Sejarah BUMN, IMF-World Bank dan Privatisasi di Indonesia (1)
Sekapur Sirih
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD) 1945 merupakan landasan konstitusi negara Indonesia. Melalui UUD 1945 pula secara jelas para founding father merumuskan falsafah dan prinsip ekonomi yang menjadi landasan ekonomi kita. Mengenai sistem ekonomi negara Indonesia, dapat kita lihat dalam Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”, khususnya pasal 33 UUD 1945. Kesejahteraan sosial (umum) menjadi salah satu pilar, semangat berikut tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia, selain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan menempatkan Pasal 33 UUD 1945 dalam bagian Kesejahteraan Sosial, ini berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah berlandaskan pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan paramater dari keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya yang merata, bukan semata-mata angka pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan ekonomi fisikal. Pasal 33 UUD 1945 merupakan pasal yang mengutamakan kepentingan masyarakat bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu dalam berwiraswasta.
Saya kutip kembali isi Pasal 33 UUD 1945 dalam sub-bab Kesejahteraan Sosial (non-Amandemen):
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut. Landasan demokrasi mewarnai ekonomi produksi yang dikerjakan oleh semua pihak, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonmian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Jenis perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat untuk kedaulatan ekonomi.
Meskipun sistem utama ekonomi negara menganut paham demokrasi ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, namun pada saat itu, negara tetap menjamin paham individualisme atau asas perorangan dalam berwiraswasta seperti tertuang dalam Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang salah satunya tetap menggunakan ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD). Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” merupakan salah satu ruang yang diberikan kepada pihak swasta untuk mengerakkan sektor ekonomi yang tidak dominan, yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Cikal Bakal BUMN atau Perusahaan Negara
Pokok-pokok Perusahaan negara (yang kemudian dikenal sebagai BUMN) muncul dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 yang mana pasal 31 ayat 1 UUD 1945 merupakan prinsip dasar kerja dari perusahaan negara yakni pengelolaan bersama untuk kepentingan bersama.
Dalam pasal 33 ayat 2 dan 3, secara jelas menerangkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kalimat tersebut, secara jelas Negara Indonesia memposisikan diri sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Sejak Indonesia merdeka, fungsi dan peranan perusahaan negara sudah menjadi perdebatan dikalangan founding fathers terutama pada kata dikuasai oleh negara. Bung Karno menafsirkan bahwa karena kondisi perekonomian masih lemah pasca kemerdekaan, maka negara harus menguasai sebagian besar bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Sedangkan, Bung Hatta menentang pendapat ini dan memandang bahwa negara hanya cukup menguasai perusahaan yang benar-benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik dan transportasi. Pandangan Hatta ini kemudian lebih sesuai dengan paham ekonomi modern, dimana posisi negara hanya cukup menyediakan infrastruktur yang mendukung proses pembangunan (Rice, Robert C., 1983, The Origin of Basic Economic Ideas and their Impact on New Order Policies, Bulletin of Indonesian Economic Studies)
Pasca kemerdekaan, Indonesia harus membangun ekonomi ditengah usaha para negara imperaliasme menjajah kembali Indonesia. Perang dan pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah terus terjadi tanpa henti hingga Dekrit Presiden 1959. Pada awal tahun 1950-an, pendirian negara dibatasi pada beberapa sektor vital yang sesuai Hattaconomic, namun pendirian perusahaan negara masih tidak efektif karena adanya gangguan/guncangan keamanan dan politik. Dan diakhir tahun 1957, pemerintah mulai melakukan nasionalisasi hampir semua sektor yang sesuai dengan konsepsi Soekarno.
Adapaun tujuan mendirikan perusahaan negara dan nasioanalisasi menurut Bung Karno adalah untuk mendorong perekonomian nasional, terutama perusahaan negara yang bergerak dalam bidang infrastruktur. Sederatan perusahaan Belanda dinasionalisasi seperti PT Kereta Api atau Djawatan Kerera Api (UU 71/1957), PT Pos (Djawatan Pos), PT Garuda Indonesia Airways, dan diakhir pemerintah Soekarno sempat mendirikan Perusahaan Negara (PN) Telekomunikasi. Namun, sebagian perusahaan yang dinasionalisasi oleh Pemerintahan Soekarno banyak merugikan negara karena Belanda sudah terlebih dahulu mengalihkan aset perusahaannya ke Belanda. Namun demikian, perusahaan vital dan strategis pada akhirnya menjadi jati diri bangsa.
Detik-Detik Menjelang Neokolonialisme dan Imprialismenya Jilid II
Dalam Konferensi Moneter dan Keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bretoon Woods-Amerika Serikat yang diadakan antara tanggal 1 Juli 1944 sampai 22 Juli 1944 telah dicapai apa yang dinamakan “Persetujuan Bretoon Woods“. Persetujuan in ditandatangani oleh 44 negara, menetapkan dibentuknya 2 badan keuangan internasional, yakni Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank For Reconstruction and Development atau IBRD). IBRD menjadi salah satu lembaga yang membentuk Bank Dunia (Word Bank atau WB).
Tujuan pokok dari dana ini sebagaimana tercantum dalam statutennya adalah stabilisasi kurs penukaran mata uang negara anggota, perluasan perdagangan internasional, penurunan tarif bea-bea, penghapusan pembatasan-pembatasan secara berangsur (cikal bakal free trade/pasar bebas). Tujuan dari Bank adalah untuk memberi bantuan-bantuan berjangka panjang kepada para anggota guna mengadakan rekonstruksi produksinya akibat kerusakan peperangan ataupun mengadakan pembangunan ekonomi untuk menaikkan kemakmuran rakyatnya.
Indonesia didorong oleh keinginan yang besar untuk menyatakan kesediaannya mengadakan kerjasama internasional, Dan pada tanggal 24 Juli 1950, Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi anggota dari Dana dan Bank tersebut. Setelah 3 tahun yakni pada pertengahan 1953, akhirnya Indonesia diterima sebagai anggota dari kedua Badan itu, keanggotaan mana kemudian disahkan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1954 tertanggal 13 Januari 1954.
Akan tetapi pengalaman Indonesia sejak masuk menjadi anggota sampai saat tahun 1965 (kurang lebih 12 tahun) tidak membawa manfaat yang banyak, bahkan merugikan bagi kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-citanya, yakni membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Selama 12 tahun, Soekarno melihat pengalaman bahwa justru hubungan Indonesia dengan Bank Internasional lebih merugikan bagi kita. Pemerintahan Soekarno melihat bahwa IMF dan IBRD melalui praktik-praktik yang dijalankan selama ini, terutama terhadap negara-negara yang sedang berkembang hanyalah menjadi alat dari kaum kapitalis untuk menjalankan politik neokolonialisme dan imprialismenya dan dengan demikian tidak sesuai dengan ide Berdikari.
