Senin, 21/01/2008 10:19 WIB
Kejahatan Kemanusiaan Perekonomian Indonesia (1) Skenario Amerika Serikat Hendri - suaraPembaca
Koorporasi raksasa ini yang mengendalikan sumber-sumber daya alam planet bumi ini. Pada pelaksanaannya Koorporasi AS menyarankan agar negara-negara dunia ketiga (khususnya Indonesia) melalui rezim yang berkuasa atau kaki-tangannya (melalui proses KKN dan tekanan), menerima pinjaman yang lebih besar daripada yang diperlukan.
Selain itu, Koorporasi ini juga meminta penjaminan proyek pembangunan infrastruktur – tambang minyak/gas, pembangkit tenaga listrik, telekomunikasi, jalan raya pelabuhan, bandar udara, atau kawasan industri. Tentu saja, dengan misi dan proyeksi bahwa negara penerima pinjaman atau utang terpaksa atau dipaksa mengalami kegagalan dalam melunasi atau membayar utang sesudah beberapa tahun.
Hal ini terbukti pada saat pascaperalihan perebutan kekuasaan yang dilancarkan pada tahun 1965. Peralihan dari pemerintahan Sukarno ke rezim Suharto dengan pembantaian yang diprakarsai oleh militer dengan dalih menyelamatkan Negara Indonesia dari pengaruh komunis. Komunis memang juga menjadi kekawatiran Amerika Serikat atas tindak-tanduk Sukarno karena membentuk persekutuan yang kuat erat dengan pemerintah-pemerintah komunis di seluruh dunia.
Skenario ini berjalan dengan mulus pada saat rezim Suharto berkuasa. Pemikiran kebijakan luar negeri Amerika serikat adalah Suharto akan melayani Washington dengan cara yang serupa dengan Shah Iran dan juga berharap Indonesia akan berfungsi sebagai model untuk negara lain. Washington mendasari bagian dari strateginya pada asumsi bahwa keuntungan yang diperoleh akan menjadi perangsang yang cukup karena Indonesia kaya akan minyak.
Pada pemerintahan Suharto awal 1967 dicanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Selanjutnya melahirkan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) untuk diproyeksikan sampai beberapa periode (1 periode = 5 tahun).
Cikal bakal rencana ini sebenarnya telah dituangkan dan disahkan dalam Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tertanggal 3 Desember 1960 (ditandatangani perjanjian-perjanjian kerja antara P.N. Pertamina dengan P.T. Caltex Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic)/Texaco Overseas Petroleum Company (Topco); P.N. Permina dengan P.T. Stanvac Indonesia: P.N. Permigan dengan P.T. Shell Indonesia, maka perjanjian-perjanjian kerja tersebut sesuai dengan Undang-undang No. 44 Prp tahun 1960 perlu disahkan dengan Undang-undang).
Pelaksanaannya pembangunan bergerak di mana-mana. Khususnya pulau jawa dan ini mengundang decak kagum pada rakyatnya pada saat itu --padahal kalau mau jujur dan sadar pada saat itu kita tidak punya biaya dan sumber daya manusia yang memadai untuk menopang pembangunan.
Apalagi baru mengalami masa peralihan rezim yang telah memakan korban jutaan orang tak berdosa dengan biaya yang tidak sedikit. Sehingga bisa dibilang masa pada waktu itu adalah masa-masa yang paling kelam, mengerikan, dan membawa Indonesia pada krisis ekonomi atau moneter yang pertama.
Ini merupakan bagian dari rekayasa atau skenario Amerika Serikat agar Indonesia mengambil langkah yang masuk akal. Indonesia menerima pinjaman atau utang dari Amerika Serikat.
Untuk menjalankan rencana PELITA pada tahun 1968 itu peran Amerika Serikat melalui World Bank, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Lembaga ini menjalankan misinya yakni memberikan bantuan (utang) kepada Indonesia untuk melaksanakan proyek PELITA. Dengan asumsi atau kebijakan hak eksplorasi dan eksploitasi tambang minyak dikontrakkan kepada koorporasi Amerika Serikat.
Padahal pada kenyataannya perjanjian utang itu adalah sangat menjerat. Untuk minyak mentah senilai US$ 100 yang diambil dari Indonesia, perusahaan minyak asing menerima US$ 75.
Dari US$ 25 sisanya, tiga perempatnya mesti dipakai untuk membayar utang luar negeri. Sebagian besar yang tersisa dipakai untuk menutup biaya militer dan biaya pemerintah lainnya –-yang menyisakan hanya sekitar US$ 2,50 untuk kesehatan, pendidikan, dan program bantuan bagi orang miskin.
Setelah negara–negara itu dibebani dengan utang yang besar pemerintah Amerika Serikat dan badan bantuan international yang bersekutu dengannya (corporatocracy) dapat menguasai ekononomi. Mereka memastikan bahwa minyak dan sumber daya lainnya disalurkan untuk melayani kepentingan membangun suatu kekuasaan global.
