Selasa, 30/06/2009 12:12 WIB
Negara Tanpa Kedaulatan
Restianrick Bachsjirun : Suara Pembaca
detikcom - Jakarta, Presiden pertama Republik
Indonesia Ir Soekarno pernah mengatakan bahwa
kekayaan Indonesia tidak akan diserahkan kepada
pihak asing. Ia lebih memilih untuk menunggu
putra-putri terbaik republik ini untuk mengelola
sumber-sumber itu.
Pernyataan Soekarno itu dibuktikan dengan
menolak proposal perusahaan asing yang ingin
mengeksploitasi sumber alam Indonesia. Namun,
ketika Soekarno terguling dari tampuk kekuasaan
penggantinya Soeharto mulai membuka investasi
asing seluas-luasnya. Tujuannya untuk
mempercepat proses pembangunan. Walhasil
banyak sumber alam dan aset negara diserahkan
ke asing.
Sejak tahun 1969 sampai saat ini tercatat 80
persen sumber daya alam dan aset
Indonesia telah dikuasai asing. Sekitar 70 persen
sumber daya alam dan aset penting itu dikuasai
oleh Amerika Serikat.
Penjualan aset dan penguasaan sumber daya alam
yang penting itu terus berlangsung selepas
Soeharto lengser. Tahun 2002, misalnya, PT
Indosat dijual ke Singapura Technologies dan
Telemedia (STT) seharga 5,62 triliun. Kemudian 6
Juni 2008 Indosat dijual oleh STT ke Qatar
Telecomunication (Qtel) seharga US$ 1,8 miliar
atau Rp 16,740 triliun dengan kurs 9.300/US$. Itu
artinya Singapura meraup untung 11,678 triliun.
Lalu siapa yang dirugikan? Jelas Indonesia. Berapa
triliun yang harus dikeluarkan kalau negara ini
mau beli lagi
Alasan tim ekonomi pemerintah dan para
pendukung divestasi Indosat saat itu adalah
untuk menciptakan 'fair competition' di bidang
telekomunikasi. Agar terbina perkembangan bisnis
telekomunikasi yang terlepas dari jerat monopoli
negara dan pemerintah demi terwujudnya pasar
yang efektif dan efisien.
Apakah benar demi fair competition. Sejauh yang
diketahui publik, STT bersama
Singapore Telecommunication (SingTel) adalah
anak perusahaan yang bernaung di bawah
perusahaan milik pemerintah Singapura yakni
Temasek Holding (Pte) Ltd. Lalu, dengan
penetapan STT sebagai pemenang tender divestasi
Indosat menjadikan
perusahaan tersebut menguasai dan mengontrol
bisnis selular Satelindo dan IM3.
Kemudian SingTel sebagai anak Temasek yang lain
telah menguasai 35 persen saham
penyelenggara selular Telkomsel. Dengan
demikian, mayoritas industri selular Indonesia
ketika itu dikuasai Temasek Holding. Artinya
Singapura telah memonopoli bisnis selular di
Indonesia.
Dengan demikian alasan fair competition
kelihatannya hanya drama saja. Tampaknya ada
kepentingan segelintir golongan yang ingin
mendapat keuntungan. Tentu saja yang dirugikan
lagi-lagi adalah rakyat bangsa ini.
Sejak itu di udara kita tak lagi berdaulat. Satelit
Palapa dan Indosat otomatis dikuasai asing. Lewat
penguasaan udara itu kita praktis sudah dijajah
karena hampir semua pembicaraan telepon, faks,
pengiriman data, gambar harus melalui satelit
yang sudah dikuasai asing.
Dari sisi keamanan negara tentu saja bangsa ini tak
lagi memiliki kemampuan pengamanan teritorial di
bidang telekomunikasi. Ini tentu saja memengaruhi
kinerja pengamanan Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
Jauh sebelum itu keterlibatan asing di republik ini
sudah sampai di ujung timur negeri ini. Adalah
Pegunungan Grasberg di Papua yang menjadi
sasaran keserakahan multinasional corporation. Di
sana tanah dan airnya tak lagi bisa dinikmati anak
bangsa.
