http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda
Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
“ | Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk. | ” |
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Daftar isi |
Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Sejarah
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.
Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh s/d Pajajaran
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
- Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
- Brajawisésa (989 - 1012)
- Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
- Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
- Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
- Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482)
- Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Kerajaan Sumedang Larang
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumedang_Larang
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Daftar isi[sembunyikan] |
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
No. | Masa[1] | Tahun |
---|---|---|
1 | Kerajaan Sumedang Larang | 900 - 1601 |
2 | Pemerintahan Mataram II | 1601 - 1706 |
3 | Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) | 1706 - 1811 |
4 | Pemerintahan Inggris | 1811 - 1816 |
5 | Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie | 1816 - 1942 |
6 | Pemerintahan Jepang | 1942 - 1945 |
7 | Pemerintahan Republik Indonesia | 1945 - 1947 |
8 | Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda | 1947 - 1949 |
9 | Pemerintahan Negara Pasundan | 1949 - 1950 |
10 | Pemerintahan Republik Indonesia | 1950 - sekarang |
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
No. | Nama[1] | Tahun | |
---|---|---|---|
1 | Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang | ||
a | Prabu Guru Aji Putih | 900 | |
b | Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela | 950 | |
c | Prabu Gajah Agung | 980 | |
d | Sunan Guling | 1000 | |
e | Sunan Tuakan | 1200 | |
f | Nyi Mas Ratu Patuakan | 1450 | |
g | Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata | 1530 - 1578 | |
h | Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya | 1578 - 1601 | |
2 | Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II | ||
a | R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I | 1601 - 1625 | |
b | Pangeran Rangga Gede | 1625 - 1633 | |
c | Pangeran Rangga Gempol II | 1633 - 1656 | |
d | Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III | 1656 - 1706 | |
3 | Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang | ||
a | Dalem Tumenggung Tanumaja | 1706 - 1709 | |
b | Pangeran Karuhun | 1709 - 1744 | |
c | Dalem Istri Rajaningrat | 1744 - 1759 | |
d | Dalem Anom | 1759 - 1761 | |
e | Dalem Adipati Surianagara | 1761 - 1765 | |
f | Dalem Adipati Surialaga | 1765 - 1773 | |
g | Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) | 1773 - 1775 | |
h | Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) | 1775 - 1789 | |
i | Dalem Aria Sacapati | 1789 - 1791 | |
j | Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata | 1791 - 1800 | |
k | Bupati Republik Batavia Nederland | 1800 - 1810 | |
l | Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte | 1805 - 1810 | |
m | Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte | 1810 - 1811 | |
n | Bupati Masa Pemerintahan Inggris | 1811 - 1815 | |
o | Bupati Kerajaan Nederland | 1815 - 1828 | |
p | Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung | 1828 - 1833 | |
q | Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit | 1833 - 1834 | |
r | Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja | 1834 - 1836 | |
s | Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih | 1836 - 1882 | |
t | Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah | 1882 - 1919 | |
u | Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang | 1919 - 1937 | |
v | Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri | 1937 - 1942 | |
w | Bupati Masa Pemerintahan Jepang | 1942 - 1945 | |
x | Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia | 1945 - 1946 | |
4 | Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia | ||
a | Raden Hasan Suria Sacakusumah | 1946 - 1947 | |
5 | Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia | ||
a | Raden Tumenggung M. Singer | 1947 - 1949 | |
6 | Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan | ||
a | Raden Hasan Suria Sacakusumah | 1949 - 1950 | |
7 | Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia | ||
a | Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) | 1950 | |
b | Raden Abdurachman Kartadipura | 1950 - 1951 | |
c | Sulaeman Suwita Kusumah | 1951 - 1958 | |
d | Antan Sastradipura | 1958 - 1960 | |
e | Muhammad Hafil | 1960 - 1966 | |
f | Adang Kartaman | 1966 - 1970 | |
g | Drs. Supian Iskandar | 1970 - 1972 | |
h | Drs. Supian Iskandar | 1972 - 1977 | |
i | Drs. Kustandi Abdurahman | 1977 - 1983 | |
j | Drs. Sutarja | 1983 - 1988 | |
k | Drs. Sutarja | 1988 - 1993 | |
l | Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra | 1993 - 1998 | |
m | Drs. H. Misbach | 1998 - 2003 | |
n | H. Don Murdono,SH. Msi | 2003 - 2008 | |
o | H. Don Murdono,SH. Msi | 2008 - 2013 |
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
- Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
- Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
- Kiyai Demang Watang di Walakung.
- Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
- Santowaan Cikeruh.
- Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
- Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
- Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
- Kiyai Kadu Rangga Gede
- Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
- Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
- Raden Ngabehi Watang
- Nyi Mas Demang Cipaku
- Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
- Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
- Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
- Nyi Mas Rangga Pamade
- Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
- Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
- Pangeran Tumenggung Tegalkalong
- Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[2]:
- Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
- Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
- Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.
BERDIRINYA KABUPATEN BANDUNG
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan
sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah daerah Kerajaan
Timbanganten' dengan ibukota di Tegalluar.2 Kerajaan itu berada
di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan
abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun
oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang
cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri
atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat
gerakan pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di
daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan
Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan
Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu
Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat
yang terletak di sebelah barat kota Sumedang sekarang. Wilayah
kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut
Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria
Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya,
Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun
1620.5 Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan
menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram
menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat
terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten clan atau Kompeni
yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni
dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden
Aria Suriadiwangsa rnenjadi "Bupati Wedana" (bupati kepala) di
Priangan (1620 - 1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol 1.6
Tahun 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk
menaklukkan daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan
"Bupati Wedana" Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol 1,
yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran
Dipati Rangga Gede menjabat sebagai bupati wedana, Sumedang
diserang oleh pasukan Banten. Oleh karena sebagian pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tdak
dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, is menerima sanksi
politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di
Mataram. Jabatan "Bupati Wedana" Priangan diserahkan kepada
Dipati Ukur, dengan syarat is hares dapat merebut Batavia dari
kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati
Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di
Batavia.7 Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati
Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan itu is
akan mendapat hukuman berat dari raja Mataram, misalnya hukuman
seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau
hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu-Dipati Ukur
beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah
penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke
Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu
dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap
penguasa kerajaan Mataram. Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur
beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak
Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung,
akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan daerah
Priangan. Secara teoretis, bila daerah sangat jauh dari pusat
kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun
demikian, berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan,
pihak Mataram akhimya dapat memadamkan "pemberontakan" Dipati
Ukur.8 Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap
di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632' Setelah
"pemberontakan Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung
menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada
Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.
Selanjutnya Sultan Agung mengadakan reorganisasi pernerintahan di
Priangan, dengan tujuan untuk menstabilisasikan situasi dan
kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan
Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung,
Kabupaten Parakanmuncang, dan Kabupaten Sukapura dengan cara
mengangkat tiga orang kepala daerah dari Priangan yang dianggap
telah berjasa menumpas "pemberontakan" Dipati Ukur Ketiga orang
kepala dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti,
diangkat menjadi "mantri agung" (bupati) Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang
dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar
Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan
berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari
Sabtu tanggal 9 Muhararn Tahun Alip11 (penanggalan Jawa). Dengan
demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari
jadi Kabupaten Bandung, tetapi sekaligus sebagai hari jadi
Kabupaten Sukapura dan Kabupaten " Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi
perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula
merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan
Sunda-Pajajaran kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak
jelas, berubah menjadi daerah dengan status administratif yang
jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan
Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung
(naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung
Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar
Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati
Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung
Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat
yang terletak di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai
Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian selatan)
sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten
Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut "Bumi
Ukur Gede" .
Wilayah administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram
(hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena
sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum
ditemukan. Menurut sumber pribumi, pada tahap awal Kabupaten
Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk
daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan
sebagianTanahmedang. Boleh jadi, daerah Priangan di luar wilayah
Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura, dan Galuh, yang
semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administratif
Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka
Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup
daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran,
Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan
lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang, dan
Tanahmedang.
Oleh karena Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten
bentukan pemerintah kerajaan (Mataram), dan berada di bawah
pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan
Kabupaten Bandung pun mewarisi sistem pemerintahan Mataram.
Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus,
dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut kebesaran itu
menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh bupati atas
rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan
oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dimiliki oleh raja.
Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut
pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja
(ngawula), hak berburu dan menangkap ikan, dan hak mengaditi.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa
Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu bupati Bandung
khususnya dan bupati di Priangan umumnya berkuasa seperti raja.ls
la berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan
dan gaga hidup bupati merupakan "miniatur" dari kehidupan
keraton.16 Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh
pejabatpejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang
atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala
distrik), patinggi (lurah atau kepala desa), dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada di bawah pengaruh Mataram hingga akhir
tahun 1677. Selanjutnya Kabupaten Bandung jatuh ke bawah
kekuasaan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian
MataramKompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677.17
Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), bupati Bandung dan bupati
lainnya di Priangan, tetap berkedudukan sebagai penguasa
tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasamya hampir tidak mengalami
perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui
kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi
tertentu kepada VOC, dan bupati tidak boleh mengadakan hubungan
politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah
adalah jabatan "bupati wedana" dihilangkan. Sebagai gantinya,
Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai "pengawas"
(opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlanden).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap Kompeni adalah
melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan
menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut
Preangerstelsel. Sementara itu, bupati wajib memelihara keamanan
dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh
mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan
"Bupati Kompeni" atau penguasa Kompeni di Cirebon .Agar bupati
dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik,
pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari
bidang itu, seperti bagian zakat fltrah, tidak diganggu baik
bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan
kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni .
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC (akhir tahun 1779),
Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten
Bandung diperintah secara turun-temurun oleh enam orang bupati.
Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama (angkatan
Mataram) yang memerintah hingga tahun 1681. Lima bupati lainnya
adalah bupati angkatan Kompeni, yaitu Tumenggung Ardikusumah
(1681-1704), Tumenggung Anggadiredja 1 (1704-1747), Tumenggung
Anggadiredja II (1747-1763), R. Anggadiredja III dengan gelar
R.A. Wiranatakusumah 1(1763-1794), dan R.A. Wiranatakusumah II
(1794-1829).22 Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah
II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke Kota
Bandung.
Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung
Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam atau sama
dengan hari sabtu tanggal 20 April tahun 1641 M, sebagai Bupati Pertama
pada waktu itu adalah Tumenggung Wiraangunangun (1641-1681 M). dari
bukti sejarah tersebut maka ditetapkan bahwa tanggal 20 April sebagai
tanggal Hari Jadi Kabupaten Bandung. Jabatan Bupati kemudian di
gantikan oleh Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili
tidak lama memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten.
Jabatan Bupati kemudian di lanjutkan oleh Tumenggung Ardikusumah,
seorang Dalem Tenjolaya (Timbanganten) dari tahun 1681 -1704.
Selanjutnya
kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan
kepada putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704 setelah Pemerintah
Belanda mengadakan pertemuan dengan para Bupati Wilayah Priangan di
Cirebon. R. Ardisuta ( 1704 - 1747 ) terkenal dengan nama Tumenggung
Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut Dalem Gordah. sebagai
penggantinya diangkat Putra tertuanya Demang Hatapradja yang bergelar
Anggadiredja II (1707 - 1747).
Pada masa
Pemerintahan Anggadiredja III (1763 - 1794) Kabupaten Bandung disatukan
dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan Batulayang
kedalam Pemerintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati
Wiranatakusumah II (1794 - 1829) inilah Ibukota Kabupaten Bandung di
pindahkan dari Karapyak (Dayeuh kolot) ke Pinggir sungai Cikapundung
atau Alun - alun Kotamadya Bandung sekarang. Pemindahan Ibukota itu
atas dasar perintah dari Gubernur Jendral Hindia Belanda Daendels
tanggal 25 Mei 1810, dengan alasan karena daerah baru tersebut dinilai
akan memberikan prospek yang lebih baik terhadap perkembangan wilayah
tersebut.
Setelah kepala pemerintahan dipegang oleh Bupati Wiranatakusumah IV (1846 - 1874) Ibukota Kabupaten Bandung Berkembang pesat dan beliau dikenal sebagai Bupati yang
progresif. dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang
disebut Negorij Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten
Bandung dan Mesjid Agung. kemudian dia memprakarsai pembangunan sekolah
Raja (pendidikan Guru) dan mendirikan sekolah untuk para menak
(Opleiding School Voor Indische Ambtenaaren). atas jasa-jasanya dalam
membangun Kabupaten Bandung disegala bidang beliau mendapatkan
Dimasa pemerintahan
R. Adipati Kusumahdilaga jalan Kereta Api mulai masuk
tepatnya tanggal 17 Mei 1884. Dengan masuknya jalan Kereta Api ini
Ibukota Bandung kian ramai. Penghuninya bukan hanya pribumi, bangsa
Eropa dan Cina pun mulai menetap di Ibukota, dampaknya perekonomian
Kota Bandung semakin maju. Setelah wafat penggantinya diangkat RAA.