Hal ini menjadi kenyataan pada saat jatuhnya rezim Soharto pada tahun 1998. Pada masa itu pulalah utang-utang kita telah jatuh tempo dan krisis moneter kedua terjadi karena kita tidak mampu membayar meskipun hanya bunganya saja.
Pemerintah dengan kelompok ekonom Mafia Berkeley dan para Economic Hit Man sebagai motor menjadikan kontrak dengan IMF sebagai satu-satunya acuan yang harus dipegang. Kontrak ini mengabaikan mandat konsitusi negara, UUD 1945. Kita menyaksikan kini adalah upaya mengganti kontrak antara negara dan rakyat dengan kontrak rezim Pemerintah dan IMF (lihat "Confessions of an Economic HitMan" by John Perkins).
Selasa, 22/01/2008 08:02 WIB
Kejahatan Kemanusiaan Perekonomian Indonesia (2) Wajah Baru Pelanggaran Hak Azasi Manusia Hendri - suaraPembaca
Selama ini transaksi utang luar negeri Pemerintah Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia (World Bank). Kebijakan dari lembaga ini pulalah yang menentukan transaksi utang luar negeri Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain (utang bilateral).
Keberadaan World Bank, IMF, dan USAID yang ditopang oleh negara-negara industri kaya lainnya melakukan upaya sistimatis dalam menghadirkan pola baru kolonialisme pusat-pusat kapitalisme dunia di bawah kepemimpinan Amerika (lihat buku kajian "Das Kapital" Karl Marx). Hal ini bisa dilihat dari tujuan pendirian dan sistem pengambilan keputusan yang berlaku di lembaga-lembaga tersebut di atas.
Akibatnya jelas-jelas menyimpang dari tujuan awal yaitu penyediaan kebutuhan dasar (fundamental right) yang merupakan hak asasi manusia dan melanggar ketentuan deklarasi Komite PBB pada November 2002.
Maka upaya penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia bukan hanya tanggung jawab dan kewajiban negara. Tetapi, juga merupakan kewajiban actor non state. Sebut saja Transnational Corporation dan perusahaan bisnis lainnya.
Dalam Norms on the responsibilities of transnational Corporations and other business enterprises with regard dan perusahaan bisnis lainnya (norma-norma pertanggungjawaban dari perusahaan transnasional dan perusahaan nasional) yang dikeluarkan PBB tahun 2003 (lihat uraian "Kebutuhan Dasar Merupakan Hak Asasi Manusia") di antaranya menyebutkan:
(1) negara, perusahaan transnasional, pebisnis, organisasi sosial mempunyai tanggung jawab utama untuk meningkatkan, melindungi pemenuhan, menghormati, menjamin penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia sedunia.
(2) Adanya kecenderungan global yang meningkatkan pengaruh perusahaan transnasional dan perusahaan lain dalam ekonomi di sebagian besar negara dan dalam hubungan ekonomi internasional.
(3) Perusahaan transnasional dan perusahaan lainnya mempunyai kemampuan untuk membantu perkembangan perekonomian tetapi juga dapat membahayakan terlaksananya hak asasi manusia.
(4) Adanya masalah hak asasi manusia yang di dalamnya ada juga yang merupakan pengaruh perusahaan transnasional dan perusahaan lain. Untuk itu IMF, Worl Bank, dan USAID sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sektor jasa keuangan, seharusnya hanya memiliki tanggung jawab dan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dan bukanlah merupakan ancaman potensial bagi kemajuan, pembelaan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
Dan, semua ini terlihat dari perilaku dan tindakan-tindakan World Bank, IMF, dan USAID dalam meraih kekuasaan dan kekayaan dalam meraih kekuasaan global di negeri tercinta ini Indonesia. Padahal sudah sangat jelas dan gamblang bahwa undang-undang telah mengaturnya, yakni Pasal 33 ayat (2) UUD 1945:
"Tjabang–tjabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hadjat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara"
Dan dalam hal penjelasan pasal 33 ayat(2) disebutkan:
"Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang–cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang–seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan seorang."
Rabu, 23/01/2008 07:39 WIB
Kejahatan Kemanusiaan Perekonomian Indonesia (3)
Konsekuensi Privatisasi
Hendri - suaraPembaca
Sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan dasar. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dijamin dalam konstitusi. Ini merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warganegara. Perspektif HAM atas penyediaan kebutuhan dasar juga dipertegas pada level global.
Pada November 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mendeklarasikan akses terhadap sumber daya alam merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right).
