Wednesday, 19 February 2014

Imam Mahdi ternyata orang INDONESIA.. ???








Saya akan menyampaikan beberapa isi dari buku “Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang” dari penulis Jaber Bolushi. Penulis buku tersebut mengakui sekarang kita sudah berada di akhir zaman dimana tanda-tanda dekatnya kiamat sudah terjadi sekitar 95% jadi tanda-tanda yang belum muncul tinggal 5% saja. Percayalah bahwa Kiamat sudah dekat, bahkan pernah ada film-nya di SCTV “Kiamat Sudah Dekat”. Buku ini mengambil sumber utama-nya dari Al-Quran. Jadi Al-Quran sungguh hebat, peristiwa yang sudah terjadi atau yang akan terjadi ternyata bisa diketahui dengan mempelajari Al-Quran.
Ramalan2 pada buku tersebut adalah:
2008 =
Israel akan memperluas daerahnya. Terjadi pengusiran besar-besaran rakyat Palestina oleh kaum Yahudi tersebut. Mereka akan menentukan garis batas akhir negara Israel dan membangun pemukiman besar di Palestina bagi kaum Yahudi.
2010 =
Atas kebijakan presiden baru AS, ia akan menarik pasukannya yang berada di Iraq. Karena AS akan mencoba menaklukkan negara-negara lain, seperti Sudan, Mesir dan Syria.
2014 =
Dimulainya Perang Dunia ke 3
21 Maret – 9 Mei 2014 =
Terjadi perubahan cuaca yang amat radikal akibat asteroid yang mendekat (atau mungkin menabrak) Bumi. Terjadi hujan yang sangat lebat selama 50 hari tersebut, menyebabkan rusaknya hampir seluruh lahan pertanian di Bumi. Bencana tersebut adalah bencana terbesar yang pernah terjadi semenjak Adam as turun ke Bumi.
Bulan-bulan awal 2015 =
AS menguasai Sudan, lalu memasuki Mesir namun gagal menaklukannya.
April 2015 =
Munculnya Sufyani sebagai pemimpin kejam di Damaskus, Syria.
23 Ramadhan tahun itu =
Seruan yang datang dari langit yang menandakan Imam Mahdi akan datang dan menyuruh manusia untuk mengikuti ajaran Imam Mahdi. Seruan itu datang ke seluruh tempat di dunia dalam bahasa masing-masing dan dapat dimengerti oleh seluruh manusia.
Oktober 2015 =
Asteroid kecil yang menubruk Missisipi di AS, menyebabkan kekacauan besar di AS.
23 Oktober 2015 =
Imam Mahdi muncul di Mekkah.
(Saya mendapat informasi dari orang soleh dan beriman bukan dukun / tukang sihir bahwa Imam Mahdi sebetulnya sudah ada namun dihilangkan ke alam lain oleh Allah sama seperti Nabi Isa (kalo tidak salah dihilangkan tahun 1927 atau 1935 saya lupa dicari catatan sudah hilang), jadi Imam Mahdi akan muncul lagi ke bumi secara langsung di Mekah. Jadi percuma mencari Imam Mahdi sekarang tidak akan ketemu, karena telah dihilangkan oleh Allah SWT. Dan Ini juga mengagetkan saya, bahwa Imam Mahdi yang kita tunggu itu ternyata orang Indonesia dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, awalnya saya tidak percaya, dugaan saya Imam Mahdi pastinya orang arab tapi ternyata ya benar Imam Mahdi adalah seseorang dari Jawa Tengah tersebut, ciri-cirinya juga mirip namanya sama dengan nabi Muhammad, yakni Muhammad bin Abdullah dan banyak ciri-ciri lainnya, namun beliau ini sudah meninggal (dihilangkan) dan akan muncul lagi tahun Oktober 2015).
24 Oktober 2015 =
Imam Mahdi dibai’at di Ka’bah.
Kemudian =
Pasukan Sufyani bergerak menuju Kuffah dan menimbulkan kekacauan besar disana, namun kemudian dapat ditumpas. Sedangkan itu pasukan yang lain bergerak menuju Madinah dan menghancurkan kota tersebut termasuk Masjid Nabawi. Pasukan tersebut ingin membunuh Imam Mahdi di Mekkah, namun ditumpas oleh pasukan malaikat.
Kemudian =
Pasukan Imam Mahdi bergerak menuju Kuffah dan mendirikan pusat pemerintahan disana.
Februari 2016 =
Asteroid kedua yang menubruk pantai barat AS, AS semakin menuju jurang kehancuran.
11 September 2018 =
Nabi Isa as datang dari langit untuk membantu Imam Mahdi dalam misi Islam.
1 Februari 2019 =
AS hancur.
Februari 2019 =
Israel menghancurkan Masjidil Aqsha.
2019 – 2021 =
Kaum Yahudi dari seluruh dunia berbondong-bondong ke Israel. Terjadi eksodus besar-besaran pada masa ini.
7 Agustus 2022 =
Imam Mahdi merebut Jerusalem, Israel pun hancur. Tanggal ini berpapasan dengan Tish B’Av, hari besar dalam Yahudi yang merupakan hari kehancuran I Haikal Solomon oleh Raja Nebuchadnezzar dan kehancuran II Haikal Solomon oleh Raja Titus.
Saya tidak tahu kebenarannya seberapa benar, tapi setidaknya, dengan adanya ini kita bisa membuka hati untuk semakin mendekatkan diri kepada ALLAH.SWT.
Dalam posting ini saya bertujuan untuk mencari kebenaran  isi buku itu, karna pada dasarnya saya sangat tidak percaya atas kutipan diatas apakah benar atau salah.  Saya sangat berharap anda membenarkan dari isi buku yang lagi heboh itu. Mohon  untuk saudara-saudara muslim membenarkannya.
Semoga kita semua selalu dalam lindungan dan ampunan ALLAH.SWT. amiin.





Wednesday, 12 February 2014

Hakekat Pernikahan Sebagai Sarana Menemui Allah



Hakekat Pernikahan Sebagai Sarana Menemui Allah

by Zulkarnain Bandjar

.
Dalam Al Qur’an dan hadits, Allah telah menjelaskan secara tersirat tentang metode untuk menemui Allah dan melihat Allah (Ru’yatullah) yaitu :
.
Al-Kahfi ayat 110 :
“……. barang siapa yang mengharapkan menemui Tuhannya, maka kerjakanlah amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-nya”.










Wednesday, 5 February 2014

SUNDA NANJUNG: SILOKA ATAU PERUBAHAN GEOGRAFIS?




Dalam situs http://www.kalangsunda.net/budakangon.htm, disebutkan bait uga Sunda nanjung dalam arti Siloka sebagai berikut :
“...Ayeuna mah anu paling penting sakabéh urang Sunda kudu baralik deui ngoréhan élmu karuhunna (Pajajaran) tah di dinya bakal nepi heula kana uga Bandung “Sunda nanjung mun anu pundung ka Cikapundung geus baralik deui”— hartina mun sakabéh anasir kasundaan geus ngahiji deui, kakara Sunda bakal nanjung...”

Dalam Bait Uga lain, Nandang Rusnandar, dalam blogspotnya : (http://sundasamanggaran.blogspot.com/2010/03/kearifan-ekologis-karuhun-sunda-melalui.html), pernah mengutip :
Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal haréndong.

Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.

Diartikan sebagai Siloka : “...Makna dari kata kakeueum dan talaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal...”

Apakah bait Uga tersebut hanya diartikan sebagai Siloka dari karuhun Tatar Sunda? Ataukah, bait Uga mengingatkan akan datangnya peristiwa perubahan geografis akibat peristiwa alam besar, atas Kehendak Allah SWT, Nu Ngarajaan Langit jeung Bumi ?

Peristiwa Bandung Kakeueum ( Khasaf )
Empat belas abad yang lalu, sebelum Raja Sunda pertama: Tarusbawa (669 – 723 M) bertahta di Bogor, dan jauh sebelum bait Uga itu lahir, Nabi akhir zaman Muhammad SAW, pernah bersabda :
“di akhir zaman akan ada khasaf (penenggelaman bumi). Qadzaf (fitnah-fitnah besar) dan masakh (perubahan geografis/muka bumi), terjadinya yaitu setelah merebaknya musik, wanita penghibur dan khamar (minuman keras).” (Hadist riwayat Ath Thabrani, dalam Mu’jamul Kabir)
Hadist di atas menggambarkan dua peristiwa besar terkait dengan perubahan geografis (khasaf & masakh). Satu peristiwa lainnya terkait dengan peristiwa besar sosial (qadzaf atau fitnah-fitnah besar). Peristiwa-peristiwa besar tersebut diawali tanda zaman berupa perilaku sosial manusia: merebaknya musik, wanita penghibur dan minuman keras.

Khasaf (penenggelaman bumi) dan Masakh (perubahan muka bumi) yang dimaksud Rasulullah SAW, sudah mulai terjadi saat ini. Kejadian yang masih dalam zaman kita adalah peristiwa tsunami yang melanda Aceh (2004) dan tsunami Jepang (2011). Di Aceh (2004) misalnya, terjadi perubahan geografis pulau, berupa perubahan batas pantai dari yang semula.

Sebelumnya, perubahan geografis juga terjadi pada peristiwa meletusnya gunung Krakatau (1883). Tanjung di pantai utara Banten, di mana terdapat desa Caringin tenggelam ke dalam laut. Demikian sebagian daratan yang menghubungkan Ujung Kulon. Hal ini bisa dibuktikan, dengan membandingkan antara peta Pulau Jawa yang dibuat Sir Stamford Raffles dengan peta Pulau Jawa Sekarang.

Bandung, menurut bait Uga Bandung bakal kakeueum, bakal mengalami bencana alam, yang mengakibatkan kotanya tenggelam menjadi telaga kembali. Sebagaimana cekungan Bandung pernah menjadi telaga besar, di zaman purba. Masyarakat Bandung akan pergi dan mendirikan kota baru di Tegal Haréndong (sebuah tegalan tengah hutan yang banyak terdapat pohon haréndong), dekat Citambur, Cianjur Selatan.
Bagaimana peristiwa bandung bakal kakeueum (bakal jadi sagara) ini terjadi? Sebagaimana bait Uga yang dikutip Nandang Rusnandar :
Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung di mana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Peristiwa apa yang mendahului kejadian di atas? Dalam Uga Wangsit Prabu Siliwangi, (versi Carita Pantun : Ngahyangna Pajajaran), ada disebutkan :

Ceuk Raja ka tilu kokolot ti beulah kulon:
Papay ku dia lacak Ki Santang!
Sabab engké jaga
Rawayan dia mudu jaradi panggeuing
Ka batur batur urut salembur
Ka dulur dulur anu baheula
Nyorang saayunan eujeung dia
Jeung ka sakabéh
Bangsa Sunda rancagé haté.... !
Engké jaga amun tengah peuting ti gunung halimun
Ku arinyana kadéngé sora nu tutulungan
Tah éta tanda nu teu sulaya
Gunung Sunda baris dicengkal deui!
Setelah terjadi bencana pada tengah malam di Gunung Halimun-Salak, Sukabumi (tepatnya kapan? wallahu ‘alamu), banyak rakyat Tatar Sunda yang menetap di dekat gunung Halimun tertimpa musibah dan meminta bantuan. Itu jadi tanda, akan terjadinya peristiwa alam selanjutnya :
Engké jaga amun tengah peuting ti gunung halimun
Ku arinyana kadéngé sora nu tutulungan
Tah eta tanda nu teu sulaya
Gunung Sunda baris dicengkal deui!

Gunung Sunda bakal dicengkal deui. Sebelumnya, Gunung Sunda purba (3500 mdpl, lebih ) merupakan gunung besar, yang diperkirakan tertinggi di pulau Jawa. Gunung tersebut di masa purba, atas kehendak Allah SWT, meletus dengan hebat.

Sisa Gunung Sunda purba, menjadi empat buah Gunung yang dikenal sekarang: Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Batu Nunggal. Gunung-gunung ini berdekatan dengan kota Lembang, Bandung. Di Lembang ini, para ahli geologi meyakini adanya patahan (sesar) lempeng dasar tanah yang cukup besar. Memanjang dari Gunung Sunda sampai Maribaya.

Sekiranyanya, tanda nu teu sulaya berupa Engké jaga amun tengah peuting ti gunung halimun ku arinyana kadéngé sora nu tutulungan telah terjadi. Kemungkinan terjadinya: Gunung Sunda baris dicengkal deui! Patahan (sesar) Lembang bakal longsor. Inilah yang terjadi selanjutnya, sebagaimana dalam bait Uga :

...Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung di mana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Apa yang harus dilakukan oleh Ki Sunda rawayan Pajajaran ti beulah kulon? Ki Sunda hendaknya menjadi panggeuing ka sakabéh bangsa Sunda nu rancagé haténa. Prabu Siliwangi berpesan :

Ceuk Raja ka tilu kokolot ti beulah kulon:
Papay ku dia lacak Ki Santang!
Sabab engké jaga
Rawayan dia mudu jaradi panggeuing
Ka batur batur urut salembur
Ka dulur dulur anu baheula
Nyorang saayunan eujeung dia
Jeung ka sakabéh
Bangsa Sunda (nu) rancagé haté .... !

Ya, mengingatkan kepada seluruh rakyat tatar Sunda anu majajaran, agar mencegah tersebarnya sebab-sebab bencana alam itu, sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah SAW:
“...terjadinya ( Khasaf, Qadzab & Masakh itu) yaitu setelah merebaknya musik, wanita penghibur dan khamar (minuman keras).” (Hadist riwayat Ath Thabrani, dalam Mu’jamul Kabir)
Dan berdo’a, memintakan syafaat Allah SWT, Nu Ngarajaan Langit jeung Bumi, agar rakyat Tatar Sunda mendapatkan syafa’at Allah SWT, diselamatkan dan diringankan derita musibah :

“...kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, tiada dapat memberi Syafa’at di sisi-Nya tanpa se-izin-Nya..” (Alqur’an S. Albaqarah : 255)

Peristiwa Sunda Nanjung ( Masakh )
Sunda nanjung, suatu peristiwa alam yang bakal terjadi di Tatar Sunda, di mana terjadi perubahan kondisi geografis (masakh, sebagaimana yang diberitakan Rasulullah SAW, dalam hadist Ath Thabrani. Tatar Sunda berubah bentuk, memiliki tanjung baru yang muncul dari dasar lautan. Apakah di daerah pantai sepanjang Utara, ataukah selatan tatar Sunda, kita belum tahu.
Pendapat ini didasarkan kepada bait dalam Uga Wangsit Siliwangi (versi Wahyu Wibisana, 1966) :

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara, sagara jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Suatu saat kelak, dalam suasana sosial bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun deui. Terjadi perubahan geografis di tatar Sunda, yaitu : “sagara jadi dangdarat”. Munculnya daratan baru yang menjorok ke tengah laut. Ya, Sunda masakh (berubah secara geografis) jadi nanjung.
Bisa jadi peristiwa Sunda nanjung terjadi disebabkan pergeseran lempeng tektonik atau gempa vulkanik yang dimulai dari selat Sunda. Sebagaimana dalam bait Uga Wangsit Siliwangi, (versi Carita Pantun - Ngahyangna Pajajaran):

Dibalabarkeun heula ku
Di wayah janari gedé
Ramé sora tutulungan ti gunung lampung
Laju ti gunung halimun
Kadéngé sora gogo-ongan ..... !

Di selat Sunda (wallahu ‘alamu) bakal terjadi ledakan gunung Anak Krakatau, sekitar jam 3-4 sebelum subuh (wayah janari gedé;). Gelombang tsunami menghempas daratan Lampung. Rakyat banyak menyelamatkan diri, mendaki gunung Lampung. Mereka berteriak: tutulungan ti gunung lampung. Kemudian peristiwa ini membuat efek berantai kepada gunung Halimun (Salak). Dapur magma gunung tersebut kembali aktif, dan mengeluarkan tekanan secara simultan. Tekanan ini berakibat terjadinya suara keras, seperti : Laju ti gunung halimun, Kadéngé sora gogo-ongan ..... !.

Sumber : 

KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA MELALUI UGA TANAH (C)AWISAN [1]

Oleh : Nandang Rusnandar
Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomasdan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.
Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telahdicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,
  1. Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
  2. Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
  3. Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu
Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan, Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.
  1. Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.
Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum,talaga ‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari kata kakeueum dantalaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.
Uga lain yang masih senada,
5 Urang Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)
Di daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung
Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah (c)awisan atau daerahperuntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.
Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.
Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :
- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi
- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai
- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi
- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.
- Globalisasi informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku generasi muda untuk lebih melihat hal-hal yang berbau ‘modern’
Simpulan
Kita tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam, yang berakibat pada sebuah kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga akan terjadi dan menjadi kenyataan.
Seperti contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau rusaknya alam sulit untuk diatasi, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena itu sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Adanya uga ini selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif. Apabila langkah reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah ‘karya karuhun’ yang tidak berguna. Justru dengan adanya uga ini diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima begitu saja.
Harapan, antara pembuat kebijakan ‘pemerintah’ yang harus mampu mengungkap kearifan masyarakatnya dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para ahli yang menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi pembuat kebijakan. Maka antara keduanya harus ada sinergitas, pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan berbasis kearifan yang ditemukan oleh para ahli itu sendiri.
[1] Makalah dibacakan dalam [IA-ITB] Sarasehan Pemulihan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal tgl 28 Januari 2010 di Hotel Aston Jl. Braga Bandung. 



KUDJANG DI HANJUANG SIANG / RONGGENG TUJUH KALA SIRNA



KUDJANG DI HANJUANG SIANG / RONGGENG TUJUH KALA SIRNA
di salin deui ku :
nandang rusnandar (2002) - Rasa Sunda Samanggaran
(Sumber : Catetan ti UA BANDUNG)

(1)
Pun !
Sapun !
Ka pupunclak Agung Pamunjung,
Anu Agung Sang Rumuhun,
Hiyang Guru Agung Pangruhum,
Anu Nunggal di Kalanggengan,
Anu Langgeng dina Nunggalna,
Anu ngabogaan sakabéh jagat,
Anu ngabogaan sakabéh alam ..... !
P a r a l u n !
Sapun,
ka sakur anu di ruhur,
ka Guru Hiyang Nunggal,
ka Déwa nyangking kawening,
ka Déwa ngagem Wewenang,
ka Déwa nunggal Kawasa,
ka sakabéh nu araya di Kahiyangan !
Sapun,
      ka sakabéh anu di handap,
      ka Batara ka Batari,
      ka Resi eujeung Pandita,
ka sakabéh
nu kumelip nu arusik,
nu ngawaruga, dina wujud séwang-séwangan
nu ngagelarkeun, nu ngarumpay
nu rarangtung, nu ngagantung
nu ngagulung, nu narangkub,
nu nangkarak, nu ngarembat,
ka sakabéh,
nu kadeuleu teu karasa,
nu kaambeu teu kadeuleu,
teu kadeuleu tapi aya......,
ka sakabéh
nu garedag, nu lumampah,
harirup jadi pangeusi
nyaricingan jagat alam ieu !
p a r a l u n !
sabab,
kaula eudeuk nyatur,
catur pantun anu buhun,
haneuleum tunda karuhun
hanjuaneun anu marapay ..... !
P a r a l u n !
      Mantakna kaula nyatur ?
      sabab,
      Pajajaran dijieun carita,
      tapi disilok ku nu sarieun
      dipajarkeun mumuja déwa,
      jeung diréka dirarobah
      dijarieun dijieun-jieun
      ku ariyana anu gariruk ........
jeung ku sabab kaula mah kaula nyaho
(2)
      engké jaga,
      baris datang deui jaman
      loba ménak loba pangkat
      harayang nyaho deui
      rawayan ariyana ti Pajajaran !
P a r a l u n !
Ayeuna mah, ulah macul di bukbakkeuneun, ulah ngaseuk di rarahanneun, tapi urang pénta ka nu bogana, urang téang di lebahna!
Urang mimitian, urang taram ku nyaturkeun nurutkeun galur tina béja, nu katampa ku anu boga carita ...... !
Ceueueueueueunnnnnnaaaaaah !
Harita tangéh kénéh tina waktu nu bakal cunduk, anggang kénéh tina mangsa nu baris kasorang, wayahna Pajajaran ngadeg deui, anggeus ganti alam pindah jaman !
Urang caturkeun ,
SANG DÉWA HIYANG KALA keur ngaronda jagat !
Kadeuleu ku inyana, jelema-jelema anu dibendon, dimudukeun jieun MANDALA MENENG, di buritna bakal kamalinaan ! Jeung kadeuleu ku inyana tina béntang ngagéndéng bulan ! Baris datang wayah teu beunang disingkah, baris Pajajaran nyérénkeun papan !
Jeung kadeuleu kila-kila, méméh buah asak ti tangkal, baris aya LAWANG PANYAWEUYAN nyilakakeun sakur anu miasih ka anu leungit, sakur anu narineung ka jaman ka tukang !
Amun Mandala Meneng dijieun anggeus dina peta kamalinaan, éta téh tanda anu teges, jelema-jelema anu dibendon, baris :
harayang sakti leuwih ti Resi
harayang jaya liwat ti Déwa
harayang pangkawasana di jagatna
harayang pangagungna di jamanna ......
laju,
maraksa alam nurut karep ariyana ....
Laju Sang Déwa Hiyang Kala nyalukan tujuh putri Bidadari,
     anu cikal, ngaranna Nyai Putri Maya Indung
     anu sadekna, ngaranna Nyai Putri, Maya Kayangan
     anu katilu, ngaranna Nyai Putri, Arum Sinayungan
     anu panengah, ngaranna Nyai Putri, Mayang Mangarang
     anu kalima, ngaranna Nyai Putri, Mayang Mangsaweuhan
     anu pangais bungsu, ngaranna Nyai Putri, Arum Tineung
     anu bungsu, ngaranna Nyai Putri, Arum Wiyaga.
Ceuk Sang Déwa Hiyang Kala :”Jaba si Nyai anu bungsu, dia anu genepan mudu ngalalana babarengan. Dia ti Kahiyangan mah, miang bareng satujuan. Tarurun dia di jagat KAWAH HIYANG anu kiwari disarebut jagat kamanusaan ! Di éta jagat, alam bakal dijarieun kusut!
Ulah sina kajadian !
Maya Indung, dia mudu ngagoda anu banjaran dina kajayaan, tapi jaya nyangsara somah,
Maya Kayangan, dia mudu ngagoda anu jaradi Pandita, tapi mahiwal tina kapanditaan,
Arum Sinayungan, goda ku dia anu raruhur pangkat, tapi ngaleuleuwihan kakawasaan,
Mayang Mangarang, goda ku dia anu tarani, tapi arudar tina tali-paranti,
(3)
Mayang Mangsaweuhan, dia kabagénan ngagoda anu bareunghar hanteu sawajar.
Arum Tineung, dia mudu ngagoda sakabéh lalaki anu salingkuh jeung nganyenyeri éwéna baé !
Nyai bungsu Arum Wiyaga !
Dia ogé turun ka Kawah Hiyang. Turun dia di Pajajaran tengah beulah kidul.
Siar ku dia, Dadap Malang teu jauh ti muhara Ci Mandiri !
Siar ku dia, Sumur Haur Pamunyungan, laju dia wayahna mudu dia ngawaruga jadi manusa dina lalakon anu mudu disorang !
Gawé dia sakabéh mudu dilampahkeun dina wayah séwang-séwangna, dina mangsa anu ditangtukeunnana ku jaman ti Kawah Hiyang !
Ulah dia ngitung ku wayah di kahiyangan, sabab di saban alam di saban jagat wayah téh béda-béda !
Nu diurang disebut sapoé, di jagat séjén mah bisa sawarsa.
Béda jagat, béda deui alamna, béda deui ngitungna wayah !
Di Kawah Hiyang, wayah diitung ku poé, anu lilana dipatok ku bijilna matapoé nepi ka surupna.
Ari mangsa ? Mangsa di Kawah Hiyang ? diitungna tina lobana kali témbong bulan nyorotna buleud !
Beusi dia kérok di ngitung wayah, di Kawah Hiyang, ku dia kabéhan tepungan AKI LÉNGSÉR anu ayana di Gunung Gorowong!
Béjakeun ka inyana, dia dijurung Éyang, mudu ngalalanana jaradi ronggéng dina ngaran RONGGÉNG TUJUH KALA SIRNA!
Jig ! Geura narindak !”
Ceuk nyi putri Arum Wijaga : “ÉYANG ! Naeun gawé kaula engké?”
Ceuk Sang Déwa Hiyang Kala : ”Ti Gunung Gorowong, dia mah mudu misah, sabab di bagian Kawah Hiyang anu disebut Pajajaran Tengah, baris aya loba jelema nyarukcruk galur karuhun, marapay lacak Pajajaran. Tapi nyarukcrukna sabari ngalamun, marapayna sabari ngaruksak ! Dijieun sina salasar ! Sasarkeun dina kasmaran, lieurkeun dina katineung !
=====
Kacaturkeun Putri Bidadari anu tujuh laju darangdan .....
T u n d a : Keun sina darangdan !
Urang mah, urang turun ti Kahiyangan ka Kawah Hiyang
Urang kocapkeun si Aki Léngsér !
Anggeus balad Pajajaran misah opat, anggeus Raja Pajajaran lajuna ngahiyang .... Si Léngsér mah hanteu puguh hanjigna !
geus ka kalér, geus ka kulon, geus ka wétan, geus ka kidul, geus ka wétan deui, geus ka kalér deui, geus ka kidul deui, geus ka kuralang-kuriling teu puguh ingkig .... !
(4)
Lajuna mah inyana boseneun !
Ceuk pikir inyana : “Nanggoan wayah sabari beunta mah osok kesel ku kebelna ! .... Angguuuuuur sabari molor !”
Kacaturkeun Si Léngsér, di hiji gunung anu singkur, inyana neuleu aya sodong karimbunan dina gawir anu lungkawing !
Sodongna nyelap, aya dina lebahan ka ruhur puguh ku jauh, ti handap ka anggang jasa, lain turunanneun mun ti ruhur, lain taékanneun mun ti handap ... sabab gawirna, nanjeur dina jungkrang anu nanggreu ! Si Léngsér deui asup kana sodong ! Mimiti, ti ruhur ngasupannana. Tujuh kali inyana turun, dalapan kali sodongna kaliwatan baé ! Laju dicoba sugan ti handap ! Sapuluh kali inyana naék, salikur kali nyasab deui, nyasab deui, sodongna hanteu kapanggih. Da dina nyurungkuy unggah ka ruhur, gancang teuing ngahanjutna ! Nya karuhan sodongna kaliwatan ogé ! Panasaran sugan sakali deui, ngahanjutna sugan mudu gancang jasa kaliwat saking ! Inyana ngahanjut ... melesat nyemprung ka ruhur... hulu inyana ngadagor karang, ngaliwatan tegal ganjah, alagag-euleugeug di awang-awang. Laju turun deui, laju unggah deui ....
Sakalieueueueun eudeuk asup, asupna deuk keuna liang anu sereg, laju unggah deui, laju turun deui .... lalaunnan sabari cacapa ku rasa..... barang karasa lebah-lebahna, inyana eudeuk asup tuturubun, nya .... nyolédat deui baé ... labas nepi ka handap !
Lajuna mah Si Léngsér eudeuk weeeeléh !
Da atuh mémang Si Léngsér, amun sagala maké karep maké seja, tara hiji anu jadi !
Pikir Si Léngsér : “Ayeuna mah, eudeuk asup atuh henseug, deuk teu asup nya helos teuing !
Da Molor téh, hanteu teuin mudu sabari ngagolér! Geuning kalong ogé, molorna sabari ngagantung !” Laju inyana naék deui, laju turun deui. Turunna lalaunan bari cacapa deui ku rasa! Barang ku panyapa rasa inyana karasa kira-kira pilebaheun lawang sodong, reg inyana ngarandeg... dirarasakeun heula beusi salah palebahna. Ari geus rasa inyana bener palebahan, laju sataker tanaga hulu heula ditetegkeun ka sela lamping anu narawing .... lawang sodong mani ngabéréwék..... Blus, Si Léngsér ... hulu inyana heula anu nyeplos, laju Si Léngsér sakabéhna ngagulusur terus ka jero......
Eureun-eureun ngagulusur sotéh, anggeus hulu inyana ngadagor batu monyong anu aya di tungtung sodong ...... Anggeus mundar-mandir sababaraha kali, laju inyana ngareuhak .....laju ngagéléhé lalaunan ... ngahéphép di jero sodong .... inyana kérék mani nyégrék, ambekannana mani ngagulugur .... mani eundeur sagunung Gorowong. Saban segrék tina kérék, saban eundeur ku gulugur nu bijil ti sungut Si Léngsér nu calangap, sodong téh ngalegaan ngarubakan .....
T u n d a :
Keun sina héés sabari kérék !
Urang mah, urang unggah deui ka Kahiyangan
=====

