http://aleut.wordpress.com/2011/01/29/dipati-ukur-an-honourable-hero-or-a-legendary-loser/
Dipati Ukur, an Honourable Hero or a Legendary Loser
Oleh : M.Ryzki Wiryawan
Dipati Ukur, an Honourable Hero or a Legendary Loser
Kalimat tersebut termaktub dalam bagian terakhir karya Rabin Hardjadibrata yang berjudul “Dipati Ukur, Was it the Week that Ushered 350 Years of Dutch Rule”. Tokoh Dipati Ukur memang merupakan seseorang yang misterius dan telah menjadi diskusi selama ratusan tahun. Ada yang menganggapnya pahlawan, ada yang menganggapnya pemberontak yang gagal, ada pula yang melihatnya sebagai sekadar tokoh figuran dalam sejarah. Tapi yang pasti, di luar segala penilaian tersebut, dengan mengenali sejarah tokoh Dipati Ukur, ada banyak hal yang bisa dipelajari.
Di abad-16, seluruh daerah Pasundan berada di bawah kekuasaan Mataram. Berdasarkan babad Limbangan, pangeran Sumedang Arya Suriadiwangsa (Kusumadinata) sengaja mendatangi Sultan Mataram (susuhunan) untuk mengabdikan diri kepada Mataram (serah bongkokan) tahun 1620 M. Susununan kemudian menjadikannya sebagai Bupati-Wedana seluruh tanah Pasundan. Sejak saat itu, tanah pasundan dinamakan “Praiangan” (pemberian) sehingga dikenal di kemudian hari sebagai Priangan. Pangeran Arya Suriadiwangsa pun mendapat gelar baru dari susuhunan, tidak lain adalah “Rangga Gempol”.
Mengenai Dipati Ukur sendiri, identitasnya tidak jelas. Tapi pastinya ia adalah Dipati / Bupati dari daerah Tatar Ukur, sekarang kabupaten Bandung dan beribukota di daerah Pabuntelan. RD. Asikin menyebutkan bahwa Sosok Dipati Ukur bukanlah berasal dari tanah Pasundan melainkan seorang bernama Dipati Wangsanata yang berasal dari Jambu karang, Purbalingga (Banyumas).
Tahun 1625, Rangga Gempol dan Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Mataram untuk menyerang Pamekasan/Sampang. Serangan ini gagal dilaksanakan sehingga kedua pimpinan itu kembali ke Mataram dan terancam hukuman dari Susuhunan Mataram. Sultan yang murka menghukum mati sang Pangeran Sumedang dengan memancung kepalanya. Konon buktinya saat ini makam sang Pangeran Sumedang bisa kita temukan di dua tempat, yaitu di daerah Lempuyangan Jogjakarta dan Jalan Karasak (kotabaru). Satu makam menyimpan kepalanya, dan satu makam lainnya menyimpan tubuhnya.
Sumber lain memuat cerita berbeda, menurut penuturan R.D. Asikin, Pangeran Rangga Gempol dan Dipati Ukur ternyata berhasil menaklukkan Sampang walau dengan jalan perdamaian. Dan untuk mengungkapkan kegembiraan atas kemenangan tersebut, terdengarlah oleh Dipati Ukur bahwa Pangeran Rangga Gempol sempat mengucapkan kalimat sebagai berikut ,
”Entong boro Sampang, najan Mataram oge Raji sanggup nalukkeun jero sabedug” (Jangankan Sampang, Mataram pun bisa kutaklukkan).
Walau diucapkan sebagai bentuk lelucon, Dipati Ukur melaporkan ucapan ini ke Sultan Mataram sehingga keluarlah murkanya. Ia menghukum pancung sang Pangeran Rangga Gempol.
Entah mana versi yang benar, namun berdasarkan versi cerita pertama, Dipati Ukur menolak hukuman mati dan meminta kesempatan memimpin pasukan untuk menyerang Batavia, dengan kepalanya sebagai taruhannya.
“Nyuhunkeun hampura jeng Gusti. Abdi anggur maju perang, ngarempug tanah Betawi, manawa aya idin, Jaketra arek digempur” Ujar Dipati Ukur
“Sukur maneh sanggup jurit, pibatureun bopati sabeulah girang” Jawab Sultan Agung.
Sang Sultan menyambut tawaran tersebut dan kemudian mengangkat Dipati Ukur sebagai penguasa sekalian kawasan Priangan (Umbul 44) dan memerintahkannya bersama pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Bahureksa (Dari Kendal) untuk menyerang Batavia.
Dalam rencana penyerangan Batavia, Dipati Ukur memimpin 10.000 pasukan dari tanah Pasundan dan transit di Karawang untuk bergabung dengan pasukan Mataram pimpinan Bahureksa. Namun setelah selama kurang lebih seminggu menunggu, pasukan Mataram tidak juga tiba. Dipati Ukur kemudian memutuskan untuk menyerang Batavia dengan kekuatan seadanya. Penyerangan Batavia yang dilakukan oleh Dipati Ukur berbuah kegagalan. Pasukan Bahureksa yang tiba di Karawang dan menemukan bahwa pasukan Dipati Ukur telah berangkat tanpa sepengetahuannya kemudian memutuskan pula untuk menyerang Batavia. Usaha penyerangan kedua ini juga gagal karena VOC telah keburu mempersiapkan diri.
Bahureksa yang kecewa kemudian melaporkan kepada Susuhunan Mataram bahwa penyebab dari segala kegagalan ini adalah karena Dipati Ukur yang menyerang Batavia tanpa menunggu tambahan pasukan pimpinan dirinya. Sultan Agung (Susuhunan Mataram) kemudian memerintahkan hukuman mati pada Dipati Ukur akibat kegagalan penyerangan Batavia itu.