Disebut bahwa sumber daya alam adalah benda sosial dan budaya, dan tidak hanya komoditi ekonomi. Komite ini menekankan bahwa 145 negara (termasuk Indonesia) telah meratifikasi Konvenan Internasional Untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses pada bumi dan air dan kekayaan alam secara setara tanpa diskriminasi.
Deklarasi PBB ini tidak menyebut secara eksplisit tentang privatisasi, guna menghindari konflik terbuka dengan negara maju yang mendukung privatisasi. Namun, deklarasi ini bermakna penyediaan kebutuhan dasar oleh pemerintah adalah pilihan terbaik atas sumber daya yang terbatas. Serta komoditas publik yang fundamental bagi kesehatan dan kehidupan (Social Watch Report, 2003).
Komisi PBB Untuk HAM (UNHCR) juga menyerukan agar negara-negara anggota WTO mempertimbangkan dampak liberalisasi perdagangan terhadap penyediaan kebutuhan dasar publik, pendidikan, dan kesehatan. IMF dan World Bank sebagai institusi dalam sistem PBB sejak 1947 seharusnya mengikuti deklarasi tersebut.
Jika privatisasi dan dampaknya berlangsung sebagaimana digambarkan di atas (dampak dan konsekwensi akibat privatisasi dijelaskan di bawah), tentu akan menimbulkan gejolak sosial serta biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar. Untuk itu, DPR harus memberikan perhatian penuh pada persoalan ini dan tegas mempertimbangkan amanat konstitusi. Selain harus bangkit, Indonesia juga diharapkan berdaulat.
Implementasi produk vital yang menguasai hayat hidup orang banyak dan harus dilindungi dan dikuasai oleh Negara dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut di atas adalah:
1. Hasil bumi (Minyak, Gas, Tambang batu bara, emas, timah, dlsb.)
2. Air
3. Listrik
4. Telekomunikasi
5. Pelabuhan–pelabuhan
6. Hutan-hutan
Berikut ini beberapa contoh mengenai dampak/konsekuensi dari privatisasi:
1. Konsekuensi Privatisasi Minyak dan Gas
Memang, sesungguhnya problem kelangkaan BBM ini pangkalnya adalah rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah, sebagaimana yang tercermin dalam UU No 2 Tahun 2005, yang membuka terjadinya privatisasi pengelolaan minyak, serta memberikan hak/kewenangan kepada berbagai pihak/perusahaan multinasional, nasional, regional, maupun lokal untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak.
Bahkan, dibiarkan untuk menetapkan harga dan ini menyebabkan mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk". Karena sejak semula diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, tidak aneh jika hampir semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.
Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) berikut, "USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform." Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, "The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000" (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disaksikan betapa telah sangat jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia. Selain itu, disadari atau tidak, dapat disaksikan pula betapa telah sangat berkembang tradisi untuk menyerahkan penyusunan rancangan undang-undang (RUU) kepada pihak asing.
Dan meskipun harga minyak dunia menembus US $ 100 per barel. Indonesia, sebagai negara penghasil minyak tidak bisa mencicipi kenaikan ini. Indonesia justru menangis dan kalang kabut menutupi defisit anggaran APBN yang semakin melambung.
Banyak kalangan berpendapat bahwa hal ini disebabkan sumber daya alam kita dirampok bangsa asing lewat perusahaan-perusahaan tambang mereka yang ada di negeri ini. ExxonMobil, Chevron, Total Indonesia, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, Texaco, dan beberapa perusahaan kontraktor independent.
Selebihnya Pemerintah kita dituduh telah menjual kekayaan alam ini tidak untuk kemakmuran rakyat, atau hajat hidup orang banyak, padahal di UUD 1945 pasal 33 sudah di jelaskan.
2. Konsekuensi Privatisasi air
Peran pengelolaan air tidak dapat diberikan pada swasta yang menaruh keuntungan sebagai tujuan pertama (profit first). Privatisasi akan membuat akses masyarakat terhadap air terbatas dan mahal. Karena seluruh biaya pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung semata pada pemakai dalam bentuk tarif. Privatisasi di berbagai negara juga menunjukkan fenomena monopoli baru dan harga yang meningkat beberapa kali lipat.
Kebijakan untuk mendorong adanya privatisasi ini dilakukan oleh IMF, World Bank dan IDB. Pinjaman dengan prasyarat pelaksanaan privatisasi didesakkan oleh World Bank di sejumlah negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan seperti Maroko, Bolivia, Bulgaria, Filipina, Afrika Selatan, sejumlah negara Asia Selatan dan Indonesia.
Social Watch (2003) mencatat di Bolivia merupakan satu contoh kasus privatisasi yang didiktekan secara gamblang dan ternyata bertujuan untuk menaikkan tarif air.
Pengalaman itu menunjukkan privatisasi mengarah pada memburuknya kualitas penyediaan air, tarif yang meningkat serta makin terbatasnya akses petani dan masyarakat pedesaan terhadap sumber air. Masyarakat miskin adalah kelompok yang paling menderita karena privatisasi hanya menjangkau kelompok yang mampu membayar.