Perusahaan pertambangan emas, perak, dan
tembaga milik Freeport Mcmoran asal Amerika
sudah bercokol hampir 32 tahun. Mengeruk
sedalam-dalamnya hasil bumi yang bisa dikeruk
yang kemudian meninggalkan ratusan kawah dan
tanah tandus.
Menurut company profile-nya, pada tahun 2002
Freeport telah mencapai rekor volume penjualan
tembaga sebesar 1,5 juta poud net; 2,3 juta ons
emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik
ton per tahun. Tapi, company profile tersebut
tidak menjelaskan hasil tambang lain, seperti
uranium, yang juga terkandung di dalam tanah
masyarakat Papua itu.
Selain itu, tanah Minahasa juga sudah dikuasai PT
Newmont. Penggalian hasil tambang emas di Buyat
itu hanya meninggalkan berbagai penyakit pada
penduduk kampung. Bahkan, Newmont juga
sudah mulai mengelola tanah-tanah
pertambangan di Sumatera Utara lewat anak
perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara.
Newmont juga ada di Desa Tatebal, Kawasan Bukit
Elang Nusa Tenggara Barat.
Namun, apa manfaatnya keberadaan berbagai
perusahaan tambang tersebut bagi rakyat bangsa
ini. Sudah hampir 40 tahun umur industri
pertambangan mineral di negeri ini, mereka telah
gagal membuktikan "mitos"-nya menjadi
penopang perekonomian Indonesia. Apalagi
mensejahterakan rakyat berdaulat bangsa ini.
Kontribusi sektor ini hanya 1,3 - 2,3 triliun
terhadap APBN dalam 4 tahun terakhir. Lebih kecil
dari sektor kehutanan. Nilai tambahnya juga
rendah karena bahan tambang diekspor dalam
bentuk bahan mentah, ditambah rendahnya
penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal.
Sektor ini juga gagal menunjukkan tanggung
jawabnya terhadap kerusakan lingkungan,
pelanggaran HAM, dan penyelesaian konflik
dengan penduduk lokal di lokasi-lokasi
pertambangan.
Kekuasaan korporasi telah melampaui kemampuan
negara mengontrol mereka. Sementara
pemerintah lebih sibuk mengeluarkan perizinan
tambang baru dan mengutip hasil rentenya. Di
sektor perminyakan, perusahaan minyak asal
Amerika Exxon Mobil sudah mengambil alih
pengelolaan tambang minyak di Blok Cepu.
Pengambilalihan kekayaan sumber daya alam milik
rakyat bangsa ini oleh pihak asing tidak berhenti
sampai di situ. Privatisasi kemudian menjadi tren
baru. Melalui undang-undang yang disahkan DPR
kaki tangan kekuatan ekonomi neoliberal dan
kapitalis internasional bisa langsung terjun bebas
ke dalam sumber-sumber penting milik rakyat
bangsa ini yang seharusnya dikelola untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Celakanya lagi, bahkan di sektor pendidikan pun,
kebijakan liberalisasi telah pula diterapkan oleh
pemerintahan SBY - JK. DPR telah menyetujui
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Itu artinya negara meminimalisir tanggung
jawabnya atas pendidikan dan menyerahkan pada
swasta.
Tunggu saja akibatnya. Pendidikan akan menjadi
semakin mahal. Rakyat miskin tak akan mampu lagi
mengecap pendidikan. Padahal dengan
pendidikanlah mereka bisa memperbaiki taraf
hidupnya. Keadaan ini tentu saja sudah bertolak
belakang dari cita-cita bangsa yang ingin
mencerdaskan kehidupan rakyat bangsa ini.
Tidak hanya itu. Pemerintahan SBY-JK di awal
tahun 2008 sudah melepas 44 BUMN ke pasar
saham. Menurut Menteri BUMN Sofyan Djalil
alasan privatisasi itu untuk menutup defisit
anggaran APBN dan untuk merestrukturisasi
badan usaha milik negara.
