Pangeran Wangsakerta Sejarawan Pertama Indonesia
Pangeran Wangsakerta dari Cirebon mungkin merupakan orang Indonesia yang pertama kali berusaha menyusun sejarah bangsanya selengkap mungkin. Untuk keperluan penyusunan “buku induk” sejarah itu, ia melakukan hal-hal positif yang bahkan menurut penilaian orang Indonesia sekarang masih terlalu “ilmiah” sehingga diragukan (Ayotrohaedi 1981).
Apalagi karena secara kebetulan usaha untuk lebih memperkenalkannya baru
dilakukan setelah muncul ihwal pemalsuan catatan harian Adolf Hitler di
Jerman. Apakah naskah yang disusun Pangeran Wangsakerta dan
kawan-kawannya, juga hanya karya orang iseng setelah tahun 1950?
Usaha memperkenalkan karyanya, walaupun sedikit demi sedikit, sudah
dilakukan sejak tahun 1981 yang lalu (Ayatrohaedi 1981, 1981a, 1983,
1983a, 1983b, 1983c, 1983d, 1983e, 1983f, 1983g, 1984, 1984a, 1984b;
Yoseph Iskandar 1983, Saleh Danasasmita 1982) sedemikian jauh, justru
usaha untuk memperkenalkan sang sejarawan sendiri belum pernah
dilakukan.
Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya dari Cirebon.
Girilaya yang meninggal tahun 1662 adalah cucu Sunan Gunung Jati dan
berkuasa di Cirebon menggantikan kakeknya, karena ayahnya sendiri sudah
meninggal ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa.
1. Anak sulung bernama Pangeran Martawijaya yang kemudian menjadi Sultan Sepuh I dan menurunkan para penguasa kesepuhan,
2. anak kedua bernama Pangeran Kartawijaya yang menjadi Sultan Anom I dan menjadi leluhur para sultan Kanoman,
3. sedangkan anak ketiga Pangeran
Wangsakerta, tidak memperoleh warisan daerah. Ia kemudian menjadi
“tangan kanan” abangnya, Sultan Sepuh I (Kosch 1979; 85; PS
Sulendraningrat 1974; 66).
Hubungan baik dengan Mataram berkat perkawinan Girilaya dengan putri
Mataram itu rupanya tidak berjalan mulus. Sultan Mataram tidak urung
mencurigai Panembahan Girilaya sehingga akhirnya berhasil menawan
Girilaya dan kedua anaknya di Mataram. Girilaya diundang ke Mataram,
disertai Martawijaya dan Kartawijaya, tetapi sesampai disana tidak
diperbolehkan kembali ke Cirebon. Karena Wangsakerta tidak ikut ke
Mataram, ia pun tidak ditawan (Edi S Ekajati 1984…).
Setelah Panembahan Girilaya meninggal di Mataram, kedua anaknya kembali
ke Cirebon, dan dengan persetujuan Sultan Banten, Cirebon dipecah
menjadi Kasepuhan dan Kanoman. Walaupun Wangsakerta juga menperoleh
daerah, ia tidak diangkat sebagai sultan.
Pangeran Wangsakerta seorang “kutu buku”. Petunjuk kearah itu kita
peroleh dari jilid terakhir karya utamanya yang bernama Pustaka
Rajya-rajya i Bhumi Nusantara (‘Kitab tentang kerajaan-kerajaan di
Nusantara’). Jilid terakhir yang merupakan daftar pustaka itu
menyebutkan tidak kurang dari 1.700 judul naskah atau karangan yang
pada masa itu terdapat di perpustakaan kerajaan Cirebon, terutama
Kasepuhan, mengingat Wangsakerta menjadi pembantu utama Sultan Sepuh I
(Ayatrohaedi 1983.. ).
Usahanya menyusun buku induk itu pun nampaknya didasari oleh
kegemarannya membaca itu. Disamping itu, ada alasan lain yang secara
resmi dikemukakannya dalam Purwaka ‘Kata pengantar’ tiap jilid karyanya
itu. Menurut kata-katanya sendiri, karya itu dikerjakan karena :
Jadi, menurut Wangsakerta, sekurang-kurangnya ada tiga orang penguasa di Jawa yang menugasinya menyusun naskah itu, yaitu :
1. Panembahan Girilaya (Cirebon),2. Sultan ageung Tirtayasa (Banten),
3. dan Sultan Amangkurat II (Mataram).
Disamping itu para penguasa daerah lain yang lebih kecil di Jawa dan Sumatra pun menunjang usaha tersebut.