Pengalaman buruk tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan lembaga donor. Kini agenda tersebut diteruskan di Indonesia. Kepada siapa privatisasi yang sistematis dan dipaksakan ini diabdikan? Kalau kita melihat privatisasi air minum di sejumlah negara berkembang, hanya sekelompok kecil 6-8 perusahaan multinasional yang menguasai.
Contohnya Suez-Lyonaise dan Thames Water di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Filipina. Dengan situasi perekonomian nasional yang memburuk kini, hanya sekelompok perusahaan raksasa inilah yang akan menguasai pengelolaan air di masa depan.
Bisnis air ibarat bisnis minyak. Setiap orang sebagai pengguna air merupakan pangsa pasar. Ini mendorong keinginan yang kuat dan tersembunyi perusahaan raksasa melalui lembaga keuangan internasional untuk menguasai. Seperti dikatakan Vice President World Bank, Ismail Serageldin "Perang di masa depan akan menyangkut air".
Privatisasi pengeloaan air yang didorong World Bank menambah daftar panjang tudingan bahwa lembaga itu dan lembaga keuangan multinasional lainnya bekerja untuk kepentingan perusahaan multinasional (MNC/TNC) dan negara donor semata.
Pengalaman buruk rakyat tampaknya tidak menjadi perhatian lembaga donor itu. IMF berperan menciptakan kondisi dan tekanan agar privatisasi dalam penyediaan fasilitas publik dan jasa harus dibuka pada swasta. LoI IMF dan Pemerintah Indonesia yang mensyaratkan pencabutan subsidi seluas mungkin, dan masuknya investasi asing menjadi pintu masuk investasi asing pada air.
Dalam hal penyediaan air bersih swasta akan memilih untuk melayani daerah-daerah yang menguntungkan. Daerah-daerah di luar P Jawa yang terpencil-yang membutuhkan biaya pembangunan jaringan air yang besar-tentunya bukan prioritas kecuali dengan tarif tinggi. Kawasan Timur Indonesia yang tertinggal dan termasuk sulit air tentunya akan semakin jauh tertinggal.
Pengalaman privatisasi air di sejumlah negara juga tidak menunjukkan peningkatan kualitas dan efisiensi. Penyediaan air minum di wilayah Jakarta jauh lebih buruk setelah diprivatisasi kepada PT. Lyonaise dan PT. Thames.
Ini bertolak belakang dengan asumsi World Bank dan IMF. Privatisasi ternyata bukanlah jawaban atas kinerja yang buruk dari manajemen pemerintah. Lalu apa tugas PT. PAM yang nota bene tadinya adalah salah satu BUMN yang tugasnya adalah pengelolaan sumber-sumber air untuk kemakmuran setiap orang di muka bumi Indonesia.
Tetapi, sekarang juga sudah diubah bentuk atau diprivatisasi menjadi perseroan yang semata-mata mencari untung. Maka berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat (2) tersebut di atas, peran swasta dalam usaha penyediaan air tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
3. Konsekuensi Privatisasi Listrik
Masalah yang menyangkut keterlibatan peran swasta dan koperasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik bermula dalam usaha penyediaan tenaga listrik bermula dengan adanya ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1958 tentang Ketenagalistrikan yang menyebutkan:
"Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata dan untuk meningkatkan kemampuan Negara dalam hal penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2). Baik untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan Negara, dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan izin usaha ketenagalistrikan".
Kehadiran swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik berbeda dengan kehadiran koperasi meskipun kedua badan tersebut sama sama bukan badan usaha yang dimiliki atau yang di kuasai Negara. Meskipun peran swasta dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) tersebut sama sama untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, tetapi hal yang membedakan kehadiran kedua badan usaha tersebut adalah dampak atau akibat yang mungkin terjadi atau kehadiran badan usaha itu sendiri.
Koperasi sebagai badan usaha yang dimaksud dalam sistem perekonomian Indonesia, tidak akan pernah melakukan usaha pada skala keekonomian yang dapat mengganggu atau merugikan kepentingan Negara. Akan tetapi, usaha penyediaan tenaga listrik oleh pihak swasta dapat mempunyai dampak yang sangat besar yang juga mengganggu perekonomian nasional.
Kehadiran swasta telah menjadi pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil pemeriksaan resmi BPKP telah mengakibatkan kerugian Negara sebagaimana dikhawatirkan dalam pasal 7 ayat(2) UU No. 15 Tahun 1985.
Dan memang sangat dimaklumi bahwa kehadiran pihak swasta adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dengan tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dan ini membawa dampak harga jual tariff daya listrik (TDL) kepada konsumen/masyarakat.