Inilah pertama kalinya dalam sejarah Indonesia
terjadi penjualan aset negara secara besar-
besaran. Tak salah bila banyak pihak mengatakan
tahun 2008 sebagai ledakan privatisasi.
Kemungkinan langkah itu akan dilanjutkan jika
mereka berdua kembali berkuasa pada Pilpres
2009 ini.
Dua alasan yang disampaikan Sofyan Djalil itu
tidak jauh beda maknanya dengan pendahulunya.
Yang terjadi sebenarnya administratur negara ini
malas mikir dan bekerja. Mereka sudah terbiasa
mencari keuntungan secara cepat yaitu dari rente.
Budayawan Seno Gumira Adjidarma melihat
budaya ketergantungan terhadap asing itu sudah
dimulai sejak zaman raja Jawa. Mereka itu,
sebetulnya, tidak memiliki
kemampuan untuk bekerja.
Dengan kata lain para raja atau priyayi memiliki
mental bersenang-senang. Tidak mau menderita
dan malas bekerja. Andalan mereka adalah
ngutang kepada pihak asing. Imbalannya para raja
itu akan memberikan sesuatu yang pihak asing itu
inginkan.
Mereka itu dinamakan Seno sebagai kaum borjuis
Indonesia. Malangnya, kaum borjuis ini tidak
seperti borjuis di Perancis yang hidup di atas
modal yang menikmati kehidupan mewah
berdasarkan hasil perdagangan (merkantilis).
Privatisasi pada tataran tertentu merupakan
penerimaan terhadap konsep-konsep
kapitalisme gaya baru dalam bungkus
neoliberalisme. Dalam perspektif ini privatisasi
akan membawa dampak sangat negatif karena
dalam jangka panjang akan mengalihkan aset
nasional yang menguntungkan pihak asing dengan
harga murah sesuai dengan skenario yang
dirancang oleh mereka.
Indonesia akan terperangkap dalam jerat
perdagangan bebas yang semakin meminggirkan
kemampuan ekonomi rakyat sehingga jangka
panjang privatisasi hanya akan menciptakan
bangsa kuli di negeri sendiri.
Jebakan Neoliberal
Arus globalisasi yang didukung kuat neo-
kapitalisme dan neo-liberalisme, menyebabkan
kita sebagai bangsa menjadi limbung dan nyaris
tak lagi memiliki ideologi dan identitas kebangsaan.
Kita hanya sekedar menjadi pasar dari produk
multinational corporation. Di lain pihak telah pula
menjadi bangsa yang ketagihan dan menderita
ketergantungan utang. Martabat bangsa tak lagi
menjadi kebanggaan.
Bangsa ini semakin terjebak dalam kubangan
sistem ekonomi neoliberal. Akibatnya hak-hak
dasar warga negara telah dijadikan komoditas
dagang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di
dalamnya yang menurut Pasal 33 Ayat 3 UUD
1945 dikuasai negara dan digunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Semakin tidak jelas
hubungannya dengan kesejahteraan rakyat.
Negara dikendalikan oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional dan perusahaan-
perusahaan multinasional. Mayoritas rakyat
bangsa ini terdzolimi, dieksploitasi, demi
memenuhi kepentingan ekonomi sekelompok
pemilik modal dan berkuasa.
Ada kecenderungan yang mencemaskan perasaan
kita sebagai pemilik sah negeri ini. Semakin
hilangnya kedaulatan nasional dalam berbagai
aspek. Banyak pihak tidak mengetahui dan
menyadari bahwa ketika tahun 1998 reformasi
bergulir muncul banyak figur elit politik
penumpang gelap gerbong kaum reformis alias elit
politik reformis gadungan sekaligus menjadi
komprador kekuatan asing untuk mengendalikan
negeri ini secara invisible dan total.
Dengan isu globalisasi, HAM, demokratisasi, dan
lingkungan hidup, kekuatan asing terutama
negara-negara kapitalis sebagai pemenang perang
dingin memulai memainkan skenario neo-
imperialisme, neo-kolonialisme, neo-kapitalisme,
dan neo-liberalisme sebagai bentuk baru
penjajahan di dunia.