Kacaturkeun : Putri Bidadari anu tujuh eudeuk turun ti Kahiyangan !
Ceuk Nyi Putri Mayang Mangarang : “Tétéh Maya Indung ! Urang téh eudeuk miang? Eudeuk turun ka Gunung Gorowong?”
(5)
Ceuk Nyi Putri Maya Indung : “Heueuh, Adi ! Ku Naeun ? Adi sieun kituh, lalampahan sakitu jauhna ?”
Ceuk Nyi Putri Mayang Mangarang : “Hanteu, Tétéh ! Lain sieun ! Tapi di lebah mana Kawah Hiyang téh ayana ? Di lebah manana ari Gunung Gorowong. Jeung kumaha di rupana anu disebut Aki Léngsér?”
Ceuk Nyi Putri Arum Tineung : “Tétéh Heu-euh, ja heu-euh! Kumaha amun nyalahan? Tétéh wauh tah di rupana Aki Léngsér?”
Ceuk Nyi Putri Maya Indung : “Hanteu, Adi ! Tapi engké di Pajajaran Tengah, urang tatanya baé !”
Ceuk Nyi Putri Mayang Mangsaweuhan : “Tétéh ! Kula mah salempang! Beusi disilokkeun ! Mangkaning urang téh awéwé kabéh ! Kumaha anu anu ditanyana, jelema anu julig haté? Laju urang téh meureun dijual???!!!”
Ceuk Nyi Putri pangbungsuna : “Tétéh ! Hadé-hadé kituh, amun urang nanyakeun heula di dieu ? Sugan, NINI SARUTIA mah teu bireukeun ?”
Ceuk Putri-putri nu séjénna : “ Heu-euh, Tétéh ! Urang nanyakeun heula baéééé !” Laju putri anu tujuh ngajarugjug ka Paséban Baléruna. Kasampak Nini Sarutia keur haliwu dina jantra, pakeupis muterkeun kincir, bari sakeudeung-sakeudeung ngalilit gintir ... mani béléké pisan congcot eukeur sesembah !
Jeung bari dina émokna, sakeudeung-sakeudeung osok ngajrét sabari muringis ... da éta ... kapas pilawéeun anu ambalayah di lahunan kapeung-kapeung dina mutirna keuna gintir, ngarampid huwis nu ngajebug ronghok ti sisi samping ...... !
Ceuk Nyi Putri Maya Indung : “Sampuuuura isun, Nini. Kula deuk ngabarabékeun !”
Ceuk Nini Sarutia : “Rampés nu gareulis, naeun anu diseja dia?”
Ceuk Nyi Putri Maya Indung : “Nini ! Kaula sadulur ku Éyang Sang Hiyang Kala dijurung nepungan Aki Léngsér ! Sugan dia weruh di kumaha rupa inyana?”
Ceuk Nini Sarutia : “Ku maha atuh ngabéjakeunnana da éta mah hésé jasa ditegeskeunnana !
      Seeeebut jiga manusa, da sok béda
      Sebuuuut inyana arca da sok nyarékan
      Sebuuuut inyana jelema, da ka Déwa sok ngalawan
      Sebuuuut joré, da sok bagus kabina-bina
      Sebuuuut kasép, da sok jiga kohkol acan anggeus
      Sebuuuut aki-aki, da sok jiga jajangkar mangkat begér
      ari disebut ngora, da sok jiga ka(w)ung kari tuareun !
Da puguh Ki Léngsér mah, manusa lain, arca lain, déwa lain, bayawak lain ! Jiga pisan, tabé pun kitu ogé, jijieunan Sang Hiyang Tunggal salah cipta .....”
Ceuk Nyi Putri satujuhna : “Naeun sabab kitu, Nini ?”
Ceuk Nini Sarutia : “ Sabab-sababna mah, Nini hanteu nyaho, da hanteu nyaksian ! Ngan baheula, keur baheula anu pangbaheula-baheulana, ceunah mah kieu ! Tapi Nini ogé, tina ceunah ceuk ceunah kénéh!
Baheula, ceueueueueunah, basa Sang Hiyang Tunggal, Anu Nunggal di Kalanggengan, Nunggal kénéh di sakabéh alam sakabéh jagat ! Nya éta anu mudu engké ngabantu Inyana amun alam-alam anggeus hanteu pa-anggang, anggeus jagat-jagat anggeus ramé ku pangeusi !
Laju, Inyana téh nyokot genclangna ibun, anu muntang dina tungtung kacapiring anu keur mekar dina timangan angin subuh!
Héhérang genclangna ibun, dihijikeun eujeung sesegerna hawa isuk, laju jleg baé Sang Déwa Hiyang Wening.
Sang Hiyang Tunggal, Inyana hanteu engeuh pangeusi jagat-jagat téh gancang teuin ngalobaannana, ku sabab loba jasa lalaki anu séwang-séwang ngabogaan bikang leuwih ti salikur. Sang Hiyang Wening kawalahan, sabab tambahna budak-budak téh gancang jasa lobana. Jeung sabab éta anu geus baroga bikang salikur ogé, harayang tambah deui baé paranti arinyana nyarieun budak .....
Sang Hiyang Wening kawalahan sabab éta budak-budak mani gereyek, tapi ku raresep ngan nyararieunna wungkul mah, lain baé hanteu dipiroséa, dingaranan ogé hanteu-hanteu acan. Sabab hanteu dipiroséa, nya atuh Sang Hyang Wening téh katempuhan maraban.
(6)
Sang Hyang Tunggal, ngarti kasusah Sang Hyang Wening, Laju Inyana nyokot wawangina kembang Ki Paharé, nya éta wawangi anu di sakabéh alam jeung di sakabéh jagat, moal aya deui tanding dina seungitna.
(Tah éta sabab-sababna kiwari kembang Ki Paharé Pakujajar jadi hanteu sakumaha seungitna deui téh !)
Éta wawangi, laju dihijikeun jeung hahaneutan beurang. Nya laju jleg Sang Déwa Hiyang Wenang !
Tapi tambahna pangurus téh ngajadieun kaayaan di sakabéh alam jeung kaayaan di sakabéh jagat lain bet tambah bérés, tapi kalah tambah acak-acakan !
Ceuk Sang Hyang Tunggal dina pikirna Inyana : “Teu meunang diantep! Amun diantep baé, bisa-bisa éta matapoé engkéna dijarieun: Bijil ti kulon, surup di kalér ! Laju Inyana nyokot buuk salambar tina lebah embun-embunan Inyana, laju dibeulitkeun keuna cahayana matapoé.
Laju jleg ! Sang Déwa Hiyang anu katilu dina jieunan, tapi leuwih unggul dina ngatur, leuwih wasa dina kawasa. Nya éta jleg baé Sang GURU DÉWA HIYANG TUNGGAL anu ku Sang HIYANG TUNGGAL diserenan ngatur pagawéan Sang Hiyang Wening, pagawéan Sang Hiyang Wenang. Jeung dijiyeun minangka BAPA keur para Déwa. Lain bapa nu nyieunna, tapi bapa anu NGARAKSA.
Kacaturkeun - tabé pun kitu ogé - Sang Hiyang Tunggal keur euweuh gawé ! Ti Taman MIHARA MANDARA kadeuleu ku Inyana sagala bérés. Tapi ogé kadeuleu ku Inyana kawalahanana anu tilu, nepieun dina wayah ngaroris jagat, anu tilu téh boro-boro kaburu ngurud kumis eujeung jenggot, reureuh ogé hanteu bisa !
Sang Hiyang Tunggal laju nyokot sakeupeulan geblégan poék jeung sakeupeulan sinarna caang ! laju dihijikeun. Seja Inyana, deuk nyieun anu purah mariksa jagat sakabéh jagat, ngalanglangan alam sakabéh alam. Tapi Inyana hanteu engeuh, ngahijieunnana téh ruhureun kobak ngaburialna Cai Kahuripan !
Kocapkeun jleg baé SANG DÉWA HIYANG KALA ! Tapi barengan pisan dina cai kobakan téh, jleg ogé hiji waruga nyeplés jasa Hiyang Kala! Mimiti mah Sang Hiyang Tunggal téh rada-rada gagaro, tapi barang engeuh kunaha bisana jadi kitu, Inyana ngagikgik geunah seuri !
Ceuk anu kurumuy bari unggah cara keuyeup tina kobakan : “Ari ngaran kaula naeun?”
Sang Hiyang Tunggal gagaro deui, laju mikir ...... Ceuk Inyana : “LÉNGSÉR !”
Ceuk anu kurumuy bari olohok : “Lééééééngséér ? ... Ku naha si éta mah ngaran inyana téh alus jasa ? Tapi ari ngaran kaula mah, kos euweuh deui pingaranneun deui baé ?”
(7)
Ceuk Sang Hiyang Tunggal : “Pi-eun kaula, anu hadé datangna ti kaula, anu goréng datangna ti kaula ! mantakna dia dingaranan Léngsér, sabab najan meléng ogé, dia mah moal eudeuk ngésér, moal eudeuk ngésér tina hadé, moal eudeuk ngésér tina bener !”
Sang Hiyang Tunggal laju unggah deui ka kahiyangan, bari ngagikgik ngeunah seuri ..
Hanteu kacaturkeun dikumaha-kumahana ! Ngan kacatur sagala jadi bérés!
Dina ngatur kabéh gawé, Sang Hiyang Kala salawasna babarengan jeung Ki Léngsér. Aya Hiyang Kala, tangtu aya Aki Léngsér, tapi amun aya Aki Léngsér, tara tangtu ayana Hiyang Kala !
Dina sagala gawé, kumaha karep séwang-séwangan baé, tapi sanajan sagala-galana jiga garis patunjang papalingpang ogé, monésna téh, diburitna mah sagala téh bérés jasa .... nepi-eun Sang Guru Déwa Hiyang Tungal hanteu kabagénan gawé !
Ceuk pikir inyana : “Amun kieu baé, ngaing bener ngeunah jasa ! Tapi lila-lila ngaing bisa sihungan, bisa buntutan, bisa buluan sakujur bungkeuleuk ! Leuwih, Ki Léngsér dibéré gawé séjén !”
Laju Ki Léngsér dicalukan. Ceuk Sang Déwa Guru Hiyang Tunggal : “Ser ! Pieun nambah hadéna kaayaan di sakabéh jagat di sakabéh alam, urang mudu nyieun anu monés, nyaho dia kumaha ?”
Ceuk Ki Léngsér : “Nyaho sih nyaaaaaho, ngan can kapikir naeunana jeung kumahana!”
Ceuk Sang Guru Déwa :”Pikiran atuh !”
Laju Aki Léngsér téh mikir, mikir, mikir ..... mikir inyana sabari nangkeup tuur, unggut--unggutan di congo karang anu nyodor ruhureun jurang tanpa dadasar !
Aki Léngsér mikir, mikir, ..... opat puluh poé, opat puluh peuting... tapi mikir inyana mah sabari héés...... Dina peuting anu kaopat puluh, inyana unggut-unggutan kamalinaan, galéong baé inyana tijongklok... ngoléang di awang-awang ! Déwa-déwa pada rareuwas ! Laju ngarudag ... deuk naréwak anu keur murag.
Tapi ceuk Aki Léngsér : “Keun-keun ..... keun ingkeun!”
Ceuk déwa-déwa : “Éta dia eukeur ragrag”
Ceuk Aki Léngsér : “ Nyaaaaaho ! Keun baé, kumaha ngaing. Hayang nyaho kumaha rasana ragrag ti Kahiyangan!”
Ceuk Déwa-déwa :” Jurangna jero jasa ! ... Di lebah mana dia eudeuk ragragna ?”
Ceuk Aki Léngsér : “Ku tatanya baé ! Hanteu jongjon yeuh ngaing ragragna !”
Reg baé Aki Léngsér ngarandeg, ngarandeg dina ragragna. Ngajanteng cara naga di awang-awang.
Ceuk inyana : “Kumaha ngain baé atuh!”
Ceuk Déwa-déwa : “Kukumahaaaaan dia téh?”
Ceuk Aki Léngsér : “Apanan nyieun monés!”
(8)
Ceuk Déwa-déwa : “ Ari ragrag mah, hanteu monés! Béntang-béntang ogé bisaeun!”
Ceuk Aki Léngsér : ” Éta mah lain ragrag .... M u r a g ! Lésot tina paseukna ! Jadi ngoléang na téh, tanpa karep tanpa seja !”
Ceuk Déwa-déwa : “Ari dia ?”
Ceuk Aki Léngsér : “Ngaing mah boga karep!”
Ceuk Déwa-déwa : “Karep dia!”
Ceuk Aki Léngsér : “Deuk nyieun anu monés ! Deuk jadi tukang pan...tun!”
Ceuk Sang Guru Hiyang Tunggal : “Tah heu-euh! Éta mah acan aya! bener heu-euh, tukang pantun ! ... Déwa-déwa mah geus mahi loba, tapi tukang pantun mah bener monés. Sabab acan aya! Hayu unggah deui!”
Ceuk Aki Léngsér : “Amun tukang pantun aya di kahiyangan, éta mah hanteu monés. Tukang pantun mah, mudu aya di jagat séjén, mudu aya di alam anu béda!
Ceuk Sang Guru Hiyang Tunggal : “Di jagat mana ? Di alam anu mana?
Ceuk Aki Léngsér : “Nyaaaaaao”
Ceuk Sang Hiyang Kala : “Tuh loba kénéh pilih baé, eudeuk di genclang anu mana ?”
Ceuk Aki Léngsér : “ Amun cicing di genclangna alam caang mah, atuh hanteu monés deui baé !
Apan gawé tukang pantun mah :
Ngapan-ngapan anu kauntun ku waktu, nyaritakeun dongéng-dongéng anu kungsi kajadian, tapi moal mantak pikapercayaeun!
Tapi engké jaga baris deui kajadian, tangtu bukti, tangtu kasorang ! Ngan dina buktina jaga, mudu nguntungkeun heula nu jadi musuh ! Sabab urang Sunda, ngagung-ngagung k a l a p a s u n d a, tapi dina sarundana lain kalapa mamanggaran, tapi sunda h u h u l u a n !
Ngaing deuk cicing di alam anu can ramé, di jagat anu poék kénéh ! Tuh di ditu, di juru panungtungan, lebah congo deuleu patungtungna, tuh aya nu melegmeg hideung! Jagat naeun téh ngaranna?”
Ceuk Sang Hiyang Kala : “Teu nyaho tah, dia ?”
Ceuk Aki Léngsér : “Amun dia nyaho di ngaranna, moal ngaing deuk nanyakeun ! Mantak ngaing nanyakeun, sabab dia ogé hanteu nyaho!”
Pikir Sang Hiyang Wening : “Tah, jiga-jigana mah, lebah dieu yeuh mimiti monésna ! Ayana tukang pantun mah, bisa-bisa ngabibitkeun parébutan pikir!” Laju ceuk inyana : “Ngaranna alam Pagelaran, jagatna, jagat Kawah Hiyang ! Can aya jelemaan, lolobana mah monyét wungkul!”
Ceuk Aki Léngsér : “Kabeneran! Mending gé mantun hareupeun monyét eujeung kunyuk ! Sabab biasana mah, sato-sato téh leuwih hideng manan jelema!”
Galéong Aki Léngsér ngaragragkeun inyana deui .... ragrag, ragrag, ragrag di awang-awang ... nembus langit salapan hambalan ...... Hanteu dicaturkeun di kumahana ! Ngan kacaturkeun hiji mangsa ! Wayah Sang Hiyang Kala ngalanglangan !
Ceuk Sang Hiyang Kala : “Betah ?”
Ceuk Aki Léngsér : “Betah, hanteueueueueu, teu betah, hanteu! Da mudu kieu ari boga seja jeung karep mah !
(9)
Hanteu cukup ku ngupah-ngupah awak, ku ngabébénjokeun awak ku ngucapkeun “Jamak jeung wayahna” Tapi mudu prak jeung lampahna, dibarengan maksakeun karep jeung kahayang ! Kieu, Déwa ! Ieu jagat sina poék baé ? Coba éta matapoé dina ngideran jagat téh, sina ngaliwatan ka lebah dieu !”
Ceuk Sang Hiyang Kala : “Teu bisaeun !”
Ceuk Aki Léngsér : “Sababna ?”
Ceuk Sang Hiyang Kala : “Pelengkungna heureut!”
Kacaritakeun keukeuh anu ménta, keukeuh anu majarkeun hanteu bisa.
Ceuk Sang Hiyang Kala bari keuheul : “Amun ngabadigul ka déwa, ku ngaing dia dilumpuhkeun !”
Ceuk Aki Léngsér : “Lumpuh!”
Harita kénéh Sang Hiyang Kala anu ngaluntuk, lumpuh!
Ceuk Aki Léngsér : “Sakalian bé jeung pireuna !” Harita kénéh Sang Hiyang Kala eudeuk ngomong bari ambek, tapi inyana kaburu pireu mantaré, di sina pireu ku Aki Léngsér.
Ceuk Aki Léngsér : “Tah, kitu, ari gedé kakawasaan euweuh kaberek! Pieun nyaangan ieu jagat, pelengkung mata poé hanteu mudu ditumbu ! Ngiderkeunnana matapoé baé, k é s é r k e u n! Ulah sina tetep di tengah baé. Késérkeun atuh, tina ngétan ngulon nengah pisan, sina ngétan ngulon rada-rada ngalér, atawa sina ngétan ngulon anu ngidul rada ngalér. Ogé bulan, mantak naeun amun dina nyaanganana ka dieu mah, ulah caangna cara seuneu dina tihul jero hawu .... Ngaing mah hanteu eudeuk sarakah. Kajeun hanteu mudu terus baé hurung bulan sabuleudna! Kumaha amun hurungna bulan dina nyaangan ieu jagat, nyaanganana ti leutik heula, tina sagedé caang kica-kica heula ? Laju saban peuting, caangna ditambah deui. Jeung di mana caangna manjing dina caang pangbuleudna, saban peuting téh dileutikkan saeutik-saeutik heula ! Kumaha Jagat Kawah Hiyang eudeuk dibéda-bédakeun ? Cenah caangna hanteu mahi, kurang atawa leuwih téh, lain tina saeutikna atawa lobana, anu mudu dibagi-bagi ! Tapi tina bisa atawa hanteu bisana anu mudu ngabagi-bagina. Sanajan anu mudu dibaragina lobana loba jasa ogé, tapi amun anu mudu ngabagina puguh anu bisa mah, tangtu bisa kabéh kabagenan s a j a m a k n a! Tapi amun anu babagina hanteu berek mah, sanajan anu mudu dibaragina lobana teu sapira ogé, tina anu leuwih lubak-libuk téh tangtu bisa loba jasa anu hanteu kabagenan!
Jalanna matapoé eujeung bulan, ti seret wayah ieu
(10)
ku kula ditetepkeun kitu. Dia sapuk, dia hanteu sapuk, jamakna dia nurut ka kaula ! Jalanna matapoé eujeung bulan, ulah wara dia robah deui amun can dibéjaan ku kaula ! Amun dia nyanyahoanan robah-robah, matapoé eujeung bulan, ku kaula eudeuk dicéos! Jeung inget, ti seret wayah ieu ulah dia deuk poho deui, dia Déwa sotéh pieun deungeun, pieun kula mah apanan sarua Batara ! Hayuh, geura unggah deui ka dituh, geura mulang deui ka Kahiyangan “
Tah kitu, Nyai, béja anu nyaritakeun Aki Léngsér !”
Ceuk Nyai Putri Bungsu : “Nini, kumaha lajuna Éyang Kala ?”
Ceuk Nini Sarutia : “Nya, atuh kumaha ? Da puguh jadi lumpuh eujeung pireu ! Boro-boro deuk bisa mulang, ngomong ogé hanteu bisa ! Ngan dina sinar mata Sang Hiyang Kala, tétéla inyana téh lain ambek, tapi inyana ngeunah seuri jero angen ! Sabab pikir Sang Hiyang Kala, Léngsér, anu katempuhan mah, nya dia kénéh, Dia mudu mulangkeun ngaing, ngagandong ka Kahiyangan ! Mangkaning tanjakan-tanjakan ka kahiyangan, naranjeur jasa, paranjang jasa !
Ceuk Nyi Putri pangais bungsu : “ Nini, ku naha hanteu diwaraskeun deui ku Aki Léngsér ?”
Ceuk Nini Sarutia : “Anu ruksak di jagat handap, hanteu bisa diomékeun di jagat handap. Mudu dibenerkeun deui di Kahiyangan!”
Ceuk Nyi Putri Satujuhna : “Lajuna kumaha, Nini ?”
Ceuk Nini Sarutia : “Nya diburitna mah, Aki Léngsér kéééénéh anu katempuhan, Inyana mudu ngagandong mulangkeun Déwa. Barang Inyana keur enggéh-enggéhan, di tanjakan Ki Saidun, anu nanjakna mani nangreu anu nanjeur, anu panjangna nepi ka hambalan langit anu biru, jeung reueur ku lésangna, kabeneran harita téh ceunah ngaliwat méga Baléwata. Méga dieureunkeun ku Aki Léngsér, Sang Hiyang Kala digubragkeun keuna méga bari ceuk Aki Léngsér ngomong ka méga : Mihapé yeuh ! Pangangteurkeun ka béngkél Santa Waluya !”
Méga laju ngalayang deui, unggah ka Kahiyangan. Ari Aki Léngsér mah, inyana nyorodotkeun minyana .... mudun deui ka .... ka, ka ceunah mah ka tonggoheun Jasinga ! Nyaaao atuh, da Nini ogé ceuk ceunah ti ceunah deui. Tapi anu ceunah puguh mah, Aki Léngsér laju matuh di Kawah Hiyang, di lebahan anu kiwari dingaranan PAJAJARAN, Pajajaran anu Tengah.
Ceuk Nyi Putri Arum Wiyaga : “Ari Pajajaran Tengah, Nini, lebahna aya di mana ?”
Ceuk Nini Sarutia : “Can nyorang Nini ka dinya, Nyai ! Tapi béjana aya tangkal PAKUJAJAR KI PAHARÉ ngan jarangkung gedéna téh di pajajaran Tengah.
Siar baé éta tangkal anu jaradi tetenger ! Mun kasampak loba jasa Pakujajar Ki Paharé jarangkung gedé, moal salah deui, moal sulaya deui, dia tangtu aya di lebahan Pajajaran Tengah!”
(11)
Ceuk Nyi Putri Arum Wiyaga : “Naeun sababna, Nini, dingaranan Pakujajar ? jeung kumaha di rupa Ki Paharé ?”
Ceuk Nini Sarutia : “ Nyaaao atuh ! Da Nini mah acan neuleu. Ngan ceuk béja, éta téh hiji tangkal anu baheula di baheula pangbaheulana, ngan ayana di urang kahiyangan, dingaranan ku Aki Léngsér. Ku Sang Hiyang Wenang dipindahkeun ka Kawah Hiyang, pieun Aki Léngsér nyiyeun tetengger. Ceuk ceunah mah, tangkalna éta kénéh éta kénéh, ngan ngaranna : Nya Pakujajar, nya Ki Paharé Jeung aya Pakujajar sahiji deui disarebutna : Suji Domas nya Suji Badak. Disebutna Pakujajar, lain ngamaksud tangkal paku atawa tangkal pakis anu ngajajar dina jadina tapi nyilokakeun “Paku” hartina Pamageuh, “jajar” hartina papayeun ! Pamageuh!
Papayeun arinyana anu panasaran harayangeun deui bisa mulangkeun nu harilang kadupak jaman nu laleungit ku gawé pidik.
Ari Ki Paharé ?
Sabab tangkal dina wujud, tangkalna mah éta-éta kénéh tapi daunna béda ti pucuk, papaharé dina bangun ! Bangun dina pucukna jeung daunna nu ngarora badis pisan Daun Suji, tapi rupa daun nu karolot, puguh pisan daun Hanjuang !
Mantak, ceuk béja téh, dina pantun Aki Léngsér Pakujajar Ki Paharé disebutna HANJUWANG SIYANG. Lain Hajuwang nu di beurang, tapi nyilokakeun : “Hayu geura hanjuwan ku nu miarasih ka nu enggeus ngahariyang”
Disebut Suji Badak, lain sabab éta tangkal paranti badak gagasak. Tapi sabab saliwat mah, mémang daun ngora jeung pucukna, nyeplés pisan daun suji. Nyeplés daun suji nu akarna pitumbaleun nyeri kiih, jeung keueuseun. Ramesan daunna, meunang ngibun, ubar panjang alus buuk! Tah sakitu kanyaho Nini “
====
Urang caturkeun baé, Putri Bidadari anu tujuh, geus arundur ti Panggung panyandangan, ti Paséban paninunan .... deuk tarurun ka Kawah Hiyang, ngajugjug Gunung Gorowong di Pajajaran Tengah, pajajaran tengah anu baheula.....
T u n d a . Keun sina tarurun narindak ka Pajajaran !
(12)
Urang mah, urang mapag. Urang papag nu deuk datang !
Urang longok heula anu miang ti Karang Pamulang, nu keur nindak ka lunta-lunta, nu dijurung ka Gunung Gorowong nu ngajemblong di Pajajaran. Pajajaran ..... di Pajajaran nu ngamparna kaurugan jaman, nu ceceluk ti awun-awun .... nu jaga baris diguar, dijajarkeun deui ku nu sarunda dina sukmana, jeung sarunda dina lampahna.
Saha anu miangna ? Saha anu kalunta-lunta ?
KI RAKÉAN KALANG SUNDA anu nyupataan awak inyana pieun nyinglarkeun lampah salah !
Rakéan Kalang Sunda dina wujud salin rupa, turun gunung unggah gunung asup leuweung ka ruar leuweung, dina wujud rupa lutung !
Sabab inyana jadi lutung ? Sabab inyana embung katulah amun ngabogaan pihapéan ! Inyana nindak, nindak, nyiar gunung anu gorowong, pienggoneun inyana tapa, pieun nanggoan datang wayahna udar wujud rupa lutung.
Inyana nindak, nindak di Pajajaran nu geus runtag, nu rajana geus ngahiyang, nu ngarana kari aweuhan tapi langgeng jadi wawangi ..... Inyana nindak bari peurih ku kasedih .... nindak, nindak..... teu kacatur di jauhna, teu kabilang loba bulanna, teu kaitung di winduna ! Ngan nurut galur pantun buhun, inyana anggeus deukeut keuna gunung nu gorowong di lampingna ... nu lampingna mani nawing. Mani nawing keuna untup ngunggahannana !
Ceuk béja tinu boga carita : Harita, tujuh putri Bidadari nu tarurun ti Kahiyangan, geus araya di Kawah Hiyang, laju alak-ilik tarempa-tempo, nyiar Pakujajar, Ki Paharé jarangkung gedé. Arinyana hanteu nyarahoeun, hanjuwang siyang béak dibukbak, Pakujajar musna dicacar, ku musuh anu ngarurug jeung ngahuru dayeuh jadi lebu, ku musuh anu ku anu ngajurungkeunnana mah, h a n t e u ditaritah nyundatan bari paksa.
Putri Bidadari anu tujuh nyiar terus, nyiar tangkal jaradi tetenggér ... nya laju narepi ka hiji lebah loba gunung nuraruhur, loba leuweung pikeueungeun, loba jungkrang nu barala, loba lamping ngalungkawing ... mantak ginggiapeun mun teu ludeung .....
Ceuk Nyai Putri Mayang Mangsaweuhan : “Tétéh di mana atuh? Nagara Pajajaran aya di mana ? Geuning di dieu mah, euweuh Pakujajar, Suji Domas, euweuh Ki Paharé Hanjuang Siyang .... Tapi Tétéh, asa ku betah rarasaan. Méh asa-asa di Kahiyangan ! Ngan bédana, di dieu mah hanteu sarareungit, jeung caangna, jiga mun di Kahiyangan meujeuh langit eukeur mendung ! Tétéh deuleu jiga di urang ! Ituh, aya gunung nyelap dina runtuyan gunung anu kembar sahunjaran. Ku badis jiga di urang ! Gunung naeun nya Tétéh, nu nyelap cara di urang ?”
Ceuk Nyai Putri Maya Kayangan : “Ja heueuh, jiga pisan sarua jasa, badis pagunungan di Kahiyangan ! Itu gunung anu nyelap, dihapit dua kendengan, laju nyambung ka kendengan anu lega, badis pisan nu di urang, di pagunungan WARUGA SASTRA ! Deuleu ! Badis pisan nu di urang, itu aya dua gunung awun-awunan ! Badis nu di urang dingaranan Giri KRIDASMARA sakembaran !”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Ja heueuh, adi. Hanteu béda ti di urang. Deuleu itu gunung anu leutik, nu punclakna namprak rubak, tapi tutugannana naros heureut, jeung ti mumunggang nepi ka handap, jiga aya tapak pameulahan !”
Ceuk Nyai Putri Arum Tineung : “Tah, déngékeun ! Sora guruh mani eundeur ! Sada naeun nu kitu, nya Tétéh ? Kula mah asa kareueung !”
(13)
Putri Bidadari anu tujuh laju ngadaréngékeun ! Ngadaréngékeun bari ngaronyok padédémpél ! Sabab, najan jadi bidadari ogé, ari keueung mah, keueung bééééééé.......
Ceuk Nyai Putri Mayang Mangarang : “Boa sora buta ? Hayu urang nyingkah !”
Ceuk Nyai Putri Mayang mangsaweuhan : “Lain, Tétéh ! Ari sora buta mah apanan ceunah garihul menjul tingbeledug ! Tapi ieu mah, ngaguruh tapi halimpu !”
Ceuk Nyai Putri Mayang Mangarang : “Heueuh ! Tah déngékeun, sadana sora nu kérék, tapi kérék dilagukeun! Tah geuning ! Jiga lagu Timang titi ayun ambing, jiga Dengkleung Kahiyangan. Tétéh ..... Boa kérék Aki Léngsér ? ..... urang Tempo !”
Tapi euweuh nu eudeuk nempo, da sarieun salah sampak ! Uuuuuntung anu heueuh Aki Léngsér, tapi kumaha amun anu disadana téh Raja Dedemit nu rupa hileud ?
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Teu mudu sieun ! Tah, geura déngékeun! Geuning jiga lagu Kidung Pangruhun, Turun Buah Kawung Ruruntuyan ! Lagu kitu mah ngan aya di Kahiyangan ! Di Jagat mana ogé, di alam nu mana ogé, moal aya anu bisa amun lain nu nyorang aya di Kahiyangan!”
Ceuk Nyai Putri Bidadari anu cikal ngan bisa ngomong baé. teu nuju sieun, teu mudu keueung ! Tapi inyana sorangan, ngadeukeutan sodong mah, nya kitu téa béééé. Najan Bidadari ogé, ari haté leutik mah di sakabéh nu burihan mah, tangtu aaaya ! Inyana lain sieun ku dedemit, tapi geuleuh ku rupa hileud !
Ceuk Nyai Putri Arum Wiyaga : “Urang bareng, nempona disakalieun! Sugan ari dihijikeun mah, kawani saeutik séwang-séwangna, mahi gedé pieun ngéléhkeun rasa keueung !”
Laju Putri bidadari anu tujuh arunggah babarengan bari padédémpél.... Hanteu naraék tingtérékél, hanteu turun tuturubun ... da apanan Bidadari! Arinyana pating kalayang .... cara julang deukeut ka sayang ! Nyi Putri anu tujuh laju ngalayang ka lawang guha .... cung nyarembah bari ceuk arinyana : “Nuuuun, Éyang Akiiiii, Ieu kaula ti Kahiyangan!”
Tapi Si Léngsér mah, jongjon kérék.
Ceuk bidadari satujuhan bari nyembah dibarengkeun : “Nuuuuun, Aki Éyaaaaang, ieu kaula ti Kahiyangan !”
Tapi Si Léngsér mah, jongjon nyegrék ! Bidadari satujuhan hanteu eureun-eureun anun-anunan, sabari nyarembah acung-acungan ! Tapi Si Léngsér mah, jongjon kérék nyegrék teu eureun-eureun, bari tumpang suku édég-édégan !
Anggeus capé anun-anunan jeung carangkeul acung-acungan, ari enggeus tétéla anu héés moal deuk hudang gancang-gancang, Putri Bidadari satujuhan laju rareureuh. Arémok di panto sodong, marando di tepas guha ......