Masalah tarif daya listrik (TDL) yang berkembang di masyarakat sesungguhnya adalah masalah transparansi. Masyarakat akan dapat mengerti berapa pun harga yang ditetapkan oleh Pemerintah apabila semua komponen harga dalam penetapan TDL tersebut dapat diketahui sebenarnya oleh masyarakat. Selama ini kenaikan TDL, selalu dikaitkan dengan meningkatnya biaya operasi.
Namun, tidak ada kejelasan yang dapat diketahui oleh masyarakat mengenai biaya operasi yang wajar yang sebenarnya. Dan tidak pernah ada penjelasan dari Pemerintah bahwa kemahalan biaya operasi PLN adalah akibat kontrak-kontrak KKN pasokan listrik swasta dalam hal ini PT. Paiton Energy Company (Consorsium), PT. Batu Hitam Perkasa (Mitra local PT PEC dalam rangka pasokan batubara ke Paiton I dan II), MEC International B.V. Mitsui Co. (MEC) dan General Electric Power Funding Co.(GEPF).
Kecuali PT. BHP, kontraktor-kontraktor tersebut adalah Perusahaan USA (Amerika Serikat) dan jangka waktu kontrak dengan PLN adalah 30 tahun, yakni dari tanggal 21 April 1995 s/d 21 April 2025 (jangka waktu kontrak yang cukup fantastis).
Pembelian bahan bakar menjadi faktor yang sangat menentukan tingginya biaya operasi PLN yang tidak pernah di jelaskan secara gamblang dan transparan kepada masyarakat. Padahal sudah ada kebijakan dan ketentuan untuk menyetor iuran eksplorasi dan eksploitasi hasil produksi perusahaan-perusahaan tambang batu-bara sebesar 13,5% (royalti pemerintah) dari total hasil produksi swasta ke PT. Tambang Batubara Bukit Asam (BUMN) c/q Negara/Pemerintah dan tentunya dapat memberikan subsidi kepada PLN (BUMN) untuk kebutuhan bahan bakarnya.
Akan tetapi sebaliknya Mentamben pada waktu itu malah mengalihkan hak iuran (royalty) 13,5% kepada PT. Batu Hitam Perkasa dan ini menjadi beban biaya PLN secara berganda (double charge). Ini belum termasuk beban kontrak-kontrak di luar pembangkit listrik yang sarat akan KKN dan pencurian listrik yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar dan sebagian masyarakat pengguna.
Dari kesimpulan tersebut maka jangan harap masyarakat akan memproleh pasokan harga jual listrik (TDL) murah dan stabil harganya. Akan tetapi dapat dipastikan akan menjadi beban berat bagi PLN, sehingga kewajiban PLN membayar kontrak-kontrak KKN tersebut.
Maka harga listrik akan terus naik dari tahun ketahun karena dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai KKN pihak swasta dengan penguasa pada masa Orde Baru dan masa sekarang (Lihat "Listrik untuk kesejahteraan rakyat" oleh Ir Batara Lumban Radja Msc).
4. Konsekuensi Privatisasi Telekomunikasi
Restrukturisasi dalam konteks pembangunan telekomunikasi di Indonesia dapat dilihat sebagai upaya untuk menggeser spektrum dari pasar monopolis ke pasar persaingan.
Jika hanya dilihat dari kepentingan untuk menambah jumlah penawaran, dan keyakinan bahwa banyak pihak swasta dapat menyelenggarakan layanan, uraian di atas dapat juga menjelaskan mengapa pergeseran struktur pasar sektor telekomunikasi hampir selalu diikuti dengan privatisasi.
Namun demikian, dalam kenyataannya, alasan privatisasi perusahaan BUMN telekomunikasi di Indonesia lebih diwarnai oleh motivasi untuk menutup defisit fiskal dari pada upaya restrukturisasi. Hal ini terlihat ketika Pemerintahan Megawati dapat pemasukan Rp 5,62 triliun.
Pada waktu STT (Temasek) memenangkan tender divestasi PT Indosat padahal Scherer dan Ross dalam Industrial Market Structure And Economic Performance (1990) menjelaskan bahwa pada gilirannya struktur pasar akan mempengaruhi tingkah laku (conduct) pelaku pasar. Terutama dalam hal sikapnya terhadap kebijakan harga, strategi pengembangan usaha, serta reaksi terhadap regulasi.
Tingkah laku yang diwujudkan dalam strategi maupun operasional baik secara individu maupun agregat akan mempengaruhi kinerja (performance) perusahaan maupun perekonomian. Dalam konteks ini akan terlihat apakah pasar sudah efisien atau masih banyak kemubasiran (dead weight loss) yang sengaja atau tidak diciptakan oleh pelaku pasar.