Ketiga penguasa Jawa itu berkuasa sekitar paro-akhir abad ke-17.
Mengingat keterangan Wangsakerta sendiri yang menyebutkan bahwa kedua
abangnya masing-masing menjadi Sultan Sepuh dan Sultan Anom, dapat
dipastikan bahwa tugas yang diterima sebelum ayahnya meninggal (1662)
itu, baru dilaksanakannya pada masa pemerintahan abangnya.
Berdasarkan kolofon yang tercantum pada akhir setiap jilid memang dapat
diketahui bahwa seluruh naskah itu disusun selama 21 tahun (1670-91
Masehi) (Ayatrohaedi 1983 …).
Pangeran Wangsakerta mempunyai nama lain, al :
- Abdulkamil Muhammad Nasaruddin, yaitu namanya setelah ia berkedudukan sebagai Panembahan Carbon.- Nama lainnya lagi, yang kurang dikenal, ialah Panembahan Agong Gusti Carbon
- dan Panembahan Tohpati.
Di kalangan Cirebon sendiri, Wangsakerta lebih dikenal sebagai pangeran
Arya Carbon yang menyusun naskah Purwaka Caruban Nagari (1720).
Untuk melaksanakan tugas dari ketiga sultan itu, Pangeran Wangsakerta
meminta bantuan tujuh orang pemuka dan ahli di Cirebon. Mereka itulah
yang pada hakekatnya bertindak sebagai “Panitia Wangsakerta” dengan
tugas yang cukup berat itu. Para anggota itu ialah :
- Ki Raksanagara,- Ki Anggadiraksa,
- Ki Purbanagara,
- Ki Singhanagara,
- Ki Anggadiprana,
- Ki Anggaraksa,
- dan Ki Neyapati.
Kesejarahan tokoh-tokoh itu seharusnya tidak usah diragukan, mengingat
enam orang diantara mereka tercatat namanya dalam Dagregister (Atja
1984)
Pangeran Wangsakerta bertindak selaku penanggungjawab, pengambil
keputusan terakhir, dan penyusun tunggal naskah akhir naskah setelah
“bahan baku”nya tersedia. Bahan baku itu diperoleh dengan berbagai macam
cara, antara lain :
- dengan pengumpulan sumber di lapangan,- wawancara dengan para ahli,
- kajian kepustakaan,
- dan seminar atau lokakarya khusus.
- Ki Raksanagara bertugas sebagai penulis naskah dan mengurus keperluan para ahli yang dikumpulkan di Cirebon. Sebagai penulis ia mempunyai wakil, yaitu Ki Anggadiraksa yang juga bertindak sebagai bendahara proyek itu.
- Ki Purbanagara bertugas untuk mengambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara, sekaligus memilih mana yang memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.
- Ki Sanghanagara bertugas sebagai kepala rumah tangga keraton dan menempatkan para duta selama mereka berada di Cirebon, ia mempunyai anak buah sebanyak 70 orang.
- Ki Anggadiprana bertugas sebagai duta keliling ke berbagai negara, mengundang mereka untuk mengikuti pertemuan di Cirebon, dan juga menjadi juru bahasa dalam pertemuan.
- Ki Anggaraksa, bertugas mengurus jamuan dan hidangan,
- sedangkan Ki Nayapati bertanggungjawab atas pemondokan, pengangkutan, dan keamanan.
Tugas utama Panitia Wangsakerta ialah menyusun “buku induk” sejarah
Nusantara. Untuk maksud tersebut, panitia menempuh tahap-tahap
pengumpulan bahan, penyaringan sumber, penyusunan naskah. Jadi, sama
halnya dengan kegiatan yang pasti dilakukan oleh para sejarawan modern
sekarang ini.
Tahap pengumpulan sumber mencakup kegiatan-kegiatan pengumpulan sumber
di lapangan, wawancara dengan para ahli, kajian kepustakaan, dan
penyelenggaraan seminar atau lokakarya sejarah. Pengumpulan sumber di
lapangan terutama dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang tugasnya memang
mengambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara. Ki
Purbanagara jugalah yang rupanya diberi tugas untuk mengundang para
ahli untuk turut berperan dalam seminar atau lokakarya yang
diselenggarakan di Cirebon.