Perlakuan yang selama ini dialami Indonesia adalah lembaga ini hanya bersedia memberi bantuan mereka jika bantuan tersebut lebih menguntungkan bagi kepentingan mereka. Pemerintah Bun Karno melihat bahwa pada hakekatnya kedua lembaga keuangan ini tidak jauh berbeda dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni hanya sekedar merupakan alat kaum neokolonialisme dan imperialisme untuk menjalankan manipulasi politiknya. Bahkan dalam kedua lembaga ini, dominasi dari golongan kapitalis ini dapat dikatakan mutlak baik dalam hal politik, modal, pegawai pimpinannya maupun administrasi organisasinya.
Dalam hal ini, maka dapat dipastikan bahwa kehadiran IMF dan WB memberi andil bagi kehancuran ekonomi Indonesia di era 1950-an hingga 1960-an selain gerakan separatis seperti PRRI-Semesta yang didukung oleh pasukan CIA di bagian timur Indonesia. Berhubung dengan itu, maka Bung Karno secara tegas menarik Indonesia dari IMF dan IBRD ini melalui UU 1/1966 pada tanggal 14 Februari 1966.
IMF-WB Pasca Supersemar
Setelah Gerakan 30 September (G-30), konstelasi politik dan kekuasaan berubah cukup drastis. Unsur kekuatan PKI yang selama ini menjadi salah satu massa pendukung Bung Karno yang PNI akhirnya punah. Dan kondisi semakin memburuk tatkala ekonomi Indonesia mengalami inflasi hingga 600%. Gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni Bubarkan PKI, Perompakan Kabinet dan Turunkan Harga semakin mendiskreditkan Soekarno. Terlebih gerakan mahasiswa ini didukung penuh oleh Angkatan Bersenjata.
Namun, jika kita flash back tahun 1950-an, maka sebenarnya ekonomi, politik dan keamanan kita terus diusik oleh Amerika. Amerika via CIA (Sejarah CIA dan Pengaruh di Indonesia) membantu mengobarkan pemberontakan PRRI-Semesta yang berhasil dipadamkan oleh para prajurit kita. Negara dipaksakan mengeluarkan anggaran untuk berperang melawan pemberontakkan. Dan pada saat yang sama, Amerika menyusupkan agen senior CIA Guy Pauker ke Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat) untuk memilih dan menyiapkan para intelektual ekonom liberal yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley”. Sehingga kehancuran ekonomi Indonesia di tahun 1965-1966 tidak bisa lepas dari tangan Amerika Cs via CIA.
Hingga, pada 11 Maret 1966, terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang misterius… Dan mulai saat itu, Indonesia secara perlahan…………………..Bersambung bagian 2
Salam Perubahan,
ech-wan, 27 Juni 2009
Referensi: UU 71/1957 —UU 1/1966 —UU 1 Tahun 1967
=========
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/06/29/sejarah-bumn-imf-wb-dan-privatisasi-di-indonesia-2/
Sejarah BUMN, IMF-World dan Privatisasi di Indonesia (2)
Lanjutan Serial Sejarah BUMN, IMF-Word Bank dan Privatisasi di Indonesia (1)
Bagian 1 lebih menceritakan perusahaan negara (BUMN), bagian 2 menceritakan IMF dan WB
IMF-WB Pasca Supersemar
Setelah Gerakan 30 September (G-30), konstelasi politik dan kekuasaan berubah cukup drastis. Unsur kekuatan PKI yang selama ini menjadi salah satu pendukung Bung Karno punah tidak terkecuali massa PNI. Kondisi semakin memburuk tatkala ekonomi Indonesia mengalami inflasi hingga 600%. Gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni Bubarkan PKI, Perompakan kabinet dan Turunkan harga semakin mendiskreditkan Soekarno. Terlebih gerakan mahasiswa ini didukung penuh oleh Angkatan Bersenjata.
Namun, jika kita flash back tahun 1950-an, maka sebenarnya ekonomi, politik dan keamanan kita terus diusik oleh Amerika. Amerika via CIA (Sejarah CIA dan Pengaruh di Indonesia) membantu mengobarkan pemberontakan PRRI-Semesta yang berhasil dipadamkan oleh para prajurit kita. Negara dipaksakan mengeluarkan anggaran untuk berperang melawan pemberontakkan. Dan pada saat yang sama, Amerika menyusupkan agen senior CIA Guy Pauker ke Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat) untuk memilih dan menyiapkan para intelektual ekonom liberal yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley”. Sehingga kehancuran ekonomi Indonesia di tahun 1965-1966 tidak bisa lepas dari tangan Amerika Cs via CIA.
Pada 11 aret 1966, terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang misterius… Dan mulai saat itu, Indonesia secara perlahan sudah jatuh ketangan asing dibawah kepemimpinan militer. Dalam sebuah penelusuran Prof. Peter Dale Scott “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967” – “Amerika dan Pengulingan Soekarno 1965-1967” secara gamblang membeberkan keterlibatan CIA dalam pengulingan Presiden Soekarno sejak 1950-an . Begitu banyak versi kasus Gestapu 1965 yang hingga saat ini belum terpecahkan. Yang pasti, pada saat itu Amerika sedang gencar menyebarkan paham ideologi liberalis untuk menghadang komunisme Uni Soviet (Suar Suroso.2008. Bung Karno Korban Perang Dingin). Dan Soekarno adalah salah sosok yang tidak ingin memihak pada Amerika Serikat yang menganut semangat neo-imperaliasme dan neokolonialisme. Sehingga wajarlah ia disingkirkan bersama PKI yang menjadi simbol komunisme di Asia Tenggara.
Yang menarik adalah hilangnya (atau dihilangkan) dokumen asli Supersemar. Banyak versi terhadap dokumen tersebut yang membuat lahirnya Orde Baru. Sebagian saksi menyatakan bahwa dokumen Supersemar ditulis diatas korp Angkatan Darat dan ditandatangani secara terpaksa (bukan diancam, tapi tidak ada pilihan) oleh Presiden Soekarno. Saya tidak tahu seluk-beluk Supersemar itu sendiri. Namun, bagi saya yang menarik adalah pasca lahirnya Supersemar, perpolitikan Indonesia berubah drastis, arah kebajikan Indonesia berputar 180 derajat. Dan mulai saat itu, maka secara resmi Indonesia berubah haluan yakni dari memberi kebebaan tumbuhnya paham Nasionalisme-Marxisme-Islamisme menjadi paham Liberalisme Diktator. Dan mulai saat itu pula, Indonesia “AMAN” dari “kemarahan” Amerika, Inggris dan Australia.
