Irma Hariawang, Peneliti Candi Borobudur yang Dikaitkan dengan Ilmu Astronomi
- Ternyata Ada Hubungan Antara Stupa dan Penentuan Awal Musim
Irma Hariawang (dua dari kiri) bersama teman-temannya sesama peneliti. Foto: Dhimas Ginanjar/Jawa Pos
jpnn.com, Selasa, 05 Juli 2011 – Mungkin sudah cukup banyak orang yang meneliti Candi Borobudur. Tapi, yang dilakukan Irma Hariawang termasuk langka dan unik. Sebab, dia meneliti Candi Borobudur dikaitkan dengan tinjauan astronomi (ilmu perbintangan). Apa yang dia temukan?
SUATU hari, pada pertengahan 2007, Irma Hariawang yang saat itu mahasiswi astronomi ITB (Institut Teknologi Bandung) berpikir keras mencari tema yang akan diangkat untuk tugas akhir. Dia lantas teringat rencana PBB yang akan mencanangkan tahun 2009 sebagai International Year of Astronomy (IYA). Maka, tema itu kemudian dia jadikan inspirasi untuk menggarap tugas akhirnya.
Salah satu materi utama IYA adalah pelestarian situs arkeoastronomi dan arkeobudaya. Dia kala itu penasaran apakah bangunan kuno di Indonesia memiliki keterkaitan dengan astronomi? Dengan kata lain, apakah para nenek moyang kita sudah mengerti astronomi atau tidak? “Yang saya yakin, setiap negara pasti punya cerita unik tentang budaya dan astronomi,” ujarnya.
Kebetulan, pada tahun-tahun itu sedang gencar-gencarnya berita Candi Borobudur akan dihapus dari tujuh keajaiban dunia. Perempuan yang kini bekerja sebagai IT konsultan itu pun lantas berpikir mengapa bukan Borobudur saja yang menjadi objek penelitiannya. “Apalagi, candi itu merupakan salah satu bangungan tua sisa peninggalan nenek moyang yang masih bagus,” imbuhnya.
Ditambah lagi, dari ilmu yang dipelajarinya menunjukkan bahwa candi tersebut simetris tepat ke empat arah mata angin. Niatnya makin matang saat berbagai penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa bangunan kuno memiliki keterkaitan dengan astronomi. Misalnya, di Inggris ada penelitian tentang Stonehenge dan di Kamboja terdapat penelitian tentang Angkor Wat.
“Kenapa di Indonesia tidak bisa ada situs astrobudaya?” batinnya saat itu. Dia lantas mencari berbagai literatur terkait Borobudur dan keterkaitannya dengan astronomi. Namun, belum ada catatan tertulis tentang aspek astronomi yang digunakan nenek moyang Indonesia kala itu.
Sebenarnya, salah seorang dosennya pernah “iseng-iseng” meneliti Candi Prambanan dikaitkan dengan aspek astronomi. Sayang, hasil penelitian itu tidak ditulis sehingga tidak ada bukti ilmiahnya.
Karena itu, Irma mengklaim baru dirinyalah orang yang meneliti objek Candi Borobudur dikaitkan dengan aspek astronomi atau astrobudaya. Setelah dibicarakan dengan dosennya, pada awal 2008 dia mulai membentuk tim untuk penelitian.
Dia lantas meminta bantuan beberapa orang untuk membantu penelitiannya demi menguak misteri Borobudur. Mereka adalah Ferry M. Simatupang (dosen astronomi); Erni R. Sihotang dan Rudi Hariyanto (mahasiswa astronomi); Fathonah D. Rahayu dan Hanief T. (alumni astronomi); E. Sungging M. (Lapan Bandung); serta Ratna S. (BMKG). Mereka lantas diberi label Tim Arkeoastronomi ITB.
Maret 2009 menjadi awal bagi tim tersebut untuk menginjakkan kaki di candi Buddha terbesar di Indonesia itu. Jauhnya jarak antara Bandung dan Magelang membuat Irma harus mengefektifkan kinerja. “Salah satu masalah kami ada di dana. Selain itu, anggota tim punya kesibukan lain,” tuturnya.
Daftar kerja yang harus diselesaikan tim itu, antara lain, adalah mencari orientasi kemiringan candi, fungsi candi sebagai jam matahari yang sama berkaitan dengan gugus bintang Pleiades di rasi Taurus. Kala itu, Irma berasumsi, kaitan Borobudur dengan rasi Orion berhubungan dengan dua candi di sekitarnya. Yakni, Candi Mendut dan Candi Pawon.
