Ada beberapa
harta sejumlah nabi yang terus diburu arkeolog, ahli satelit mata-mata
dan chasseur de tresor (pemburu harta karun). Sebagai contoh, Tabut
Perjanjian Nabi Musa. Tabut merupakan tempat menyimpan ayat-ayat Allah
yang difirmankan di Gurun Sinai.
Benda milik
nabi yang juga diincar yakni singgasana Nabi Sulaiman. Takhta dari emas
berhias berlian itu begitu elok. Model kiani Nabi Sulaiman agak tinggi.
Sebab, bagian bawah berfungsi sebagai brankas jampi-jampi sihir.
Di zaman
Nabi Sulaiman, segala bentuk sihir diharamkan. Semua berkas mantra sihir
lantas disimpan di laci singgasana. Ketika Nabi Sulaiman mangkat, maka,
manusia bersama jin berlomba mencuri naskah-naskah sihir itu.
Ada
kesalahpahaman komunitas Yahudi terhadap Nabi Sulaiman. Mereka
membencinya dengan alasan bahwa Raja Sulaiman penganut ilmu sihir.
Padahal, Nabi Sulaiman bukan penyihir. Ia justru melarang sihir.
Cincin
sekaligus istana Nabi Sulaiman menjadi pula incaran. Sementara tongkat
yang secara turun-temurun dipakai para nabi terkadang ikut menambah
sensasi cerita treasure hunter.
Di antara harta nabi yang paling fantastik dicari ialah the Great Noah Ark (kapal Nabi Nuh). Bahtera itu berlabuh di gunung Judi pada tahun 3393 sebelum Masehi.
Di antara harta nabi yang paling fantastik dicari ialah the Great Noah Ark (kapal Nabi Nuh). Bahtera itu berlabuh di gunung Judi pada tahun 3393 sebelum Masehi.
Masalah
ruwet lantaran tiada makhluk yang tahu di mana sekarang letak gunung
Judi. Rekaman sejarah tak secara spesifik menunjukkan lokasi gunung
Judi. Apalagi tiap masa, orang doyan mengganti nama daerah, danau atau
gunung. Akibatnya, sejarawan kehilangan jejak perihal posisi sesuatu
yang sedang ditelisik.
Abdullah
Yusuf Ali dalam Holy Quran melihat adanya kesamaan kata Judi, Gudi
maupun Kudi. Imajinasi tentu mengarah ke suku Kurdi yang berdiam di Irak
serta perbatasan Turki. Tidak mustahil puak Kurdi adalah warga yang
lahir di sisi gunung Judi.
Kala
terdampar di gunung Judi pada 10 Muharram, Nabi Nuh didampingi putranya.
Mereka yaitu Sam, Ham dan Yafits. Kan’an, anak Nabi Nuh yang lain tak
selamat. Ia mati sebagai kafir pecundang lantaran tidak sudi mengikuti
petuah sang ayah.
Kapal Nabi
Nuh teramat unik. Bentuknya mirip telur bebek yang dibelah dua. Panjang
kapal mencapai 89 meter. Sedangkan lebarnya 71 meter. Bagian depan
maupun belakang sejajar sama tinggi.
Bahtera Nabi
Nuh yang mirip bulatan didesain menghadapi amuk gelombang raksasa. Saat
mengarungi banjir dengan topan berskala F5 (God Finger), kapal hanya
berpenumpang 80 orang. Muatan lain yakni hewan-hewan yang berpasangan.
Kemudian tumbuh-tumbuhan. Sisanya bahan makanan serta minuman untuk 80
kaum Muslim berikut kawanan binatang.
Bahan
makanan sengaja banyak dimuat. Soalnya, setelah berlayar mereka tak
serta-merta memperoleh makanan di daratan. Hal tersebut akibat banjir
yang merusak tumbuh-tumbuhan. Hewan untuk disembelih juga tidak ada.
Maklum, yang tersisa cuma dari bahtera.
Pembuatan
kapal Nabi Nuh menunjukkan bahwa di era itu sains dan teknologi mulai
mekar. Listrik dalam prototipe sederhana sudah digunakan. Ikhwal
tersebut berkat adanya baterai elektrik purba buat menyepuh logam.
Metode
pertukangan pun sangat maju. Masyarakat telah mengenal gergaji serta
pasak. “Kami angkut Nabi Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari
lembaran papan dan paku.” (al-Qamar: 13).
Tatkala
merakit kapal, Nabi Nuh didampingi Jibril. Blue print bahtera itu
langsung dari Allah. “Buatlah kapal dengan pengawasan serta petunjuk
wahyu Kami.” (Hud: 37).
Nabi Nuh
harus dipandu karena tantangan bahtera tersebut tergolong dahsyat.
Pertama, konstruksi kapal mesti kuat menampung muatan. Kedua, bahtera
bakal berhadapan dengan ombak selaba. Apalagi, kapal akan menghadapi
terjangan gelombang selama 40 hari 40 malam. “Bahtera itu berlayar
membawa mereka di tengah ombak yang bak gunung-ganang.” (Hud: 42).
Dunia
mengalami kiamat skala kecil di zaman Nabi Nuh gara-gara kemaksiatan
merajalela. Insan yang diseru agar mematuhi aturan Allah rupanya
melecehkan Nabi Nuh. Nasihat yang diwartakan tak digubris. “Mereka
menyumbat telinganya dengan jari masing-masing seraya menyelubungi muka
dengan bajunya.” (Nuh: 7).
Di masa
kini, spesies durhaka sejenis umat Nabi Nuh tidak terkira. Kejahatan
menjadi berita sehari-hari. Orang sering berceloteh jika negara ini
berasas hukum. Padahal, hukum memilih bulu. Teks bahwa hukum “tidak
pandang bulu” hanya omong kosong belaka. Hukum teramat keras ditimpakan
ke pihak lemah alias rakyat.
Di sisi
lain, hukum melempem bila dikenakan ke pejabat. Apalagi, mereka saling
melindungi. Kalau dipaksakan, maka, pengacaranya berkotek-kotek jika
hukum kita mengenal asas praduga tidak bersalah.
Ketika
kliennya ditetapkan sebagai tersangka, sontak massa bayaran berdemo.
Mereka meminta masyarakat menghargai privasi atas dasar hak asasi
manusia. Anehnya, kita tak pernah mendengar ada yang membela maling ayam
atas nama HAM. Inilah wajah hukum yang berseliweran di hadapan kita.
Kalangan
berduit atau pejabat seenaknya bercumbu mesra dengan penegak hukum.
Sementara rakyat biasa tidak bisa berselingkuh dengan aparat hukum
lantaran tak punya uang atau kuasa.
Dewasa ini,
bukan kapal Nabi Nuh yang harus dicari. Tidak ada arti bagi manusia bila
bangkai bahtera tersebut dipajang di museum. Tak muskil pula ada yang
mencoleng patahan kapal itu sebagai jimat atau benda keramat.
Inti yang
wajib digaungkan tiada lain memetik hikmah saga Nabi Nuh. Bumi
luluh-lantak akibat manusia tidak sudi mendengar risalah Nuh
Alaihissalam. Sang nabi lalu memohon kepada Allah supaya tak lagi ada
orang kafir menghuni bumi.