Wednesday, 31 October 2012

Melihat Nabi Muhammad SAW di Alam Nyata, Mungkinkah?

Mungkinkah melihat Nabi SAW dalam keadaan terjaga (sadar) setelah beliau wafat?
Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam tidur, maka ia akan melihatku ketika terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.”

Ulama berbeda pendapat mengenai maksud sabda beliau “maka ia akan melihatku ketika terjaga”. Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah “ia akan melihatku pada hari kiamat nanti”. Tapi pendapat ini dikritik, karena kalau demikian maka tidak ada gunanya pengkhususan bagi orang yang melihatnya di alam tidur, karena seluruh umatnya akan melihatnya pada hari kiamat kelak, baik yang pernah melihat sebelumnya ataupun yang tidak.

Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah orang yang beriman kepadanya dan belum pernah melihatnya karena saat itu ia sedang tidak hadir bersamanya, maka hadits ini menjadi kabar gembira baginya, yakni ia akan melihatnya di alam sadar sebelum mati.

Sebagian lagi mengartikannya secara zhohir (letterlek), yakni barangsiapa melihatnya di alam tidur, maka ia pasti akan melihatnya di alam sadar dengan kedua mata kepalanya. Ada juga yang menafsirkan dengan mata hatinya seperti dikatakan Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi.
Sedangkan Abu Bakr bin Abi Jamrah mengatakan dalam catatannya terhadap hadits-hadits yang ia pilih dari Shahih Bukhari: “Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa melihat Nabi SAW dalam mimpi, maka ia akan melihatnya di alam sadar. Apakah ini dipahami secara umum yaitu sebelum dan sesudah wafatnya, ataukah secara khusus sebelum wafatnya saja? Apakah itu juga mencakup semua orang yang melihatnya sacara mutlak ataukah khusus bagi yang memiliki ahliah (kapabilitas) dan ittiba’ (pelaksanaan) terhadap sunnah-sunnahnya saja?

Teks hadits itu memberikan pengertian umum, maka barangsiapa mengklaim kekhususan tanpa adanya indikasi pengkhususan, maka ia telah melanggar. Sebagian orang ada yang tidak mempercayai keumuman teks hadits itu. Ia mengatakan - sesuai dengan kadar akalnya, “Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal dapat dilihat orang yang masih hidup di alam nyata?”

Sebenarnya, ucapan ini mengandung dua konsekuensi berbahaya. Pertama, tidak percaya terhadap sabda Nabi SAW sedangkan beliau tidak pernah berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri. Kedua, tidak mengetahui kemampuan Sang Pencipta dan mukjizat-Nya, seakan-akan ia belum mendengar ayat dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, “Pukullah ia dengan sebagiannya. Demikianlah Allah menghidupkan yang sudah mati.” Begitu juga dengan kisah Ibrahim bersama burung yang terbagi menjadi empat dan juga kisah Aziz. Allah yang telah menghidupkan semua itu mampu menjadikan mimpi melihat Nabi SAW sebagai penyebab melihatnya di alam nyata. Menurut riwayat dari sebagian sahabat -sepertinya Ibnu Abbas, bahwa ia melihat Nabi SAW dalam mimpi, lalu ia teringat hadits ini dan selalu memikirkannya lalu ia pergi menemui sebagian istri Nabi SAW -sepertinya Maimunah, lalu menceritakan mimpinya padanya. Lalu Maimunah berdiri mengambil cermin Nabi dan memberikannya kepada Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat bayangan Nabi SAW dalam cermin itu, bukan bayanganku.”

Menurut riwayat dari sebagian salaf dan khalaf juga demikian, mereka melihat Nabi SAW dalam mimpi seraya membenarkan hadits ini, lalu mereka pun melihatnya di alam nyata. Mereka menanyakan berbagai persoalan yang mereka bingung menyikapinya, lalu Nabi pun memberitahu solusinya.

Orang yang mengingkari semua ini ada dua kemungkinan, ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali atau termasuk orang yang tidak percaya terhadapnya. Kalau ia termasuk orang yang tidak percaya terhadap karomah wali, maka selesai masalah, tidak perlu dibahas, karena ia mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan bukti-bukti yang jelas. Jika ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali, maka ini adalah salah satunya, karena para wali sering ditampakkan melalui kejadian luar biasa pada dua alam, atas dan bawah. Maka, tidak selayaknya mengingkari hal semacam ini selama ia percaya terhadap karomah wali. Demikian perkataan Ibnu Abi Jamrah.