Irma yakin, tiga letak candi itu sesuai dengan gugus bintang Pleiades di rasi bintang bersimbol Taurus itu. “Tapi, itu baru hipotesisnya,” paparnya.
Untuk menjawab semua pertanyaan itu, dia mulai mengukur orientasi candi terhadap arah mata angin. Jatuhnya bayangan stupa utama juga diukur. Terakhir, timnya juga berusaha menguak makna relief bulan-tujuh lingkaran-matahari di arah utara Candi Borobudur.
Ternyata benar, kemegahan Candi Borobudur tidak hanya sebatas kenyataan saat ini. Penempatan stupa maupun relief di dinding candi ternyata memiliki keterkaitan dengan ilmu perbintangan. “Stupa utama candi berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar matahari,” terangnya.
Tidak hanya itu, Irma dan tim juga yakin bahwa tata letak antarstupa memiliki tujuan atau makna tertentu. Nah, dari jatuhnya bayangan stupa itu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai dengan Pranatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa).
Untuk bisa mendapatkan semua itu, tim terlebih dahulu menentukan bayangan lurus stupa utama saat matahari berada di garis khatulistiwa. Pengukuran itu menunjukkan bahwa posisi Borobudur tepat dengan arah mata angin. “Mengagumkan, arahnya benar-benar tepat dan akurat,” katanya.
Di samping itu, dia mendapatkan bukti bahwa Borobudur miring 1 derajat sejak dibangun pada dinasti Syailendra sekitar 800 Masehi. Dari empat sisi bangunan Borobudur itu, diketahui arah utara-selatan menunjuk posisi kutub utara dan kutub selatan. Ini membuktikan bahwa nenek moyang kita saat itu sudah mampu menentukan arah timur-barat secara akurat dengan menggunakan bayangan matahari. “Itu masih fakta awal. Masih banyak penelitian lanjutan yang harus dilakukan,” ungkapnya.
Namun, penelitian seperti itu tidak mudah. Selain penelitian arkeoastronomi di Indonesia masih baru, masalah dana kerap menjadi penghambat. Belum populernya arkeoastronomi juga membuat tidak banyak pihak yang mau mendanai penelitian.
Selama penelitian, timnya efektif pergi ke Borobudur hanya 12 kali. Yakni Maret 2009, Desember 2009, dan ditutup Maret 2010. Setiap ke sana, lama penelitian juga dipersingkat menjadi empat hari saja. “Awal ke Borobudur, kami mbonek (bondo nekat) karena dana masih minim,” kenang perempuan kelahiran Surabaya, 26 tahun lalu, itu.
Masalah dana tersebut juga sempat mengancam berlangsungnya penelitian. Untung, tim yang sempat ngos-ngosan soal dana itu akhirnya mendapatkan kucuran dana pada akhir 2009. Itu pun setelah timnya menjadi finalis lomba riset di kampusnya.
Namun, jerih payah tersebut membuatnya bernapas lega. Hasil yang dia peroleh ternyata sangat memuaskan. Proyeknya tersebut mampu meluluskannya dari Astronomi ITB dengan nilai A.
Kini arek Lembah Harapan, Lidah Wetan, Surabaya, itu memang sudah lulus dan bekerja. Namun, ini bukan berarti penelitiannya berhenti total. Sebab, kata Irma, masih banyak hipotesis yang perlu dibuktikan meski secara resmi timnya sudah dibubarkan. “Tidak tahu kapan akan berhenti,” ucapnya.
Saat ini penelitiannya masih berlanjut di belakang layar. Dia masih berhasrat membuktikan bahwa Borobudur memang berfungsi sebagai jam matahari. Selain itu, dia belum memiliki jawaban utuh mengenai Borobudur dan rasi bintang Orion.
Dari tiga misteri itu, Irma mengungkapkan, yang paling bagus progresnya adalah Borobudur sebagai jam matahari. Yang membanggakan, risetnya telah membawa Irma terbang ke Jepang September tahun lalu. Di sana dia mempresentasikan penelitiannya di observatorium Jepang pada International Conference on Oriental Astronomy. Pada 25-29 Juli nanti dia juga diundang ke Thailand untuk menyampaikan riset tentang Borobudur dan jam matahari di pertemuan astronomi Asia Pasifik. (*/c4/c9/kum)