Semua negara terutama negara dunia ketiga
termasuk Indonesia menjadi target dengan
strategi, taktik, teknik, serta metoda yang lebih
muktahir termasuk membangun jaringan dengan
komprador di dalam negeri yang terdiri dari para
elit politik reformis gadungan.
Kecenderungan situasi global dan nasional
memperlihatkan bagaimana kerasnya kekuatan
neo-kolonialisme, neo-kapitalisme, dan neo-
liberalisme berusaha mencengkeram negeri ini.
Serta, bagaimana peranan para elit politik reformis
gadungan sebagai komprador membantu dan
mengakomodir konsepsi penjajahan baru
tersebut.
Dalam proses memaksakan konsepsi dan kehendak
tersebut kekuatan asing ini menggunakan metode
invansi dan subversi. Invansi telah dilaksanakan
ke Afganistan dan Irak meskipun banyak ditentang
oleh dunia Internasional. Bahkan, invansi
berikutnya sedang dirancang untuk Iran dan
Korea Utara.
Metode subversi dilakukan dengan cara tekanan
ekonomi, HAM, lingkungan hidup, melalui
berbagai LSM atau NGO (Non Governmental
Organization) serta MNC (Multi National
Corporation).
Kekuatan asing imperialisme ini bertujuan untuk:
(i) Memaksakan proses demokratisasi ideologi dan
politik di berbagai negara dunia ketiga termasuk
Indonesia;
(ii) Memaksakan proses liberalisasi di berbagai
bidang kehidupan masyarakat terutama di negara-
negara dunia ketiga termasuk Indonesia;
(iii) berusaha secara paksa untuk merebut
pengaruh politik sehingga mampu mengendalikan
proses politik di berbagai negara dunia ketiga
termasuk Indonesia;
(iv) berusaha secara paksa menguasai sumber-
sumber ekonomi potensial di berbagai negara
dunia ketiga termasuk Indonesia; dan
(v) berusaha untuk menciptakan tatanan dunia
sebagai "one world with different cultures"
dengan AS sebagai polisi dunia.
Selanjutnya, kekuatan asing ini dalam
melaksanakan konsepsinya menggunakan strategi
memaksakan perubahan perundang-undangan di
negara sasaran, dan di Indonesia langkah ini
dimulai dengan terbitnya berbagai perundang-
undangan yang cenderung liberal.
Jaringan subversi kekuatan asing yang bertindak
sebagai agen pengendali adalah lembaga-lembaga
internasional yang telah dikuasainya. Antara lain:
PBB melalui UNDP (United Nations Development
Program), Bank Dunia, IMF, Nathan Associates
Inc, And Checehi and Company Consulting Inc
and Partner termasuk REDE (semuanya berasal
dari AS), ODA, EU-MEE, HDC, AUSAID, Delegation
of the European Commission to Indonesia (semua
berasal dari Eropa dan Australia) dan
Concultative Group on Indonesia (CGI).
Sedangkan yang bertindak sebagai agen utama
prinsipil terdiri dari beberapa LSM asing yang
berkolaborasi dengan beberapa LSM dalam
negeri, yaitu: Partnership for Goverment Reform
(PGR), USAID terdiri dari Ellips Project, NDI,
Partnership for Econonic Group (PEG), JICA, Ford
Foundation, IDEA Indonesia (jaringan NGO
Jerman), dan Transparancy International (TI) yang
berpusat di Berlin (lihat Lembaga Kajian Krisis
Nasional (LKKN), NKRI Di Era Reformasi: Ancaman
Neo Imperialisme Neo Kolonialisme, Neo
Kapitalisme, Neo Liberalisme, Jakarta, Tanpa
Tahun, hal. 6-7).