Menurut penelusuran Prof Scott ratusan ribu simpatisan (bukan kader partai) PKI diculik dan dibunuh. Angka-angka yang ada sekitar 500.000 hingga 800.000 dalam periode 1965 hingga 1970. Ratusan dan mungkin ribuan pelajar pro-sosialis yang dikirim Soekarno untuk kuliah di luar negeri tidak dapat pulang ke Indonesia. Begitu juga kader-kader intelektual dan penulis seperti A. Umar Said. Salah satu versi video [Shadow Play] pengungkapan dapat Anda lihat di blog sejarah ini. Khususnya dibidang ekonomi, John Pilgers mengungkap hal serupa. Videonya dapat dilihat di SINI.
Dalam artikel pertama, disebutkan bahwa dalam kondisi terhimpit, Soekarno masih berani terhadap Amerika Serikat CS. Tanggal 14 Februari 1966, Indonesia menarik diri dari IMF dan IBRD ini melalui UU 1/1966. Setelah dukungan bagi Soekarno mulai melemah dengan dibantainya ratusan ribu orang salah satu pendukung Soekarno, maka secara bertahap munculnya perundang-undangan yang pro terhadap kepentingan Amerika, Inggris, Australia Cs. Jika di era Soekarno,hubungan dengan Peking, Moskwa hangat, maka dibawah pemerintah Soeharto via Supersemar dapat dikatakan bertolak belakang.
Muncullah Tap MPRS RI Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas dengan Amerika cs. Dan ditambah pada Juli 1966, keluarlah Tap MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebidjaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses yang tertentu dengan kuantitas yang besar. Melalui TAP MPRS tersebut, maka belum satu tahun terbitnya UU 1/1966 tentang keluarnya Indonesia dari lembaga IMF dan WB, pada November 1966 terbit UU 8/1966 yang menganulir UU 1/1966. Dan Soekarno sendiri (terpaksa atau tidak) yang menandatangani UU 8/1966 yang menyatakan Indonesia kembali bergabung dengan IMF dan WB.
Melalui Supersemar-lah IMF, WB, Freeport, Exxon, Caltex, Total, Halliburton, Betchell, Toyota dan korporasi asing lain menguasai sumber-sumber kekayaan alam strategis dari hutan, minyak, bauksit, tembaga hingga emas. Terlebih setelah konferensi Jenewa pada November 1967.
Cikal Bakal Penanam Modal Asing (PMA)
Sejak kejatuhan era Bung Karno dengan kondisi ekonomi, politik, keamanan yang tidak stabil dan memburuk, maka haluan ekonomi kita telah berubah arah dari nasionalisme-sosialisme-islamisme, menjadi liberalis-diktator. Gerakan mahasiswa dan tekanan kuat militer membuat “Pemerintahan” Soekarno semakin melemah. Isu-isu yang beredar di masyarakat mendeskreditkakan Soekarno seperti dengan isu bahwa Soekarno terlibat dalam Gestapu 30 September 1965. Pendiskreditkan pengaruh Soekarno dilayangkan dengan pernyataan bahwa terjadi mis-management, pemborosan, korupsi, serta pemberontakan gerakan Kontra revolusi G.30.S/PKI dan penjelewengan-penjelewengan terhadap Undang-undang Dasar 1945 menyebabkan ekonomi hancur. Secara singkat, isu ekonomilah membuat Soekarno akhirnya jatuh. Masyarakatpun secara bertahap mulai takut memuja Soekarno, karena beredar isu bahwa mereka yang mendukung Soekarno identik dengan PKI, sehingga mereka yang memuja Soekarno akan berakhir di ujung senapan.
Melemahnya pengaruh dan kekuasan Soekarno di awal 1966, diikuti oleh pengambil kekuasaan oleh Soeharto. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menunjuk Prof Widjoyo Nitisastro untuk menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang berbeda dengan Soekarno. Dan untuk menjalankan sistem ekonomi baru, pemerintah Soeharto sudah siap mengirim berbagai delegasi ke Eropa untuk membuat kesepakatan “mengolah” hasil kekayaan bumi Indonesia serta ekonomi Indonesia secara global.
Untuk mendatangkan modal asing, pemerintah mengirim delegasi yang dipimpin oleh Hamengkubuwono IX untuk menghadiri Konferensi Tokyo yang juga dihadiri oleh beberapa Negara Barat seperti Jerman, Inggris, Belanda, Australia dan Jepang serta IMF. Pada misi ini mulai ada kesepahaman dengan negara donor untuk membantu Indonesia. Pada Februari 1967, World Bank dan IMF dengan senang hati menerima kembali Indonsia sebagai anggotanya dan hal ini diperkuat dengan terbitnya UU 8/1966 oleh pemerintah Indonesia. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus menyetujui komitmen untuk menerapkan ekonomi liberal.
Sebagai pelaksana dan kordinator negara donor maka pada tanggal 23-24 Februari 1967 berdirilah Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda dengan anggota 16 Negara dan 5 organisasi internasional. Pada tahun 1967 dan 1968, IGGI telah menyalurkan dana sebesar US$167,3 juta dan US$ 361,2 juta yang sebagian besar digunakan untuk menutup defisit anggaran pemerintah (Posthumus, 1968).
Seperti disebut di atas, setelah Presiden Soekarno kehilangan kekuasaan secara de facto (meskipun masih menjabat sebagai Presiden), Indonesia langsung ditarik kembali menjadi anggota IMF. Dengan kondisi ekonomi yang berantakan serta pengaruh besar pak Harto membuat IMF dapat “bertandang” di Indonesia. Presiden Soekarno secara tertulis pun menyetujui Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan Word Bank (WB) pada 16 Nopember 1966. Dan sebelum kesepakatan pertemuan di Jenewa Swiss pada November 1967, pemerintah Soeharto telah mengesahkan UU 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia dengan keringanan pajak. Sektor-sektor pertambangan dikelola oleh perusahaan Amerika CS (Inggris, Prancis dkk). Sementara itu, pemerintah Soeharto masih mempertahankan sektor-sektor penting bagi negara. Pada pasal 6, UU 1 tahun 1967 menyatakan bahwa
- Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:
a. pelabuhan-pelabuhan;
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
d. pelayaran;
e. penerbangan;
f. air minum;
g. kereta api umum;
h. pembangkitan tenaga atom;
i. mass media. - Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, antara lain produksi senjata, mesiu, alat- alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Setelah keluarnya UU 8/1966 dan UU 1/1967 maka secara bertahap kekuatan ekonomi kita sudah bergantung pada IMF, WB, dan korporasi asing. Namun dapat dipahami tujuannya setidak-tidaknya adalah untuk membangkitkan ekonomi yang terpuruk. Salah satunya adalah dengan utang via IMF, WB yang didukung dengan keterbukaan oleh modal asing. Pasca pertemuan Jenewa November 1967, tanggal 3 Juli 1968, terbit lagi UU 6/1968 tentang PMA yang direvisi. Tujuang tidak lain tidak bukan untuk membuka kran modal asing yang selama ini kurang disukai oleh Soekarno karena ada titipan kepentingan yang dibawa oleh korporasi asing tersebut dibawah bendera Amerika cs.