Dengan alur pikir di atas, diskursus mengenai struktur pasar dan kinerja sektor telekomunikasi, mau tidak mau akan bersinggungan dengan kebijakan publik. Seperti misalnya perizinan, perpajakan, standar peralatan, dan layanan, interkoneksi, penetapan tarif, kompetisi versus monopoli, dan lain–lain.
Hal ini diperkuat oleh masih adanya anggapan bahwa telekomunikasi tergolong sektor strategis yang pengelolaannya membutuhkan keterlibatan intensif pemerintah dalam bentuk pengawasan dan pengaturan. Akan tetapi dampak yang jelas-jelas akan dilanda Indonesia adalah ketika telekomunikasi itu bukan hanya Indosat saja yang telah berhasil digaet oleh Temasek, tapi juga dipastikan bakal menjadi raja di bisnis telepon seluler Indonesia.
Maklum, sebelumnya, melalui Singapore Telecommunications Limited (SingTel), grup usaha yang dipimpin menantu mantan PM Lee Kuan Yew itu telah menguasai 35% saham PT Telkomsel. Padahal, semua orang tahu, Telkomsel menjadi raja karena menguasai 54% pangsa pasar seluler. Sedangkan Indosat melalui PT Satelindo dengan penguasaan pangsa sebesar 29%. Alhasil, kalau ditotal, 83% pasar seluler kini berada di bawah kontrol Temasek.
Kondisi ini sebenarnya sudah lama diketahui publik sehingga mengundang pro dan kontra yang cukup seru. Berbagai kalangan yang terdiri dari mahasiswa, politisi, bahkan karyawan Indosat sendiri waktu itu melakukan demonstrasi menolak penjualan tersebut. Selain ada indikasi motivasi untuk menutup defisit fiskal daripada upaya restrukturisasi juga indikasi sarat dengan KKN.
Bahkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU pagi-pagi sudah mencurigai kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang bisa merugikan jutaan konsumen. Penguasaan dominan oleh Temasek otomatis akan berakibat pada pengendalian harga. Akhirnya rakyatlah yang harus menanggung, kata Didik J Rachbini, salah seorang anggota KPPU.
Belum dihitung dampak indikasi monopoli layanan tarif komunikasi dan kerahasiaan data–data atau komunikasi rakyat dan Negara Indonesia yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh negara lain karena penguasaan atau privatisasi usaha telekomunikasi yang dimiliki oleh asing.
Kamis, 24/01/2008 08:27 WIB
Kejahatan Kemanusiaan Perekonomian Indonesia (4) Daulat Ekonomi Indonesia di Tangan Amerika Serikat Hendri - suaraPembaca
Jadi, pemerintah dalam hal ini lebih merupakan wakil dari rakyat, bukan sebagai pemilik, karena pemilik yang sesungguhnya adalah rakyat itu sendiri. Karena bukan pemilik, pemerintah tidak berhak untuk menyerahkan pengelolaan sumber daya alam itu kepada orang tertentu. Apalagi pihak asing.
Pemerintah juga tidak berhak bertindak seolah-olah sebagai penjual. Apalagi menempatkan rakyat sebagai pembeli. Bagaimana mungkin sang pemilik harus membeli miliknya sendiri. Apalagi membeli dari orang asing di halaman rumah sendiri? Kalau demikian, sikap pemerintah menaikkan harga BBM ini untuk rakyat ataukah pihak asing?
Ketika disebut bahwa pemerintah telah memberikan subsidi besar sehingga harga BBM di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran internasional. Timbul kesan seolah yang empunya BBM adalah pemerintah yang menjual kepada rakyat dengan harga bersubsidi. Sebagai penjual, pemerintah merasa subsidi yang diberikan kepada rakyat terlalu besar sehingga perlu dikurangi agar tidak terlalu membebani APBN.
Untuk hal tersebut kita patut mencontoh Bolivia yaitu, di mana Presiden Bolivia Evo Morales, mengumumkan negara kembali mengontrol semua bisnis asing, khususnya migas.
Sebanyak 12 perusahaan asing telah bersedia menandatangani kontrak migas baru (baca: koran Kompas, 04/05/2007). Kontrol yang paling menonjol adalah bisnis minyak dan gas yang selama ini dikuasai asing. Keturunan Indian Quechua ini disebut berhasil menaklukkan para Goliat, julukan raksasa minyak asing yang ditakuti.
Kontrol tersebut berlaku secara resmi sejak 1 Mei, atau setahun sejak Morales mendeklarasikan hal tersebut. Sebagian bisnis migas sudah dikuasai sebelum 1 Mei 2007. Dengan pengumuman Morales itu, perusahaan minyak negara Bolivia, YPFB (Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos, mirip Pertamina) akan mengontrol semua kekayaan alam dan gas. Presiden YPBF Guillermo Aruquipa mengatakan, negara sudah resmi menjadi pemilik semua kekayaan gas dan minyak.