Ada pun orang-orang asing yang menjadi
operator pembuatan undang-undang yang
"bergentayangan" di berbagai departemen, antara
lain:
(i) Departemen Keuangan: Arthur J. Mann dan
Burden B. Stephen V. Marks (ahli perpajakan);
(ii) Bank Indonesia: Thomas A. Timberg penasehat
bidang skala kecil dan Susan L Baker konsultan
bidang Konstrukturisasi Perbankan;
(iii) Deperindag: Etephen L Magiera ahli
Perdagangan Internasional dan Gary Goodpaster
ahli desentralisasi, internal carriers to trade and
local discriminatory action;
(iv) Kementerian Usaha Kecil dan Menengah
Koperasi: Robert C Rice ahli small and medium
enterprice;
(v) Kementerian Kominfo: Harry F Darby ahli
regulasi komunikasi;
(vi) Departemen Perhubungan: Richard Belenfeld
dan Don Frizh konsultan PEG bidang pelayaran
dan pelabuhan; dan
(vii) Departemen Hukum dan HAM: Paul H Brietzke
legal advisor.
Hasil yang telah dicapai jaringan subversi asing
dalam produk undang-undang di
Indonesia adalah:
(1) Produk Hukum Yang Dihasilkan oleh Ellips
Project :
a) UU No 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b) UU No 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
c) UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
d) UU No 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
e) UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi.
f) UU No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
g) UU No 19 Tahun 2003 Tentang Hak Cipta.
h) UU No 18 Tahun 2003 Tentang hak Advokat.
i) UU No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas
RUU Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
j) Draf akademik yang disiapkan adalah: RUU
Rahasia Negara, RUU Perintah Transfer Dana, dan
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2) Produk Hukum Yang Dihasilkan oleh PEG
(Partnership for Economic Growth):
a) UU No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
b) UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
c) UU No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
d) UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
e) UU No 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No 6 Tahun 1993
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
f) UU No 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan.
g) UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional.
h) UU No 25 Tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004.
i) UU No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
j) UU No 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan.
k) UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
l) UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara.
m) UU No 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi.
n) UU No 3 Tahun 2004 Perubahan Atas UU No 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
o) UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
p) UU No 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang.
q) UU No 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Pemerintah Daerah.
r) UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
(3) Produk Hukum yang Dihasilkan oleh ACIL ILO
(American for International Labour Solidarity ILO):
a) UU No 22 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
b) UU No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
c) UU No 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/
Serikat Buruh.
(4) Produk Hukum Yang Dihasilkan oleh PGR
(Partnership for Government Reform):
a) UU No 26 Tentang Pengadilan HAM.
b) UU No 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik.
c) UU No 37 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan.
d) UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
e) UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif.
f) UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.
g) UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
h) UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan
Negara.
i) UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
j) UU No 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
k) UU No 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan wakil Presiden.
l) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
m) UU No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
n) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
o) UU No 8 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-
Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum.
p) UU No 9 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang
Perdilan Tata Usaha Negara.
q) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
r) UU No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Beberapa fakta yang diungkapkan di atas telah
cukup memberikan gambaran bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara
faktual tidak lagi berdaulat. Namun, telah masuk
dalam perangkap kekuatan subversi asing dengan
bantuan para komprador di dalam negeri.
Intinya, buah dari reformasi adalah telah
menyeret bangsa ini ke arah liberalisasi besar-
besaran dalam segala aspek. Itu tergambar dari
berbagai produk perundang-undangan yang
dihasilkan sebagaimana telah diuraikan di atas. Tak
terbantahkan. Dari sekian banyak perundang-
undangan tersebut tidak ada satu pun yang
berorientasi atau menjamin kesejahteraan dan
hak-hak dasar rakyat bangsa ini.
Rakyat bangsa ini terancam hidup dalam
kemiskinan massal. Mengapa? Karena seperti telah
diungkapkan di atas bangsa dan negara ini
semakin dalam terjerat dalam perangkap kekuatan
subversi asing. Sekarang ini modal kapitalis asing
bebas bergerak hingga kepelosok desa di negeri ini
--sistem perekonomian nasional tak lain
merupakan subsistem perekonomian global
kapitalistik.