Dipati Ukur sebenarnya sudah mengetahui konsekwensi akibat kegagalan serangannya tersebut. Daripada menghadap Mataram dan mati di tangan Sultan, Dipati Ukur memutuskan untuk menghimpun kekuatan guna memisahkan diri dari kekuasaan sang Susuhunan.
“Mun aing ngasih kawula, tangtu aing meunang nyeri, kadangkala dipaehan. Anggur urang mapag baris. Sabalad-baladna kami, urang pindah ka gunung, nyarieun benteng di dinya…”
Dipati Ukur mengajak pimpinan-pimpinan Sunda (Umbul) untuk ikut bersama dengannya membangun pertahanan di Gunung Lumbung. Namun ajakan ini ditolak oleh beberapa pimpinan lokal : Ngabehi Wirawangsa (Sukakerta), Ngabehi Samahita (Sindangkasih), Ngabehi Astramanggala (Sindangkasih) dan Uyang Sarana (Indihiang). Keempat umbul ini kemudian melaporkan tindakan Dipati Ukur kepada Sultan Agung. Sebagai ungkapan terima kasih atas laporan tersebut, Sultan Agung mengampuni mereka.
Sultan Mataram kemudian mengirim pasukan dipimpin Narapaksa untuk menghancurkan pasukan Dipati Ukur. Berdasarkan catatan Belanda. Sekitar 100.000 pasukan dikerahkan untuk meratakan tanah Ukur dan Sumedang. Banyak dari penduduk Ukur ini yang mengungsi ke Banten dan Batavia. Pasukan Dipati Ukur yang bertahan di Gunung Lumbung berhasil menahan serangan pertama dari pasukan Mataram. Sultan Agung kemudian mendapatkan informasi bahwa Dipati Ukur hanya dapat dikalahkan oelh pasukan yang berasal dari tanah Pasundan, oleh karena itu dalam serangan kedua, beliau menyertakan pasukan Bagus Sutapura dari Galuh dan serangan ini mampu mematahkan pertahanan Dipati Ukur.
Dipati Ukur berhasil ditawan dan dihukum mati di Mataram. Daerah kekuasaan Dipati Ukur kemudian dibagi kepada tida umbul yang tidak ikut berontak : Ngabehi Astamanggala menjadi Tumenggung Wiraangun-angun, Ngabehi Samanhita menjadi Tumenggung Tanubaya. Ngabehi Wirawangsa menjadi Tumenggung Wiradadaha. Masing-masing mereka menjadi Bupati daerah Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa daerah Bandung (kabupaten) merupakan hadiah atas usaha mengalahkan Dipati Ukur.
Berdasarkan riwayat, hukuman yang diterima Dipati Ukur dan pengikutnya cukup keji dalam ukuran modern, yaitu Dipenggal leher, dimutilasi, dibakar, direbus dalam air, dipicis, dan ditumbuk. Para tawanan wanita ditenggelamkan sampai mati. Entah di mana Dipati Ukur dimakamkan, namun hingga sekarang kita dapat menemukan beberapa lokasi makam Dipati Ukur : Astana Luhur (Pameungpeuk), Puncak Gunung Geulis (Ciparay), Tepi Citarum (Desa Manggahang), Gunung Sadu (Soreang), kampung Cikatul/Pabuntelan (Pacet), Astana Handap (Banjaran), Gunung Tikukur (desa Manggahang) dan Pasir Luhur (Ujungberung utara).
Sebenarnya ada beberapa versi mengenai kisah Dipati Ukur yang lengkapnya dapat dibaca dalam karya Dr. Edi S. Ekadjati “Ceritera Dipati Ukur”. Hampir mustahil untuk memastikan versi mana yang paling benar karena setiap versi disusun berdasarkan Babad yang nilai subjektifitasnya tinggi. Dalam akhir bukunya tersebut, sang Doktor menyebutkan :
“Terjadinya saling menuduh di antara keluarga bangsawan Priangan (Galuh, Sukapura, Bandung, Sumedang, Cianjur, Dll.) yang bertalian dengan penilaian terhadap tokoh Dipaati Ukur, kiranya merupakan perselisihan yang sesungguhnya memperebutkan “Picisan Kosong”. Hal itu disebabkan anggapan yang tidak pada tempatnya tentang CDU (Cerita Dipati Ukur). Penempatan CDU pada kedudukan yang semestinya, akan menghindari salah faham yang bukan-bukan.”
Melalui tulisan ini, Saya tidak akan menilai baik-buruknya tokoh Dipati Ukur, melainkan hanya mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya berdasarkan Kisah Dipati Ukurtersebut, adalah tidak mudah untuk bisa mempersatukan tokoh-tokoh pemimpin (politik) dari Jawa Barat. Padahal kalau mereka bersatu, mungkin mereka bisa mengalahkan suatu Emporium seperti Mataram atau bahkan VOC sekalipun. Yang pasti kelemahan inilah yang digunakan pihak-pihak tertentu untuk terus melemahkan Jawa Barat. Saatnya tokoh-tokoh Sunda bersatu, dan menunjukan bahwa kita punya kekuatan.
Sumber :
Dr. Edi S. Ekadjati. Ceritera Dipati Ukur. Pustaka Jaya 1982
Rabin Hardjadibrata, Dipati Ukur : Was it the Week that Ushered 350 Years of Dutch Rule?. Pusat Studi Sunda, 2009
R.D. Asikin Widjajakoesoema. Sadjarah Sumedang. Firma Dana Guru, 1960