Perwakilan perusahaan minyak asing lain yang telah bersedia menandatangani adalah Petrobras (Brasil), Total Fina Elf (Perancis Belgia), British Gas (Inggris). Dengan kontrak baru itu, semua perusahaan asing harus menyetor 82 persen dari penerimaan (bukan total laba) ke YPBF dan hanya 18 persen untuk perusahaan asing sebagai operator eksplorasi minyak.
Dengan kontrol negara tersebut, YPBF juga dengan leluasa mengontrol praktik penipuan keuangan yang umum dilakukan perusahaan asing, yang bertujuan mengelabui negara tempatnya beroperasi. Usaha migas asing di Indonesia jauh lebih enak, karena menerima 15 persen dari total laba (penerimaan dikurangi biaya).
Kritisnya sikap masyarakat itu, terutama kalangan kampus, sesungguhnya disertai dengan gugatan pertanyaan, siapa yang membuat ekonomi Indonesia terjajah atau menjadi salah satu target dari misi Amerika Serikat untuk meraih kekuasaan? Untuk menjawab siapa yang menjajah dan siapa kaki tangan penjajah ekonomi itu, indikator yang menunjukkan perekonomian suatu bangsa terjajah perlu dikemukakan lebih dulu, dapat diukur dengan lima indikator:
Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi, dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, enerji keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.
Model Amerika menjelang Orde Lama berakhir dan di awal-awal Orde Baru berkuasa, ada hal yang menarik. Mengapa pada era Soekarno ladang minyak di Riau yang dikuasai dan diproduksi Caltex tidak termasuk yang dinasionalisasi dan apa yang melatarbelakangi ladang emas di Irian Jaya diberikan ke Freeport. Dua pertanyaan ini terjawab bahwa tidak mungkin urusan ekonomi terutama yang berkaitan dengan sumber daya terpisah dan bebas pengaruh urusan politik.
Kini setelah sembilan tahun Indonesia "memenuhi anjuran" dan mengadopsi model politik Amerika, sumber daya ekonomi Indonesia --pertambangan, perkebunan, properti, dikuasai, diproduksi, dan akhirnya dinikmati oleh pihak asing. Kondisi ini tidak banyak berbeda saat Indonesia di bawah jajahan VOC, hanya dulu VOC lebih fokus pada hasil bumi (perkebunan) dan mulai beralih ke pertambangan setelah memasuki abad 20.
Demikian juga dengan siapa produsen dan distributor barang dan jasa primer dan sekunder. Ukurannya terlihat pada banyaknya jumlah perusahaan asing dari 200 korporasi besar di Indonesia, yakni sekitar 70%. Kini bukan saja perusahaan distribusi seperti Unilever yang berjaya, perusahaan logistik pun didominasi asing. Lihatlah Fedex dan DHL serta tuntutan meliberalisasi sektor ini.
Indikator kedua soal ketergantungan Indonesia pada impor enerji (minyak mentah/crude oil maupun minyak olahan/oil product), impor bahan pangan (beras, gula, kedelai), ketergantungan pada modal asing, dan dominannya asing di sektor keuangan (bank, asuransi, jumlah dana di pasar modal, dan perusahaan sekuritas), dan dominannya asing dalam memiliki, membangun, dan mengelola proyek infrastruktur (enerji, telekomunikasi dan transportasi).
Secara umum, masyarakat awam paham bahwa enerji dan telekomunikasi dikuasai asing. Tetapi, begitu masuk ke sektor transportasi, kening langsung berkerut. Secara sistemik hal ini terstruktur sejak upaya Jepang "merayu" Indonesia membangun infrastruktur transportasi (underpass, flyover, double-double track, Jakarta Monorail, Subway) melalui utang luar negeri hingga ke strategi memasarkan sepeda motor, mobil, dan industri manufaktur lainnya. Ini membuktikan, sistem dan strategi transportasi kita ditentukan oleh Jepang.
Lihatlah jalan raya, home appliance, juga mesin-mesin pengolahan nyaris 90% berasal dari Jepang. Penguasa kedua bidang transportasi adalah AS dengan strategi Low Cost Carrier untuk industri penerbangan.
Banyak orang tidak sadar bahwa strategi ini sebenarnya telah mentransfer surplus perekonomian nasional ke AS disebabkan pemerintah Indonesia gagal membangun dan menyediakan layanan transportasi publik. Untuk industri perkeretaapian bahkan pemerintah gagal merawatnya sehingga banyak terjadi kecelakaan KA.
Karena pada hakekatnya perilaku ekonomi selalu serakah maka wujud nyata kelembagaannya adalah kartel bila tidak memonopoli. Itu berarti penguasa sektor enerji, pangan, keuangan, industri manufaktur tidak akan rela melepas barang atau jasanya melalui pihak lain.