World Bank, IMF, dan WTO menjadi agen neo-
imperialisme yang "menjerat" batang leher
ekonomi rakyat. Utang Indonesia semakin besar.
Kewajiban membayar bunga dan cicilan utang
makin besar juga. Lantas apa yang tersisa lagi
untuk membangun ekonomi rakyat. Jelas tidak
ada.
Kapitalisme yang tumbuh di negeri ini jelas telah
memiskin rakyat. Patokan harga BBM dirancang
sangat tinggi. Tak heran pemerintah terus menerus
berupaya menaikkan harga BBM. Akibatnya
mayoritas rakyat bangsa ini terkena dampaknya
karena harga-harga bahan pokok semakin
melampung tak terjangkau oleh isi saku kusam
mereka yang pada gilirannya asap dapur mereka
pun jarang mengebul.
Bahkan, kapitalisme telah masuk pada sektor
pengecer (retailer), Super Mall atau Super
Market, seperti Carefour, Giant, Hypermark, dan
lain-lain berdiri dengan megahnya. Mulai dari Ibu
Kota negara hingga kabupaten di negeri ini yang
telah menyebabkan pasar-pasar tradisional mati
secara perlahan. Lalu, apalagi yang dapat diecer
oleh rakyat bangsa ini. Jika tahu dan tempe pun
dapat dibeli di berbagai super market ber AC
tersebut.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Karena
momentum reformasi dan transisi demokrasi telah
dibajak oleh kepentingan elit-elit politik yang tak
kalah korupnya dengan elit-elit politik rezim Orde
Baru dan memperhamba diri kepada kuasa pemilik
modal. Elit-elit politik Orde Baru yang bertopeng
reformis dan elit-elit politik reformis gadungan
senyatanya semakin dalam mengakumulasi
pengerukan kekayaan alam, penghancuran
lingkungan hidup, pengisapan tenaga-tenaga
rakyat, dan menyuburkan kekerasan.
Proses-proses penghancuran sumber-sumber
kehidupan rakyat ini telah mengakibatkan
terjadinya krisis yang tidak terpulihkan. Krisis
ekonomi semakin tak terpulihkan karena semua
kekayaan rakyat bangsa ini dikuasai oleh segelintir
elit politik dan pemilik modal. Pemilik-pemilik
modal internasional telah menekan elit
pemerintahan supaya memperoleh kemudahan-
kemudahan akses dan penguasaan sumber-sumber
kemakmuran rakyat, aset negara (BUMN),
keringanan pajak, dan lain-lain.
Perekonomian nasional telah menghamba pada
sistem kapitalisme global. Senyatanya hal itu
terlihat sejak era reformasi ini dengan berbagai
produk perundang-undangan seperti telah
diuraikan di atas. Terutama perundang-undangan
yang memberi akses seluas-luasnya bagi
kepentingan pemilik modal dalam dan luar negeri
atas sumber-sumber kemakmuran rakyat.
Seperti misalnya tergambar dalam UU Penanaman
Modal, UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU
Ketenagalistrikan, UU Perkebunan, dan Perpu No
1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang
No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU
BHP. Bahkan, krisis sosial budaya terjadi karena
proyek-proyek pembangunan dan perluasan
investasi telah meluluhlantakkan basis sosial dan
kebudayaan rakyat di seluruh penjuru negeri ini.
Konflik sosial antara rakyat dan negara, rakyat
dan pemodal, juga rakyat dan rakyat semakin
marak belakangan ini. Ambruknya sistem
kebudayaan rakyat menjadikan rakyat tak mampu
melakukan reproduksi sosial bagi keberlanjutan
generasi mendatang.
Sementara itu, krisis ekologi terjadi karena negara,
pemodal, dan sistem pengetahuan dan teknologi
telah mereduksi alam menjadi obyek komoditi
yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk
memperoleh keuntungan ekonomi secara instan.
Ekspansi sistem monokultur, eksploitasi hutan,
industri pertambangan telah mengganggu dan
menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan
keseimbangan alam.