====
T u n d a h e u l a :
Keun sina rareureuh !
Urang mah, urang tempo heula ka tutugan gunung aya sodongna!
Harita Rakéan Kalang Sunda, dina wujud lutung, geus dipareng aya di suku gunung ! Geus parek ka handapeun enggong Si Léngsér ! Jiga aya nu nungtun, Rakéan térékél baé keuna lamping ! Barang inyana parek pisan ka lawang sodong, inyana karérét ku tujuh Bidadari nu marando ! Rareuwas jasa, arinyana paburisat bari ngajerit, ngarajol ka jero guha !
Ari Rakéan ? Da puguh Bidadari, hanteu kadeuleu ku inyana mah ! Ari Bidadari mah, neuleueun inyana ! Jerit bidadari dina héés inyana sabari édég, ku Si Léngsér laju kadéngé. Tapi sabab geus kebel jasa teu ngadéngé deui sora Kahiyangan, éta jerit téh
(14)
ku Si Léngsér mah kadéngéna : “Puuuuuunteun!”
Koréjat inyana hudang. Ceuk inyana sabari ngabetotan cileuh: ”Dong-ding-dong .... clo! Rampés nun !”
Biasana anu lulungu, sok tara puguh deudeuleuan, nya harita ogé, deudeuleuan Si Léngsér sarua meureun jeung pangdeuleu monyét kapeungpeureuman ! Harita dina wujud inyana nu rupa lutung, Rakéan nolol di lawang guha ! Sabab pangdeuleu acan panceg, jeung deudeuleuan inyana masih kénéh samar, nya anu kadeuleu ku Si Léngsér téh, lain Rakéan di wujud lutung, tapi rupa béngkong deuk nyundatan !
Sabab reuwas dina reuwas nu reuwas jasa, Si Léngsér laju ngagoak ... bareng jeung tingjareritna Putri Bidadari satujuhna nu laju nyarumput ka jero samping Si Léngsér ....
Si Léngsér mani ngagoak bari eudeuk asup terus ka jero sodong, tapi da puguh sodong ngan sakitu sakituna, atuh Si Léngsér nu deuk lumpat sabari meungpeun téh, sabari meungpeun ku iket nu lobaan karawangna manan weuteuhna, nya karuuuhan mentog keuna taneuh, sodong nu di tukang.
Ari nu rupa lutung ? Anu hideung lestreng ngabangbara, nu jangkungna gedé jasa ? Neuleu si Léngsér ngagurubug bari ngagoak, Rakéan ogé kabawa reuwas ! Inyana ngajleng deui ka ruar, nangkod keuna lamping rada anggang !
Eukeur mah jero héés, ngimpi aya anu narajang deuk nyundatan, ari beunta neuleu aya anu ngaringkang hideung jangkung gedé, nya karuuuhan deuk Si Léngsér reuwas ogé.
Barang anggeus rada hanteu reuwas deui, jeung beuheung inyana hanteu karasa aya anu marieuskeun, Si Léngsér ngalieuk lalaunan bari mata inyana disipitkeun. Disipitkeun, abéh gancang bisa peureum deui !
Euweuh anu elal euweuh anu elol, euweuh anu ngeréwés ceuli bari murilitkeun irung. Laju beunta rada gedé sabari ngomong : “Boa ngimpi kénéh .....!” Kara mah anggeus ngomong, di jero samping karasa anu aruyek ! Si Léngsér reuwas deui, inyana ngagoak deui sabari ngagibrigkeun samping !
Barang neuleu anu kararuar ti jero samping, Si Léngsér tambah reuwas bari himeng. Ceuk pikir inyana : “Baruk ngaing ngajuuuuru ? Mani satujuh-tujuh kieu ?”
Anu ti jero samping laju marando hareupeun inyana, cung nyarembah. Laju ngaromong : “Nuuun, Éyang ! Ieu kaula, dijurung ku Éyang Hiyang Kala !”
Keur Si Léngsér himeng kénéh, kaambeu ku inyana pelenghir wangi cara baheula, keur inyana di Kahiyangan kénéh!
Ceuk Si Léngsér : “Baruk Nyaaaaai ....? Ku naha jaralan ti jero samping?”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Hanteu, Éyang Aki ! Tadi mah nyumput ! Sieun lutung !”
Harita ku Si Léngsér aya anu kaambeu deui, seungit wangi, tapi rada-rada bau matapoé. Ceuk Inyana : “Bau kieu mah, moal salah deui, Si Rakéan ! Laju inyana ngageroan : “Rakéan, ka dieu !“
Ari kurunyung téh ... lutung gedé anu tadi ! Méh baé Bidadari anu tujuh arasup deui ka jero samping Si Léngsér. Lutung hideung anu gedé, asup bari ngorondang, laju nyuuh keuna suku Si Léngsér bari sesegruk .... ceurik anu sedihna sedih jasa. Si Léngsér jadi sedih, laju sedih, cimata inyana nyarakclakan, irung inyana ingsreuk-ingsreukan. Sungut inyana luwa-lewé ... laju ceurik anu sedih.....Bidadari anu tujuh neuleu Rakéan ceurik, neuleu Si Léngsér ceurik, jadi sedih, laju ngarilu ceurik! Si Léngsér laju diuk sabari nyusutan cimata ku tungtung iket anu ngampléh. Bari ngusap-ngusap hulu Rakéan, bari ngusap-ngusap punduk Rakéan, ceuk inyana : ” Rakéééééan ! Baruk jadi kieu ? Baruk dia jadi kiiiiieu .....! Tapi Heueuh, heueuh, ku ngaing mah dia kaharti ! Mémang kieu, Jalu. Rugina jadi manusa
(15)
anu hirup kukuh dina bebener! lalakon sia anu geus kasorang, ngaing geus meunang béja, tina genclang béntang di awang-awang, ngaing mémang anggeus weruh tina geruh angin turun ti gunung, geus mémang ngaing nyaho tina keketok kotok nu eudeuk ngendog ! Ngaing ngarti naeun sabab dia nyalindung di wujud lutung, ngaing ogé ngarti naeun sabab sia hirup nyusup dina semu anu hideung ! Sabab sia téh, Jalu, ku Anu Nyieun lalakon, dijieun siloka poékna PAJAJARAN anu dipoékkan kunu harasud, supaya deungeun pada gareuleuh, gariruk ka Pajajaran!
Hihideungna kulit lutung, éta téh siloka poék :
Poék pieun mata nu teu mikir, poék pieun pikir nu teu neuleu, poék pieun deuleu tanpa rasa !
Tah, pieun anu kararitu, moal eudeuk témbong, moal deuk nyaraho : bédana hadé di inyana tina goréng pieun deungeun !
Moal arinyana eudeuk kapikir : anu hadé pieun inyana bisa jadi kagoréngan amun dilampahkeun ku nu séjén !
Hanteu kaparikir hanteu kadareuleu, teu karasa teu arengeuh : Hirupna jelema di alam ieu éta téh gumelar dina jagat pupulasan!
Arinyana moal nyaho : Saha anu ngan ngutamakeun pulasna wungkul, tangtu hanteu nyaraho naeun harti hirup jero keur hirup!
Arinyana hanteu arengeuh : di alam sakuriling arinyana geus dituduhkeun : Kumaha lampah, hirup di muduna !
Amun anu karitu ku urang dituduhan, majar arinyana téh : Pajajaran mah, baladna sétan muridna jurig !
Tapi Keuuuun baé .....Urang mah tanggoan baé datang wayahna : Anu kiwari NGAMARUSUHAN urang, jaradi batur nu sasambat !
Urang Tanggoan cundukna waktu pieun nyaksian : Wayah ngajajaran PAJAJARAN eujeung Enggon PAJAJARAN NGAJAJARNA dina JAJARAN. DIJAJARKEUN JAMAN.
Dina salah atawa dina bener ?
(16)
Ayeuna mah sia geura nindak, siar ku sia CURUG HIYANG CI CARIYANG ! Di dinya aya karang anu disebut KARANG TIUNG, di handapna aya sungapan saat. tanggoan ku sia bijil caina ! Amun diparengkeun ku anu ngageugeuhna, nu ngaranna DÉWI TRÉSNAMAYA, Sia tangtu gancang neuleu caina bijil, inum caina saregotan ! Anggeus nginum, geuwat sia mulang deui. Ngaing nanggoan di Gunung JAYA - SAMPURNA !
====
Ulah di tunda !
Urang caturkeun baé :
Rakéan laju nindak, nyiar Karang Tiyung anu ayana di Curug Hiyang, curug Hiyang Ci Cariyang !
Anggeus inyana nindak, ceuk Nyai Putri Bidadari anu cikal : “ Aki Éyang, éta téh saha? Rupana geuning lutung, tapi ngarti di omong manusa !”
Ceuk Si Léngsér : “Ké ! Aki deuk nanya heula. Ku Éyang Kala dia dijurung naeun ?”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Nun, Éyang Aki, dijurung ngaronggéng!”
Ceuk Si Léngsér : “Tah, éta, ngaronggéng ! Ari ngaronggéng di alam jagat ieu mah, mudu maké panjak ! Béda deui ti ngaronggéng di Kahiyangan ! Éta lutung anu tadi, pipanjakkeun dia!”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Embung, Éyang Aki, da éta mah lutung belegug ! Cara cacah teu nyaho tata”
Ceuk Si Léngsér : “Kumaha Bidadari mungpang paréntah ?”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Eyang Aki, Bidadari jaman kiwari béda ti Bidadari jaman baheula! di Kahiyangan, Bidadari kiwari mah diwenangkeun mapa-tata amun hanteu sapuk jeung pikiran!”
Ceuk Si Léngsér sabari ngorékan liang irung : “Tétéééééla, ngaing téh kakebelan héés ! Nepieun hanteu nyaho jaman téh anggeus robah! Nyai Putri naeun sabab dia embung?”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Ayeuna sakitu belegugna,, komo deui di engkéna! Geuningan, Éyang Aki, boro-boro tadi nanya, ngadeuleu ogé hanteu daék!”
Ceuk Si Léngsér bari nyintreukkeun korong ka ruar sodong : “Nyai, di alam ieu di jagat ieu, Bidadari hanteu bisa kadeuleu ku mata di waruga jelema .... Tapi naeun ceunah ceuk Éyang dia ?”
Ceuk Nyai Putri Maya Indung : “Dijurung ménta panuduh, kumaha, iraha jeung di marana kaula kabéh mudu ngaronggéng! Eujeung mudu ménta ngaran pieun nyamur! Éyang Aki, méméh ngaran kaula digaranti, hayang heula nyaho, ari Pajajaran Tengah di mana lebah ayana ?”
Ceuk Si Léngsér rada sedih : “Nyai, pajajaran Tengah, ari kiwari mah sebut aya da puguh euweuh, sebut euweuh dan ngampar kénéh ! Ngan baé, geus diaku bogana deungeun ! Pajajaran kasili wawangi, kari ngaran jadi aweuhan, ngalayang dina kalangkang samar nunda celuk di awun-awun, bari gugupay ti jaman nu baris batang!”
Ceuk Nayi satujuhna : “Éyang Aki, kumaha di sababna ?”
Ceuk Si Léngsér : “Sababna mah, nya mudu nurut galur anu matuh nu mastieun ayana papastén anu nangtukeun gilirna Wayah gelar, wayah undur nu dipatok dina lalakon, ngamparna jagat diwengku jaman, ngagelarkeun alam dipingkis pati,
(17)
dina béja jadi carita, di buwana SABDAWARNA! Pajajaran serén papan, ngaranna dimusnakeun, nagarana dijabel musuh anu maraksa Pajajaran ganti sembaheun!
Nyai, diturunkeun dia ka dieu, lain pieun mélaan Pajajaran, tapi pieun ngahalang jadi perang anu digara-garakeun ku jelema meujeuh arédan ! Sabab engké, anu ngaruntagkeun Pajajaran, arinyana bakal kamalinaan ! Rawayan arinyana engkéna bakal baroga karep, supaya di sajagat ieu kabéh anu disarebut jelema ngan nyembah hiji sembaheun, jeung nyembahna ngan dina hiji peta sinembah, jeung ngaran éta sembaheun mudu dina ngaran basa anyar tapi saenyana basana mah basa deungeun!
Kabéh sembaheun, anu ngaranna TEU SARUA jeung sembaheun arinyana dina sebutan, ku arinyana ditangtukeun baé jadi PAMUJAN. Sanajan éta sembaheun anu ku arinyana dipajarkeun pamujan téh, SAENYANA mah ÉTA-ÉTA kénéh sarua jeung saharti jeung ngaran sembaheun arinyana dina basa anyar!
Arinyana naritah nurutan Karuhun-karuhun deungeun di tanah sabrang, tapi arinyana hanteu nyaraho keur baheula éta karuhun-karuhun deungeun téh, nyorang ngalampahkeun karep cara anu engké eudeuk dilampahkeun ku arinyana.
Éta karuhun-karuhun sabrang, baheula téh ogé keur kamalinaan. ngan kamalinaannana lain di dieu, tapi di ditu, di buwana panyurupan matapoé!
Ogé harita ku éyang dia diturunkeun tujuh bidadari, ngararonggéng cara dia. harita mah ngaranna téh Ronggéng TANTU KAWISAYA dipanjakkan ku JAKA GOPALARA dina igel SAPTA CINDÉ !
Arinyana anu engké bakal kamalinaan, ku dia dina Ronggéng Tujuh Kala Sirna, mudu dihalang-halang. Ulah sina narurutan lampah deungeun nu ti heula. Sabab amun diantep karep arinyana, engké jaga, sajagat ieu baris jadi tegal pangperangan! Jeung laju mudal kawah digadaha jero perangna urang buwana KULON jeung urang buwana WÉTAN !
Karep éta jelema-jelema anu baris ngagara-garakeun éta perang sanékala, hanteu bisa ditumpes ku cegahan ngan sakali. Sabab, saban jaman anu daratang, mawa deui mawa deui, angkuh pinter inya henteu deungeun, nu sugih mah raja sorangan, nu sugih mah raja panyelang. Tapi SOMAH sina hirup hanteu hurip, sina beunta tapi pireu !
Tah Anggeus liwat jaman éta, baris datang gara-gara perang sanékala téa! Sabab mudu nanggoan heula liwatna éta jaman, ngalalakon dia di ieu jagat.
(18)
Baris rada pililaeun amun diitungna ku warsa manusa ! Mantakna, di dieu mah :
Ulah dia milang wayah ku warsa,
ulah ngitung waktu ku usum.
Sabab Warsa téh, bilangan jelema. Jeung usum mah engké jaga baris pasalia !
Laju euweuh usum anu matuh, euweuh wayah anu tangtu!
Milang mah anggur ku jaman, sabab ari jaman undurna jeung datangna geus dijangka ti Kahiyangan !
Ayeuna daréngékeun! Sing rarikip, ulah aya anu engeuh dina gawé dia ! Ulah anu nyaho dia ronggéng mapag totondén.
MAYA INDUNG
Nindak heula dia ka anu baheula disarebut Pajajaran Bantar Sagara ! Di muhara Cibantaeun, tanggoan ku dia wayahna nagara éta disabaan urang SAKA. Laju dia ngawaruga dina raga awéwé asal sabrang. Inyana baris dijodokeun ka nu kawasa jadi raja, tapi hanteu nolih hanteu ngaraksa ka somah nu jadi tatapak. Runtagna kajayaan inyana, sabab datang ka wayahna : Kandang kebo bule di Muhara Ci bantaeun mudu misah ka muhara Ci Haliwung. Salila nagara dijieun sampalan ku kebo bulé, di mudu nyurup keuna raga awéwé nu jujuluk sangaran GAMPARAN. Sabab inyana mudu unggah ka MANDALA SAMAR dina kuda SAMPARANI nu sukuna tinggaleun di Gunung ARCA. Engké manjing di wayah inyana, éta awéwé mudu turun deui ka dieu pieun sawaruga jeung Si Nyai Maya Kayangan ! Wayahna dia mudu nyurup jeung wayahna dia udar deui, tengerkeun baé tina gorowong cingcin dina samaga matapoé!
Ti dinya, tanggoan ku dia datangna wayah rerenjahna nu saripit pendék paréngkéh. Arinyana baris jaya jasa, tapi nyusahkeun satengah jagat, jeung di dieu nyawéné-an, hanteu mudu dia ngawaruga jadi manusa. Tapi tanggoan di TATAR KALÉR GARUDRA megarkeun endog nu ngagenjlongkeun saampar jagat. Buru ku dia tanjeurkeun buluh gading anu malang ti leuwi Ki PATAUNAN jeung régangna maranjang ka mana-mana.
Tah éta buluh gading baris munahkeun kajayaan anu saripit, jeung ngusir nu daratang deuk ngaranjah deui ! Kajayaan arinyana mudu dipunahkeun. Sabab mudu datang wayah di urut Pajajaran baris ngadeg dua karajaan !
Rajana anu saurang, titian sukma baheula, sukma agung ti mandala samar. Inyana ngarti harti sinembah. Sabab éta, inyana hanteu ngabéda-béda sagala peta lampah sinembah. Tapi anu sarinembahna mudu dina peta lampah anu bener !
(19)
Karajajan anu sahiji deui, ayana di tengah alas, dirajaan ku titisan sukma anu lolos ti BUANA KARMA. Inyana titisan mandah nu baheula nyorang ngelélan ka Sang Hiyang Kala. Punahkeun kajayaan éta urut mandah ku ngalumahkeun jimat inyana, sabab inyana anu mimitian eudeuk nyieun gara-gara perang sanékala.
Ti dinya gentakkeun sina pelak kapas gancang buahan, sabab geus cunduk keuna waktu, aya anu banjaran dina kajayaan, mudu mulang dina pucuk hujan angin anu ngariegkeun lini gedé!
Ti dinya mah, sabodo dia deuk kumaha nanggoan wayah ! Sabab di muhara Ci Haliwung geus balébat kingkilaban ka beurang anu mimiti méré éling :
Lobana sembaheun mah sabab loba jelema nu hanteu nyaraho : Nu jadi sembaheun mah tunggal éta-éta kénéh ari anu bédana mah ngan dina sesebutan wungkul.
Seug geura nindak ! Dia mah hanteu mudu ganti ngaran, da hanteu mudu kadeuleu mata manusa ! Engké dia ka dieu deui. Iraha-irahana mah, engké ku Aki dibéjaan dina kila-kila matapoé kohok ku bulan ! Dia mudu ka dieu deui, sabab loba kénéh anu mudu diruntagkeun saméméh lebak Cawéné jadi panyapangan anu ramé !
MAYA KAYANGAN !
Ganti ngaran dia jadi RARA ÉGAR ! Gawé dia ngudarkeun kapanditaan sakabéh anu ngaluluguan sinembah kumaha baé, tapi lampah arinyana patunjang-patunjangan keuna ajaran sinembah arinyana.
Jeung jieun ku dia dibendonna : kabéh dukun tukang tipu, kabéh dukun tukang rucah, jeung dukun-dukun anu ngajualan ngaran karuhun.
Di éta dukun-dukun jeung pandita, mémang loba somah geus nyaraho sulayana jeung rucahna éta dukun jeung pandita, tapi somah teu walakaya sabab sieun. Sabab sarieun ku pangnyingsieun nu majarkeun : Saha anu warani mungpang jeung wani hanteu ngawaro, inyana bakal disiksa ku malaikat jeung dihukum ku karuhun !
Seug geura nindak ! Mimitian mah ti mana baé karep ! Bawa rupa awéwe geulis, piuruyeun sakur nu neuleu ! Jieun sina sakabéh somah nareuleu bukti-buktina ! Bukti nu geus moal bisa dipungkir deui, nu némbongkeun barurungna dukun-dukun tukang tipu, sulayana para pandita nu arédan !
Tengerkeun kila-kila di béntang anu malang di beulah wétan, di wayah di beulah kulon bulan nu jiga sisir eudeuk surup ngarungkup béntang ! Ulah melang, sabab éta wayah mudu dia mulang deui ka dieu !
(20)
ARUM SINAYUNGAN !
Ngaran dia anu mudu dibawa ENDANG SARIPATI !
Déngékeun ! Nyai, di saban jaman nu bakal datang, moal kurang-kurang ku jelema anu aku-aku jeung narepak dada sabari majarkeun:
Satia béla ka raja, satuhu ka pangagung, jeung bébéla nyaah ka somah. Tapi dina prakna satia sotéh ka nu engké disarebutna kadunyaan, satuhu sotéh kanu marénta dibagi tina ruruba, jeung bébéla téh ngan pieun kauntungan inyana wungkul, tapi somah anu diraksa dipikanyaah ngan ku omong eujeung jangji, jeung ku bébénjo bari dikala-kala ku arinyana. DISARINGSIEUNAN KU KAPANGKATAN DIHARAJA DIJIEUN SUSAH dihéhésé usahana nu teu séba ngabagi bati !
Dia taram di wétan heula ! Anu ku gawé dia nu di wétan, éta anu satia anu satuhu, anu ceunah majar nyaah jeung bébéla, di dayeuh-dayeuh hanteu aréling kénéh baé, pindah dia ka dayeuh di muhara DIPALAYANGKEUN.
Mun anu di darinya masih baé hanteu daék digeuing, nyurup ka awéwé nu ngarana GARAWANI anu saenyana mah jurungan DÉWI DURGA ti tanah sabrang.
Amun anu digeuing kalah tambah teu aréling, tanggoan ku dia datangna wayah BUAH BENGANG DIBEULAH TILU nu lajuna baris nyieun SAMANGKA DIBEULAH LIMA. Wayahna buah bengang beulah tilu ? Hanteu kebel-kebel teuin. Ngan sakebel ayana paré di sawah anggeus surup béntang kukus di beulah kalér rada ngétan !
Laju runtagkeun kajayaan pangkat-pangkat nu ka somah ngan nyangsara ! Ulah meléng nengerkeun béntang ! Sabab dia mudu ka dieu deui !
Seug, geura nindak !
Eudeuk dia ngarupakeun kumaha ogé henseug baé, Tapi ulah mawa rupa dia nu ayeuna. Rupa bidadari mah mudu ditunda ! Tunda dia dina wawangi kembang Kamuning !
MAYANG MANGARANG
Dia salin rupa, ngarupakeun nini-nini. Bawa ngaran, NINI GÉDÉNG MUNYARI. Sabab, mingkin ditu ka hareupna, baris mingkin loba nu tarani arudar tali paranti, nepieun di buritna hantu nyaraho deui naeun hartina tani. Leungit sajén jeung sasawén, leungit bakti ka Po haci, ka Nyi Sri marganing hurip !
Nu tarani lain baris deui pieun hurip, tapi tani pieun sugih dina hirup. Tapi hirup jembar kula, lapar dia ! Sabab nu palega-lega sawah, tani téh tani dina korsi bari sina anu tani saenyana, anu deklak-dekluk capé jasa. jeung dipeuting pulang anting ngatur cai ka kotakan, boro-boro eudeuk sugih, pieun hakanan ogé kapaksa nguyang heula, sabab bawon paré tina ijon, anggeus béak méméh diunjal, sabab marayna ijon mudu marayna leuwih ti séba ! eujeung boro-boro deuk lega sawah ngalegaan anu aya ogé, lalapar dina gadéan !
(21)
Talung-talung keur Pajajaran ngadeg kénéh, jaman aya kénéh kuwera - bakti, jaman Guru Bumi dipusti-pusti jeung leuit tangtu eusina metu, euweuh nu tani mudu ijon, euweuh nu tani nandonkeun lahan, euweuh nu tani paéh ku jéngkél, eiweuh nu tani modar ku lapar.
Ari engké mah, nu tarani jadi sarakah, harayang lahan palega-lega, gunung-gunung diwuwuda, paréna dijieun dagangan, dina harga pamahal-mahal, nepieun engké jaga, sa-Pajajaran béas mah bera, tapi ku somah mah hanteu kahakan! Sabab juntrung ambé kiwari, engké jaga mah laluasa ngandang di jero beruk!
Nyai, turun dia ka urut dayeuh nu baréto. Elingan ku dia sakur anu daraék diélingan. Papatahan harti tani kawin ka Nyi Sri !
Hartieun lain tukang tani meutingan Nyi Sri, sabab Nyi Sri téh boga salaki nu ngaran inyana HIYANG KUWERA, anu ngancik dina hujan ngaririncik, nu maneuh di halodo heuheuleutan !
Hartieun hartina kawin, ngahijieun rasa dina raga keuna pangarti kumaha muduna tani, abéh subur dipelak, abéh subur dipelakkan !
keuuuuun baé ku teu nyajén teu nyawén mah, sabab éta mah ngan saukur tali paranti anu saban jaman gunta-ganti dipetakeunnana. Baheula mihapékeun siki ka taneuh, diparancahan maké jampé, kiwari mah ku maca dowa.
Jaga mah engké, merenahkeun dina tatanén moal ku jampé moal ku dowa, tapi ku padati maju sorangan !
Ku dia tétélakeun sina kaharti, tali paranti téh saenyana hanteu sarua eujeung muja, tapi ngalampahkeun pangarti tina panuduh anu pabalatak kari mulungan di ieu alam !
Tétélakeun, Nyi Sri lain aya di rupa oray, sabab oray mah dayangna Nyi Sri anu ku Nyi Sri dipapancénan ngabasmi hama !
Tétélakeun deui : Anu hadé ngarawat oray téh, lain inyana ngalakian oray ! Tapi miara batur pangjaga hama. Da éta cenah, ka oray téh sok ngomong cara ka jelema, eujeung musti-musti ku susuguh jeung sasajén!
Tétélakeun, ari ngomong mah, hanteu mudu baé ka jelema, najan tatangkalan ogé, bisa dibawa nyarita, sabab kabéh, kabéh sakur anu aya di ieu jagat, najan teu ceulian teu mataan, ngarti ka omong jelema.
Sabab éta, amun aya jelema ngomong ka batu, lain inyana jelema édan, tapi bisa jadi jalma kitu téh jelema anu weruh anu ngarti rasiah alam !
(22)
Sakur anu aya di ieu jagat, ngarti ka basa jelema jeung kabéh bisa nyarita dina basa séwang-séwangna. Batu nyarita dina basa batu, tangkal nyarita dina basa kayu, monyét nyaritana di basa kunyuk, oray, nyarita di basa oray !
Ngan baé, jelema anu hanteu bisa arengeuh jeung hanteu daraék diajar ti alam, tangtu moal eudeuk ngarti basa kitu, malah moal nyaho-nyaho acan ayana basa alam anu hanteu kadéngé sora-sorana acan !
Jeung jelema-jelema kitu, moal eudeuk bisa engeuh ku ayana wujud harirup anu hanteu kadeuleu ku mata jelema biasa. Wujud anu karitu, mémang puruneun ngabantu jelema, komo mun disambat dina basa nyerep ka angen inyana !
Éta ceunah, ku saha maké nyajén ka anu hanteu kadeuleu kitu ? Tétélakeun ku dia, nyajén téh : Minangka buruh atawa susuguh, sabab di ieu jagat téh, euweuh gawé tanpa upah.