Kajian kepustakaan menjadi tugas Pangeran Wangsakerta, sesuai dengan pengakuannya sendiri :
Wawancara dengan para ahli dilakukan terutama bersamaan waktunya dengan
penyelenggaraan lokakarya. Kegiatan itu dipusatkan di paseban keraton
Kasepuhan, Cirebon. Pesertanya berasal dari seluruh Nusantara, terdiri
dari :
- para mahakawi,- para duta yang ada di Cirebon,
- mantri patih,
- senapati,
- ulama (dang accaryagama),
- ahli kemasyarakatan (widyajanapada),
- ahli ilmu agama (widyagama),
- dan ahli ilmu politik (widyanagara).
Tercatat tidak kurang dari 70 daerah yang mengirimkan utusan ke
lokakarya tersebut, disamping “hana juga pirang amatyanung tan taka”
ada juga (banyak) ahli yang tidak datang. Mereka berkumpul di Cirebon,
selain untuk bersawala dalam lokakarya, juga menulis bermacam monografi
mengenai daerahnya masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa di
perpustakaan keraton Kasepuhan pada akhir abad ke-17 itu, terdapat
tidak kurang dari 1.700 buah naskah yang sempat tercatat oleh Pangeran
Wangsakerta dalam jilid terakhir karyanya.
Diantara naskah itu, ada yang isinya tentang bahasa, penduduk, para
pahlawan, para raja dan penguasa yang memerintah di daerah
masing-masing.
Tahap penyaringan rupanya menjadi tugas khusus panitia, terutama
ketuanya, Pangeran Wangsakerta. Penyaringan pertama juga dilakukan oleh
Ki Purbanagara, yang dalam kegiatan mencari dan mengumpulkan naskah di
berbagai negara, sekaligus juga sudah memilih naskah yang memenuhi
syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.
Tetapi jelas, penyaringan itu terutama dilakukan oleh Pangeran
Wangsakerta sendiri, apalagi jika terjadi sawala yang panas dan
berkepanjangan diantara para peserta lokakarya. Jika suasana panas itu
memuncak, Pangeran Wangsakerta menutuskan untuk mengambil alih masalah
dan menentukan pilihan terakhir, karena bukankah dengan pengetahuannya
yang luas mengenai segala macam kitab itu ia “angasoraken sira kabeh”
“mengalahkan mereka semua”?
Pilihan terakhir itu biasanya merupakan lampah tengah! “jalan tengah”,
dengan senantiasa mengingatkan para peserta akan tujuan utama pertemuan
mereka, yaitu menyusun “buku induk” sejarah. Namun Pangeran
Wangsakerta tetap mengakui adanya kemungkinan kesalahan menyusun, dan
karenanya ia meminta maaf jika sampai terjadi hal semacam itu, “yadyapin
mangkana waraksamakena yan hanekang salah atau kaluputan ing panusun
iti pustaka”.
Tahap penyusunan akhir menjadi tugas Pangeran Wangsakerta sendiri,
dibantu oleh para anggota panitia, terutama Ki Raksanagara dan Ki
Anggadiraksa sebagai penulis dan wakil penulis naskah. Nampaknya
penyusunan itu memang merupakan tugas yang sangat sukar, antara lain
sebagai akibat munculnya berbagai beda pendapat di antara para peserta
lokakarya yang cenderung menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya
paling baik.
Rupanya kegiatan penyaringan itulah yang berlangsung lama. Akibatnya,
penyusunan naskahnya pun menjadi berkepanjangan juga. Seluruh naskah
yang terdiri dari 25 jilid itu baru selesai digarap dalam waktu 21
tahun. Dengan catatan bahwa ada masa-tenggang selama 12 tahun antara
penyusunan jilid terakhir parwa keempat (jilid 20) dengan seluruh parwa,
kelima (jilid 21-5). Masa tenggang itu dipergunakan oleh Pangeran
Wangsakerta untuk menyusun sejumlah naskah lain yang diantaranya
bersumber kepada naskah utama itu juga.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Pustaka Rajya-rajya i Bhumi
Nusantara dapat diketahui bahwa Pangeran Wangsakerta sangat rajin
menulis. Disamping menyusun naskah Pustaka tersebut, ia juga menulis
sejumlah naskah yang lain, terutama pada masa tenggang 12 tahun
(1680-91). Selama itu ia menulis karya sejarah yang lain, semuanya tidak
kurang dari 18 jilid. Disamping itu, ada sebuah naskah lain yang
ditulisnya pada waktu yang lebih kemudian, yaitu Pustaka Purwaka Caruban
Nagari (1720).