Dengan berbagai strategi dan model mereka membangun kelembagaan sehingga produsen barang dan jasa primer dan sekunder di tangan mereka. Itulah yang tampak pada industri migas, telekomunikasi, dan transportasi. Artinya indikator ketiga pun dikuasai oleh asing.
Jika pada era Orba liberalisasi perekonomian masih malu-malu maka setelah reformasi Konsensus Washington malah menjadi sumber utama inspirasi kebijakan. David CL Nellor, mantan Kepala Perwakilan IMF di Indonesia tegas-tegas menganjurkan agar Indonesia menerapkan liberalisasi, privatisasi, dan disiplin fiskal.
Katanya dalam sebuah wawancara di sebuah harian di Jakarta menjelang akhir tugasnya, jika Indonesia kesulitan pendanaan APBN, terbuka peluang besar melakukan pinjaman luar negeri, menerbitkan SUN, dan privatisasi. Anjuran Nellor ini sekadar membuktikan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia yang diterapkan sejak liberalisasi perbankan Juni 1983 dan Oktober 1988 sebenarnya bersumber dari "anjuran" IMF, Bank
Dunia, ADB, dan negara-negara yang menjadi lintah darat (kreditor).
Anjuran itu pula yang menegaskan bahwa daulat ekonomi Indonesia di tangan mereka.
Lihatlah berapa banyak UU yang dibuat dengan "naskah akademik" dari mereka. UU Kelistrikan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Lembaga Penjaminan Simpanan merupakan sebagian bukti dari kuatnya cengkeraman mereka.
Kejahatan Kemanusiaan Perekonomian Indonesia (5 - Habis) Neoliberal Sumber Pendanaan APBN Hendri - suaraPembaca
Memang, prosentase utang luar negeri terhadap PDB menurun menjadi sekitar 38%. Tapi, dengan kebijakan ekonomi lainnya, seperti menengadahkan tangan kepada investor asing untuk pembangunan infrastruktur didukung makin meningkatnya kepemilikan asing pada SUN. Maka dana APBN sebenarnya tergantung pada model neoliberal.
Dampaknya adalah APBN tidak akan mampu memenuhi hak-hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan layanan publik yang baik. Dalam konteks ini bisa disimpulkan, pembangunan ekonomi tidak akan bermakna jika transformasi sosial (banyaknya penduduk yang menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun, tingkat kecerdasan masyarakat, rendahnya angka kematian bayi dan ibu, usia harapan hidup,
dan permukiman yang layak dan sanitasi publik yang sehat) bukan merupakan buah utama pembangunan ekonomi.
Utang luar negeri memastikan bahwa anak-anak atau generasi penerus akan dijadikan sandera mereka dan akan terus membiarkan koorporasi Amerika Serikat menjarah sumber daya alam, usaha-usaha strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tak patut meratap jika ternyata takaran itu menunjukkan kita memang belum berdaulat secara ekonomi. Yang dibutuhkan justru kerjasama masyarakat guna mengembalikan modal sosial yang telah diluluhlantakkan kaum neoliberal. Dan itu berarti kita membutuhkan pemimpin yang menjalankan komitmennnya menegakkan UUD 1945.
Rekomendasi International
Perlu yuridiksi International khususnya PBB untuk membuat analisa tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan perekonomian yang dilakukan oleh World Bank, IMF, dan Amerika Serikat(USAID) atau kaki tangan atau Kepala Negara atau Pejabat terkait yang menjadi boneka dan berperan dalam meraih kekuasaan global serta membawanya ke mahkamah internasional.
Rekomendasi kepada Negara
- Cabut produk hukum dan kebijakan pemerintah yang merupakan produk Amerika Serikat, IMF, dan World Bank serta WTO.
- Hentikan privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber alam/agraria dan pelayanan publik dan menasionalisasi usaha-usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti yang telah dilakukan oleh Presiden YPBF Guillermo Aruquipa Negara Bolivia baru-baru ini.
- Mengadili kejahatan kemanusiaan dan perekonomian yang dilakukan actor state dan non state (IMF, WB, USAID, TNC).
Rekomendasi kepada Rakyat Indonesia
- Tingkatkan rasa nasionalis kita sebagai rakyat Indonesia dan perlu percaya diri bahwa kita bisa mandiri dengan menolak segala jenis bantuan/utang dari negara-negara donor (pemberi utang) yang notabene punya misi-misi tertentu yang pada akhirnya hanya akan menjerat kita ke krisis yang berkepanjangan dan lebih dalam.
- Pilihlah dan dukung pemimpin yang mau dan berani menasionalisasi usaha-usaha yang menyangkut hidup orang banyak untuk dikuasai oleh negara bukan malah menjual atau memprivatisasi BUMN yang jelas-jelas menyangkut hidup hajat orang banyak sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3).