Tradisi Utang dan Debt Trap
Terbitnya UU 8/1966 (IMF dan WB) dan UU 1/1968 (direvisi UU 6/1968 ), menunjukkan Indonesia membuka diri terhadap kekuatan asing baik dari sisi modal maupun pelaku. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF pada tahun November 1966 membuat negara-negara Barat “berbaik hati” (salah satu tujuannya agar Indonesia mengikuti blok AS cs dan menjauhi blok Uni Soviet CS). Mereka memberi dana hibah USD 174 juta, restrukturisasi USD 534 juta utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Komitmen utang baru terus dilakukan melalui lembaga multilateral seperti IMF, WB, CGI (IGGI) dan anggota negara Paris Club.
Namun, agenda utama negara-negara donor tersebut bukan hanya semata untuk menarik Indonesia keluar dari komunisme, namun ada satu yang paling mendasar berusaha menjajah kembali secara ekonomi-politik atau sering disebut Bung Karno sebagai usaha “neokolonialisme dan neo-imperealisme” melalui campur tangan korporasi Amerika.
Pembayaran dari negara-negara Dunia Ketiga (negara miskin dan berkembang) berjumlah sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya (dari negara-negara kaya). Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan negara-negara dunia Selatan memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari.” — Steven Hiatt : As Games As Old As Empire
Pengakuan John Perkins dalam “Confession of Economic Hitman” bahwa Amerika menargetkan negara-negara dunia ketiga yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) untuk “dirampok” dan dijebak dengan utang yang tidak sanggup negara tersebut bayar. Dengan “senjata” yang namanya utang, maka Amerika cs dapat membangun imperium global (global empire). Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka menjadikan negara Indonesia sebagai negeri jajahan/pelayan korpotokrasi dari perusahaan-perusahaan AS, pemerintah AS, dan bank-bank AS. Ketika Indonesia terjajah secara ekonomi-politik, maka Indonesia menjadi target yang empuk kalau Amerika membutuhkan favours (untuk balas budi), termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.” [ John Perkins]
Jadi, secara garis besar tujuan utang dari lembaga keuangan multilateral untuk Indonesia pada saat itu untuk menjebak Indonesia dalam lingkaran utang (debt trap) dengan maksud agar:
- Indonesia bisa lepas dari pengaruh komunisme Moskwa dan Peking (Perang Ideologi/Dingin)
- Menjajah kembali Indonesia secara ekonomi/politik.
- Menguasai sumber-sumber daya alam Indonesia melalui korporasi globalnya.
- Membangkrutkan ekonomi negara yang kaya sumber daya alam
Lembaga-lembaga keuangan tersebut berpura-pura menjadi pihak baik yang bermurah hati. Mereka memfasilitasi pinjaman dari lembaga keuangan multilateral untuk membangun infrastruktur – pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, bandara, atau kawasan industri yang proyeknya di mark-up tinggi. Selain itu, semua pinjaman proyek tersebut memiliki syarat bahwa perusahaan rekayasa dan konstruksi untuk mengerjakan semua proyek tersebut harus berasal dari negara AS cs. Sehingga sebagian besar uang pinjaman tersebut tidak pernah keluar dari Amerika, sebuah mekanisme sederhana dimana uang tersebut hanya berpindah dari kantor kas Bank di Washington kantor bidang rekayasa di New York, Houston atau San Fransico. [John Perkins]
Agar terlihat berhasil, mereka memberikan utang yang sangat besar sehingga perusahaan mereka seperti Bechtel, Halliburton mendapat laba yang tinggi. Terjadinya proyek-proyek lalu dilaporkan melalui angka-angka pertumbuhan GDP (PDB), meskipun proyek tersebut hanya memberi manfaaat besar pada segelintir orang (konglomerat).
IMF, WB, CG(IGGI), Paris Club
Pasca keluarnya UU 8/1966 serta dibukanya keran modal asing pada UU 1/1968 yang direvisi UU 6/1968, maka lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, WB, IGGI, dan negara Paris Club berbondong datang ke Indonesia dengan membawa titipan korporasinya untuk menguasai sektor-sektor strategis bagi negaranya yakni “sumber daya alam” dan “hutan”.
IMF dan WB merupakan rekanan lama, karena pertama kali Indonesia masuk kepada dua lembaga ini pada tahun 1953. Sedangkan IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag. Anggota IGGI adalah Belanda, Australia, Amerika Serikat, Belgia, Italia, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis, dan Kanada. Namun pada Maret 1992, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh Indonesia dan diganti dengan Consultative Group for Indonesia (CGI), yang dipimpin Bank Dunia (WB). IMF dan WB tidak hanya menggaet IGGI, namun beriringnya waktu mereka membangun lembaga-lembaga keuangan lain dengan tujuan masing-masing seperti ADB, UNDP, IDA, IFAD dan IFC.
Melalu lembaga dan negara kreditor inilah ekonomi kita membaik dengan stabilitas harga. Dengan kucuran utang rata-rata USD 4 miliar per tahun, ekonomi Indonesia mulai tumbuh. Namun sayang, rata-rata 30% utang yang dicairkan bocor sampai ke tangan rakyat. Selain itu, sumber-sumber kekayaan alam dikeruk dan bahkan Indonesia ditipu oleh Freeport yang mengaku hanya menambang tembaga, padahal terdapat kandungan Emas. Disisi lain, sosialisme harus dibasmi dari pemikiran masyarakat.
Selama 31 tahun [1967-1988], total utang yang dicairkan oleh Pemerintah Soeharto sekitar USD 120 miliar atau Rp 1200 triliun (kurs Rp 10.000 per dollar). Namun 30% dari utang tersebut adalah utang najis (odious debt) karena korup dan itu diketahui oleh World Bank. Jadi, lembaga-lembaga kreditor ini pada prinsipnya tahu terjadi kebocoran dana, dan mereka secara tidak langsung mendukung kebocoran dana sehingga rakyat Indonesia akan terjebak dalam utang.
