi melalui benda-benda alami. Barter antarbarang adalah langkah paling awal yang dilakukan manusia untuk memperoleh kebutuhan hidupnya. Di Tana Toraja kini masih terdapat sistem barter saat diadakan upacara kematian.
Begitu kebutuhan hidup makin kompleks dan jumlah manusia makin bertambah, manusia mulai memikirkan cara yang lebih efesien. Penemuan akan logam mulia, emas, mendorong tumbuhnya transaksi yang lebih elegan dan mudah. Nilai barang dipertukarkan dengan nilai emas. Namun, perputaran emas sebagai alat tukar tak serentak terjadi di semua belahan dunia. Di bagian bumi di mana emas jarang ditemukan, otomatis alat tukar pun masih berupa benda alam, seperti kerang kauri; atau benda olahan manusia yang nilainya lebih rendah dari emas, seperti keramik atau perunggu.
Dari semua jenis alat tukar, ada yang menentukan kegunaan mereka sebagai alat pembayaran: mahal. Mahal di sini bisa mengacu pula pada keindahan estetika seperti yang terdapat pada benda perunggu, motif keramik, atau keunikan pada kerang kauri.
Kerang, Perunggu, dan Keramik Cina
Asia Tenggara—yang sejak abad belasan menjadi lintasan kapal-kapal dagang—merupakan jalur persimpangan alat tukar dari berbagai jenis. Lombard mencatat (2008: 158), kerang kauri, yang kebanyakan berasal dari Maladewa dan dari Borneo, terutama diedarkan oleh pelabuhan-pelabuhan Bengali (India) yang meneruskannya ke wilayah Arakan, Pegu, hingga Yunnan, yang diteruskan ke Siam. Marcopolo pada abad ke-13 mencatat adanya kerang sebagai alat pembayaran di Yunnan. Di timur Asia Tenggara, persebaran benda keramik asal Cina telah menggeser pemakaian benda dari perunggu.
Mengenai pemakaian benda perunggu sebagai alat tukar, di Pulau Alor masih terdapat transaksi yang menggunakan genderang perunggu (sejenis moko). Ini mengingatkan kita pada jenis budaya Dongsong, yang merupakan jejaring sosial-budaya yang sangat kuno.