Martanegara, Bupati ini pun terkenal sebagai perencana kota yang
jempolan. Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk
berpartisipasi aktif dalam menata wilayah kumuh menjadi pemukiman yang
nyaman. Pada masa pemerintahan RAA Martanegara (1893 - 1918) ini atau
tepatnya pada tanggal 21 Februari 1906, kota Bandung sebagai Ibukota
Kabupaten Bandung berubah statusnya menjadi Gementee (Kotamadya).
Periode selanjutnya Bupati Kabupaten Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakusumah
V (Dalem Haji) yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1912 -
1931 sebagai Bupati yang ke 12 dan berikutnya tahun 1935 - 1945 sebagai
Bupati yang ke 14. Pada periode tahun 1931 - 1935 R.T. Sumadipradja
menjabat sebagai Bupati ke 13. Selanjutnya pejabat Bupati ke 15 adalah
R.T.E. Suriaputra (1945 - 1947) dan penggantinya adalah R.T.M
Wiranatakusumah VI alias aom Male (1948 - 1956), kemudian diganti oleh
R. Apandi Wiriadipura sebagai Bupati ke 17 yang dijabatnya hanya 1 tahun(1956 - 1957). Sebagai Bupati berikutnya adalah Letkol R. Memet Ardiwilaga (1960 - 1967).
Kemudian pada masa transisi kehidupan politik
Orde Lama ke Orde Baru adalah Kolonel Masturi. Pada masa Pimpinan
Kolonel R.H. Lily Sumantri tercatat peristiwa penting yaitu rencana
pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung
yang semula berada di Kotamadya Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten
Bandung yaitu daerah Baleendah. Peletakan Batu Pertamanya pada tanggal
20 April 1974 yaitu pada saat Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke -
333. Rencana kepindahan Ibukota tersebut berlanjut hingga jabatan
Bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980 - 1985).
Atas pertimbangan secara fisik geografis daerah Baleendah tidak
memungkinkan untuk dijadikan sebagai Ibukota Kabupaten, maka ketika
Jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985 -
1990), Ibukota Kabupaten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu Kecamatan
Soreang. Dipinggir Jalan Raya Soreang tepatnya di Desa Pamekaran inilah
di Bangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 Ha, dengan
menampilkan arsitektur khas gaya Priangan sehingga kompleks perkantoran
ini disebut - sebut sebagai kompleks perkantoran termegah di Jawa
Barat. Pembangunan perkantoran yang belum rampung seluruhnya dan
dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U.Djatipermana,
sehingga pembangunan tersebut dirampungkan dalam kurun waktu 1990-1992.
DPRD Kabupaten Bandung menjadi Bupati Bandung
dengan didampingi oleh Drs. H. Eliyadi Agraraharja sebagai Wakil
Bupati. Sejak itu, Soreang betul-betul difungsikan menjadi pusat
Pemerintahan.Tahun 2003 semua aparat Daerah, kecuali Dinas Pekerjaan
umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Kantor BLKD, dan Kantor
Diklat, sudah resmi berkantor di komplek perkantoran Kabupaten Bandung.
Pada masa pemerintahan H. Obar Sobarna S.Ip. telah dibangun Stadion
Olahraga si Jalak Harupat, yaitu stadion bertaraf internasional yang
menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung. Selain itu pada masa
pemerintahan Obar Sobarna, berdasarkan aspirasi masyarakat yang
diperkuat oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, Kota Administratif
Cimahi berubah status menjadi Kota Otonom.
Tanggal 5 Desember 2005.
H. Obar Sobarna, S.Ip menjabat Bupati Bandung untuk kedua kalinya
didampingi oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai Wakil Bupati, melalui proses
pemilihan langsung oleh seluruh masyarakat Kabupaten Bandung.
Dimasa
pemerintahan H.Obar Sobarna yang kedua ini, berdasarkan dinamika
masyarakat dan didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian dari 5
perguruan tinggi, secara yuridis sudah terbentuk Kabupaten Bandung
Barat bersamaan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2007
tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan
Visi & quot;Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh
Rapih Kertaraharja, melalui Akselerasi Pembangunan Partisipatif yang
Berbasis Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan, dengan
Berorientasi pada Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa," Kabupaten
Bandung bertekad untuk melaksanakan pembangunan dalam rangka mencapai
kesejahteraan.
Ini Aku masih anak-anak bersama
Mamih Yati Memed, Enin Dewi Rukasah dan Aki Male Wiranatakusumah