Perkembangan (pertambahan) Utang dari Soeharto hingga SBY *)
- Pres. Soekarno**) : Posisi utang LN pada tahun 1966 : ~ USD 2.1 miliar
- Pres. Soeharto [1967-1998]: ~ USD 120 miliar
- Pres. BJ Habibie [1998-1999] : USD 30 miliar
- Pres. Abdurahaman Wahid [1999-2001]: USD 20.8 miliar
- Pres. Megawati SP [2001-2004]: USD 13.3 miliar
- Pres. Susilo BY [2004-2009]***) : USD 66 miliar
Keterangan
*) : sumber KAU dan Dirjen Pengelolaan Utang RI
**) : tidak ada data lengkap
***) : Proyeksi dalam anggaran DMO Depkeu
Dari data tersebut, kebijakan utang bukanlah hal yang buruk jika kebijakan utang dilakukan karena urgensi yang tinggi atau menjadi prorgam short term policy atas memburuknya perekonomian bangsa. Dalam konteks ini, maka seharusnya kebijakan utang tidak menjadi program tahunan. Jangan setiap tahun anggaran APBN selalu berisi utang dan utang lagi. Jangan membuat negara ini menjadi negara yang tidak lepas dari utang setiap tahunnya. Dan jangan menambah besaran utang lagi. Terlebih utang diikuti dengan program liberalisasi sektor-sektor strategis, pasar bebas, privatisasi, liberaliasi perbankan hingga liberalisasi pendidikan.
Cikal Bakal Privatisasi
Jika dalam UU 1/1967 secara tegas menyatakan bahwa hanya negara yang berhak mengelola sektor-sektor yang tertulis dalam pasal 6, maka pada UU 6/1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang dalam Pasal 6 UU 1/1967 dengan membedakan label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham).
Maka melalui UU 6/1968, maka secara resmi keterbukaan privatisasi sektor strategis bagi pemodal asing resmi diperbolehkan……. bersambung bagian 3 (privatisasi)
Salam Perubahan, 29 Juni 2009
ech-wan
Referensi : - Confession of EHM
======
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/07/12/sejarah-bumn-imf-word-bank-dan-privatisasi-di-indonesia-3/
Sejarah BUMN, IMF-World Bank dan Privatisasi di Indonesia (3)
2009 Juli 12
tags: Soeharto, megawati, sby, indonesia, sby jk, bj habibie, boediono, bumn, sri mulyani, privatisasi, uud 1945, pasal 33 uud 1945, sistem ekonomi, koperasi, perusahaan negara, supersemar, telkom, semen gresik, indosat, bri
by nusantaraku
Artikel Sebelumnya (2)
Cikal Bakal Privatisasi
Jika dalam UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing secara tegas menyatakan bahwa hanya negara yang berhak penuh mengelola sektor-sektor strategis seperti tertera dalam pasal 6, maka pada UU 6/1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang dalam Pasal 6 UU 1/1967 dengan membedakan label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham). Jadi, sudah terjadi perubahan kepemilikan perusahaan negara yang strategis (diluar pasal 2 Undang-undang No. 1 tahun 1967) yang awalnya harus berasal dari modal dalam negeri namun diperbolehkan modal dari luar negeri. (Catatan : komposisi modal dalam negeri adalah modal negara + modal masyarakat).
Pada prinsipnya orang asing hanya boleh menguasai sektor-sektor swasta non-strategis dan penting. Sedangkan untuk sektor strategis, pemerintah memperbolehkan modal asing menguasai 49% pada awal 1968 dan dikurangin hingga 25% pada tahun 1974. Hal ini didasari oleh masih buruknya perekonomian dan masyarakat Indonesia pada tahun 1968 sehingga diperlukan suntikan dana yang besar bagi perekonomian nasional, dan solusinya adalah mengundang orang-orang asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan modal tersebut dimanfaatkan dengan memberikan kepada mereka ketentuan-ketentuan dan kepastian atas dasar mana mereka dapat bekerja secara produktip dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan alasan itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki perusahaan strategis negara yang “menguasai hajat hidup orang banyak“. Inilah cikal bakal privatisasi di bumi Indonesia yang tujuan awalnya “mulia” yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri. Disisi lain, privatisasi kepemilikan perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada saing) secara tidak langsung memang merupakan implementasi dari ekonomi kekeluargaan (koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia adalah ketika diterbitnya UU 6/1968 pada tanggal 3 Juli 1968.
Pada pasal 3 UU 6/1968 disebutkan:
1. Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.
2. Perusahaan asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 1 pasal ini.
3. Jika usaha yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini berbentuk perseroan terbatas masa sekurang-kurangnya persentase tersebut dalam ayat 1 dari jumlah saham harus atas nama.
Namun ada hal yang menarik dalam UU 6/1968 khususnya pasal 3 ayat 1 yakni “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.” Jadi, dalam mengatasi krisis ekonomi pada 1965-1967, pemerintah memperbolehkan perusahaan Nasional dimiliki oleh modal asing dengan rincian sebagai berikut
1. Dimiliki secara penuh oleh Negara
2. Dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional, atau
3. Gabungan antara Negara dan/atau swasta nasional dengan swasta asing, dengan syarat sekurang-kurangnya 51% dari modalnya dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional (pada saat diundangkan) ***
***Persentase modal dalam negeri sebesar 51% ini sudah dianggap cukup mengingat kesanggupan dari swasta nasional. Dengan perbaikan ekonomi, maka secara bertahap persentase pemilikan modal asing pada “perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak secara bertahap akan dikurang” dari 49% pada tahun 1968 menjadi 25% pada tanggal 1 Januari 1974.
Catatan:
Seperti diuraikan dalam bagian pertama dari artikel ini, disebutkan bahwa perusahaan yang menguasai sektor strategis dikuasai negara dan dikelola secara “demokrasi”. Dalam konteks ini, maka dapat diinterpretasika bahwa perusahaan nasional (BUMN) dapat dimiliki oleh masyarakat dengan merata (tanpa dominasi saham mayoritas, misalnya maksimun tiap individu hanya boleh memiliki 0.001% saham/kepemilikan). Namun, negara tetap menguasai secara dominan sektor-sektor tersebut.