Ku dia hartieun sian tétéla paribasa :”Gawé téh lain mamrih pamulang, tapi pieun kahadéan, atawa ngaran amun engké paéh, mulang téh saeutik dosa” geuning geus nétélakeun jasa hartian éta paribasa téh, “Salila aya pangarep, salila aya pangarah, geuning gawé téh tetep baé ménta buruhannana”
Tétélakeun sina kaharti tina tali paranti ulah ngan diilik goréngna baé, tapi cokot hahadéna, sabab mémang bener dina sagala gawé anu hadé téh, mindeng hasilna jadi kasilep ku gogoréngna ! Kitu sotéh amun éta gawé dilampahkeun kaleuleuwihi !
NYAI GEDENG MANJAR!
Dina rupa dia nini-nini, dia lalampah jiga anu jajaluk, tapi tukang jajaluk nu hanteu ménta ! Datangan ku dia anu jembar dina tani, anu teu jembar dina tani, anu susah dina tani, jeung anu tarani ngan ku omong wungkul, tapi hanteu ngarti kumaha petana tani!
Anu didatangan dia, mudu ku dia ditegeskeun ! Amun bageur jeung hadé budi, élingan amun arinyana paroho di tata tani. Tapi sakalieun seserep ku dia, jero jembar sugih arinyana, kumaha lampah arinyana ka pada nu sarusah ! Amun sagala hadé, unggahkeun lobana pibuateun inyana, jeung singlarkeun sakabéh hama, sanajan ku inyana najan nyawén geus dipiceun !
Tapi amun dina jembar eujeung sugih teu tutulung ka nu sarusah, atawa dinya inyana nulung, nambah karipuh anu keur sarusah, élingan sina babalik pikir ! Amun hanteu ngawaro, tungtut sina leuit jaradi celong, jeung antep hama-hama ngaruksak sawah inyana, sanajan jelema éta tara poho dina nyajén dang susuguh !
(23)
Anu sarusah dina tatanén, jeung anu kurang sarusahna, tapi arinyana loba nulung manan ditulung bantuan inyana ku dia sina hama-hama ngalangkahan sawah inyana !
Kanu ngadaragangkeun béas, ku dia mudu ditétélakeun : Amun dina arinyana dagang, béas ditumprakeun teu diwadahan, sanajan ditumprakeun dina sasarup peta kitu téh hanteu ngajénan Nyai Po Haci!
Salila béas didagangkeun kitu, moal Nyi Sri deuk ngeunah haté! Jeung salila inyana dilalaworakeun, paré anu di sawah moal ranggeuy eudeuk leubeut, moal wuli beurat eusi, moal suwung-suwung katumpangan hama !
Amun diarélingannana, teu ngawaro baé anggeus dia tilu kali nga... arinyana, sambat ku dia : SANG DUGUL KI DULANG SONTAK NU NGABABAKAN DI GUNUNG BAMBALAK....
Engké ku inyana baris dijieun : Bajul-bajul di kabéh muhara sina icikibung marotah jasa, pieun nambay hujan di pagirangan anu baris ngeueum sawah-sawah nu salah garap.
Amun masih baé acan aréling, engké baris didatangkeun : Halodo banget meulah taneuh, laju nyusul hama berem nu disusul ku paré gabug méh salega nagara, laju loba walungan jadi saraat sabab cai-cai dipariceunan ku nu harawek di pagirangan. Ti dinya datang deui di mana-mana jelema susukma monyét, anggeus diheulaan ku hama anu maronyong, ku hama anu ngarayap, ku hama anu hariber .....
Amun marasih kénéh baé hanteu aréling jeung hanteu parecaya keuna totondén, tepak ku dia Pakujajar di Lawang Gintung, abéh sa-Pajajaran kageuingkeun keuna baris ayana kajadian kajadian anu disarebutna PANYAKIT JAMAN, nya éta DIGANTINA anu NGAGANTI. Anggeus dina ngadatangan jelema-jelema anu ngarti tani téh, ngan wungkul dina pikir arinyana baé, dia ujug-ujug diiring-iring ku aleutan rupa jelema anu lalapar lila hanteu nyaratu! Lalaparna ? Digara-garakeun ku nu ti dayeuh-dayeuh ngagarap sawah, tapi hanteu-hanteu acan nyarahoeun nu mana lanjam, nu mana singkal .....
Seug ! Geura élingan ! Ulah poho tengerkeun béntang, sabab ogé dia jeung anu séjén-séjénna, mudu ka darieu deui.
MAYANG MANGSAWEUHAN
Ngaran dia anu mudu dibawa : NYI UPANTA. hadé rupa ngeunah sora ! Bawa wawangi dia ti Kahiyangan, sabab perelu pieun ngarieurkeun, pieun mabokkeun nu mudu dijarieun wadal pamolahna arinyana kénéh !
(24)
Lain rieur sina rieut, lain mabok sina weureu, tapi rieur ku aringet baé bari kudeudeuleukeun. Eujeung mabok, sabab hayang baé reureujeungan! Piawadaleun dia, Nyai jelema-jelema anu bareunghar jeung sarenang, tapi marabok kapangkatan jeung paroho ka jaman arinyana hirup méméh sugih.
Mantak mudu jaradi wadal ? Sabab jero jaradi inyana pangkat, jero mabok arinyana kakawasaan, kabeungharan jeung kasenangan arinyana, kabéh géh beunang ruruba, beunang ngarurud, beunang matikeuh somah jeung nagara!
Punahkeun kabeungharan arinyana, leburkeun kasenangan arinyana jeung palangkeun deui arinyana keur hirup arinyana nu ti heula. Tapi sina ngarasanan heula kawirang jaradi eusi pangbérokan !”
Ceuk Nyai Putri Mayang Mangsaweuhan : “Kumaha petana, Éyang Aki?”
Ceuk Si Léngsér : “Kumaha karep ! Jadi bikang inyana ogé, meunang! Tapi mudu bikang pangérétan !
Ceuk Nyai Putri : “Meureun diunggahan arti jadi bikang inyana mah?”
Ceuk Si Léngsér : ”Hanteu mudu ! Sina rarasaan inyana baé ! Dia mah ingkah ! Gantian ku gebog !”
Ceuk Nyai Putri : “Amun euweuh gebog ?”
Ceuk SI Léngsér : “Ku anggel ogé hadé ! Dia mah ngan wungkul mindahkeun rupa dia ka anu eudeuk ditindihan dina pikir inyana ! Dia mah ingkah “
Ceuk Nyai Putri : “Kumaha amun kaula pageuh ditangkeup ?”
Ceuk Si Léngsér : “Di ieu jagat mah, Nyai, Bidadari téh, apanan ngaragana, ngan saukur kalangkang nu ngawujud dina ciptaan kahayang manusa ! Di ieu jagat raga dia hanteu napak dina ‘aya’ tapi ngahalimun dina wujud palamunan!
Dia nindak babarengan jeung adi dia, si nyai pangais bungsu, sabab dia duaan mudu sili anjangan jeung dulur dia Nyai Maya Indung. Ulah meléng tengerkeun totondén dina béntang nu masih témbong najan geus beurang !”
ARUM TINEUNG !
Ngaran dia ganti jadi Nyai kamin, dia jadi ronggéng, tukang ngawih tukang ngigel....Ngigelna ngigelan jaman, ngawihna lagu sedih ti kapeurih, ti kanari awéwé ceurik anu ku lalaki inyana disalingkuhan dipangranyedkeun, disangsara anggeus dieret !
Dina dia jadi ronggéng, meunang dia dumuk di Ci Nyurup, meunang ngababakan di pan-jampangan, meunang nganjrek di Rawa Gedé pieun ngalanglangan Kuta Tandingan ! Ogé meunang dia matuh di Tegal Alur salila dia ngaronggéng di dayeuh gedé nu engké baris ngadeg di muhara Ci Haliwung. Dia meunang aya di Gunung Pongporang pieun ngirut pangkat-pangkat di basisir kidul !
Ka sakur lalaki anu ngan nganyenyeri éwé inyana baé, dia mudu némbongan dina raga dia ti kahiyangan. Tapi ku anu séjén mah dia kadeuleuna cara arinyana nareuleu sorabaha peungkeur satangkeupan anu nangkod handapeun buntut kebo cawéné kénéh : raresep hanteu, gareuleuh hanteu !
(25)
Amun lalaki anu ngan nganyenyeri baé éwé inyana, inyana hayang ka dia, ku dia dipéntaan pamahugi, tapi pahugi anu loba jasa piduiteunnana. Éta pahugi ku dia bagi-bagi ka sakur awéwé anu sarusah, tapi sausahna sabab kukuh hirup dina laku lampah anu hadé eujeung bener.
Tulungan ku dia sakur awéwé anu salaki inyana ngan dinyenyeri jeung di sangsara baé. Tapi paruruh heula laku lampah éta awéwé ! Amun sagala tétéla hadé eujeung bener, Bélaan !
Dia mudu nyaho ayana awéwé hadé laku, bener lampah, tapi saumur-umur ngan dinyenyeri jeung disangsara baé salaki inyana ! Tapi sadrah.....
Tah anu kitu mah, lain tulunganeun dia. Sabab anu kitu nya éta téa anu disebut awéwé mugarsundan ! Hartina inyana keur dilokat di ieu jagat, pieun engké amun paéh, unggah ka mandala nu leuwih ruhur !
Ulah meléng ! Tengerkeun kuwung-kuwung melengkung di waktu isuk, anggeus sapeuting jeput guludug patingguludug !
Sabab Nyai Maya Indung anggeus cunduk keuna waktu mudu undur tina raga awéwé anu cara angin puyuh, ngunggahkeun kajayaan nu harita eukeur manggung !
Tah di wayah éta mudu dia nyurup ngaganti Tétéh dia Nyai Maya Indung! Amun dia anggeus merenah dina nyukma, hanteu mudu dia babagi tina pahugi. Sabab baris aya anu hahambur, ngabeungharkeun sémah ku itungan, tapi ngarinwankeun sakur anu aréling !
Ulah kajongjonan dina lalakon ! Amun di beulah kalér tinggaranan béntang karonéng, di langit beureum di waktu beurang, jeung saban-saban guludug ngagulugur sapeuting jeput, laju bulan sapasi ditarik déngdék ka kénca, tapi nyorotna ka katuhu buru ku dia béjaan Nyi Maya Kayangan ! Sabab baris datang deui anu deuk ngagara-garakeun perang sanékala salegana amparan jagat !
Seug geura nindak ! Tengerkeun samagaha di waktu isuk ! Sabab kajayaan angin puyuh keur gancang Suda ! Dina wayah hujan angin jeung lini gedé, dia mudu datang deui ka dieu ! Sabab ieu jagat mudu kahuruan heula, pieun meulah samangka dibagi lima, Pakujajar ngadapur deui, anggeus Pajajaran salin ngaran ka ruar tina ruhak pangperangan !
Amun dia eudeuk turun, mucuk di dayeuh-dayeuh karatonan !”
Kacaturkeun Bidadari nu saralin ngaran, nararindak .... ngagararap gawéan séwang-séwangana ....
Laju ceuk Si Léngsér ka Nyai Bidadari anu bungsu : “Arum Wiyaga, nyai dia mah acan wayah ganti ngaran ! Sabab mudu heula ngalalakon hiji aki-aki anu ngora. Mudu heula ngalalana budak leutik nu janggotan.
(26)
Jeung Alas Mancung udar tiung pieun ngabaladah jalan tarataseun ti Batu Hideung ngalangkahan muhara CI BINUANGEUN, papayeun nu baris mudu diubar anu arunggah di PAMEUNGPEUK !
Tanggoan wayah dia mudu ngawaruga jadi manusa anu ngarupa: Raga hiji awéwé ngora, rangda lain, lagas lain, nu raut rupa beungeut inyana saukiran kembang cangkring !
Nindak dia ayeuna ka Sumur Haur Pamunjungan, anu ayana di sungapan Ci Dadap, sakiduleun Ci mandiri.
Engké amun gunung-gunung geus garundul, amun dulur-dulur dia meujeuh ngagawéan garapan séwang-séwang, baris aya deui anu ramé, nya éta :
Loba lawong panyaweuyan, loba jelema pada sarasar, dilojokeun ku karuhun ! Tapi karuhunna, lain karuhun Pajajaran, tapi karuhun titiruan jeung karuhun panipuan, anu sararieun Pajajaran ngadeg deui. Jeung sarieun kacalutakan arinyana ku urang Pajajaran dibales-ganda, laju majarkeun ! Anu ku Anu Agung dimudukeun ngawasaan buana nya éta urang wétan !
Jeung pajar arinyana, nu jadi raja téh teu béda ti matapoé, jeung satengah ieu jagat mémang disérénkeun ka inyana : Laju ku éta karuhun-karuhun burung anu nyarilok jaradi EMBAH DUKUN jeung MAMA KIAI. Loba barudak dedegler diojok-ojok sina darangka ngalawan raja, tapi ku éta karuhun-karuhun panipuan raja ogé diharéwosan : SUNDA PAJAJARAN deuk ngabadigul deuk maraéhan nu jadi raja ! Padahal, anu ku éta karuhun titiruan digagalak sina ngését ngawidang raja, lain urang SUNDA nu marudah, tapi urang WÉTAN anu karanjingan sukma-sukma MONYÉT BEUREUM jeung jelema-jelema nu mamaksa sina UGA NGAWARUGA MÉMÉH WAYAH
Tengerkeun ! Engké, amun geus loba nu dipuji ku pikir anu pahili jeung ku nagara pangkat-pangkat diantep laluasa babangsat, nu aréling dirarang ngageuing, sambat ku dia Éyang DOM DOM KALA BANYU DUNUNG jujuluk. KI SAGARA PAMAÉNAN nu keur tapa di GUHA KONDANG, jero Alas Nyi Mara-mari nu ayana diriung gunung Dari jeung gunung Malang jeung Ci Sogah sahilirreun Karang Tarajé! Béjaan sabab inyana anu mudu ngabuburak éta karuhun-karuhun burung !
Nyai, mémang heueuh ! Raja téh hanteu béda matapoé ! Tapi hanteu surup téh, ngan dina kahayang sakur anu ngareyeng-reyeng dipieun anu aréling mah aya waktu matapoé mudu bijil, aya waktu matapoé mudu surup ....
(27)
Eujeung mémang heueuh, satengah jagat disérénkeun ka éta raja. Tapi anggeus nagara inyana mudu dibérésan heula ku awéwé nu ngaraleut bari rarangsang. Sabab arinyana geus teu tahan diparaban baé ku nu sarenang, tapi marabannana ku carita du didirorobé ku bébénjo ....
Anu ngaraleut mémang nyararaho raja mah teu nitah kitu. Anu ngaraleut téh mémang nyaho ka éta anu sarenang téh raja nitahna ”Eujeung somah, mudu sakaseubeuh sakalapar !”
Tapi anu jaradi raja panyelang ngareunah-ngeunah kariyaan, anu marahal sagala kabeuli, sabari ngajeunkeun soma sarusah, sabari ngupah ngupah sarabar heula, sabab ceunah ceuk arinyana, baris datang jaman jaya baris ngadeg ratu adil.
Padahal anu aya mah : Jaya sotéh pieun anu sarenang, adil dotéh ka para mitra ku nu ngaréyang-réyang pangolo raja ! Ku somah mah samar deuk kaalaman, da raja disarilok dibobodo !
Mantakna ngaraleut aleut-aleutan ? Sabab arinyana geus hanteu sarieun deui ka anu nyaringsieunan, hanteu sarieun deui keuna omongan ! Saha anu hanteu ngawaro ka caritana panyelang raja, saruwa ngalawan ka raja.
Anu ngaraleut bari rarangsang mémang nyararaho, raja téh asih ka somah, tapi ku anu jaradi panyelang anu harayang kapaké gawé, ka raja téh dipajarkeun : Somah ewuweuh anu susah ! Anu sarusah mah ngan anu karedul jeung arinyana nu deuk moréatkeun raja !
Tah éta wayah deuk datangna aleutan awéwé rarangsang, ku éta karuhun-karuhun pangoloan téh dibuni-buni disararipuh, supaya di mana datangna éta aleutan, éta karuhun-karuhun bisa naruding “Deuleu Pajajaran ngamuk deui !”
Arinyana mémang nyaraho Pajajaran mudu ngadeg deui. Tapi arinyana hanteu areungeuh, harita arinyana eukeur jero Pajajaran keur diadegkeun ku obahna jaman anu ngajajarkeun deui karajaan ti wétan ngendeng ka kulon. Pajajaran keur dijajarkeun, tapi ngaranna robah sebutan !
Nyai bungsu ! Dia saheulaan dumuk heula di sumur haur pamunjungan, sabari tutulung ka sakur anu di darat keuna ku lara, sakur anu di sagara deuk cilaka ku angin barat, jeung bantuan sakur anu tarani maraké kénéh tali paranti !
Saheulaan, dia ngarupakeun nini-nini anu mapay-mapay sapanjangna sagara, ti sagirangeun LEBAK CAWÉNÉ nepi ka sagirangeun pa-Jampangan.
(28)
Engké, mingkin ditu ka hareupna, baris mingkin tambah loba nu marapay lacak Pajajaran, tapi marapayna sabari ngaruksak ! Sabab karep arinyana eudeuk ngamusnakeun sagala tanda sagala sésa anu bisa nuduhkeun kénéh ka nyorangna Pajajaran kungsi ngadeg, tapi duruntagkeun ku dengkina anu saririk ! Sabab seja arinyana supaya sanagara, gariruk ku anu miarasih jeung narineung ka Pajajaran anu geus hilang !
Tah éta anu marapay sabari ngaruksak, ku dia mudu disamarkeun ! Samarkeun dina kasmaran, samarkeun dina polah laku lampah ! Jeung jieun sina sarasar, sarasar dina arinyana mapay, supaya ka raja témbong bukti. Lain Pajajaran anu mudu dipikagiruk, tapi jurig-jurig jeung karuhun kakaruhunan, nu di kulon jeung diwétan, anu baheulana jaradi jelema, tapi dina paraéhna sukma-sukma arinyana lolos ti Mandala pamariksaan, laju miheulaan ka anu saéstu mudu turun. miheulaan sukma-sukma anu dipapancénan mudu ngajenengkeun RATU ADIL bari ngundurkeun sukma PAMINDA anu KATILU !
barengan jeung anu ngararuksak, engké téh hanteu kurang-kurang anu nyararukcruk galur karuhun, tapi maruruh bari mamaksa hayang UGA NGAWARUGA MÉMÉH WAYAHNA !
Tah, jelema-jelema karitu, baris nyilakakeun ka sakur anu ngarep-ngarep walungan-walungan dikawin-kawinkeun, urang kulon, maratuh di kulon, urang wétan diarusir ka wétan, urang kalér, éléh jajatén, urang kidul mubus ka gunung, laju samangka dibeulah lima, jeung lajuna LEBAK CAWÉNÉ jadi lebak pangauban !
Tah, éta anu baris nyilakakeun urang Sunda, ku dia mudu digeuingkeun. Amun arinyana arangkuh baé garedé hulu, tah nya arinyana pisan anu jaradi karuhun burung ! Tuduhkeun ka Éyang, dia Ki Sagara Pamaénan!
Nyai, salila dia di sumur haur, dia mudu nyaksian PERANG BAJO anu deuk nyieun salembur Ci Dadap jadi babakan lebu ! Tangtayungan ku dia awéwé anu jadi PUUNNA, jeung sakabéh somah anu can mudu mulang saméméh wayah !
Sieuhkeun ku dia anu deuk ngahuru jeung rarampog bari peupeuncit, deuk nyulik cawéné-cawéné jeung awéwé anu ngarora, caremkeun parahu-parahu éta bajo keuna batu karut di lebahan muharana Ci Sakawayana, supaya anu jadi lulugu bajo-bajo mulang deui ka dasar laut!
Salajuna, dia mudu nyaksian sumur haur engké urug, haurna pugur ku umur, laju walungan Ci Dadap saat ngolétrak, wahanganana jadi parataran, laju ngadeg dayeuh di sakatuhueun muhara Ci Mandiri anu ngaganti Palabuhan Nyai Ratu anu ayana di panepungan dua muhara, muhara Ci Dadap jeung Muhara Ci Mandiri !
Jeung dia mudu nyaksian di lembur Ci Dadap aya awéwé anu ngaran inyana Samar Katorah jeung rautan beungeut inyana, saukiran kembang cangkring !
Nyurup dia ka inyana anu jadi awéwé anu kaopat nyurup dina sarina wayah bulan keur purnama !
(29)
Engké di mana dina kopo di bobojong, mindeng katémbong aya lutung hideung sawaréh, dia mudu nyurup di anu jadi pangéjo, sisi jalan pameuntaseun saung pariyungan ! sabab acan wayah, dia meunang mulang sora ka manusa. Di dinya tengerkeun guruh gulugur ombak di laut ! Amun gulugurna saban rintakan diselang ku sada badak nambay merak, laju pasir Peundeuy ngagereng sabari eundeur, laju bantar pameuntasan di Ci Mandiri ngan salaput mumuncangan, ulah dia eudeuk kajongjonan ! Tapi tengerkeun déngdékna bulan nyurup ka laut!
Amun surupna, di wayah parek deuk isuk, jeung kadeuleuna jiga turun di lebahan Nusa Larang, unggah dia ka Gunung Sunda! Engké amun tilu peuting, laju tujuh peuting, manuk ketug disadabna noron ngan di wayah liliran anu katilu, laju di wayah tengah peuting ti gunung Lumpang kadéngé sora tutunggulan ngabéjaan ka Gunung Halimun, laju ti Gunung éta ditembalan ku ramé sora anu gogoongan, geura dia sasadiaan !
Sabab geus parek ka datangna nu deuk néang, nyampeur di ka Ki Hara Tapak, pieun ngahudangkeun Nyi Putri Ipri Simbar Arum anu jadi arca tina batu !
Anu nenag nyampeur dia,, baris datangna dina angin barat méméh LINI GEDÉ lila pasaran méméh Hujan Angin lila sawindu!
Wayahna inyana nepi ka dia ?
Di Peuting ti lebahan surupna bulan ka laut, témbong moncorot sinar jiga disorotkeun tina eunteung !
Saha anu nyampeurna ?
Nya inyana, anu ngawaruga tina Uga ! Nya inyana anu engké amun liwat janari gedé alun-alun Palabuan dikumbah laut caah sabari motah, nganteur dia pieun ngababakan di Lebak Cawéné. Nya inyana anu di Gunung Ci Awi Tali baris nuduhan dia ngalalajoan cundukna waktu tarurun panggung,, lalésot kedok, arudar pangkat, sabab panggung arinyana ngalalakon dirakrak ku anu parebutan marebutkeun jojodog do karaton kosong !
Dia mudu ngababakan heula di Lebak Cawéné, sabab di dinya mudu dia nanggoan wayah dia jeung dulur-dulur dia ngaronggéng babarengan, bari dipanjakan ku inyana anu tadi mah ngawujud lutung ! Salila ngababakan, dia dibaturan Nyi Putri Ipri Simbar Arum, sabab dia mudu ditinggalkeun ku inyana nu tadi nganteur dia. Sabab inyana mudu ngalalana deui, pieun ngarupa deui dina rupa inyana anu sajati ! Salila rupa inyana acan mulang ka rupa anu ti heula, inyana can mudu jadi panjak !
Sababna dia mudu engké dipanjakan dina ngaronggéng babarengan dina ngaran RONGGÉNG TUJUH KALASIRNA, nya éta pieun ngaramékeun kariya dina NGADEGNA PAJAJARAN ANU ANYAR, anggeus di ieu jagat suwung hama jeung panyakit anu di jarieun jieun ku jelema-jelema anu harayang unggul pangunggulna, harayang wungkul ngan bangsa arinyana baé anu unggul ngunggulan bangsa-bangsa séjén !
PERANG SANÉKALA Nyai pasti mudu jadi !
Sabab éta, PAJAJARAN mudu ngadeg deui, pieun mérésan deui ieu jagat anu pajeujeut paburisat !
SEUG GEURA NINDAK ! Dia mah hanteu mudu ka dieu deui ! Tanggoan baé di Lebak Cawéné. Engké ogé dia ditéang ku anu jadi pijodoeun dia pieun engké ba-
(30)
barengan ngawaruga jaradi manusa.
Amun engké dulur-dulur dia marudu mulang, arunggah deui ka kahiyangan, dia mah meunang tinggaleun di ieu jagat ! Sabab salaki dia mudu neruskeun gawé aki, amun aki kolot teuin dia umur. Saba inyana anu engké mudu ngageburkeun pamor KUJANG PAJAJARAN ! Sabab inyana anu engké mudu ngélébétkeun umbul-umbul SAPARO BODAS SAPARO HIDEUNG DISULAMAN KUJANG LALAYANAN PAKUJAJAR HANJUANG SIANG.
Seug geura nindak !
Geura nyiar sumur haur pamunjungan, anu ayana hanteu jauh tina dadap, nu maralang sisi kidul muharana Cimandiri.!
====
TUNDA !
Urang tunda nu deuk nindak, nyiar sumur nu hauran deukeut dadap maralang !
Sina nanggoan manuk ketug nuduhan waktu tutunggulan tatalu di kariyaan, ngararamé nu tibeubeut tina panggung, lesot kedok udar pangkat méméh Pajajaran ngadeg deui !
Urang mah, urang nyusul nu keur nyiar Karang Tiung, nu néangan sungapan saat dina curug nu ngahiyang .........
Caturkeun baé.
Rakéan, Rakéan Kalang Sunda nu ngawujud inyana ngarupa lutung, anggeus nepi ka nutugna cai curug ! Curug saat anu panjang ngembat ka handap, anu nyelap dina cadas ngeplak bodas, anu sisina kénca-katuhu dirimbunan tangkal ngarambat, eujeung areuy anu raraweuy, eujeung ramé anu ngéntép padédémpét .... karoyoman jukut palias.
Curugna mah hanteu nyurug, tapi logak jalan caina nyurug, leueur jasa ci nyerep anu rembés, eujeung nyédong lebah handapna. Cadas gawir anu nangreu, ceuk tadi géh, ngeplak bodas. Tapi cadas di logakna jalan nyurugna cai, éta mah hanteu bodas, tapi taneuh nu beureum, anu beureumna beureum emas.
Da mémang emas !
* Taneuhna, taneuh emas,
gawirna, gawir emas,
koralna, koral emas,
keusikna, keusik emas,
batuna, batu emas,
cauna, cau emas !
Dangdaunannana .... daun haréjo da puguh daun biasa.
Najan emas pabalatak, Rakéan mah hanteu hayang hanteu kabita, malah inyana mah, geus geuleuh jasa neuleu emas ! Jeung apanan ceuk akina, Aki Léngsér Pajajaran :
* Nagara anu panglobana emas,
nagara anu pangbédégongna,
sabab marukannana sakabéh jelema mudu nurut baé ka emas
(Ceuk nu nyaraho di lebahna, éta curug téh mémang aya ! sagala sereba emas;
(31)