Dengan demikian, seluruh naskah yang ditulisnya selama 50 tahun ialah :
- Pustaka Rajya-rajya i bhumi Nusantara (25 jilid),- Nagarakertabhumi (8 jilid),
- Pustaka Pararatwan (Jawamandala, Sundamandala, daerah lain, 10 jilid.),
- dan Purwaka Caruban Nagari (1 jilid).
Dibandingkan dengan kebiasaan menulis “kisah sejarah” yang terdapat pada
umumnya orang Indonesia masa itu, gaya Wangsakerta jelas sekali
berbeda. Tidak seperti karya “sejarah” yang lain (babad, hikayat,
sejarah, kisah, tambo, atau carita) banyak sekali mengandung unsur
mitos, dongeng, atau legenda yang berada “di luar akal sehat”/tidak
masuk akal.
Hal itu menyebabkan tugas ahli sejarah untuk menyaring sumber-sumber
tersebut (babad, hikayat, sejarah, kisah, tambo, atau carita) cukup
berat. Sejarawan dihadapkan kepada suatu suasana yang mencampur-adukan
dongeng dan peristiwa sejarah.
Keadaan seperti itu tidak terdapat didalam karya Wangsakerta. Ia
menyusun karyannya berdasarkan sumber sejarah yang (menurut hematnya)
benar-benar dapat dipercaya. Karena itu, hasilnya pun tentu saja sebuah
karya yang dapat dipercaya juga. Karya itu, terutama Pustaka Rajya-rajya
i Bhumi Nusantara, oleh sebagian sarjana Indonesia dianggap “terlalu
sejarah” untuk masyarakat Indonesia 300 tahun yang lalu. Rupanya mereka
lupa bahwa sebelum tahun 1000 pun orang Indonesia sudah “terlalu maju
teknologi” sehingga menghasilkan Borobudur, Prambanan, Sewu, dan
Ratubaka!
Sedemikian jauh belum diperoleh data yang pasti mengenai usia
Wangsakerta. Ada dua titimasa yang dapat dipergunakan untuk mencoba
memperkirakan kapan Wangsakerta hidup.
- Titimasa pertama ialah tahun kematian Panembahan Girilaya, ayahnya,- sedangkan titimasa kedua adalah tahun penyusunan Purwaka Caruban Nagari.
Menurut catatan yang ada, Panembahan Girilaya meninggal tahun 1662, dan
ia meninggalkan tiga orang anak lelaki. Wangsakerta sebagai anak ketiga
(bungsu), tentunya harus sudah lahir sebelum tahun itu. Jika disesuaikan
dengan pernyataannya sendiri bahwa ayahnyalah yang menugasinya.
Menyusun sejarah, berarti ketika menerima perintah itu ia sudah cukup
dewasa. Karena tugas itu baru dilaksanakan pada masa kekuasaan Sultan
Sepuh I, abangnya, itu berarti bahwa kegiatan lokakarya itu seharusnya
berkangsung antara tehun 1662 (kematian Girilaya) dan 1669 (selesai
penyusunan jilid pertama).
Mengingat bahwa ketika pemerintahan Sultan Sepuh I, Wangsakerta menjadi
tangan kanan dan pembantu utama Sultan, seharusnya ketika itu ia sudah
cukup matang di sidang pemerintahan dan bacaan. Jika dianggap bahwa usia
25 tahun merupakan kemungkinan paling muda untuk mengukur kedewasaan
kejiwaan seseorang, berarti Wangsakerta lahir sekitar tahun 1645, tahun
terakhir pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Dugaan ini cocok,
mengingat bahwa dua orang sultan yang memberinya perintah (Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten dan Sultan Amangkurat II dari Mataram) juga
berkuasa sesudah tahun 1650. Artinya, pada masa pemerintahan kedua
orang sultan itu, Wangsakerta memang sudah menjadi seorang yang dewasa
dan matang.
Titimasa penulisan Purwaka Caruban Nagari dapat dipergunakan untuk
memperkirakan tahun akhir hayatnya. Mengingat bahwa naskah itu disusun
tahun 1720, dapat dipastikan bahwa sampai tahun itu Wangsakerta masih
hidup. Itu berarti bahwa Wangsakerta sedikit-dikitnya hidup selama 75
tahun (1645-720), dan 50 tahun terakhir dari usianya itu selalu
dipergunakan untuk mempelajari, menyusun, dan menulis karya sejarah.
Sungguh suatu prestasi yang sukar dicari bandingannya, & semua
karyanya itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari kacamata
modern.