Nasionalisasi vs Liberalisasi : Kesamaan dan Perbedaan Soekarno dan Soeharto
Pada masa Pemerintah Soekarno (awal masa Demokrasi Terpimpin), Indonesia menasionalisasi sekitar 600 perusahaan yang mana sekitar 300 adalah perusahaan perkebunan, lebih dari 100 perusahaan dalam bidang pertambangan dan sisanya sektor perdagangan, perbankan, asuransi, komunikasi dan konstruksi. Setelah dilakukan restrukturisasi pada akhir masa Demokrasi terpimpin (1966), jumlah perusahaan yang dikuasai oleh negara menjadi 233 perusahaan. Dalam pengelolaan perusahaan negara ini Presiden Soekarno melibatkan kalangan militer sehingga muncul istilah entrepreneurial military officer, oleh sebagian pengamat langkah ini dipandang sebagai salah satu strategi untuk menjaga stabilitas dan loyalitas militer. (Sri Edi Swasono*)
Beban pemerintah yang terlalu besar untuk menjalankan perusahaan negara, krisis pangan pada tahun 1961 sebagai akibat gagal panen dan tidak tercapainya kuota impor beras, dan pencetakan uang secara besar-besaran mendorong munculnya hiperinflasi. Pada tahun 1961 inflasi mencapai angka 95 persen dan pada tahun 1965 inflasi mencapai 605 persen. Untuk mengatasi hiperinflasi pemerintah melakukan kebijakan pemotongan nilai uang melalui Penetapan Presiden No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965, dimana nilai mata uang Rupiah turun dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-. Kebijakan ini jelas merugikan masyarakat secara luas (Sukarman, 2003). Kondisi ini terus memburuk sampai dengan lahirnya pemerintah Orde Baru. (Sri Edi Swasono*)
Pemerintah Orde baru membawa paradigma baru dalam bidang ekonomi yang sebagian besar merupakan antitesis dari paradigma Orde Lama. Perbedaan yang nyata adalah bahwa Soeharto menerapkan azas pragmatisme dalam ekonomi yang dijalankan oleh para profesional dengan memperoleh dukungan dari kelompok militer. Glasburner (1971) menyatakan bahwa:
“In the New Order’s economic policy, this effort has been characterized by pragmatism, reliance on professional expertise and gradualism”.
Pragmatisme disini didefinisikan sebagai tindakan politik yang menitikberatkan pada azas manfaat tanpa terpengaruh oleh ideologi tertentu (mendasar). Pragmatisme ekonomi ditunjukkan dengan penerapan kebijakan makro ekonomi khas barat (neo-liberal) yang menjadi rujukan strategi pembangunan. Kebijakan ini dipadu dengan keterbukaan pemerintah terhadap arus modal asing dari negara-negara barat (Sadli, 1997). Kebijakan pemerintah untuk membuka diri bagi sektor swasta untuk berperan dalam perekonomian nasional dan mengurangi peran perusahaan negara juga dipandang sebagai wujud pragmatisme (Austin, 2001).
Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, dalam batas tertentu antara Orde Lama dan Orde Baru memiliki banyak kesamaan, yakni menempatkan perusahaan negara sebagai tulang punggung perekonomian. Namun, dalam pemerintahan Suharto, dominasi perusahaan negara secara berangsur-angsur dikurangi dan berpindah tangan ke swasta (termasuk didalamnya orang asing). Hal ini dapat kita kutip dari pernyatan Rice (1983) sebagai berikut:
“Both the Soekarno and Soeharto’s governments have declared that the roles of the state owned enterprises and cooperative sectors are important, but the Soeharto’s government has moved to decrase the role of the state owned enterprises and has greatly increased the role of private sector (including foreign enterprises) in the economy”.
Siapa Master dibalik Pragmatisme Ekonomi Indonesia?
Pandangan pragmatisme perekonomian Indonesia dipelopori oleh ekonom-ekonom lulusan Universitas California Berkaley, sehingga mereka didaulat dengan nama Mafia Berkaley yakni para teknokrat yag menjalankan kebijakan ekonomi liberal (Glasburner, 1971). Agar terlihat sistem pemerintah era Soekarno berbeda dengan Soeharto, maka pemerintahan Soeharto mengubah haluan kebijakan pemerintahan Indonesia. Kita tahu bahwa pemerintahan Soekarno cenderung sosialis, sehingga Soeharto merubah menjadi haluan lebih liberal. Hal ini ditujukan untuk memperoleh simpati Negara negara Eropa dan Amerika. Perubahan haluan ini juga merupakan kemenangan besar dari group Barat dalam memenangkan perang ideologi (liberal vs komunis) atau Perang Dingin di kawasan Asia Tenggara.
Dalam tulisan bagian 2 ini, pasca melemahnya pengaruh dan kekuasan Soekarno di awal 1966, kekuasaan sepenuhnya sudah beralih kepada Soeharto. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menunjuk Prof Widjoyo Nitisastro untuk menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang berbeda dengan Soekarno. Ada sejumlah program resmi yang diumumkan oleh Soeharto yakni
1. Penerapan anggaran dan nerara pembayaran yang berimbang [catatan : sebenarnya bukan berimbang, karena utang dalam APBN disebut sebagai pendapatan, bukan disebut sebagai pembiayaian defisit APBN)
2. Rehabilitasi prasarana fisik [cat: masuknya perusahaan asing dalam proyek-proyek yang menelan anggaran besar menguntungkan perusahaan asing]
3. produksi makanan dan pembangunan pertanian [cat: salah satu kesuksesan ekonomi Orba yang dalam sistem pemerintahanya cukup aman dari gangguan keamanan baik lokal maupun Amerika cs]
Sudah menjadi rahasia umum (seperti pengungkapan John Perkins) bahwa salah agenda asing dalam membentuk imperium global adalah dengan memberi utang kepada negara tersebut, diikuti liberalisasi berbagai sektor dan terpenting adalah menguasai sumber-sumber kekayaaan alam strategis untuk diolah dan dijual kembali ke berbagai negara termasuk negara sumber kekayaaan alam tersebut dengan harga tinggi (value added). Agenda-agenda tersebut berjalan mulus karena selain diback-up oleh kekuatan asing (hidden power), ternyata kelompok teknokrat Indonesia berhaluan ekonomi liberal mendukung ambisi imperium dari Negara+Lembaga Keuangan+Korporasi Asing.
Para ekonom liberal tersebut membantu menciptakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di mata internasional, padahal hanya segelintir orang yang merasakan dampak pertumbuhan ekonomi (cara-cara KKN). Dengan kondisi tabungan masyarakat yang rendah, maka liberalisasi aset, kekayaan alam Indonesia dan masuknya modal asing secara besar-besaran terbuka tanpa ada halangan yang berarti. Meskipun sejarah mencatat bahwa pada 15 Januari 1974, para mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran dan diikuti kerusuhan sosial menentang masuknya modal asing dalam berbagai sektor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Namun, semangat Malari kandas ditangan militer Soeharto. Inilah mengapa saya katakan proses pengobralan kekayaan alam dan liberalisasi modal asing masuk tanpa halangan berarti.