batu-batuna anu garedena sagedé-gedé kebo, kabéh téh emas. Koralna, keusikna, leutakna, taneuhna .... kabéh emas anu hanteu kacampuran ! Ngan baé, ayana éta curug aya di lebah anu jauh kabina-bina, jeung tarahal jasa ngadatangannana. Kudu unggah gunung anu méh hanteu beunang ditaékan, jeung mudu nyorang leuweung-leuweung anu warerit kabina-bina, anu langgirna sagedé-gedé pingping, bayongbongna paranjangna sadeupa leuwih, jeung orayna sagedé-gedé gulungan kasur, jeung titinggina ogé mani sagedé-gedé catang kalapa tiung ! Karuhan kerudna jeung maung-maungna mah, garalakna barengis jasa ! Tapak badakna géh, ceunah sok dipaké begu garupak ! Ceuk béja ti anu naraho, anggeus sababaraha kali nyorang aya anu bisa nepi ka éta curug. Tapi sanepina ka imah, laju jaradi lolong jeung parireu !
Ceuk anu nyaho di ugana, éta curug baris diségéh ku jelema anu tarurun ti awung-awung, datangna tumpak papatong)
Caturkeun baé Rakéan, Inyana alak-ilik neuleuan pijalanneun unggah! kadeuleu di ruhur deukeut ka mimiti nyurugna curug, aya karang satiung karang deui. Tapi hésé jasa didatangannana!
Rakéan laju sidakep, sideku sabari nyambat, inyana tungkul sabari nyeluk ka nu hanteu kadeuleu, tapi ngawayang dina kapercayaan .... leus, jagat ngampar jadi mahpar, alam muka jadi rénggang, nyieun ayana rasa sukma misah tina raga ... laju datang rasa asup keuna alam anu ngahalimun ngawun-ngawun, barengan jeung turunna anu ngelun jiga haseup ngarungkup ngalulun raga, raga Rakéan nu keur nyambat.....
Rakéan inget-inget deui anggeus nangkod dina cadas leueur, nyanghareupan sungapan saat caina, handapeun karang satiung karang Geus dikitukeun dina galur lalakon, hanteu lila ngagolontor bijil cai. Tapi panas bau biuk, leuwih panas leuwih bau manan cai kobak pamandian nu ayana di Ci Panas !
Panasna mantak ngasakkeun kukuluban, bauna, mantak maéhkeun bari calangap. Tapi ngaranna ogé tumbal, najan peurah najan upas, najan mantak weureu mun diteureuy, ari nyaho ditakerananan mah moal jadi racun, tapi racun nu jadi tumbal ....!
Rakéan nginum saregotan, nginum, tapi digancangkeun. Laju inyana turun deui ...laju ngajugjug Gunung Jayasampurna, sagirangeun Gunung Ci Awi Tali, sahilireun Gunung Nyungcung!
(Gunung jayasampurna, aya kénéh, ngan kiwari mah disarebutna Gunung Jaya Sampur. Ceuk carita anu nyaraho di baheulana, sakur anu ngaliwatan éta gunung, najan sakumahana saktina ogé, anggeus ngunggahan éta gunung mah, laju cambal sakabéh ajian inyana, laju lumah kasaktian inyana. Ceunah digantina ngaran jadi Jayasampurna, ceunah mah di jaman Ki bagus keur binuwang ku musuh ti dayeuh nagara anu baheula disebutna Bantar Sagara.
Anu dimaksud ki Bagus téh nya éta TUBAGUS BUWANG anu mubus ka pakidulan Banten, lantaran gagal dina ‘coup-na’ pikeun ngaruntagkeun pamarentahan Sultan Banten, kira-kira taun 1744. Binuwang, harita diuber-uber)
====
Urang gancangkeun !
Rakéan anggeus nepi. Laju nyiar Ki Léngsér. Kasampak téh keur .... héés deui baééééé ....kérék nyegrék édég-édégan, tumpang suku bari ngalagu !
(32)
* Ngalaguna lagu Sunda. Laguna : SUNDA HÉÉS. Laguna SUNDA HÉÉS KAJONGJONAN. Musuh tétéla jasa, laguna mah lagu Sunda. Tapi Sunda nu Sundana keur NYUDAAN. !
Pikir Rakéan : “Mun nanggoan inyana hudang mah, piirahaaaaeun!”
Laju si Léngsér dibetot bulu borang inyana.
* Koréjat ! Si Léngsér hudang bari rarampa néangan bedog. Tapi rarampa inyana mah sabari peureum ..... barang ku inyana kaambeu aambeuan Kahiyangan anu kapoé, inyana beunta sabari kuliat. Ceuk inyana: “Gancang teuin datang téh !”
Rakéan nembal, tapi nembal di wujud lutung. Sora inyana, sora lutung, basa inyana, basa lutung. Tapi kahaaaaarti ku Si Léngsér mah!
Si Léngsér laju hudang, ceuk inyana : “Sakabéh kajadian, datangna tina karep ! Karep, bisa nyieun kajadian mulang deui ka asalna ! Basa sia datang di alam ieu jagat, sia murwa dina rupa manusa. Tapi ku karep sia kénéh, wujud dia dijieun rupa lutung ! Rupa sia, robah ku karep sia. Tapi anu ngarobahna mah tuh itu ... Anu Di ruhur .... !
Inyana anu nyieun mah !
* Pénta deui ku inyana wujud sia rupa manusa. Ngan méntana mudu maké tali paranti anu biasa dipaké urang !
Tah ieu arca. Ngaran inyana, nagran jelema, tapi wujud inyana tina batu! Ngaran eujeung wujud anu ngabangun, dijieunna ku jelema. Tapi ari batuna mah, tuh.... anu Bogana !
Ieu arca dingaranan Sanghiyang Boda Maya, sabab :
* najan batu nu ngawujud dina rupa cara jelema, tapi ngawaruga tanpa daya, inyana téh ngagem pangawéruh nu saéstu, nyangking pangarti anu sajati. Sabab kebel jadi saksi, neuleu kabéh nu geus kaliwat, bari nanggoan sakur anu baris datang kasaorang, kajadian engkémka hareup .... (Prasasti? - nandang)
Sambat ! Supaya inyana mangméntakeun ka Anu Agung di Mandala Agung, anu ngaruhum dina Rumuhun, mulangkeun deui sia keuna rupa nu ti heula dina raga nu baheula ... nyalin wujud sia manusa deui !
Ka dinyah geura mundjung !
Ngaing, lain sabab raga jeung sukma ngaing, netep dina alam Pajajaran, nitah sia munjung batu, tapi puguh tétéla :
* Ti baheula ka kiwari, ti kiwari nepi ka engké, di saban jaman nu baris datang, dina peta sinembah kumaha ogé, jelema téh tetep ngagunakeun marga paunggahan, pieun ngunggahkeun sambat jeung pamuntangan, pieun nepieun puji jeung paménta !
Ngan péntana béda-béda ! Béda ngalampahkeunanana, jeung béda dina ucapannana ....
(33)
Anu dijarieun marga pangunggahannana, ngan béda sotéh dina wujud eujeung bangun, tapi dina bahanna mah batu téh tara tinggaleun (Ka’bah, salib, stupa, patung, ? jrrd - nandang)
* Marga paunggahan, nu dijieun jaman baheula, bahanna nya tina batu, nu kiwari, anu urang bahanna téh tina batu, anu dipareké di tanah sabrang, ceunah ogé aya anu ngan ngarupa batu wungkul !
Malah engké, di jaman anu baris datang, bahanna téh baris tetep kénéh batu!
Saban ganti ngaran sembaheun, saban ganti peta sinembah, batu mah baris tetep baé dibutuhkeun dina bahan marga paunggahan, paunggahan sembah jeung pamunjungan ka Anu Agung Maha Agung, Anu Nunggal di Kalanggengan!
NGAING LAIN KU SABAB NGAING SUNDA PAJAJARAN, ngaing ngagung-ngagung batu dijieun pamunjungan, tapi ku sabab ngaing nyaho ! Di waktu munjungna jelema, di waku ngedalkeun inyana ucap, Éta anu dijieun marga paunggahan téh, ngan jadi panampa talatah anu medal tina rasa sarining sukma anu keur munjung !
Di waktu wujud manusa pahareup-hareup jeung wujud nu tina batu, harita téh lain waruga tepung jeung bangun, lain manusa tepung jeung batu, tapi tepungna dua wujud nu béda-béda tapi TUNGGAL anu NGABOGAANNANA.
* Tah diwaktu kitu, leungit deuleu pangdeuleu manusa,
       leungit rasa pangrasa manusa,
       leungit déngé pangdéngé manusa,
       laju,
       batu ngawujud manusa
       manusa kasukma batu ...
       sarasa sasarining sukma,
       sasukma sasarining rasa ....
       laju,
       Lawara rasa sajatining sukma, nunda talatah,
       ka anu ngawaruga tanpa daya ... !
Ibarat eunteung dipaké nyorotkeun cahaya, nya kitu éta pamunjung, ku teguhna kapercayaan jeung bangetna sambat anu medal dina sawara Rasa pisah ti raga, ku anu dijieun marga paunggahan téh éta pamuntang sambat nu munjungna, diunggahkeun ka PANGGUNG PANYUUHAN DI PASÉBAN PANGRUHUMAN.
Seug geura munjung, geura sambat ! Meungpeung kuwung-kuwung keur meléngkung, meungpeung tonggérét pileulueyan kénéh ka sora .....
Geura pénta ka Anu Agung supaya kasaksi kénéh matapoé,
sia salin rupa ganti waruga !
(34)
Rakéan laju munjung, munjung sabari tungkul, sideku sabari sidakep... laju reup, reup... jiga sareupna gancang teuin reupreupannana.
Di awang-awang anu lénglang, tingkalayang julang marulang ka leuweung leuweung anu dina kalangkang gunung anu ngalingan cahaya matapoé, jadi poék saméméh wayah....
Rakéan sidakep terus sideku sabari nyambat ....
Méga anu ngajanteng jauh di beulah wétan, di awang-awang nu ruhur jasa, nyorotkeun deui cahaya matapoé nojona balik deui ka handap, nyinaran anu sideku .... nyinaran ku sinar koneng maju ka beureum ! Ti dinya ... reup, reup, reuuuuuup.....!
Rakéan anu neuleu nenggak ka arca, asa neuleu arca igeug sabari mesem jeung ku inyana karasa awak asa tiris kaanginan, laju haneut deui, asa sajamang sasamping anyar...... Jeung dina tikoro asa aya reuhak ménta direuhakkeun .....
Rakéan rarat-rérét. Kadeuleu leungeun inyana jaradi deui leungeun manusa; awak inyana jadi deui awak manusa, suku inyana jadi deui cara ti heula ! Laju inyana capa-cipi, nyapa hulu inyana .... leungit cariwigna buuk lutung. Laju nyapaan bujur, buntut lutung anggeus euweuh....Laju inyana nyuuh ka suku arca .... bari nganuhun-nuhun sesegrukkan....
Rakéan jadi deui manusa nu ragana ngawujud jelema. Tapi inyana hanteu nyahoeun..... rupa inyana, rupa manusa anu pangjoréna, anu beungeutna amun ditelek-telek diteges-teges, béléka badis pisan beungeut oa !
Ceuk si Léngsér : “Tah kitu ! Sia ulah sedih ulah reuwas amun sia neuleu pangeunteungan rupa sia ! Sabab sia dimudukeun jadi panjak, manjakan tujuh ronggéng panyilokan, anu mudu ngalalanana nepi ka wayah ieu jagat mudu dilokat ! Ayeuna sia mudu ngalalana deui, nyiar pangarti jeung pangawéruh bawaeun engké dina lalakon. Sabab, anu jaradi panjak mudu nyaraho di lagu, laguna nya lagu-lagu kahayang jaman. jeung mudu nyaraho dina igel, igelna jaman diréngkénékan pangarah !
Sabab jaman, anu ngararigelna téh maraké kedok, sabab arinyana keur ngalalakon. Nya aaaaya anu hanteu sakedok ogéh, tapi inyana mah ngalalakon dina galur saeutik batur!
Samingkin aralus kedokna, samingkin ramé tatabeuhanana, nepieun hanteu kadéngé jeritna loba anu mudu lalajo, kaleyek ku nu keur maranggung ! Pajeujeutna catur nyimpang ti galur, éta mah mémang dihararaja.
Sia ogé mudu ngalalakon, ngan sia mah hanteu mudu ngawih, hanteu mudu ngilu senggak, hanteu mudu ngigel uga-égol dina panggung ! Sabab sia ngalalakon di éta panggung pupulasan, ngan arinyana anu rarubak sungut garédé haok !
Mantakna sia hanteu mudu ngilu kancoléh dina panggung, sabab ronggéng anu mudu dipanjakkan ku sia mah, hanteu ngarigel gutak-gitek dina panggung anu ruhur. Tapi ngalalakon di parataran anu rata, di buruan anu napak, anu ditincak ngan ku somah, jeung ku sakur anu nyaraah ka somah !
Anu keur sakedok meujeuh ngalalakon, arinyana mah maranggung di panggung waktu anu diadegkeun dina panyaweuyan jaman. Arinyana keur kancolah dina panggung pangradénan. Tapi panggung sia mah, mudu narindak dina rancagé salegana parataran pangradénan !
(35)
Sabab jaman anu maranggung téh , tararukeur kedok, saralin ngaran, tapi lalakon mah éta-éta kénéh. Béda sotéh ngan dina wayah manggungkeunana !
Sia ogé mudu maké kedok, sabab sia ogé mudu muka kedok. Nya éta dina lalakon anu pamakas, dina babak anu mungkas kajayaan: Sakur anu jaraya tina kajembar, tapi jembarna ku kadigungan, jeung aradigung ku kapangkatan jeung anu kakawasaan diparaké nyaringsieunan somah, mun somahna hanteu daraék, nyarenggakan lagu nu sumbang ngagandéngan goong anu peura, ngemprakkan igel ngaco wirama ! Nya igelna, igel arinyana nu maranggung bari kancolah !
Sia mudu nyaho, mun somah pada sarenggak, éta téh lain sabab ku ngeunah-ngeunahna lagu, tapi sabab somah sarenggak, éta téh sabab somah keur sabari sasadia pieun senggak bari surak, amun anu keur maranggung tikoséwad nyungseup ka bui !
Jeung mudu sia nyaho mun somah ngagandéngan, tapi hanteu sabari senggak, éta téh sabab arinyana nyaho, anu diarigelan ku nu maranggung téh lain lagu anggitan raja, tapi lagu anu disénggolkeun raja panyelang, disénggolan deui disénggolan deui ku sakur anu maranggung!
Di mana éta manusa manjak, kumaha sia mudu manjak, jeung iraha wayahna manjak, papay baé ku sia panuduh jeung panunjuk nu bakal kasampak pabalatak sapanjang jaman !
Ayeuna déngékeun !
Hirup téh Jalu, hanteu cukup ku wungkul : Mumunjung para karuhun, mumuja sakabéh déwa, jeung sinembah ka Anu Agung Hiyang Tunggal dina nyandé matapoé ! Eujeung hanteu cukup ku ngarep-ngarep datangna jaman nu baris datang !
Tegeskeun gupayna méga di awang-awang, layuna daun lain di wayah, eureunna cahaya matapoé di langit lénglang !
Regepkeun celukna aweuhan samar, anu haréwos ti rohang alam, ngageuingkeun kanineung anu geus kebel karuang ambrukna jaman, jaman hirup saméméh paéh..... !
Jalu ! Naeuuuun sababna amun sia nyanghareup ka matapoé, kidul téh aya di beulah katuhu ?
(36)
Tapi, salilaaaaaana kitu, kidul téh beulah katuhu ?
            Amun ku wayah isuk, nya heueuh !
            Amun di wayah soré ?
Geuning anu katuhu téh, geuningan kalér, Jalu ! Tah éta téh hiji panuduh anu nétélakeun dina hirup saha anu ngilu ka jaman, mudu ngarobah patokan hirup inyana !
Tengerkeun deui ku sia, Bulan di beurang bisa katémbong ! Tapi matapoé, geus neuleu sia caangna ogé di wayah peuting ? Amun di beurang, matapoé di wayah soré, nyorotna nojo ka kidul, anggeus tangtu di wayah isuk, nyorotna bulan téh geuning nojo ti kalér ..... Papalingpang geuningan !
Tapi gawé arinyana mah, sarua ! Pada-pada nyaangan jagat, dina wayah séwang-séwangan !
Pihartieunnana ?
Sagala hadé, di jaman anu mana ogé, tetep baé dina hadéna, ngan baé mudu merenah dina wayahna ! Jeung ku éta papalingpang dituduhan:
* Dina hiji jaman, hirup téh hanteu mudu turu- tuturuti jaman, tapi mudu bisa ngimbangannana ku milih wayah anu merenah ! Sabab amun wayahna hanteu merenah, najan bener hadé ogé, tangtu diaranggap salah, tapi najan tetep salahna ogé, éta salah téh, ku pikiran wayah mah, di dipajarkeun bener hadé !
Masing sia nyaho !
* Anu bener eujeung hadé di jaman anu ti heula, can tangtu jadi pujieun di jaman anu kiwari ! Nya kitu deui anu hadé, bener kiwari, can tangtu meunang pujian di jaman nu bakal datang !
Jeung kumaha anu hadé eujeung bener di jaman anu bakal datang, tiiiiiilok kituh, hanteu bisa jadi bener hadéna téh, éta-éta kénéh sarua jeung anu hadé bener di jaman anu baheula, tapi diaranggap salah ku pikiran jaman kiwari ?
Di alam ieu jagat, Jalu, langka anu deuk ngarti di ayana :
      * Mimiti tina pandeuri, jeung ayana pandeuri anu mimiti
Tangtu sia inget kénéh, mantakna urang ayeuna aya di anu kieu kénéh, sabab Pajajaran nyaho baris datang deui jaman anyar anu saenyana mah:
* Jaman hiji sembaheun dina hiji ngaran, dina loba ucap basa anu béda-béda. Jaman jelema nareuleu sabari ngarasa nyarita tara sulaya!
Pajajaran ti tangéh kénéh geus dibéjaan baris ganti sinembah, tapi ngan ganti peta lampahna wungkul, sabab di jaman nu bakal datang, engké téh sakabéh anu RANCAGÉ, baris sapuk jeung netepkeun :
* Anu Nunggal téh, ngan sahiiji, ari anu lobana mah, sesebutannana eujeung peta lampah sinembahna !
Baris ganti senembah ?
(37)
M é m a n g !
Tapi ngan peta lampah sinembahna wungkul, dina peta anu pantes di jamanna!
Basana mah, basa Sunda, Sunda Pajajaran, Pajajran anu engké baris néangan sia!
Wayahna ganti peta sinembah ?
      * engké, amun anggeus turun m a n u s a anu dijurung ku Nu Nunggal Maha Agung ngadanieun sakabéh tukang marikir, sina dirarani.
* Di ieu jagat mah, moal aya dua matapoé nyorot di langit. moal aya bulan kembar di awang-awang !
Jeung sina nétélakeun,. Anu Maha Agung di Kalanggengan, h a n t e u ngamudukeun sinembah téh ngan mudu dina basa hiji manusa, sabab pieun Anu Maha Agung mah euweuh basa anu hanteu kaharti.... !
Wayah turunna éta Jurungan ?
Anggeus Muhara Cihaliwung balébat disinaran kingkilaban anu ngabarang maju ka beurang, laju aya jelema anu dipajarkeun édan, ngelébét umbul-umbul hideung saparo bodas ! Ditandaan lambang pajajaran anu baheula : KUJANG DIGENDENG HANJUANG SIANG.
Ulang sia wara manggihan ngaing, amun : Panggung acan runtuh ku anu marebutkeun jojodog di balé baha .....!
Ti dieu, sia nindak ka muharana Ci Mandiri, longok anu araya di LEUWEUNG CI TORÉK, heula méméh sia nepungan Nyi Putri Purnamasari. Sia mudu mapay heula GUNUNG SUNDA PULANG anggeus miang ti Ci Torék. Laju papay basisir ..... beusi anu mudu ditulung. Ti lebahan Dadap nu maralang bongan sia, unggah sia ka GUNUNG MANDALAWANGI satonggoheun TALAGA WANA.
Amun di dinya kasampak aya anu jiga kunyuk sasimbut lukut, teukteuk areuy UPASUNDA tali ayunan KI MULANGPURWA. Sina inyana eungeuh anggeus parek ka wayah nyieun lawang sakéténg :
* Nyieun lawang sakéténg di beulah kalér
Nyieun Gapura di beulah wétan
Nyieun Panto ngemplong ka kulon
Nyieun panggung nyanghareup ngidul !
Ti dinya sia nindak ka LEUWI KI PATAUNAN. Siar tangkal HANTAP anu sapasang, handapeun JABON nu doyong hilireun PEUNDEUY anu gedéna moal katangkeup jeung pucukna dipaké gélédég ngasah huntuna ....di handapna aya sodong, ayana di jero cai !
Cokot ku sia Makuta raja Pajajaran. Tapi anu gedé ! Anu leutik mah,, ingkeun baé. Sabab éta pieun panggihkeuneun jelema anu baris ngaluluguan dina PERANG SUNDA PANGLOKATAN ! Inyana anu mudu maké éta makuta, sabab inyana waruga uga !
Makuta anu gedé, bawa ku sia ka TALAGA WANA, sumputkeun di dasarna. Nyumputkeunnana mah, kumaha KI MULANGPURWA baé! Sina dijaga ku inyana !
Ti dinya, laju papay jalan sia ngalalakon nepi ka tepung keuna wayah sia mudu manjakkan ronggéng anu tujuh ..... sabari nanggoan datangna wayah urang nindak deui babarengan ..... mapag perang sanékala !
Seug geura nindak !!!
Amun engké sia papanggih jeung anu mantun bari susulum-
(38)
putan, jeung bucil jiga kalong, ulah sia eudeuk geruh !
Ceuk Rakéan anu mulang rupa jadi manusa deui, anu ngomong basa manusa deui : “Aki deuk ka mana ?”
Ceuk Si Léngsér : “Ngaing deuk ngalalakon deui. Eudeuk ngalanglangan anu marulang, nu marulang ka urut dayeuh anu baheula. Eudeuk ngalongokan anu marojok, nu marojokna di tegal rungkun BADUYUT. Bari deuk nyaksian nu mariang ka beulah wétan, tapi anggeus indit, marulang deui .... nyeta-nyeta ménak wétan, ngabadégakeun dulur eujeung batur !
Ulah sia néangan ngaing ! Sabab ngaing mah :
* `Eudeuk nganjang ka isukna
Eudeuk nempo ka pageto
bari nyumput di anu caang !
Ti seret wayah ieu, ulah sia nyebut AKI LÉNGSÉR, amun sia nyaritakeun ngaing. Sebut baé SI LÉNGSÉR ! Sabab hanteu meunang aya anu nyaho, saha sia, saha ngaing, naeun ngaing, naeun sia !
Urang nindak heula papaharé, séwang-séwangan dina galurna ! Engké ogé, urang paamprok deui !”
Ceuk Rakéan : “Hadé ! Tapi ulah kasampak Aki keur héés deui!”
Ceuk Si Léngsér : “Da molotot ogé piséwoteun wungkul ! Neuleu kunyuk jaradi jelema, neuleu ajag-ajag jaradi jelema, neuleu jelema laleungit lampah manusa ! Mending géh .......... hahah ....... !”
Si Léngsér laju nindak, nindakna bari nguriling, nguriling sabari nyengir.....
Rakéan laju nindak. Nindak heula ka leuweung Ci Torék, Ci Torék géh anu baheula, laju miang deui, ngaliwatan GUNUNG SUNDA PULANG. Ti dinya mapay basisir .... ngajugjug ka Ci Mandiri, Ci Mandiri anu baheula.....
Ari Si Léngsér, ka mana laju inyana ?
Anggeus Rakéan nindak, inyana mah nguriling heula ..... géléhé baé nyangkéré deui hareupeun arca .... laju kérék mani nyegrék, tumpang suku édég-édégan !
Abéh ulah héés kahéésan. Ari héés nu enyaan mah ..... ah kumaha karep ngaing baéééééé..... barina ogé eudeuk nanahaeuuuuuunan, gagarayangan di poék peuting!!!?? Da lain caaaaaaareuuuuuh mending géh molooooor ..... !
====
Tunda !
Keun sina molor ! Ulah digandéngan, beusi hudang cara nu kasurupan, nyakaran samak nyingkabkeun samping, hayang mentil ka anu nyempil, hayang nyapaan lawang ka mandala jabrig .....
Urang mah, urang susul Rakéan Urang piheulaan .....!
Urang caturkeun baé, Urang mah geus aya di Ci Mandiri, beulah kalér sisi laut, ruhur ka-
(39)
rang anu pangruhurna, anu renggang eujeung nyodor, ruhur jasa ruhureun laut. Jeung handapna gorowong kohok, dibobok séblokna ombak nu neunggaran patinggulugur.
Urang aya di ruhur karang, dina poé anu panas, euweuh angin ngahiliwir, tapi di handap di suku karang, ting jalegur ombak anu neumbrag, pabuyar muncrat ngabudah jeung ngaguruh di sela batu nu pasoléngkrah sisi basisir....
Harita wanci pecat sawed geus kaliwat, tangari mimiti gépéng kadeuleu jauh di tengah laut tinggoloyong parahu payang. Sapuluh maragang layar, tapi hanteu karembung ditebak angin. Tapi gancang ngoloyongna, diboséh nyampeurkeun muhara ....
Sapuluh parahu gedé, leuwih gedé manan payang biasa, leuwih jangkung leuwih rubak jeung di luhurna tihang indung, ngélébét umbul-umbul coréléng beureum !
Dina karang anu ruhur nenggang, narangtung tilu jelema, ngarawaskeun nelek-nelek, negeskeun parahu ngadareukeutan.... parahu-parahuna jarauh kénéh jasa, tapi ku nu tiluan mah kabéhan !
Trong kohkol ti ruhur karang, ditihtirkeun .... disambung harita kénéh ku sora tihtir nu di lebak .... laju ramé sora tihtir di mana-mana !
Sadia batur sadia ..... pirusuheun keur nyampeurkeun !
Nyingkah-nyingkah ! Nyingkah nu marudu nyingkah !
Kumpul, batur kumpul. Kumpul mawa pakarang !
Sumputkeun ka jero leuweung, di nu buni ka nu anggang !
Awéwé reujeung cawéné, jeung budak anu laleutik !
Ulah aya banda tinggaleun ! Giring kebo ! Giring embé, giring nini-nini jeung aki-aki !
Sadia batur sadia ! Sadia bedog, kampak, sumpit jeung baliyung, gobang, taméng jeung jamparing, jeung halu nu bareurat, kayu sempur.