Al-Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi, salah seorang ulama Malikiyah terkemuka, beliau mengatakan, “Melihat nabi dan malaikat serta mendengar ucapan mereka adalah mungkin bagi orang beriman sebagai bentuk karomah (kemuliaan) baginya, adapun bagi orang kafir sebagai hukuman.”
Ibnul Haaj mengatakan dalam Al-Madkhal sebagaimana dinukil oleh Izzuddin bin Abdissalaam dalam Al-Qawa’id Al-Kubra bahwa melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar (di alam nyata) adalah suatu kejadian langka yang jarang dialami oleh manusia kecuali bagi orang yang memiliki sifat-sifat yang langka dimiliki oleh orang-orang di zaman ini, bahkan mungkin telah musnah kebanyakan, meskipun kami tidak mengingkari orang yang mengalami hal tersebut dari kalangan para tokoh besar yang dijaga oleh Allah, lahir dan batin mereka.

Al-Yafi’i mengatakan, “Sesuatu yang mungkin dialami oleh para nabi sebagai bentuk mukjizat mungkin pula dialami oleh para wali sebagai bentuk karomah, selama tidak ada unsur menantang.”
Utsman bin Affan ketika rumah beliau di kepung oleh para pemberontak, beliau menyendiri di dalam kamar lalu melihat Rasulullah SAW di situ bersabda, “Kalau mau, kamu bisa ditolong atas mereka, atau kalau mau, kamu bisa juga kamu berbuka bersamaku.” Lalu Utsman memilih berbuka bersama Rasulullah SAW. Di hari itulah Utsman terbunuh sebagai syahid sebelum matahari terbenam.
Al-Aluusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani, ketika bercerita tentang turunnya Nabi Isa AS:
“Ada pendapat yang mengatakan bahwa Isa AS mengambil hukum-hukum dari Nabi SAW secara langsung dari mulut ke mulut setelah ia turun (ke bumi) sedangkan Nabi SAW berada dalam kuburnya yang mulia. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits Abu Ya’la berbunyi: Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, Isa Putra Maryam akan turun kemudian berdiri pada kuburanku lalu berkata: Wahai Muhammad, sungguh aku akan menjawabnya.

Boleh jadi hal itu terjadi dengan cara berkumpulnya dua ruh. Tidak ada bid’ah sama sekali dalam masalah ini. Sungguh melihat Nabi SAW setelah wafat telah dialami oleh lebih dari satu para makhluk sempurna dari umat ini, juga mereka mengambil langsung dari Nabi SAW.”
Lalu beliau menyebutkan kisah-kisah nyata para ulama dan wali yang pernah mengalami kejadian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar.

Imam Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya, At-Tadzkiroh fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhiroh:
“Syaikh kami, Syaikh Ahmad bin Umar telah berkata: Kematian para nabi itu berarti tertutupnya mereka dari kita sehingga kita tak dapat mengetahui mereka, meskipun mereka sendiri sebenarnya masih ada dan hidup. Kondisi itu mirip seperti malaikat, mereka ada dan hidup tapi tidak satu pun orang seperti kita ini yang melihatnya kecuali bagi orang tertentu yaitu wali-Nya yang diberi kekhususan oleh Allah berupa karomah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari:
“Orang yang melihat Nabi SAW setelah beliau wafat dan sebelum dikebumikan, maka yang paling benar adalah ia tidak termasuk sahabat. Jika tidak demikian, maka (niscaya akan disebut sahabat) setiap orang yang melihat jasad beliau yang mulia itu di dalam kuburannya meskipun di zaman ini, atau para wali yang dibukakan baginya tabir penutup lalu melihat Nabi SAW sebagai karomah. Hujjah yang dipakai oleh yang menetapkan status sahabat ketika Nabi SAW belum dikebumikan adalah karena beliau masih tetap hidup, padahal kehidupan ini bukan kehidupan duniawi melainkan kehidupan ukhrowi, tidak terkait dengan hukum-hukum dunia.”

Penegasan Ibnu Hajar di atas sekaligus menjawab pertanyaan, “Apakah orang yang pernah melihat Nabi SAW setelah beliau wafat disebut sahabat?”

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ketika ditanya, “Mungkinkah berkumpul dan bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga?” beliau menjawab: “Ya, mungkin itu. Sejumlah ulama telah menegaskan bahwa hal itu termasuk karomah para wali.” (Al-Fatawa Al-Haditsiyah halaman 297)
Imamul Qurro’ wal Muhadditsin Imam Ibnul Jazari mengatakan dalam mukaddimah kitabnya, Al-Hishnul Hashin, bahwa beliau pernah melihat dan berdialog dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga.

Sumber: Forum Diskusi Hadits (facebook)
Referensi:
Tanwirul Halak karangan Imam Suyuthi

Ru’yatun Nabiyyi Yaqazhah



sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/18/melihat-nabi-muhammad-saw-di-alam-nyata-mungkinkah/

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907