Dalam bidang moneter, pemerintah melalui Bappenas melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia untuk menetapkan sasaran makro ekonomi dalam rangka menjaga stabilitas harga (pengendalian laju inflasi). Kebijakan fiskal dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan Departemen Keuangan dengan menutup Defisit Anggaran melalui pinjaman luar negeri melalui IGGI. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah mendorong peran swasta (nasional dan asing) untuk terlibat dalam proses pembangunan melalui serangkaian kebijakan penanaman modal yang menarik bagi swasta. Beberapa paket kemudahan untuk melakukan usaha (bahkan pemberian hak khusus seperti monopoli dan proteksi) bagi pihak swasta. Kondisi kemudian menyuburkan beberapa konglomerat yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.
Dalam konteks pengelolaan BUMN, pada awal orde baru, pemerintah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan BUMN yang terdiri dari: dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Hal ini ditujukan untuk membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk terlibat dalam proses pembangunan. Upaya perbaikan kinerja BUMN dilakukan melalui ditetapkannya UU 9 Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara, di mana BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan peran sosial ekonomisnya yakni [baca UU 9/1969 asli]
1. Perusahaan Jawatan, disingkat PERJAN;
2. Perusahaan Umum, disingkat PERUM;
3. Perusahaan Perseroan, disingkat PERSERO.
BUMN sebagai salah satu tulang punggung perekonomian (aset produktif yang dimiliki oleh pemerintah) diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam bentuk dividen dan pajak. Pemerintah sangat berkepentingan atas kesehatan BUMN, akan tetapi kenyataannya banyak BUMN yang mengalami kerugian karena pengelolaan yang tidak profesional dan tidak transparan (KKN). Sampai saat ini, kelemahan-kelemahan yang menimpa di sebagian BUMN kita masih belum mendapat terapi yang tepat dari pemerintah, sehingga solusinya adalah menjual dan menjual.
Privatisasi BUMN
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan stabilitas harga dan laju inflasi pemerintah memberikan proteksi dan hak monopoli kepada BUMN serta memberikan subsidi yang cukup besar bagi BUMN yang merugi. Kondisi ini menciptakan ketergantungan BUMN kepada pemerintah, sehingga sebagian besar justru menjadi beban bagi pemerintah. Ketergantungan BUMN terhadap pemerintah tidak menciptakan struktur kemandirian BUMN untuk berkompetisi dengan perusahaan swasta, dan seringkali BUMN memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja, kualitas, dan produkivitas karyawan BUMN relatif rendah, jika dibandingkan dengan karyawan perusahaan swasta.
Tingginya biaya produksi mempengaruhi tingkat harga produk yang ditawarkan kepada konsumen. Dalam kasus tertentu pemerintah memberikan subsidi yang terlalu besar bagi BUMN, sehingga secara internal upaya untuk menciptakan efisiensi dalam tubuh BUMN menjadi makin sulit. Ketidakjelasan peran yang diambil oleh pemerintah dalampengelolaan BUMN tidak mampu mendorong efisiensi dalam BUMN yang bersangkutan. High cost economy dalam BUMN yang diantaranya ditunjukkan oleh tingginya biaya tenaga kerja, merupakan salah satu gambaran betapa BUMN belum dapat beroperasi secara efisien.
Nasib buruk BUMN semakin diujung tanduk ketika krisis ekonomi tahun 1997 menerpa Indonesia. Anggaran dan belanja negara membengkak. Beban hutang luar negeri yang jatuh tempo, stabilitas ekonomi moneter yang rapuh, instabilitas politik dan beberapa kebijakan pemrintah yang lebih memberikan perlindungan kepada konglomerat turut memperbesar beban pemerintah. Ini menjadi alasan privatisasi BUMN yang cukup merugikan negara pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru.
Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-masa mendatang hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara, BUMN diobral kepada investor asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni Menko Perekonomian Dorodjatun, Menkeu Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUM secara cepat (fast-track privatization) hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.
Privatisasi di Era Globalisasi dan Neoliberalisasi
Pasca krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia tidak langsung pulih. Besarnya utang luar negeri yang diciptakan 30 tahun pemerintah orde baru sebesar USD 120 miliar (1967-1997) menyebabkan beban bunga+cicilan utang membengkak. Belum lagi inflasi yang tinggi, industri-industri bangkruk karena utang besar. Maka kehadiran IMF untuk menangani krismon Indonesia diikuti pemaksaan agar sektor-sektor strategis negara harus diliberalisasi lebih luas, lebih besar kepada asing. Setiap LoI dengan IMF, selalu mensyaratkan “jual aset ini, jual aset itu“.
Secara “membudaya”, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada masa Pemerintahan Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi “umum” telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu. Dan PT Semen Gresik menjadi BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Ini terjadi beberapa waktu setelah pemerintah memberi kartu hijau pendirian seratusan bank-bank swasta (pengusaha) yang tidak kompenten dan transparan. Bank-bank inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis moneter Indonesia tahun 1997-1998. Selama periode 1991-1999, pemerintahan Soeharto dan Habibie baru memprivatisasi 9 BUMN dengan total nilai privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan strategis).
1. PT Perkebunan Nusantara III
2. PT Perkebunan Nusantara IV.
3. PT Pupuk Kaltim.
4. PT Tambang Batubara Bukit Asam.
5. PT Aneka Tambang Tbk.
6. PT Indo Farma.
7. PT Kimia Farma.
8. PT Sucofindo.
9. PT Kerta Niaga.
10. PT Angkasa Pura II.
Jika ada beberapa BUMN yang di privatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di pemerintahan Megawati berhasil memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT Batu Bara Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap transaksi merugikan negara triliun rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim ekonomi yang berhaluan “Mafia Berkeley“, yang berpaham neoliberalisme.
Penjualan BUMN-BUMN yang profitable kepada asing di masa pemerintah Megawati menjadi blunder negatif bagi diri Megawati ketika menjadi capres baik di tahun 2004 maupun 2009. Semua orang akan mengalamatkan Megawati sebagai penjual BUMN, sementara para dalang dibalik penjual BUMN dan perbankan BPPN jarang mendapat getahnya yakni Dorodjatun, Boediono dan Laksama Sukardi.
Berbagai saham BUMN strategis “berhasil” dijual diera Megawati [jangan lupa juga tim ekonominya dan 50 butir LoI IMF tahun 1997]. Sebut saja penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar Rp 7,34 triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun. Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun, PT Indosat Rp1,16 triliun dan Bank Rakyat Indonesia Rp 2,5 triliun.