Aya naeun , tukang pantun, aya naeun ?
Aya bajooooooo !
Aya bajo, aya bajo deuk arunggah, deuk ngarampog jeung nyarulik !
Tagiwur salelembur, ti Cidadap anu baheula. Lembur gedé dayeuh leutik, nu rama kunu mangkalan, marawa géték turun ti girang nu parinuh numpuk dagangeun jeung hakaneun!
Tagiwur salega Cidadap, Cidadap anu baheula, anu ramé ku parahu eujeung kapal nu balabuh ti mana-mana.
Tagiwur ... rusuh..... geumpeur .... haliwu salelembur ! Tapi euweuh sora budak nu careurik, euweuh sora awéwé patingjarerit. Da harita mah, urang Cidadap jaman baheula, béda deui ti urang Cidadap anu kiwari!..... Da heueuh ! harita mah harideng sakabéhan!
Kabéh anu ngarana lalaki, anu baredas nu jaragjag, nu karolot can aki-aki, jeung barudak ngarora, budak bujang, budak tanggung, kabéh geus pada sadia. Marawa pakarang sapakarang-sapakarangna, nyaregat di pameuntasan ... dina rungkun sisi laut, dina tambak jero rungkun, dina rungkun sapanjang muhara .....
Hanteu cara loba urang dayeuh nu baréto,
marawa bedog papanjang-panjang, dipanjangkeun dina cangkang... ari musuh keur jauh kénéh ! Tapi ari musuh asup deuk ngarurug mah, lung bedog laju karabur .... Da heueuh !
(40)
Lain lalaki baé nu geus sadia marapag bajo, tapi awéwé géh geus sacarangcut pageuh, sacarawet purek ... geus moal aya curuk bisa nyelap dikorobétkeun ! Moal lesot ku dibedol, moal udar ku dijeuwang....
Cawéné paréungkeur meujeuh cokcrokkeun,
Awéwé lagas parungkil meujeuh kenyoteun,
Rangda bareuneur meujeuh seuseupeun .... jeung awéwé baroga salaki teu boga anak, teu baroga salaki teu baroga anak, jaragjag eujeung garalak, kabéh geus sadia-sadia marapag bajo nu deuk hanjat, eudeuk raranjah !
Di saban pamegatan, baruni jero rungkun, tingdarepong awéwé-awéwé nu geus teu sabar harayang mareubeutkeun halu arinyana ka hulu bajo...
Urang Cidadap anu séjénna, éta mah pada bebenah, angkut-angkut eujeung gigiring, angkaribung ka pangélian ... ngangkut banda, ngangkut paré, ngangkut nu garering jeung rarémpo ... ngangkut sakur anu mudu dibawa jeung kabawa...
Ngarangkut bari gigiring, ngagiring bari sasabet, ngagiringkeung embé jeung bébék, ngagiringkeun kebo jeung éntog, ngagiringkeun budak dibawa nyumput....
Ku tagiwur-tagiwurna, loba nu angkut-angkut mani tikusruk ! Aya nini-nini kageumpeuran, nyényéréd aki-aki anu bongkok, nyényéréd bari sasabet ... samaruk si nini-nini nu keur geumpeur, inyana téh keur nyényéréd nanarik badot...
Aya deui anu mamanggul bari sésépak, nyépakkan anu leumpang hareupeun inyana ! Majar inyana, dina kageumpeuran rarasaan téh najongan embé anu melid digiringna, jeung anu dipapanggul, rarasaan téh ku puguh mitoha inyana anu awéwé ! Padahal, anu dipanggul inyana téh, embé budug boga tatangga jeung anu ditajongan .... mitoha inyana anu awéwé ... Ja heueuh!
Éta mah nyao kasalahan rarasaan, sabab geumpeur, nyao teuing kumaha boa. Kitu téa mah kahaaaaarti.... sabab hanteu kurang-kurang anu ngarep-ngarep hayang bisa ngabebek mitoha !
Harita di ka-Puun-nan, tilu kokolot jeung nu jadi Puun, keur ngatur-ngatur pipetaeun ngayonan musuh ! Saha nu jadi Puun ? Nya Putri Purnamasari. PURNAMASARI PAJAJARAN, Putri bungsu tinu katujuh, nu mandiri sisi Ci Mandiri, di basisir sagara kidul.
Ceuk kokolot satiluan : “Nyi Putriiii, dia mah hadé unggah ka gunung, bari mawa Nyi putri MAYANG SAGARA!”
Ceuk Nyi Putri Purnamasari : “Kokoloooot ! Puun anu ninggalkeun somah jero bahaya mah, lain Puun teureuh Pajajaran !” Kula bener awéwé, tapi awéwé anu diadegkeun jadi Puun. Jadi puun anu diadegkeun ku somah sakabéhna. Sabab éta, kaula mudu jadi Puun téh lain baé ngan di keur sagala kera. Tapi ogé jero lara jeung bahaya, kaula mudu tetep jadi Puun ! Jeung perang mah, lain mudu disanghareupan ku somah bareng jeung somah,lain ku somah bareng jeung puun. Tapi mudu ku Puun ngahiji jeung somah ! najan kaula awéwé, tapi cukup weruh di ngaran perang !”
(Memang heueuh. Kawani dina ngayonan musuh di kalang pangpérangan, ayana lain di lalaki baé. Sabab gedéna kawani, lain dicirian ku beuratna gayot nu ditumpangan nu gedéna sagedé kohkol, jeung lain ku peupeungkeur kandelna anu ngagempit nu buni nyempil, tapi ku tegerna gedag léntab di jero dada !)
(41)
Laju ceuk Nyai Putri : “Ongkoh kaula kabina sono hayang neuleu deui gurilap burinjal sinar, nu muncar tina bedog dipapag bedog, tina gobang ditangkis kujang ! Jeung kabina sono hayang ngadéngé deui tingsaruitna panah anu nyaramber ! Kaula eudeuk aya du pusuk pamapag, di jajaran panghareupna ! Dia tiluan di jajaran pangburitna, di aleutan pangtukangna sabari ngajaga anak kaula !”
Ceuk Nyai Putri Mayang Sagara : “Ambu ! Nyai mah embung di tukang, hayang hareup panghareupna, hayang neuleu kumaha perang! Hayang dijajaran teu kahalangan, abéh teges lalajona!”
Ceuk Nyai Putri Purnamasari : “Perang mah lain lalajoaneun budak!”
Ceuk Nyai Putri Mayang Sagara : “Da, geus gedé ! Huntu nyai geus cuplak dua kali ! Apana geuningan ari Ambu dongéng perang, geuningan ceuk ambu, déngékeun ceunah, sing bener ! Ayeuna hayang neuleu perang enyaan ! Nyai deuk ngilu perang, cara Ambu baheula. Deuk maké bedog nu buntung béééé, abéh nyai ulah raheut!”
Nyai Puun Putri keukeuh nyaram, laju Nyai Putri Mayang Sagara ku kolot anu tilu dibawa bari dibébénjokeun, dibarawa ka jajaran pangtukangna, ka suku gunung leutik anu kiwari disarebutna PUNCLAK KADONGDONG.
====
Tunda !
Tunda anu dibawa ka pangtukangna. Sina dibébénjokeun ngala kadongdong!
(Ceuk nu nyaho di béjana, dipajarkeunnana gunung Punclak Kadongdong, sabab baréto mah di salahsahiji punclakna aya tangkal kadongdong gedé jasa jangkung jasa. Tapi ceuk anu nyaraho di Ugana mah ngaranna téh lain punclak kadongdong, tapi punclak kadongdon. Sabab di lebah dinya engké mah n baris kadongdonna anu ngaku-ngaku Ratu Adil.)
Urang caturkeun heula anu araya di muhara, nangkoda-nangkoda kapal, anu marangkalan jeung balabuh ngaradon dagang datang ti wétan, ti kalér eujeung ti kulon, jeung nu karonéng saripit mata jeung buntutan ngambay ti hulu, harita kabéh geus pada sadia ! Sadia ngayonan bajo hanjat rarampog!
Kapal-kapal jeung parahu-parahu anu balabuh di muhara, sina didarayung maju ka girang, disarumputkeun di walungan Ci Tarik, di lebahan Batu Nunggul sagirangeun ngamuharana Ci Tarik ka Ci Mandiri.
Ngan hiji kapal anu hanteu kaburu bisa disumputkeun, sabab bocor keur diomékeun ! Nya éta kapal nangkoda anu konéng kulit mata sipit jeung ti hulu ngambay buntut ! Nangkodana mah eujeung batur-batur inyana anu sarua kulit sarua mata, jeung sarua pada buntutan di lebah hulu, arinyana geus sadia di pamapagan, tingdarepong di pamegatan ! Sakarep jeung seseja, sahaté jeung sakabéh urang Ci Dadap ! Deuk ngaralawan tutumpuran !
Caturkeun !
Sapuluh parahu bajo geus narepi ka basisir ! Hanteu kebel deui, ku sakur anu araya di saban pamegatan, kadéngé tina dua parahu baji panggedéna, patingjalegur sora cara gelédég, jeung kadeuleu ngebul haseup ngaburakeun seuneu ! Hanteu kebel deui, ka pangjagaan di muhara, murubut jiga batu sagedé-
(42)
gedé kalapa !
Urang Ci Dadap, kabéh pada rareuwas jasa. Sabab ti sabarang nyaho baroga hulu dua, jeung ti sabarang arengeuh osok getek mun ditoél, saumur géh kakara hariiiita neuleu gelédég bisa dileupaskeun tina parahu! Bener heueuh, batur, éta carita-carita bajo anu dipajarkeun pohara gagahna téh ! Heueuh, garagah ceunah, tapi ogé taralenges euweuh bandingna ceunah....
Karuhan nyah, deuk gagah unggul perang ogé, da geus barisa perang maraké gelédég !
Tuh deuleu ! Anggeus tilu batur urang sisaramber huntu gelap ! Tuh deuleu tangkal kupa mani sapat .... kebon kiray mani papak....
Urang Ci Dadap jaradi sieun, sarieun dipanték gelap ku gelédég nu dileupaskeun ti kapal bajo !
Tapi ceuk nagkoda nu buntutna dina hulu : “Ulah sieun, Kaka ! Di nagala kula mah, lain baé saban peulang, saban taun balu ogééé, malaké kituuu. Éta mah lain kéléték lain kulutuk, éta mah booooo, éta mah lantaka ngalana ... maliyem hayaaaaah !”
Laju ceuk inyana ka Nyai Putri : “Ambu Puun ! Peulang kieu mah, mudu cala maénpo. Ulah bélé atal, ulah undul-undulan, tapi angsleug, angsleug telus bééééé....!
Uang Ci Dadap, saringkil deui, hanteu jaradi sieun... sabab kadareuleu Ambu Puun arinyana mageuhkeun sampin dicawét-purekkeun, ngadangong di jajaran panghareupna ! Dada inyana dibeulitan pageuh karémbong cindé !
Kacaturkeun !
Dibarengan patingjalegurna walantaka, bajo-bajo tarurun ti sapuluh parahu. Lobana, loba jasa.... nayo tilu ratus nyao lima ratus, da lain eudeuk ngitung lobana anu tarurun. Mantakna araya di pamegatan ogé, eudeuk modaran bajo anu hareupeun.... Anu jarauh kénéh mah, podareun sakeudeung deui ari geus parek sahontal kujang !
Bajo-bajo tarurun sabari sarurak... dipapag ku urang Ci Dadap anu diluluguan Ambu Puun, dibantu ku sémah-sémah anu ngadon daragang! Najan bajo-bajo lobana mantak pikarisieun, tapi lobana anu marapag, moal kurang ti pimahieun, kolot ngora awéwé lalaki, ditambah barudak mareujeuh karasa uyahna !
Ger perang ! Perang, batur, perang rosa !
Perangna urang Ci Dadap, urang Ci Dadap anu baheula, dibantu sémah-sémah jeung batur-batur nu jukungna bocor keur dioméan, perangna rosa jasa !
Loba bajo patingjaroprak, méméh arengeuh labuh deuk paéh, loba bajo mararodar, méméh ngarasa napak di taneuh pageuh ! Kararojor!
            Dicekék bari dikadék,
            diringkus bari dicacag,
            dikerekebkeun di leutak rancah !
Nyi Puun Purnamasari, perang deui cara baheula !
            Tara gagal metakeun kujang,
            sasunduk bajo opat anu nambru,
            tajongan inyana nararenggel,
            kelid inyana rikat bari ngababad !
Tapi bajo anu disanghareupan, lobana loba teuin ! Nyai Putri laju kakurung ku bajo-bajo nu karutap-kétap bari buringas, neuleu nu geulis sacawet heureut, keur heureut, nyeprét meulitna, nareuleu pingping beresih anu montok, nareuleu bujur mongplo piuruyeun....
Nepieun arinyana hanteu ngadareuleu kujang kokolépatan, ngajohjorkeun anu nyampeurkeun !
Kabéh bajo harayang néwak, harayang ngaboaan nu keur ngamuk ngan sacawet heureut ....
(43)
Loba bajo anu marodar, tapi leuwih loba bajo anu harayang ngabogaan nu keur ngamuk tapi geulis, nepieun hanteu kadareuleu kolépat kujang euweuh gagalna. Sabab anu ngan kadareuleu arinyana:
lain awéwé anu keur ngamuk, tapi awak beuneur, rupa geulis, eujeung lain awéwé sacawet purek, tapi anu nyawet lebah purek ...!
Nyi Putri Puun kawalahan ! Urang Ci Dadap kawalahan... nya mararundur. marundur sabari ngalawan, ngalawanna sabari mundur... mundur... mundur... marundur nepi ka deukeut lembur.... bajo-bajo maringkin galak, maraju sabari ngahuru, narajang laju rarampog !
====
Tunda heula !
Keun sina maraju heula !
Urang papag deui di lebahna,
Urang lawan dina wayahna !
Urang caritakeun heula Nyai Putri Bidadari Arum Wiyaga !
Inyana harita nepi ka sisi Ci Mandiri, palebahan kapal jukung anu bocor, nu digalang di darat di beulah kalér. Inyana alak-ilik, laju asup...
Kasampak jero kapal, ngan aya hiji aki-aki kolot jasa, kumis inyana mani ngarumpay, buntut anu ngambay ti hulu inyana, ngambayna nepi ka bitis, jeung kuku ramo sapuluhna, paranjangna mani sajeungkal ! Si aki keur nyanghareup ka arca. Arca awéwé geulis mata sipit, sajamang panjang nutupan suku ... jamang panjang, jamang sutra, sutra konéng, sutra beureum, sutra gading disulam emas ! Jeung ditarétés permata mahal... Aki-aki anu buntutan di hulu, keur acung-acungan, sesembah nyekelan nyéré, anu hurung melenghir wangi .....
Najan éta aki-aki lain bangsa bidadari, lain manusa anu datang ti Kahiyangan, tapi Nyi Putri Bidadari Arum Wiyaga mah ngarti ka haté éta aki ! Sabab Bidadari mah,
nyaho di sagala basa,
jeung ngartina lain ngarti tina ceuli,
lain maca tina ucap, tapi ngarasa tina sora
anu medal ti jero haté nu keur nyarita!
Sabab bidadari mah, ayana di sagala bangsa. Ngan béda sotéh dina sebutannana!
Aki-aki téh eukeur nyambat, keur pupuntang ka para déwa, supaya bajo-bajo anu rarampog, cuculik bari peupeuncit, supaya diéléhkeun urang Ci Dadap !
Nyai Putri Bidadari laju ka ruar ... kadeuleu ti ruhur kapal aya awéwé geulis nu sacawet, keur ditéwak opat bajo, dipaksa deuk ditangkarakkeun dina galengan .... Harita kénéh Nyi Putri Arum Wiyaga geus aya dina galengan. Jleg ngarupakeun awéwé anu nyeplés awéwé nu keur direjeng ! Bajo anu opat, arinyana harimeng jasa, apan keur ditangkarakkeun, apan keur nangtung tulak cangkéng?
Sabot bajo eukeur barengong, Nyi Putri Purnamasari motah sataker tanaga ... laju.... lain opat kujang bajo, lain kujang nu ngabuhel dicongona pagantian nyundukan awak Nyi Putri, tapi opat bajo patingkarebek keuna rancah, anggeus disunduk kujang Nyi Putri Purnamasari ....
Nyi Putri Purnamasari himeng jasa neuleu aya awéwé cara inyana, sacawet cara inyana, jeung sagala-gala nyeplés inyana !
Ceuk Nyi Putri Purnamasari : “Nyi Sémah, saha dia, ti mana dia ?”
Ceuk Nyi Putri Bidadari : “ Ulah wara tatanya ! itu musuh loba kénéh. Hayu!”
(44)
Ceuk Nyi Puun Purnamasari : “Lain tandingeun ! Lobana mah hanteu loba teuin. Tapi di arinyana loba anu maraké sumpit, ngabeledég cara gélédég !”
Ceuk Nyi Putri Arum Wiyaga : “Keun éta mah bagéan kaula ! Jeuh ! Paké Perewit kaula, abéh dia ulah teurak ku pakarang !”
Nyi Putri Bidadari laju néangan sakur bajo anu marawa sumpit gélédégan. Inyana ngileus hanteu kadeuleu ! Diitung-itung aya tujuh likur anu marawa sumpit kitu, jeung aya opat kali opat bajo anu marawa lodong tina beusi, opat bajo hiji lodong ! Ku Inyana kadeuleu, méméh éta sumpit jeung lodong ngajelegér cara gélédég téh, geuningan dijejelan heula anu hideung jiga bubuk areng. Éta bajo-bajo disampeurkeun ku inyana, laju wadah-wadah anu jiga bubuk areng, eusina ditukeuran ku keusik ti muhara ! Ti dinya inyana unggah ka parahu-parahu bajo anu aya mariyemna. Sakabéh wadah anu eusina pieun ngabeledagkeun gélédég, ku inyana dibanjur cai leutak, laju diaduk-aduk... meni jiga bubur jawawut kabarangna ! Ti dinya inyana mulang deui, nulung urang Ci Dadap nu keur ngalawan pohara jasa.
Sabab dilawan pohara bengis jeung garalak jasa, sakabéh bajo jadi rada culak-cileuk. Sabab salila jaradi bajo anu kasohor euweuh tanding, acan nyorang nyampak anu ngaralawan cara urang Ci Dadap! Andelan arinyana, nya parabot-parabot anu ngajelegér-jelegérkeun gélédég. Barang euweuh hiji-hiji acan anu daékeun ngabelekbek atawa ngajurujus, sakabéh bajo jaradi keueung ! Saméméh sarieuna sieun enyaan, arinyana narajang sakali deui, narajang rosa cara ombak laut nu keur motah ! Der perang rosa, anu rosana rosa jasa !
Neuleu perangna awéwé nu sacawet purek diheureutkeun mantak pihimengan jasa, bajo-bajo jadi kareueung tambah enyaan ! Sabab sakabéh pakarang euweuh anu bisa neurak, kabéh mariley cara malam amun antel ka awak inyana ! Jeung modaran musuh téh, inyana mah cara nindesan tumbila baé .....
Karuhan loba bajo anu kasima !
Kasima pangabisa Nyi Putri,
kasima kageulisan Nyi Putri,
kasima pingping putih nu parungkil,
kasima potongan awak beuneur piuruyeun,
jeung kasima ku nu ngagendok montok jero cawet anu purek !
Heueuh ! Perang bajo jaman baheula mah, hanteu saruuuua jeung perang na kumaha ogé ! Najan gagah najan bédas, kasima mah osok baaaéééé...
jeung tengah perang rorosana, bajo mah mudu baé panasaran, mun can néwak nu gagadil mun kagasir, nu ngalawan sabari tanggah ! Sabab ceuk jampé perang arinyana, amun geus paéh hayang hirup deui, mudu ngagaleykeun hulu keuna pamatang misah ka handap, keuna anu nunjang jiga larapan .....
====
Tunda heula !
Keun sina kasima, sina jeger dina hirupna, sina perang deui nepi ka seubeuhna !
Urang mah, urang ngadeuleu heula ka tukang, ka jajaran pangtukangna, di sukuna punclak Kadongdong !
Meujeuh perang rorosana, Nyi Putri Mayang Sagara nyumput keuna jero rungkun. Majar inyana téh, sieun bajo. Padahal mah... inyana terus norolong ka lebak deui, mulang deui ka Ci Dadap. Laju asup ka imah inyana, alak-ilik keuna bilik, tumpu-rampa keuna galar....
(45)
gep aya anu kacekel. Nya éta KUJANG ! Kujang anu ceuk ambu inyana, baheula meunang nepa mamang inyana, basa ngababakan di Gunung Reuma. Cerelet Nyi Putri leutik lumpat ka sisi cai, ka lebahan enggon balabuhna parahu jeung kapal-kapal.
Laju nyawetkeun samping, kujang diselapkeun jero samping ... jrut luncat ka cai, ngojay ka sisi laut .... nyampeurkeun parahu-parahu bajo. Nyampeurkeun parahu bajo anu panggedéna ! Inyana nyangkél di buritannana, tapi sabab buritannana ruhur tina cai, inyana hanteu bisa unggah ka ruhur. Kusiwel, kujang dikaruarkeun, dikadék-kadékkeun keuna buritan parahu gedé, angkuhan inyana sina bocor !
Da ngarana ogé kujang, lain kampak, jeung dikadékkeunnana keuna kayu sakitu kandel jeung teuasna, jeung dikadékkeun ku tanaga budak ... sanajan dicaritakeun dina lalakon pantrun ogé... parahuna hanteu daékkeun bocor!
Harita, di darat bajo-bajo ngarasa tétér, laju kadéséh ka sisi laut... paburu-buru arunggah keuna parahu. Saba sarieun dipodaran ku anu ngaruber bari babajég jeung cecekék, bajo-bajo anu geus arunggah, buru-buru ngabaroséh, ngadarayung sataker tanaga .... Goloyong parahu-parahu bajo ka tengah laut, dibantu ku angin anu niup layar mani karembung, jiga beuteung anu rareuneuh di bulan alaeun ! Bajo-bajo anu tinggaleun, loba anu beunang ku urang Cidadap, laju dipodaran. Bajo-bajo anu ngarojay deuk nyarusul parahu anu geus laju, loba anu marodar dibedol coyot ombak ka handap. Anu marulang deui ka basisir, éta ogé marodar. Lain ku coyot ombak, tapi dibebek maké halu....
Nyi Putri Mayang Sagara anu deuk ngabocorkeun parahu bajo, inyana ogé nyaho parahu dilajukeun ... mingkin gancang mingkin gancang, mingkin jauh ka tengah laut... ngadékkannana digancangkeun. Tapi parahuna, teu bocor bocor baé ! Barang geus jauh ti basisir, ku bajo-bajo kadéngé aya anu kakadék di buritan lebah handap. Laju ditarempo .... Nyi Putri leutik laju ditéwak ! Inyana motah ! Tapi da ngarana ogé tanaga budak, hanteu kebel deui ogé, inyana ditalikung. Ngan hadéna, euweuh bajo anu neuleu, kujang kaburu disumputkeun deui jero samping!
Ceuk Bajo saurang : “Budak kénéh ! Amun tilu taun deui mah, meujeuhna dicawénéan ! Urang jual baéeee !”
Nyi Putri leutik motah deui, sabab inyana ambek jasa deuk dijual, jeung béjana mah, dicawénéan téh leuwih nyeri manan ditojos linggis.... Sabab neréwélang baé, inyana dicangkémos, disépak, laju dialungkeun ka juru! Ari dipaéhan mah, hanteu. Sabab pikir bajo : “Tangtu pimahaleun ! Sabab cawéné jeung bagus jasa !”
Parahuna laju terus ... mingkin jauh mingkin jauh, lajuna ka tengah laut, lajuna maju ka kulon.....
====
Tunda .... !
Keun, parahuna sina laju. Urang sina laju maju ka kulon. Urang cegat di lebahanana .....!
Urang caturkeun di Ci Dadap !
Gehgér Nyi Putri leutik baruk leungit !
Leungit, batur, leungit !
Leuuuuuuuuuuuungit ? ...... Ja heueuh ! ........ Ka mana leungitna, batur, ka mana ?
(46)
Kokolot anu tilu..... saling salahkeun ! laju naréangan, mimiti tiluan babarengan, laju duaan jeung sorangan. Laju naréangan séwang-séwangan..... ngasruk-ngasruk saban rungkun, nyarakraksrak saban lebak, narempoan saban logak, naroongan saban sodong... tapi anu ditaréangan arinyana mah, hanteu kapaaaaaaanggih !
Ceuk kokolot anu saurang : “Boa ditekuk kerud !”
Ceuk kokolot anu saurang deui : “Boa dilegleg oray !?”
Ceuk kokolot anu pangkolotna : “Boa....boa, boa dirau kééééélong.??”
Ceuk kokolot satiluan, dibarengkeun sabari tanggah : “Boa dirau kééééélong? “. Laju satiluannana naréangan deui, sabari narabeuhan nyiru, sabari narakolan upih tangkal belendung !
Caritakeun heula Ambu Nyi Putyri Mayang Sagara !
Nyai Putri Purnamasari acan nyahoeun anak inyana leungit ! Inyana eukeur mariksa urut perang, bagian lembur anu dihuru bajo.
Ceuk Inyana : “ Lebah dieu, urang ngaranan BABAKAN LEBU!”
(Tah éta sababna nepi ka kiwari, di lembur Ci Dadap aya anu katelah Babakan Lebu)
Ti dinya inyana mariksa : Lobana anu taratu jeung lobana anu paraéh. Anu taratu tapi teu ripuh, lobana salapan puluh. 60 urang Ci Dadap, 30 deui sémah-sémah nu daratang ngadon dagang.
Anu taratu rada ripuh : 30 urang Cidadap, 15 deui sémah-sémah nu daratang ngadon dagang, jeung limaan urang sabrang nu buntutna tina hulu, jeung saurang anu nganjang ti Gunung Rompang.
Anu paraéh, lobana sawidak kurang opat. 45 urang Cidadap, nu 7 deui, sémah-sémah nu daratang ngadon dagang, jeung tiluan urang sabrang nu buntutna tina hulu, jeung saurang anu teu ngilu perang. Inyana paéh ku gering payah....
Bajo-bajo anu marodar, bangkéna aya 175. Bajo-bajo anu taratu ? Éta mah euweuh saurang-urang acan. Sabab bajo-bajo anu kasampak tatu, tapi acan kojor, anu karitu mah laju dibaruang.... dibéré ngarinum cai dewegan dicampuran godogan akar ceremé. Lain sabab ku telenges urang Ci Dadap. Tapi ngantepkeun bajo harirup mah, sarua jeung ngingu léntah jero kendi....