Privatisasi kekayaan alam hanya dipersembahkan
semata-mata untuk mengejar keuntungan pemilik
modal. Bahkan, dengan alasan konservasi sekali
pun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat
pada sumber-sumber kemakmuran. Pada
gilirannya berbagai bencana lingkungan seperti
kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan,
pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana
yang harus diderita dan ditanggung oleh rakyat
bangsa ini dari tahun ke tahun.
Menurut catatan Bakornas sejak tahun 1998
(setahun setelah jatuhnya Presiden
Soeharto hingga pertengahan 2003, tercatat telah
terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan
korban sekitar 2.000 orang. Ini belum termasuk
korban Tsunami Aceh, gempa Yogya dan
Bengkulu-Sumbar. Di mana 85% dari bencana
tersebut merupakan banjir dan longsor.
Hal ini menunjukkan bahwa bencana terbesar
yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi,
diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir
dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi
bukan hanya karena faktor alamiah alam. Namun,
lebih dikarenakan campur tangan manusia
terhadap penghancuran lingkungan hidup.
Sebagian besar adalah "bencana buatan" yang
terencana secara sistematis akibat lemahnya
tanggung jawab otoritas negara, buruknya
kebijakan, dan tidak konsistennya penegakkan
hukum.
Sumber daya alam kita yang terkuras habis secara
brutal dan serakah hanya dinikmati oleh segelintir
orang pemilik modal. Tetapi, harus dibayar mahal
oleh
sebagian rakyat bangsa ini.
Butuh Perubahan Fundamental
Singkatnya, bahwa krisis politik, krisis ekonomi,
krisis sosial budaya, dan krisis ekologi ini, tak
terbantahkan karena telah terjadi erosi nilai
kedaulatan dan keadilan yang kemudian bertemu
dalam erosi kesejahteraan.
Erosi kedaulatan ini nampak dalam fenomena
semakin sirnanya hak menentukan nasib sendiri,
baik di tataran negara bangsa maupun di tataran
satuan-satuan politik yang lebih kecil. Yang
terkecil di antaranya adalah tataran desa, bahkan
keluarga. Sedangkan erosi keadilan adalah narasi
tentang ketimpangan distribusi manfaat dari
tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Baik intra maupun trans-generasi.
Kemiskinan kemudian menjadi indikator terjadinya
erosi kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan ini
terjadi akibat merosotnya tingkat kesejahteraan
rakyat serta ketahanan dan keberlanjutan
kehidupan rakyat. Sehingga kemiskinan kemudian
dapat dipahami sebagai hilangnya potensi
ketahanan dan keberlanjutan fisik serta potensi
ketahanan dan keberlanjutan sosial atau
keduanya dapat disatukan sebagai hilangnya
ketahanan dan keberlanjutan lingkungan
hidup.
Tampaknya perahu yang bernama Republik
Indonesia ini akan karam bila tidak cepat-cepat
diselamatkan. Untuk menyelamatkan negeri ini
hanya bisa dilakukan dengan political will yang
kuat dari kepemimpinan nasional. Artinya,
pemimpin yang terpilih harus berani mengubah
seluruh kebijakan dalam sektor ekonomi. Semua
kontrak-kontrak dan UU yang berbau neoliberal
menguntungkan pihak asing harus direvisi.
Singkatnya, kita butuh perubahan yang
fundamental. Bukan hanya janji dan citra.
Perubahan yang perlu dilakukan adalah agar
terjadi perubahan dari sejarah kebangkitan elit
menjadi awal dari sejarah kebangkitan rakyat
berdaulat dan awal dari kejayaan Indonesia.
Marilah kita rakyat Indonesia yang berdaulat
menyatukan tekad dan bersepakat 'saatnya
berdaulat untuk melanjutkan kebijakan neoliberal
pemerintahan saat ini'.
Restianrick Bachsjirun
Jl H Ahyar No 17B Duren Sawit Jakarta Timur
restianrick@yahoo.com
085921755345g
Wikipedia
Search results
Facebook Comment
Info Archive
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :
"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"
http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya
THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907
http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya
THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907