Namun, ada satu rencana terbesar di era Pemerintah Megawati dalam privatisasi BUMN yakni pada tahun 2004. Wakil pemerintah yakni Laksamana Sukardi dan Boediono pada tahun Maret/April 2004 mengajukan privatisasi 28 BUMN. BUMN itu terdiri dari 19 BUMN dan 9 non-BUMN atau BUMN minoritas. Privatisasi 28 BUMN tersebut merupakan gabungan dari program carry over (kelanjutan) privatisasi BUMN tahun 2002 dan tahun 2003 serta program murni privatisasi BUMN tahun 2004. Dan untungnya,sebagian besar program privatisasi yang diajukan pemerintah via Laksamana Sukardi dan Boedino ini kandas ditangan DPR karena alasan politik Pemilu 2004.
Sejumlah BUMN yang masuk dalam daftar privatisasi tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Danareksa, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Batubara Bukit Asam Tbk, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Perkebunan Nusantara III, PT Kimia Farma, PT Indofarma, PT Cambrics Primissima, dan BUMN sektor kawasan serta sembilan non- BUMN lainnya.
Ganti Pemerintah, Ganti Alasan Privatisasi
Jika di era pemerintahan Megawati, privatisasi dilakukan karena tim ekonomi-nya percaya pada arahan IMF bahwa utang negara besar sehingga untuk menutup defisit APBN, privatisasilah salah satu jalan keluarnya. Namun, ketika para pengkritik privatisasi aset strategis semakin mendapat dukunga luas masyarakat, pemerintah SBY-JK selalu menggunakan alasan bahwa “privatisasi harus dilakukan karena BUMN tidak bisa untung“. Meskipun jika kita amati UU APBN sejak 2005 hingga 2009, kita akan melihat bahwa privatisasi merupakan sarana untuk menutup defisit. Hanyalah kedok mengelabui masyarakat jika di berbagai media menyebut bahwa privatisasi dilakukan karena BUMN tidak bisa untung.
Berdasar data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dirilis belum lama ini (2009), dari 14 BUMN yang tercatat di BEI, pihak asing telah menguasai saham 31%, setara dengan Rp 137 triliun. Asing menguasai sektor-sektor strategis seperti telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan migas, semen, serta farmasi. Pada beberapa BUMN kategori blue chips, kepemilikan asing bahkan menyundul angka 40 persen. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, misalnya, 39,5 persen sahamnya kini dalam genggaman pihak asing. Demikian pula PT Semen Gresik Tbk sebanyak 39,21% dikuasai asing. Bank Rakyat Indonesia (BRI) – yang selama ini menjadi andalan para petani dan rakyat kecil – sahamnya telah dikuasi asing sebesar 35,39 persen.
Salah satu langkah luar biasa pemerintah SBY-JK adalah program privatisasi 44 BUMN di tahun 2008 yang akhirnya juga kandas setelah diprotes dari berbagai kalangan masyarakat dan tokoh nasional [Inilah, 2008]. Pada 31 Januari 2008, Boediono sebagai ketua Komite Privatisasi BUMN meneken surat keputusan untuk menjual 44 BUMN milik negara Indonesia. Dari 44 BUMN itu, sebanyak 33 di antaranya adalah nama baru, sedangkan 11 lainnya adalah perusahaan yang direncanakan dilego tahun lalu, tapi belum kesampaian. Keputusan privatisasi dilakukan oleh Komite Privatisasi Perusahaan BUMN yang diketuai Menko Perekonomian Boediono, dengan Wakilnya adalah Meneg BUMN Sofyan Djalil dan anggotanya Menkeu Sri Mulyani Indrawati serta menteri yang menjadi pembina teknis BUMN yang akan dijual.
Sejumlah BUMN yang akan dilego tersebut adalah Semen Kupang, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan V, Adhi Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara, Krakatau Steel, serta kawasan industri di Medan dan Makassar. Pada tahun 2008 tersebut, Boedion mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN pada di akhir 2009. Iapun mengakui bahwa target setoran privatisasi BUMN ke APBN 2008 adalah Rp 1,5 trilyun.
Privatisasi Bukan Satu-Satunya Solusi
Jika salah satu penggerak ekonomi China adalah 150 SOE (BUMN) strategis-nya, maka semestinya Indonesia memanfaatkan sekaligus membesarkanya BUMN strategis sebagai penopang ekonomi khususnya BUMN yang bergerak disektor hulu ekonomi. Sudah saatnya kita melihat kedalam, jika saja BUMN tidak sehat dan merugi, maka adalah tugas pemerintah melalui Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan menopang perekonomian hulu.
Pada tahun 2009, Kementerian BUMN akan melanjutkan program privatisasi terhadap 30 BUMN yang sebagian besar merupakan pengalihan dari tahun 2008. Angka ini dikurangi dari 44 perusahaan yang akan diprivatisasi pada tahun 2008. Sejumlah perusahaan yang akan diprivatisasi pemerintah adalah PT Krakatau Steel (Industri strategis bagi PT Pindad yang menghasilkan Panser, PT DI dan PT PAL), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan VII; dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini tentu amat merisaukan, karena berdasarkan analisis Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian suatu negara. Seperti artikel di bagian 1, hendaknya industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.
Jika akan memprivatisasi BUMN dengan alasan memberdayakan modal masyarakat, maka hal ini diperbolehkan dengan syarat saham-sahamnya dijual kepada masyarakat Indonesia dengan menetapkan maksimum kepemilikan saham sebesar 0.0001% per orang. Jadi, jika sebuah BUMN akan diprivatisasi 25%, maka setidaknya ada 250,000 (1/4 juta) masyarakat Indonesia yang ikut memiliki BUMN tersebut. Sehingga para pedagang, guru, pegawai swasta dengan bermodal 1-10 juta dapat memiliki saham BUMN kita secara merata. Tidak boleh ada yang memiliki saham BUMN lebih dari itu. Inilah setidak-tidaknya mewarnai ekonomi gotong royong, ekonomi koperasi, alias ekonomi kekeluargaan, bukan dengan melego perusahaan strategis hanya kepada segelintir konglomerat saja. Itu namanya liberalisasi kapitalis Bung!
Salam Nusantaraku,
ech-wan, 12 Juli 2009
Tulisan Sebelumnya:
Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indonesia (1) – Tentang Perusahaan Negara
Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indoensia (2) – Tentang IMF
Sumber Perundangan dan Referensi:
UU 71/1957 —UU 1/1966 —UU 1 Tahun 1967—-UU 9 Tahun 1969
*) Sri-Edi Swasono – Pasal 33 UUD 1945, Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat (SES)
Kompas 1 — Kompas 2— Kompas 3—–Kompas 4— Tempo 1—-Tempo 2—Tempo 3 —-Tempo 4 —Tempo 5—-Inilah—-Warta Ekonomi —