Dukun-dukun jeung tukang jampé, kabéhan pada haliwu, ngubaran jeung ngomékeun !
Ceuk nangkoda nu bocor kapal jukung inyana : “Amu Puun ! Kula ogé alék bantu ! Anu lalipuh jasa, sina gotong wééé ka kapal kaula ! Ditu aya simséééé....!”
Laju anu raripuh pangjasana, digarotong ka kapal bocor. Ditambaan ditumbalan, ku aki-aki anu tadi nyenyembah arca téa!
Nyi Puun Putri Purnamasari laju mulang. Inyana ngarep-ngarep kadatangan awéwé nu tadi téa, nu nyeplés badis inyana téa,...... tapi anu diarep-arep mah ..... hanteu datang ! Ari kurunyung anu daratang tilu kokolot ! Daratang sabari narabeuhan nyiru eujeung upih !
Ceuk Nyi Putri : “Aya naeun ?”
Ceuk kokolot anu pangkolotna: “Nun ! Putri leutik aya nu mawa !”
Nyi Puun reuwaas jasa, tapi kareuwas inyana hanteu katara !
(47)
Ceuk inyana : “ Ku saha ?”
Ceuk kokolot satiluannana ngaromongna dibarengkeun, sabari ngadarégdég sabab gugup : “Ku kaaaaaalong ....!”
Ceuk Nyi Putri : “Haaaah !?”
Ceuk kokolot satiluanana : “Heueuh !”
Ceuk Nyi Putri : “Ku kalong ? Sagedé kumaha ?”
Ceuk kokolot satiluanana : “Eh, ku kélong kétah !”
Gehger salembur Ci Dadap, Nyi Putri leutik dirau kélong..... ku kélong, batur, ku kélooooong .......!
Ku kélong ?
heueuh ! Ku kélong, ceunah !
Ku kélong awéwéna ?
Ku kélong awéwénaaaaaaaa, batuuuuur ......!
Ku kélong lalakina ? Ku kélong nu jaluna ?
Heueuh ku jalunaaaaaa, batuuuuur......!
Kélong awéwéna.... apa kélong jaluna ?
Ku kélong anu hanteu katémbong, batuuuur !
Laju salembur Cidadap naréangan Nyi Putri leutik, anu leungit ceunah dirau kélong ... ku kélong bikangna jeung kélong jaluna.... Naréangannana aya anu ka kalér, aya anu ka wétan, aya anu ka kidul, aya anu kakulon, aya anu katonggoh, aya anu ka lebak, aya anu ka kolong, aya anu ka para.... nu kareuma jeung ka huma, nu ka sawah jeung ka rancah, nu kapancuran ka saban tampian. Malah aya anu néangan anu néangan, patéang-téang jeung anu naréangan !
Kokolot anu tiluan, naréangannana bari sesentak bri sésépak, sabab keuheul katempuhan ! Ku sabab sesentak baé, nya karuhan, anu ngilu naréangan téh jaradi sewot!
Ceuk sémah saurang : “Lot, éling, lot, éling ! Nyebut, geura !”
Kokolot satiluanana laju nyarebut, tapi nyarebutna... lain ngaran Déwa panyambatan, lain mantra jampé pamunah..tapi : “ RAMJIAAADAH...”
Nyarebutna maredok jasa, mani buled anu kuled, mani pinuh sasunguteun, mani ngemplong dina haté.... Ari ngaramjiadahna mah, lain seja arinyana ngucapkeun jampé jangjawokan, lain jampé pamunah Pamijahan, tapi.....ngaleupaskeun rasa keuheul!!
Geeer harita kénéh kabéh sémah ngilu nyarebut : “Jiaaaadah, tah kélong téh !”
====
Cag teundeun ! Tunda di Cidadap. Sina nareangan bari jajadah.....!
Urang mah urang néangan Rakéan anu nindak ti Gunung Jayasampurna!
Urang sampak inyana keur aya di sisi laut, lebahan hiji babakan leutik nu harita disebutna Babakan Ci Tepus. Ayana lebahan mah tengah-tengah antara muharana Ci Tepus anu kiwari jeung muharana Ci Sakawayana anu baréto. Éta babakan kiwari mah anggeus euweuh. Sabab béak kaséblok ombak di tengah peuting. Ceuk anu nyaraho di jamanna, palidna éta babakan téh sabab urang dinya mareuncit lauk duyung. Di urut éta babakan engké jaga baris ngadeg deui babakan GAGAL anu diadegkeun ku laloba teuing duit tapi hanteu daraék méré ka anu sarusah, malah sina sarusah mingkin parayah ! Éta babakan gagal baris narikolot, tapi sakuloneunana baris ngadeg PANGGUNG SUSUN undak-undakkan. Anu baris jadi tetengger bakal ngagelebugna angin barat salega nagara !
(48)
Rakéan kasampak di sisi laut. Harita geus parek ka sareupna ! Inyana keur neuleukeun laut anu ombakna mingkin garedé mingkin raruhur, mingkin jauh nyéblokna ka darat... ngabudah buburialan, bari ngagugulung anu dilimpas, bari ngagur ngagalugur harus... dibarengan angin kenceng ... mingkin kenceng mingkin bédas ... melendoykeun tangkal kalapa, melendoyna mani daréngkdék !
Kencengna angin anu ngagelebugna ririntakan cara ombak paudag-udag gancang, nyempal-nyempalkeun tangkal garedé, ngarungkadkeun tangkal jarangkung, bari ngaguruh ti kajauhan... datangna bari murilit, nyiwit kenceng cara suling dipetitkeun ... nyéorkeun keusik ti basisir, jiga hujan anu kerep!
Mantak pikeueungeun, mantak pisieuneun, pieun jelema hanteu bisa sosoranganan di angin barat !
Jauh di tengah laut, kadeuleu aya sababaraha parahu hanteu béda catang palid nurutkeun palidna guntur... Rakéan unggah ka ruhur karang, abéh teges kadeuleuna. Ti Ruhur karang anu liuh dihalangan deui karang, Rakéan neuleukeun prahu... kabéhna aya sapuluh. Garedé eujeung jarangkung, béda ti parahu-parahu anu inyana anggeus neuleu. Rakéan lain urang basisir. Inyana hanteu wauh keuna bangun parahu, ngan inyana nyaho, nu kumaha rupa kolek, nu kumaha rupa payang, jeung nu gedé jasa ngarana kapal.... tapi anu harita kadeuleu umpal-ampul dicocoo ombak, leuwih gedé payang, jeung leuwih leutik manan kapal ! Parahu naeun?
Keur inyana tatanya jero haté, kadeuleu parahu daratangna gancang jasa... kadeuleu teges loba parahu anu paréunggas tihang layarna ! Jeung kadeuleu di parahu anu rada gedé, ngebul haseup mani nyerebung, jeung seuneu katémbong ngageda-gedag.... Kahuruan ! Parahu keur kahuruan!
Rakéan hayang nulungan, tapi kumaha nulungannanan ? Lain tulunganeun, sabab jauh teuin, jeung lautna ... deuleu ... ! Inyana ngan bisa neuleukeun bari hanteu puguh polah jeung ratug haté keketugan !
Parahu anu keur hurung, ku ombak didémpétkeun ka parahu hiji deui... der kahuruan. Ku Ombak nu neunggar di buritan, parahu anu keur démpét, dipisahkeun deui, tapi disoloyongkeun ka tengah parahu-parahu anu séjénna. Der deui tambah dua parahu jadi jiga tungku pakapuran... opat parahu gedé umpal-ampul jaradi seuneu dina cai, cai laut anu keur motah ! Parahu saha ? Ti kajauhan ku Rakéan kadeuleu anu laluncatan ka laut....
Harita di Ci Dadap, di Sumur Haur Pamunjungan, Nyi Putri Bidadari Arum Wiyaga ngarasa aya anu sasambat ti tengah sagara ! Ku inyana dilik dina dampal leungeun.. témbong bajo-bajo anu beurang téa. Tapi... tapi heueuh bajo anu tadi deuk ngaruksak Ci Dadap téa ! Tapi heueuh, bajo sotéh tadi ! Ari anu keur sasambat di angin barat mah, jelema keur lésot tina kabajoannana....
Apanan ceuk Éyang Aki Léngsér, tulungan sakur anu di sagara deuk cilaka ku angin barat. Tapi ceuk Éyang Aki Léngsér kénéh, caremkeun parahu-parahu bajo keuna batu karut ! Ceuk Éyang Aki Léngsér ogé deuk cilaka. Tapi ieu mah keur cilaka ! Mudu kumaha nyaaaaah ?
Ceuk éyang Aki ogé, caremkeun parahu-parahu bajo, lain bajo-bajona atuh hartina !
Nya ku Nyai Putri Bidadari Arum Wiyaga, opat parahu bajo anu keur jaradi gulungan seuneu, jeung genep deui anu hanteu kahuruan, ku inyana diléongkeun ka basisir ... jegér.... parahu anu panggedéna neumbrag karang batu karut.... haluanana mani bencar, buritannana ngacung ka ruhur... dijepit karang di jero laut, hanteu jauh ti muharana Ci Sakawayana... Ci Sakawayana anu kiwari, tapi muharana mah, anu baheula....
Parahu-parahu anu séjénna, kandas dina keusik bari digubag-gabigkeun ombak
(49)
di lebahan anu jauh ti darat, eujeung moal bisa didatangan dina laut keur motah kitu !
Aya tilu anu ku Rakéan kadeuleu teges ! Tina parahu anu bencar kadeuleu aya anu mecleng ka laut. Hiji lalaki jangkung gedé anu dedegan inyana, asa-asa Rakéan nyorang neuleu, tapi hanteu inget deui saha-sahana. Inyana bareng mecleng jeung hiji budak awéwé. Laju harita kénéh, lebahan éta lalaki ragag ka laut, ngocopok lauk gedé jasa....
Kadeuleu teges ku Rakéan, lauk gedé eudeuk nyaplok éta budak ! Rakéan eudeuk luncat, eudeuk nulungan, tapi jauh teuin... moal kaburu! Kadeuleu teges ku Rakéan barang lauk gedé geus calangap, budak téh ngalugas kujang ... lauk gedé harita kénéh ngejat bari ngajeblag, jiga reuwas pangreuwas-reuwasna, laju leungit ka jero laut. Tapi budakna, ku ombak galeng anu gedé ruhur jeung ngabudah, diséblokkeun ka basisir.... Ku Rakéan laju diburu, dipangku dibawa jauh ka darat.....
Waktu deuk diécagkeun, budak téh deuk narajang Rakéan, tapi kujang inyana katéwak ku Rakéan bari murilitkeun leungeun budak. Ngan baé hanteu bedas !
Ceuk éta budak sabari tetejeh :”Leupaskeun, bajo, leupaskeun!”
Ceuk Rakéan : “Kula mah, lain bajo”
Budakna neuleukeun Rakéan, jiga sieun, tapi hanteu sieun... laju hanteu sieun....
Ceuk Rakéan : “Dia saha ?”
Ceuk budak sabari ngagibrigkeun buuk inyana anu baseuh : “Urang Ci Dadap, kula ditéwak bajo”
Rakéan ngarénjag dina haté ... Ci Dadap.... bajo... jeung ieu kujang ... tétéla kujang jieunan inyana baréto....
Ceruk Rakéan : “Saha dia ngaran ?”
Ceuk Budak : “Nyai !”
Haté Rakéan béda rasana, veuk pikir inyana “ :Tiiiilok geus sagedé kieu? Boa anak kokolot ... ?! Tapi éta kujang ????”
Bajo,bajo anu sok rarampog sabari ngahuru, bari cuculik jeung peupeuncit.... Keun baé ! Sapeuting éta mah, moal barisa unggah... kara jleng ogé, geus dibaretot céot, dibareubeutkeun keuna karang ku pulek dina ombak !
Rakéan jeung budak anu rancucud, narindak ka tukangeun karang anu nadah angin anu kencengna ngadadak rosa jasa. Di anu iuh, inyana eudeuk miruha, nyieun seuneu pieun ngagarang samping budak !
Ceuk budak : “Lapar....!”
Lapar ... Rakéan ogé ti kamarina kénéh can manggih kéjo, anggeus ngakanan cau leuweung baé. Ras inyana inget, tadi ti ruhur karang kadeuleu di beh wétan aya imah. Harita, poé geus laju poék. Beurang keur tukeur giliran, giliran peuting ngarurub alam..... Rakéan nindak sabari nungtun budak, narindak dina peuting anu poék, ngalawan angin anu ngagelebug rosa jasa, nepieun budak mah teu bisa laju.... Nya digandong ! Di Babakan leutik anu harita imahna kara aya opat suhunan, arinyana disuguhan.
Ceuk anu boga imah : “Ti marana ?”
Ceuk Rakéan : “Ti Kulon ! Ari budak mah, urang Ci Dadap ! Diculik bajo !”
Ceuk nu boga imah : “Bajo ? Di mana aya bajo ?”
(50)
Rakéan nyaritakeun anu tadi kadeuleu inyana !
Urang babakan hanteu arengeuh, sabab tadi keur ngareli keuna sodong di béh tonggoh.
Ceuk nu boga imah : “Loba ?”
Ceuk Rakéan : “Nya. Loba sugan, amun teu marodar ku ombak mah“
Urang babakan dikumpulkeun, laju badami. Laju nararindak bari marawa pakarang ka lebahan parahu kandas ... nararindak dina peuting anu poék. Kabéhna, dua aki-aki, opat nini-nini nu baredas kénéh nutukeun halu, opat lalaki mareujeuhna gagahna, lima awéwé mareujeuhna leuleus liatna, genep barudak bujang meujeuhna teuas heuheurasna, genep barudak tanggung mareujeuhna dédéglerna, jeung opat cawéné mareujeuhna sareseg peupeungkeurna! Di babakan tinggal hiji nini-nini anu geus moal teurak disangray disangray acan. Inyana nanggoan imah jeung barudak anu laleutik keneh !
Tapi anggeus kitu diatur ku Anu Nyieun lalakon, nepi ka basisir téh, ti darat ngadak-ngadak ngagelebug angin kenceng rosa jasa. Urang babakan nareuleu lima parahu gedé anu melegmeg hideung di laut anu poék, laju nyoloyong deui ka tengah laut. Nyoloyongna garancang jasa, ditiup angin anu kenceng diséréd ombak anu galedé ruhur ..... mingkin jauh mingkin jauh .... Di basisir anu harita kasampak pabalatak dina keusik, sugan aya opat puluh bajo.... laju didareukeutan !
Anu arambekan kénéh jeung anu arusik, laju dipodaran. Lain taralenges! Tapi di mana-mana ogé ari bajo mah dikaritukeun ! Anu henteu arambekan kénéh jeung anu hanteu arusik ogé, diparodaran deui, abéh bener-bener paraéhna !
Rakéan sabari ngagandong budak awéwé téa, ogé nindak ka basisir. Inyana mah néangan bajo-bajo anu sareger kénéh, anu babari teuin ngamodarannana mah, ku inyana disérénkeun ka urang babakan. Inyana mah hayang bajo anu sareger, bajo-bajo anu barisa kénéh ngalawan enya-enya ! Tapi hanteu kasampak aya deui bajo !
====
Cag teundeun .....
Urang tunda di babakan anu bakal gagal, anu gagalna sabab anu nyariar untung, teu barisa ngitung, ngahambur dur diawur-awur .... kari somah katempuhan, nebus gadéan anu lapur.....
Urang tuduhkeun heula lebahan bencarna parahu gedé anu panggedéna ! Dina pisan urut bencarna parahu bajo, anu buritanana ngacung ka ruhur, nepi ka kiwari témbong kénéh sesa-sesana. Tapi geus ngarupa karang anu nyeplés buritan prahu gedé .... Ceuk anu harayang diperecaya mah cenah, éta karang téh, baheulanana buritan parahu bajo anu bencar téa !
Ayana parek pisan ka karang BATU KARUT anu ogé disarebut BATU LAWANG, sabab numpukna kénca katuhu, cara gapuran jaman baheula! Ayana éta batu lawang hanteu sabaraha jauhna ti muhara Ci Sakawayana.
Baheula mah éta Batu Lawang téh, ayana jauh jasa ti laut, ceuk anu nyaraho di ugana, engké jaga, amun di balik batu anu jiga lawang geus ngadeg imah teu dihateupan, éta lawang baris dibuka ku anu ngarasupkeun jaman harudang jeung hariwang. Hariwang pieun sakur anu nyunyusah jeung nyingsieunan somah ! Hareudang pieun anu sarenang dina babangsat, aradigung abong keur pangkat, jararembar dina ruruba....
Deui ceuk ceunah ti anu nyaraho di ugana, Amun Batu Karut diaut-aut di gunung anu digempur, geura tanggoan baé datangna béja : Aya Raja Gagah dipaéhan anu edan, anu ngaku-ngaku Ratu Adil, da bongan saruka-suka di lain wayah !
====
Urang tunda sing waspada ....... !
(51)
Urang teruskeun !
Peuting éta, Rakéan ngendong di babakan leutik. Rupa-rupa pikiran jadi pikiraneun inyana. Eudeuk tatanya, budakna anggeus héés !
Caturkeun baé isukna !
Inyana jeung éta budak narindak la Ci Dadap ... mapay sisi basisir ka wétankeun, nyabrang cai ngojayan walungan, asup leuweung ka raura leuweung, unggah pasir turun pasir, mapay-mapay sisi gunung... sabari ngagandong budak !
Ceuk budak : “Di leuweung tadi, geuning euweuh kerud ?”
Ceuk Rakéan : “Euweuh !”
Ceuk budak : “Di rancah itu, euweuh jurig ?”
Ceuk Rakéan : “Heunteu !”
Ceuk anu digandong : “Bapa teu sieun jurig ?”
Ceuk Rakéan : “Henteu”
Ceuk anu digandong: “Kunaha hanteu sieun ?”
Ceuk Rakéan : “Batur !”
Ceuk anu digandong, sora inyana sora heran, anu héran eujeung kaeueung : “Bapa ogé jurig ?”
Ceuk Rakéan sabari mesem : “Lain ! Jelema biasa, cara bapa nyai ! Saha bapa nyai ?”
Ceuk anu digandong : “Bapa nyai mah euweuh !”
Ceuk Rakéan : “Ka mana ?”
Ceuk anu digandong : “Ceuk Ambu, inyana keur nyaba jauh !”
Hate Rakéan séjén deui rasana, ceuk pikir inyana : “Mun kieu, lain anak Nyai Putri !”
Laju ceuk inyana : “Ngaran Ambu dia saha ?”
Ceuk anu digandong : “ Aaaaaambu !”
Ceuk Rakéan : “Ngaran inyana ?”
Ceuk anu digandong : “Heueuh, Ambu !”
====
Caturkeun baé, geus narepi ka muhara Ci Mandiri, sabrang kalér anu ruhur. Éar anu nareuleu : “Kapanggih, batur, kapanggiiiiih ! Nyi Putri leutik kapanggih .... !”
Ceuk anu harayang nareuleu : “Mana .... mana ?”
Ceuk anu nareuleu : “Tah ! Di sabrang kalér “
Éar sasisi lembur : “ Heueuh, tuh, digandong !”
Rakéan diparapagkeun, laju disarabrangkeun sabari ngagandong kénéh, disabrangkeun dina bandungan !
Ceuk anu nyabrangkeun, saurang : “Huh !”
Ceuk batur inyana saurang : “Haaah ?”
Ceuk anu tadi sabari haréwos : “Jiga monyét !”
Ceuk batur inyana : “Heueuh, joré jasa. Jiga lutung !”
Ceuk saurang deui sabari nulak bandungannana digancangkeun, jeung sora anu keueung : “ Boa jurig ti Coblong....!”
Anu nyarabrangkeun laju kareueung, narulak bandungannana digarancangkeun jasa... can ogé bandeungan adek pisan ka sisi, arinyana geus ting aracleng laju lalumpat gancang jasa ....
Éar anu marapagkeun. Tétéla ka Rakéan, anu digandong téh puguh anak Nyai Putri Purnamasari. Haté Rakéan atoh jasa... Bari nangkeup pageuh heula, inyana ngécagkeun anu digandong! Rakéan atoh kabina-bina. Sakali deui inyana nangkeup Nyi Putri Mayang Sagara, nangkeup nyaah deudeuh jasa, sabari ngusap-ngusap bari calimba.....
Nyai Putri leutik laju tereleng baé lumpat, mulang diiring ku nu lalumpat di pandeuri .... Diringkeun barudak loba, nu ngiringkeun sabari lumpat, jeung ku kolot-kolot sabari lumpat, ku aki-aki sabari lumpat, mun lumpatna pararétot.
(52)
jeung ku nini karudang iteuk nu lumpatna dalugdag-daligdeug.....!
Ngan Rakéan anu hanteu lumpat. Inyana mah ngagidig biasa, alak-ilik sabari nindak ... Paaaaangling ayeuna mah ! heueuh, bener geus kebel miang ti Ci Dadap téh ! Inyana inget kénéh lebah-lebahna imah Nyi Putri lebah panyimpangan anu aya katapangan ! barang inyana nepi, Rakéan bener pangling. Sabab imah nyi putri anggeus séjén .... leuwih gedé leuwih alus. Sakurilingna dipageran berenuk jaradi kerep. Pakarangannana lega, bararesih jeung caraang, hanteu dipelakkan. Ngan loba tatangkalan pangiuh-ngiuh ! Jeung Kamuning jeung kembang Dayang, ngajajar rapih dipelak !
Inyana eudeuk asup, tapi ku kokolot anu harita jeung jelema loba ngagarimbung ruareun pager, inyana hanteu meunang.
Ceuk Rakéan : “Kunaha ?”
Ceuk kokolot anu pangkolotna : “Mantak kasiku ! Pakarangan Puun mah, sangar. hanteu beunang ditincak sambarangan suku!”
Rakéan eudeuk nyebut ngaran inyana, tapi kaburu inget talatah Ki Léngsér “Hanteu meunang aya nu nyaho, saha sia, naeun sia !”
Ceuk Rakéan : “Tah., atuh ! Kujang Nyai Mayang Sagara. Kujangna mah, béjakeun Kujang Rakéan !”
Najan inyana hayang jasa papanggih jeung Nyi Putri Purnamasari, inyana hanteu jadi. Laju inget sumur haur, sumur haur pamunjungan, nu baréto inyana ngadegkeun ! Inyana nindak. Keur inyana deuk sibeungeut, méméh unggah ka pamunjungan, dina kobak hérang caina, beungeut inyana kadeuleu cara dina eunteung ! rakean reuwas jasa ! Inyana sedih jeung nalangsa, neuleu rupa inyana joré kabina-bina ! Inyana ceurik ... sedih mani nyeletit, ci mata inyana nyarakclakan keuna kobak hérang caina ..... Ras inget ka omong Ki Léngsér, inyana téh keur mudu maké kedok .....
Kacaturkeun Rakéan munjung di pamunjungan. Inyana hanteu nyaho dideuleukeun ku anu hanteu kadeuleu, teu kadeuleu ku mana manusa di raga jelema !
Ceuk pikir anu neuleukeun, anu neuleukeun hanteu kadeuleu : “Saaaaha éta téh ? Asa ku coooop keuna haté !!!!” Laju inyana némbongan, dina rupa waruga nini-nini, anu kolot mani bongkok, nu buuk ngan huis wungkul, bujigjrig aut-autan .....
Ceuk inyana ka Rakéan : “Saha Dia ? Ti Mana ?”
Ceuk Rakéan : “ Kula mah teu boga ngaran. baheula mah ti Pajajaran!”
Ceuk Nyi Putri Arum Wiyaga anu ngarupakeun nini-nini : “Basa baheula di Pajajaran, tangtu dia boga ngaran !”
Ceuk Rakéan : “ Nini, baheula mah jaman kaliwat. Di Kiawari jaman ayeuna, di jaman keur dilampahan, ngaran kaula anu baheula, geus lebur kaluluh waktu, geus hilang diusap papastén! Ngaran anu kiwari, kumaha karep anu nyebutna, sebut monyét, hampék ! Sebut kunyuk, hanseug. Moal kula eudeuk nyeri keuna haté, da puguh di kieu rupa!”
Ceuk anu dina rupa nini-nini : “Basa dia, cara kalakay ditebak barat! Sora dia, cara pulek curug dina sedong ! Naeun sabab kitu ?”
Ceuk Rakéan : “Sababna, kaula hirup jadi jelema nu gelarna kabagéan, mudu malang dina bagja, mudu nyukang mapay lara. kaula keur ngalalana, dititah nyiar tarataseun jalan pieun nu nyusul.
(53)
Nu teu sabar nanggoan jaman, ngarep-ngarep datangna wayah, peunggasna caringin kurung disayangan manuk sabrang, jeung karapyak tinggal saralak, anggeus diruksak banténg coréléng !
Kaula mah mudu mapak raja :
anu anggeus diparunggu ka heulang sabrang,
dipindahkeun ka hulu banténg !
Kaula mudu nyaksian :
Banténg ngamuk nguwak-ngawik,
ngabuburak raja panyelang
nu karanceuh lila teuin
jeung arédanna kamalinaan !
Ceuk anu ngarupa nini-nini : “Mantak naeun dina dia ngalalana, dia maké ngaran dia anu baheula ? Abéh kabéhan pada nyaraho !”
Ceuk Rakéan : “ Moal eudeuk jadi guna, ngalulungkut anu geus undur ! Sabab ceuk carita kolot baheula :
Engké mah ka hareupna, euweuh ngaran anu maneuh, hanteu kaeur ditukeur-tukeur, gunta-ganti sina murilit, pabeulit euweuh nu ngarti...!
kaula keur nyiar ngaran anu hadé dibawa paéh !”
Ceuk anu ngaruipa nini-nini : Anu hadé kadéngéna ? Atawa anu hadé dina hartina ?”
Ceuk Rakéan : “Anu hadé ingeutaneun !
Sabab anu hadé dina déngé, can tangtu hadé dina harti !
Anu hadé dina harti, can tangtu hadé balukarna !”
Ceuk anu ngarupa nini-nini : Mun cara baheula ? Maké Ciung, maké Manara ? Kumaha amun Ciung Panungtung, atawa Wanara Minda Kalang ?”
Ceuk Rakéan : “Ngaran kitu mah, ngan hadé pieun dina carita, pieun lalakon kosong euweuh toongeun. Pieun dongéng anu ramé, tapi réHé ku bukti baris ngajadi ! kaula hayang ngaran : Anu napak dina rupa, anu teu sulaya ti pangabisa ! Anu teu pondok diheureutkeun, anu ngeusi dina harti, eujeung manjang dina jaman, anu pantes dijajarkeun dina tepas diamparan siloka!
Heueuh, rupa kaula, rupa lutung ! Mun maké lutung ?”
Ceuk anu ngarupakeun nini-nini : “Heueuh ! Tapi kumaha ngarékana abéh alus ?”
Ceuk Rakéan : “Kula moal nurutan anu ngan raresep pupulasan ! Sanajan kituna disababkeun paréntah jaman ! kaula sanggup hirup dina adegan anu wajar ! Rupa kaula, rupa lutung. Ti seret poé ieu, ngaran kaula : KI LUTUNG ! Moal ditambahan naeun-naeun deui”
Rakéan laju pamitan ......Inyana nindak deui, undur ti Sumur Haur Pamunjungan, di deuleukeun ku nini-nini anu malik deui jadi geulis, jadi deui Putri Bidadari Arum Wiyaga anu ngileus deui di pamunjungan .... nanggoan wayah miang ditéang .....

====
Tunda ! Anu geulis hanteu kadeuleu, deuleueun engké ka hareup !
(54)
Urang tuturkeun Rakéan nindak. Mimiti terus ka tonggoh, mapay pasir turun unggah, ka bobojong anu loba kopo, di mana engké jaga baris ngadeg lembur nu sangaran,di lebahan urut Rakéan reureuh heula pieun noong ka anu paroho ka inyana. Ti dinya inyana nyabrang walungan anu saban walungan anu saban caah carang kiruh ka girang-girangna ! *)
((*Ngaran lemburna = Bojong Kopo, Ngaran walungannana = Cidadap))
Amun engké wahangannana dicukangan beusi papalang, laju batu batuna dipaké ngabalay tambak mapay sagara, tah éta totondénna anggeus parek keuna wayah datangna jelema gagah tengah édan, ngaur-ngaur duit jadi panyakit, ngabulungbungkeun jalan gedé tapi suwung, ngagara-garakeun ramé masar di palabuan, tapi ngusir loba urang palabuwan pararindah masisian !
Rakéan nindak deui, nepi ka hiji gawir anu panjang malipid pasir. Inyana nepi ka hiji lebah anu tangkalna wungkul Ki Sampay, dijarieun enggon nyarampay sagala rupa anu bisa nyampay : Oray sanca sagedé-gedé catang kalapa, kalong-kalong sagedé bagong, areuy-areuy sagedé-gedé beuteung, monyét-monyét sagedé-gedé.... monyét garedé.... ngan poé popok jeung poé cangcut, harita mah can nyarampay !
Engké jaga, amun dilolongok pamoyaman maung, diadegkeun saung panoongan, tah éta totondénna baris loba anu ngarep-ngarep : Témbong beureumna matapoé nu surupna pieun nu jaya, nu bijilna pieun nu sedih!
Gawir panjang mapay pasir, kiwari aya kénéh. Di dinya engké jaga baris aya babakan anu maké ngaran SAMPAY. Tina éta saung panoongan, engké ku anu naritah nyararieunna, baris katoong datangna wayah ngadak-ngadak, arinyana marudu mulang, marulangna dihogor-hogor monyét karonéng.
Rakéan nindak terus, ngunggahan GUNUNG PORANG, ngaliwatan GUNUNG ROMPANG, malipid ka GUNUNG BONGKOK ....., urang caturkeun baé inyana geus nepi ka GUNUNG MANDALAWANGI salebakkeun GUNUNG SANG HIYANG PURWA anu kiwari dilandih ngaran, disarebutna GUNUNG GEDÉ.
Caturkeun baé, inyana geus aya di pamunjungan, tonggoheun SITU TALAGA WANA, laju alak-ilik ... kadeuleu aya areuy gedé anu mébér jiga ayunan tina samping, jiga ayunan paranti ngayun orok ! Jeung kadeuleu dina mémébérna anu rubak, aya nu keur héés sabari ayun-ayunan ! Anu héésna buuk panjang kabéh bodas ! halis ... bodas ngaroyom panjang, kumis ... bodas panjang ngambay ka dada, janggot bodas pabeulit jiga sayang beurit ! tétéla héés inyana geus kebel jasa !
Pikir Rakéan : “Moal salah, anu kieu yeuh Ki Mulangpurwa téh ! Heueuh ceuk kolot anu karolot, ulah ngandelkeun sagala ka anu karolot. tah geuning rupana ! Pagawéan sakitu lobana, ditunda héés sakitu lilana!
bener heueuh ceuk anu karolot, sagala anu ka hareup, mudu digarap ku anu ngarora!” Ceuk Rakéan sabari neukteuk areuy : “Hudang, Lot, hudang!”
Areuyna pegat, anu héésna murag, nampuyak cara buah picung anu dalu. Inyana eudeuk hudang, tapi pajeujeut keuna jenggot ! Laju ngorondang, angkuh inyana eudeuk narajang ... popolotot sabari nyanggéréng. Ngan ku Rakéan kaburu kabetot bulu korong inyana ... mani ngabaung !
Ceuk anu deuk narajang : “Bangka warah ! Siah !”
Ceuk Rakéan sabari ngagulung udud dun kawung, : “ Kula ? Ki Lutung! Hayu ah, geura hudang !”
(55)
Sabari mageuhkeun samping dina cangkéng, anu ambek deuk narajang deui. Tapi ku Rakéan laju disépak, nyepakna sabari jongjon ngagulung udud! Anu ambek, tambah ambek. Sabari nyanggéréng, inyana narajang bari ngorondang. Tapi ku Rakéan kaburu kacekel punduk inyana, jeung irung inyana dijejelan kaul nu keur hurung !
Ceuk Rakéan : “Disundatan, siah !”
Ceuk anu narajang sabari ambek : “Tobaaaat, Ki Lutung, tobat!”
Ceuk Rakéan : “Sieun ? Disundatan ?”
Ceuk anu totobatan : “Lain sieun dikampakna. Sieun sotéh moal karasaeun deui beubeur panyumpelna.... Naha sia wani calutak ka karuhun ? Saha Sia ?”
Ceuk Rakéan : “ Aaaaanggeus Ki Lutung ! Tatanya kénééééh ! Deuleu, geus wayah kumaha yeuh ?”
Ceuk anu totobatan sabari nepak-nepak dada : “Ngaran Ngaing Ki Mulangpurwa ! Tah ieu, ieu yeuh karuhun tonggoheun Talaga Wana. Kabéh euweuh anu waranieun ka ieu karuhun mah !”
Ceuk Rakéan : “Deungeun-deungeun teu waranieun. Kaula mah hanteu sieun. Tah deuleu !” Rakéan ngomong sabari ngebulkeun haseup udud ka beungeut Ku Mulangpurwa anu laju kabesékan manu pependelikan !
Ceuk Rakéan : “Hayuh, geura mandi di talaga !”
Ki Mulangpurwa ngahunted baé. Ku Rakéan inyana disépak deui. Nyépakna cara nyépak runtah dikasisieun, bari ngomong : “Deuk mandi moal ?... Jadi yeuh disundatannana !”
Ceuk Ki Mulangpurwa : “Lain embung mandi, embung sotéh ku baseuhna !”
Ceuk Rakéan : “Ari embung mandi mah, sibeungeut atuh ! Tuh, di mata cai di Dungus tepus nu ayana di juru talaga beulah wétan, ruhureun enggon ka ruar haseup ti jero cai ! Kumbah tah mata dia abéh ku dia kadeuleu : Ieu téh wayah kumaha ? jeung abéh dia neuleu, saha anu undur, saha anu aya, jeung saha nu baris datang!”
Ceuk Ki Mulangpurwa : Tobaaaat ! Mun kieu mah, dia téh leuwih ti karuhun. Sabab dia nyaho sagala rasiah Pajajaran ! Sampuraaaa kaula tadi nyia-nyia !”
Ceuk Rakéan : “Kaula hanteu nyaho di rahiah-rasiah Pajajaran. Sabab kaula lain karuhun !”
Ceuk Ki Mulangpurwa : “Geuning dia nyaho anu ngan karuhun anu nyaho. Nya éta mata cai anu disebut CADAS PAMELONGAN téa !” Apan éta téh ngan paranti engké sibeungeutna para ipri jeung para karuhun anu marudu nyaksian ngadegna RATU ADIL anu SAÉSTU!”
Ceuk Rakéan : “Amun dia ngomong baé, ieu lalakon panjang teuin, Hayuuh geura turun ari embung diteukteuk tulalena mah!”
Ki Mulangpurwa laju turun, keuna leuweung tepus anu bala, mapay gawir anu lukutan anu leueurna kabina-bina.... tapi sabab sieun ku nu tulak cangkeng neuleukeun di tonggoh, nya inyana nepi-nepi ogé ka juru talaga ruhureun caina ngebul baé. Laju deuk sibeungeut, tapi caina laju orot ! Liang mata cai anu aya dina batu beureum anu nonjol, ku inyana ditutupan ku irung inyana. Barang inyana cengkat, nyebrot cai jiga diburakeun kenceng jasa, nyemprot ka beungeut Ki Mulangpurwa anu kareuwasan meh baé ngajeblag keuna talaga.
Bray ku inyana kabéh kadeuleu teges : Sakur anu aya nu ngajugrug
Sakur anu aya tapi hanteu ngajugrug, anu deukeut, anu jauh, anu deukeut aya kénéh, jeung nu deukeut anggeus liwat, anu jauh rentang-rentang ti nu anggang baris datang dina jaman bakal kasorang !
Ceuk inyana bari gogodeg : “ Aduh, aduuuh.... baruk geuning kiiieu.....!”
Inyana ngalieuk ka Rakéan anu dina sisi gawir keur cangogo dina tunggul, keur ngelepus ngudud dun kawung !
(56)
Ki Mulangpurwa gogodeg deui, laju nyampeurkeun Rakéan. Sabari nyuuh, inyanha numpangkeun suku Rakéan kana hulu. Tapi sukuna ditarik deui ku Rakéan sabari ngomong : “Ngarah kula katulah ? najan hulu dia jiga sabut kalapa ogé, lain pieun ngésédkeun suku kaula !”
Ceuk Ki Mulangpurwa bari nyembah acung-acungan : Tobaaaat karuhun ! Ngan dia anu ku kaula hanteu kadeuleu teges ! Tétéla, dia téh karuhun najan hanteu jabrigan ogé ! Sabab dia mah, Sebuuuut jelema, da sagala nyaho !
Sebuuuut kalangkang, da ngawaruga ! Sebuuut ngawujud, da hahalimunan ! Naueun atuh seja dia, putra déwaaaa........... !”
Ceuk Rakéan : “Kaula keur nyiar jalan anu samar, nutur galur nu geus lebur, mapay lacak nu geus hanteu katara ! Kaula mah ngageuing anu hanteu aréling, keur sarasar kamalinaan ! Mudu nitah dia sasadia pieun ngadegkeun Lawang Sakéténg ! Coba ayeuna pangdeuleukeun, wayah iraha mudu kaula muka kedok?”
Ceuk Ki Mulangpurwa : “Kadeuleuna, dia mudu nanggoan heula loba wayah di sababaraha jaman. Dengekeun ! Amun engké jaga aya anu ngararang atawa ngarobah carita pantun Pajajaran, masing dia nyaho, tah I n y a n a anu jadi raja Panyelang. Tah Inyana pisan MUSUH SUNDA PAJAJARAN. Buka kedok inyana ! Laju datang engké wayah : Somah ditaritah nyarambat Karamat, Laju ditaritah nyunyuhun jimat, ditaritah ku tukang sunglap !
Anu jaradi tungkang suinglapna ? Nya inyana anu nyarieun sagala loba. Loba bapa, loba aturan:
            Anu ngatur mudu ka kalér,
            Anu ngatur mudu ka kidul,
            Anu ngatur mudu ka kulon,
            Anu ngatur mudu ka wétan,
            nepi ka loba aturan pabeulit aur-awuran !
Sabab anu jaradina bapa, lain bapa anu ngatur, lain bapa-bapa anu nyaraho aturan, tapi bapa-bapa anu ngalangkahan kabéh aturan, narindakna nyompor ka kolong .... !
Ceuk Rakéan : “Naeun sabab nyarompor ? Nyaromporan aturan !”
Ceuk Ki Mulangpurwa : “Barudakna barangor”
Ceuk Rakéan : Sabab barangorna ?”
Ceuk Ki Mulangpurwa : “Bapa-bapana nyarontoan!”
Ceuk Rakéan : “Lajuna ?”
Ceuk Ki Mulangpurwa : “Ku lobana aturan, lobna aturan hanteu jaradi deui aturan. Laju anu ku dia geus dibaruka kedok, ngatur séwang-séwang maruka deui kedok ! Sing waspada, sabab dina kedok anu anyar, maranggung deui anu harayang ngajungjung ngaran SUNDA, tapi DINA SEJA PIEUN NGABEUBEUTKEUN BANGSA SUNDA ! Arinyana maranggung di wayah karancolahna anu hanteu bareunang diélingan ! Bukaan kabéh kedok arinyana. Sabab jagat geus ménta dilokat ! Tah, di wayah panglokatan jagat, wayah dia muka kedok .....!”
Laju Ceuk Rakéan : “Lot ! Déngékeun ! tanggoan di dieu. Kaula deuk ka lebak deui, ka Leuwi Ki Pataunan. Deuk nyokot makuta raja. Ku Kaula deuk dibalangkeun ka dieu. Sanggap ku dia, laju sumputkeun di dasar talaga. Ulah aya anu nyaho lebah-lebahna, séjén ti dia sorangan. Sing buni, kaula ogé teu meunang nyaho ! Sanggap ku dia. Amun hanteu kasanggap, éta makuta baris ngarungkup hulu dia ! Moal beunang dibuka deui !
(57)
Moal beunang dibuka deui, sabab ngarungkup nepi ka beuheung! Sanajan hulu dia nyunyuhun makuta ogé, dia mah moal jadi raja, sabab boro-boro deuk neuleu, ngomong jeung ambekan ogé, moal dia eudeuk bisa ! Boro-boro jadi raja, nyatu géh moal dia bisa !”
Ceuk Ki Mulangpurwa : ”Inggih !”
Ceuk Rakéan : “Tah geuning kara géh sibeungeut, geuning geus tambah pangabisa!Tapi leuwih hadé dia terus ngomong urang baé, beusi létah dia jadi heuras ! Tanggoan. Sanggap sing hadé, sumputkeun sing buni ! kaula nindak ..... !”
Rakéan laju nindak, nindak ka lebakkeun, ka leuwi Ki Pataunan. Ka leuwi anu baheula.....
Sanindakna Rakéan, Ki Mulangpurwa gogodeg baé, bari ceuk inyana: “Anu tadi téh, mooooal kituh keur nyilok deui baé ? Sabab anu nyaho éta mata cai mah, ngan duaan. Nya éta : Sang Hiyang Léngsér jeung ..... tukang pantun ! Anu sok nyingsieunan nyundatan téh, ngan tukang pantun. Tapi anu tadi mah, bau inyana séjén deuuuuuui...., jeung hanteu katimu ku pangdeuleu anu tadi mah ! Boa-boa heueuh Hiyang Léngsér ! Da ku inyana mah, montong teuin di pantar ngaing, Hiyang HANDEULAWANGI ogé, mindeng kasilok ku duwa lengser: Léngsér Kahiyangan jeung Léngsér Kawah Hiyang, anu dua tapi hiji, anu hiji mindeng misah .... ! Mending amun nyilokna dina Hiyang Léngsér Kahiyangan, tapi amun nyilokna dina Léngsér Kawah Hiyang, cilakaaaaa baé cindekna sakabéh Hiyang-hiyang jeung karuhun ! Dasar Sang Hiyang Léngsér mah, Sang Hiyang Buruuuuuuung..... !”
Ki Mulangpurwa anu jadi karuhun satonggoheun Talaga Wana, laju tangogo bari kukulutus dina BOGOR sisi gawir, nanggoan makuta ragag.... !
====
Tunda !
Keun sina cingogo, dina tunggul kawung sisi gawir, sina nyanggap makuta murag, nu ragagna ampihaneun, teuleumaneun ti talaga .... talagana dina rasa tina haté nu rancagé ........!
Urang mah ulah nagog kukulutus ! Urang tuturkeun Rakéan .....
Caturkeun inyana anggeus aya di lebahan kiwari ayana lembur MÉGA MENDUNG, Mégamendung beulah kidul.. nu mendungna lain angkeub, tapi mendung nu deuk bédah ti beulah wétan ! Ti lebah dinya kadeuleu teges lapat-lapat di kajauhan, lebah dayeuh nu geus euweuh ... tapi najan euweuh, kadeuleu teges di katineung ! Dayeuh Pajajaran bener anggeus musna ... ngan kari urutna wungkul anu hauk jiga rarahan, tapi... najan lapat-lapat, tetep ngadeg dina angen ! Rakéan ngenes.... gemes... tapi eudeuk kumaha ? Saha anu bisa ngahalang-halang tutunjuk waktu, tatarajangna jaman ?
Saha ?
Mémang alam bisa DIPÉNTA supaya nurutkeun kahayang jelema, buktina, najan bisa disarang, halodo bisa dipatok, manuk ungkut-ungkut mah karahan, bisa dijurung eunteup sina ngagendam, mawa pélét deukeut ka soré, maut-maut haté nu di jauh .... !
Mémang, jelema bisa NGAROBAH alam. Buktina, gunung-gunung diwuwuda, abéh saraat walungannana.... Alam mémang jiga bisa diparéntah ku jelema. Tapi saha anu boga rasa geus bisa marentahna, mudu nyaho datangna pamulang, inyana baris diparéntah ku alam !
Jelema anu kitu embung nyaho, manusa téh bagian tina alam. Tapi ku pangawéruh, inyana kapangaruhan ku angkuh anu jadi kasombongan anu misahkeun inyana ti jero kalangan alam ! Jelema kitu, embung ngarti, alam téh lai bagian ti inyana, tapi
(58)
inyana téh, bagian kabogana alam ........ !
====
Rakéan nindak deui, ngaliwatan ka lebahan nu kiwari aya lembur sisi Ci Jayanti .... ka Nagrak anu baheula ... laju ka Bantar kemang nu harita acan aya..... Inyana alak-ilik deui .... teges kadeuleu anu baheula disebut alun-alun Tanjung Salikur,... tapi anu harita kadeuleu Rakéan, tanjungna euweuh salikur. Ngan kari opat anu anggeus baréto kabarerang, daunan deui kembangan deui .....
Teges kénéh kawauhan, kulah-kulah di taman anu baréto disebutna Taman Mila Kancana... anu harita mah ku Rakéan témbongna jiga pamuruyan tengah rarahan ! Kulah-kulahna loba anu bédah, pinuh jujukutan anu jarangkung. Ki Pahit jeung Suket-rawa... taratena mah anggeus paraéh ! Gintung anu tujuh narangtung kénéh dadaunan deui ... ngan dayeuhna ... kari ngaran di urutna, kari sebutan dina carita.....
Ancal-ancalan di dieu di ditu, aya imah saung sababaraha, dina taneuh urut dayeuh anu harita sabagian jadi huma.....
Inyana laju nindak deui ka leuwi anu harita mah aya kénéh, nu legana jiga talaga jeung ngaranna LUEWI KI PATAHUNAN... jeung kiwari moal aya anu nyaho di mana lebah-lebahna.... sabab Leuwi Ki Patahunan Pajajaran, ayana di talaga panjang nu ngaranna TALAGA KAMALA- REUMA - WIJAYA anu kiwari mah kari urutna... nyanghulu ka BANTAR PEUTEUY, nunjang ka LEBAK PILAR.
Rakéan laju nyiar hantap anu sapasang handapeun jabon gedé anu doyong... nyiar lebah nu aya sodongna, palebahan cayotan buburialan... nu nyeot ka jero taneuh, sabari ngaguruh cara curug ..... Inyana nyiar di lebahan anu geueuman, anu keueungna mantak ginggiapeun anu teu ludeung. Tapi Rakéan mah hanteu keueung ! Sabab inyana mah nyahoeun doi wayah jeung di kumahana mudu asup keuna sodong ! rakean teuleum.... teu kungsi sabaraha kebelna, inyana timbul deui, sabari nyunyuhun makuta alus jasa. Makutana tina emas, diukiran kembang tanjung, jeung tarate nu kuncup kénéh, ditarétés ku permata gugurilapan.
Barang inyana eudeuk hanjat, inyana kadeuleu ku anu keur nguseup di beh girang. Rakéan deuk teuleum deui, tapi kaburu disampeurkeun.
Ceuk nu nyampeurkeun : “ Naeun tah ?”
Ceuk Rakéan : “Makuta!”
Ceuk nu nyampeurkeun : “Makuta naeun ?”
Ceuk Rakéan : “Emas!”
Ceuk nu nyampeurkeun : “Lain kitu, anu saha ?”
Ceuk Rakéan : “Barétona boga Raja Pajajaran ! Tapi ayeuna mah, kaula anu boga!”
Ceuk nu nyampeurkeun : “Kadieueun ?”
Ceuk Rakéan : “Ku naha ?”
Ceuk nu nyampeurkeun : “kadieueun baéee ! Sabab kaula anu bogana! Sabab ieu nagara geus lain bogana deui Raja Pajajaran, tapi bogana raja séjén! Kaula di dieu bopatina !”
Ceuk Rakéan : “Ti mana datangna maké jadi bopati?”
Ceuk anu hayang makuta : “Ti wétan!”
Ceuk Rakéan : “Asa ku hanteu merenah ! Hanteu jiga !”
Ceuk anu hayang makuta : “Kiwari mah, lain teureuh anu dipilih. Tapi kabisa. Ari kabisana mah, naeun baééééé....!”
Ceuk jero pikir Rakéan : “Pantes deuk sagala-gala aut-autan ogé !” Laju Ceuk inyana : “Baheula mah, bopati téh ukur bener-bener rarupa menak téh, dimudukeun
(59)
mudu pinteur, tapi dia mah, kadeuleuna rada béda !”
Ceuk anu nyampeurkeun méntas nguseup téa : “Tétéla sia lain urang dieu ! Lain somah ngaing ! Sabab can neuleu di dieu aya anu sajoré sia ! Sia ka dieu tangtu eudeuk babadog !”
Rakéan eudeuk ambek, tapi nahan heula. Laju ceuk inyana : “Sora joré patut mah, teu mantak naeun-naeun ! Tapi amun rupa pangagung nyeples tukang nyadap tuak, asa-asana téh moal béda keuna maréntahna.....!”
Bopati anu resep nguseup, anu hayangeun makuta jeung rupa inyana jiga tukang nyadap, nya karuhan inyana ngambek. Laju narajang, der gelut, gelut... garelut marebutkeun makuta, garelut sabab séwang-séwang rasa dihina ! Rosa jasa garelut arinyana, sabab bopati éta jawara wétan anu ku raja wétan dijenengkeun bopati. Saba dina urusan sinembah anu anyar, inyana loba jasa pangawéruh, jeung ku galak kabina-bina, inyana dipikasieun sakabéh somah ! gagah jeung sakti mapadan JAYA ANTÉA.
Urang caturkeun garelutna. Gelut jaman baheula mah, bieda ti gelut jaman kiwari, komo gelut dina carita pantun mah ! Baheula mah, ari gelut téh kacaritakeun nepieun aya poéannana.... ledeg taneuh urug gawir, rarungkad jeung tatangkalannana !
Rakéan geus kadéséh, sabab mudu gelut sabeulah leungeun. Da anu kenca mah nyekelan makuta. Barang inyana keur dicekék, inyana ngaleupaskeun makuta. Makuta dirontok bopati ! Harita kénéh, makuta ku Rakéan disépak kenceng jasa, mecleng ka tengah-tengah leuwi. Nyépakna dibarengkeun jeung neunggeul puhu ceuli musuh, disusul jijekan anu nenggel keuna cangkéng bopati anu deuk ngarontok makuta. karuhan bopati tukang nguseup anu jiga tukang nyadap, inyana hanteu éling .... dalugdag-daligdeug ngagoloyong keuna leuwi, leong palid .... modar !
Modar, sabab najan pinteur ngojay cara lauk ogé, ari tikecebut eukeur teu éling mah , nya tikerebeeeeek.....
(Ceuk anu nyaraho di caritana, éta bopati téh ngaran inyana KIAI JAWARÉD. Inyana mémang sakti. Ceunah mah, inyana hanteu paéh, tapi barang kecebur keuna leuwi téh laju ngileus. Engké jaga, inyana baris adatang deui. Datangna hanteu nyorangan, tapi mawa loba batur. Inyana datang jadi urang bangsa ANGGRIS, diiring-iring loba nu harideung, loba anu barulé. Tapi anu harideung mah, hanteu kabéh ngilu ka inyana, sawaréh mantuan urang. Arinyana di urang hanteu lila, ngan saukur salila haneut poyan !)
Anggeus musuh inyana kadeuleu palid, Rakéan teuleum deui nyokot makuta. Anu leutik, ku inyana disumputkeun dina sodong di beulah wétan. Laju inyana hanjat sabari mawa makuta anu gedé. Laju harita kénéh dibalangkeun..... engkéna nepi ka Talaga Wana, disanggap ku Ki Mulangpurwa, disumputkeun di dasar talaga .... di tonggohna, dijaga ku Ki Mulangpurwa, di dasar talaga, dijagaan naga anu engké mudu beunta!
Rakéan nindak deui. Inyana hanteu engeuh keur gelut téh, aya anu neuleukeun. Nya éta tujuh lalaki di kajauhan keur araya di huma séwang-séwangan. Nareuleukeun baé, ari ngadareukeutan mah hanteu. Ngadeuleu Rakéan unggul gelut, arinyana buru-buru moro. Lain moro cara moro monyét, tapi moro nyampeurkeun bari atoh. Laju sasalaman.... ”La-i-kuuuuum.....”
Rakéan hanteu sasalaman, inyana ngajanteng baé, bingung .....
Ceuk nu nyampeurkeun : “Sukur, Ki Semah, sukuuuuur !”
Ceuk Rakéan : “Ku naha nyukur-nyukur kaula ? Apan anu paéh téh, bopati dia !”
Ceuk nu nyampeurkeun, pangkolotna : “Bopati sato, Ki Semah, éta mah lain jelema, boro-boro manusa ! Bengisna leuwih ti dedemit, galak leuwih ti sétan, sarakah jeung rarampas. jeung hanteu kaop salah saeutik, sakali gaplok, kadua bedog .... !”
Ceuk Rakéan : “Kaula maéhan bopati, tangtu raja dia ngukum kaula!
(60)
Ongkoh kaula mah lain urang dieu !” Inyana ngomong sabari nelek-nelek, neges-neges anu tujuhan.... tétéla, satujuhna urang Pajajaran, tétéla urang panamping anu baréto ditamping sabab garanti sinembah!
Ki Jiba. anu pangkolotna pangbongkokna, Ki Topo, anu kolotna rada ngoraan tapi bongkokna meujeuhna ogé, Ki Seunu, aki-aki anu pangngorana, Si Meuti anu keur meujeuhna ngolotan, anu keur budakna nyorang gelut ngalawan kunyuk. Anu tiluan deui mah, anu baréto barudak kénéh !
Rakéan tenget ka arinyana, tapi sabab Rakéan salin rupa jadi joré, anu tujuhan mah hanteu tarengeteun ka Rakéan !
Ceuk Ki Jiba anu pangkolotna : “Ki Sémah ! Mémang, samuduna mah anu jadi kokolot téh urang dieu ! Tapi pieun somah mah, lain asal datang ti mana atawa saha, tapi saha anu béla somah, tah éta tangtu anu dipiluan ! Najan urang mana urang mana ogé, ari ka somah hadé raksa hadé ajak, hadé jeujeuh jeung deudeuh, hadé ngatur, saeutik catur, méré bukti nu kaharti, ari jangji tangtu jadi, moal somah mudu dititah. Sabab lain paréntah anu diturut ku somah téh, tapi kanyaah somah, anu nurut ka anu maréntah !”
Rakéan hanteu sanggup jadi kokolot, sabab inyana mudu nindak deui, mudu ngalalana nanggoan wayah, wayah inyana mudu muka kedok, anggeus mukaan kedok-kedok anu ngaralakon!
Rakéan nindak. Anggeus inyana rada jauh, ceuk Ki Jiba ka batur-batur anu genepan : “Ti tukangna mah, jiga Rakéaaaan anu baheula bageur ka kabéhan! tapi beungeut inyana, ieu mah ku joré jasa ..... Batur, moal kituh éta téh anu ku urang disambat saban peuting maké mantra anyar ? Amun heueuh enya, geuning kiiiiitu karuhun sabrang téh, nya batur ! Saban peuting urang sasambat abéh leupas tina siksaan bopati. Ayeuna kurunyung Karuhun jiga lutung, Nya suuuuukur, karuhuuuuuun ! Joré patut gé da hadé tulung.... hamdulilah, nuhun, nuhuuuuun !”
Anu tujuhan laju nyarembah. Ka saha nyembahna mah, nyao teuuuin....!
Moal, moal ditunda !
Atuh ari ditunda ditunda deui mah, moal gancang eudeuk kateundeun di haneuleum sieum pieun anu baris nyarampeur.... moal eudeuk datang datang wayah hanjuaneun anu narineung .....
Urang caturkeun baé Rakéan !
Inyana nindak deui, seja inyana ngalongok urut taman. Taman Mila Kuncana anu geus bédah ! Inyana ngaliwatan Hanjuang Siang nu sadapuran jeung Suji Domas, sisi taman beulah wétan, sisi pisan kulah nu geus saat !
Pikir Rakéan : “Dimana-mana Hanjuang Siang geus teu kadeuleu aya, tapi di dieu aya kénéh Pakujajar !” Laju ngadeukeutan tangkal Ki Paharé anu gedé ! Inyana ngejat deui, sabab suku inyana asa nincak seuneu ! Taneuhna panas mani cara seuneu.... Ceuk inyana : “Salila di Pajajaran, ngaing can nyorang neuleu ieu taman anu disarebut Taman Sangar téa ! Ari kieu mah, ngaing percaya keuna sangarna !”
Keur sosoranganan ngomong kitu, pelengir baé wangi menyan Pajajran, disusul arum kukus Jayanti wangi kamuning !
Ceuk Rakéan : “Bener sangar ! Tapi saha anu ngageugeuh di dieu ? Tiiiilok aya kénéh Karuhun anu tinggaleun ? Apanan ceunah, ku sinembah anu anyar, moal aya deui Karuhun Pajajaran anu nyésa????”
(61)
Laju inyana mapatkeun rajah paringgaan, disambung ku rajah paneja... tapi euweuh kadeuleu aya nu némbongan.
Ceuk inyana : “Karuhun sabrang meureun ! Hayang neuleu dirupana...” Euweuh anu némbongan kénéh baé. Ngan melénghirna menyan Kamuning, tambah banget mingkin wangi.....
Ceuk Rakéan sabari luak-lieuk : “Tétéla ari Pajajarannana mah. Tapi sasaha anu di dieu jang panggeugeuh ? Kaula Pajajaran, dia ogé Pajajaran! Dia saaaaaha, karuhuuuuun ?”
Harita tangkal Hanjuang anu panggedéna laju gedag jiga anu nepak.... bréh dina kayu tangkalna aya KUJANG dikadékkeun !
Ceuk Rakéan : “Amun hanteu salah deuleu, kujang anu kitu mah, boga Ki Guru Sekar ! Amun bener boga inyana, boga KI GURU SEKAR SANTARUPA, coba éta kujang sina mere tanda anu moal sulaya !”
Harita kénéh kujang nanceb dina congona !
rakean laju nyembah : “Baruk geus jadi karuhun ?! Aki, kaula hayang nyarita eujeung dia. Bisa kaula nyarita ?”
Euweuh anu ngajawab, jaba ti sora angin leutik ngérésékkeun daun hanjuang.....Rakéan nyeukeut-nyeukeutkeun pangdéngé sora haréwos, sora déhém aki-aki.... Laju kadéngé deui sora haréwos tukangeun inyana “Acan wayah, kaula nyora. Tapi kaula deuk nyarita, dina sora anu kieu, jeung sakeudeung baé ! Dia bener Rakéan! Sabab dina dada dia, di jerona, ku kaula mah kadeuleu teges tanda anu ngan ayana di Pajajaran Sunda nu keur lara ! Tanda éta ! Anu hurung jiga ruhak, tapi kabulen lebu!
Rakéan déngékeun !
Éta kujang kaula, pangmikeunkeun ka JELEMA NU HIRUP INYANA BALANGSAK BAÉ, BARI KUKUH NAPAK DINA BENERNA HADÉ, JEUNG TETEP DINA HAHADÉNA BENERNA KABENER! Najan rupa inyana mantak cangcaya jeung sagala-gala mantak curiga, masing dia nyaho, inyana téh Pajajaran minda raga, anu diparajarkeun nista ku mata anu ngarewa, nu diham ku tatangga, dipikagiruk ku urut batur, tapi dipikabarutuh ku sakur anu baringung, ku anu sarusah meujeuh keur payah!
Pangmikeunkeun ka inyana, sabab inyana :
      Anu baris mudu nyabrangkeun walungan tanpa sunggapan
      Anu baris mudu ngojayan sagara tanpa basisir,
      Anu baris mudu nau .... sagara Sabdawarna ....!
Tapi kujangna, mudu dicokot ku inyana ! Dia mah ngan saukur nuduhkeunnana ! béjakeun !
Mudu ditéangna, wayah janari, meujeuh gelédég patingjelegér, dipeutingan poék bulan, jeung ti sareupna nepi ka brayna, guludug patinggulugur terus-terusan ....!
Béjakeun !
Ieu hanjuang amun kari ngaran samar catang ulah inyana eudeuk nuar, sabab engké jaga, amun tina Pakujajar sadapuran, kari Suji Domas anu nyésa, engké méntas aya anu karep eudeuk ngaruksak, tangkalna baris sempal, reunggasna potong sorangan, inyana mudu nohagaan dawuan di Ci Kabuyutan. Tapi anu maéhannana lain Sunda Pajajaran !
Rakéan !
Taneuh di lebah dieu, saratus jeung sapuluh tahun, moal aya suku anu sanggup nincak, séjén ti inyana anu baris narima éta kujang !
Siar ku dia éta jelema ! Inyana bakal kasampak di pangparatan WARGA
(62)
SUWUNG, di wayah opat sagara, lautna pada ngagolak cara cai piasakkeun dina kancah !
Béjakeun ! Kujangna mudu disarangkaan dahan Pakujajar, Hanjuang Siang Lalayaran...............”
Sora haréwos laju leungit, cara aweuhan celuk dipangku angin, jiga ngalayang ka anu anggang .... laju lebur, leyur... nyampur hiji deui keuna ngalindengna sawara alam......
Rakéan, Rakéan Kalang Sunda, laju nyembah, nyembahna ka anu ngaleungit, ka sawara tanpa rupa, nu celukna engké baris nyurup keuna gelegerna génjlongna jagat anu jadi tegal pangperangan .....
Rakéan laju nindak deui ! K a m a n a ?
Ka jaman anu bakal datang ka wayah baris makana sakabéh anu maraké kedok salila arinyana maranggung dina panggung meungpeung-meungpeung, meungpeung-meungpeung arinyana barisa kénéh nyaringsieunan somah, meungpeung-meungpeung banténg acan ngamuk......!
Urang caritakeun heula !
HANJUANG SIANG NUNDA NGARAN Anu kiwari ngari kénéh ngan, Suji Domas sajajaran anu ayana hanteu jauh ti anu kiwari disarebutna LAWANG GINTUNG ! Lawang Gintung anu kiwari, lain Lawang Gintung anu baheula, sabab lawang gintung Pajajaran, éta mah anggeus musna, runtuh ku kebelna waktu, eunyeuh ku tatangkalan nu jaradi di ruhurna !
LAWANG GINTUNG PAJAJARAN, PAJAJARAN Anu baheula, ayana satonggoheun kiwari aya karét kebo anu gedé, beulah wétan rada ngidul...... // kiwari = 1908! //
Ceuk carita anu nyaraho kajadiannana !
Di lebahan éta Pakujajar anu kiwari aya kénéh, mindeng kadeuleu di waktu peuting aya anu ngagebur hurung, caangna semu-semu héjo..... Amun disampeurkeun, anu ngageburna laju ngileus, tapi anu nyampeurkeunnana laju harudang bulu punduk inyana.
Ceunah, kungsi aya budak deuk ngala daunna pieun parab embé. Naékna mah éta budak téh kadareuleu, tapi laju leungit dina gumpulkan daun anu kerep di ruhur tangkal.
Ceunah kungsi aya Kiai anu kasohor eudeuk nuar éta tangkal, di imah kénéh inyana ngadadak kémpér mantaré.....
Kungsi sababaraha kali anu ngaheureuyan éta tangkal, hanteu lila laju paéh handapeunnana, atawa paéh anggeus nepi ka imah.... anggeus ngaco heula teu bisa ditambaan ku dukun-dukun anu lalepus !
Ceuk anu nyaraho di ugana, éta Pakujajar baris dipindahkeun..... ! Amun dipindahkeunnana dijieun papajang taman, tah éta tandana RAJA anu NGADEG téh, raja anu kawarisan PAJAJARAN, Pajajaran anu anyar. Éta raja baris terus banjaran dina jayana, ngabuburak kabéh raja panyelang anu arédan keur senang-senang. Raja-raja penyelang anu balageur ka somah jeung barener laku lampah, ku éta raja ditaraékkeun pangkat jeung raja dipupuji sakabéh somah anu disina sangsara balangsak sakitu lilana......
Anu ceuk ceunah, sok kadeuleu ngagebur hurung, éta téh naeun?
Ceunah mah KUJANG anu geus ménta ditéang. Ceuk ceunah deui, anu ngagebur mah. HANJUANG BODAS tangkal pupundén, pupundén Pajajaran ... anu engké jaga baris témbong, pakéeun Raja nu kawaris Pajajaran. Pakéeun inyana dina perang jagat keur dilokat, dina perang anu diheulaan ku perangna caang merangan poék, perangna bodas merangan hideung !
Cag tunda !
Hanjuaneun di séjén wayah, sabab pamali amun mantun kabeurangan ! Urang teundeun heula di haneuleum kasieuman, nu sieun ku anu hanteu arengeuh. Langit beureum sapaméntangan, béntang konéng ngabaranang ...... !
Catetan :
Rawayan = runtayan / rundayan
Taram = breng
Buritna = ahirna
Éwéna = pamajikannana
Kebelna = lilana
Binuang = diuber-uber
Bulu borang = bulu dina indung suku
Ngadanieun = nyadarkeun
Dani = sadar, éling
Basa = waktu, eukeur
Basa = omongan, ngomong
Bogor = tunggul kawung
Talaga Reuma Wijaya = Talaga Kamalajaya
Kadongdon = kapariksa, kabokér

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907