Tim UGM merancang, Pengageng dilarang menjadi pengurus dan anggota partai politik
VIVAnews - Kepemimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi polemik sentral dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta. Muncul berbagai usulan, termasuk salah satunya seperti diusulkan Universitas Gadjah Mada, memberlakukan sistem ala monarki konstitusional.
Sejak Republik Indonesia berdiri, Kepala Daerah di Yogyakarta dipimpin oleh penguasa Keraton Yogyakarta. Posisi istimewa ini diakui oleh konstitusi dan disahkan oleh undang-undang.
Di masa Orde Baru, keistimewaan Yogyakarta ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Aturan peralihan di Pasal 91 mengatur, "Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya."
Ketika Reformasi bergulir, bagian penjelasan Pasal 122 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 mengatur "Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini."
Undang-undang 22/ 1999 ini kemudian direspons dengan keinginan untuk membentuk suatu undang-undang tersendiri untuk Yogyakarta pada tahun 2002. Namun RUU ini kandas.
Kemudian pada 2004, UU 22/1999 direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 226 mengatur, "Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang Undang tersendiri."
Undang-undang ini baru jelas semakin mensyaratkan kebutuhan Yogyakarta akan sebuah undang-undang tersendiri. Berbagai pihak kemudian menyusun RUU sendiri seperti Pemerintah Yogyakarta dan Departemen Dalam Negeri. Nah, Departemen Dalam Negeri pada 2007 kemudian menunjuk sekelompok dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada menyusunnya.
Tim dosen dari jurusan Ilmu Pemerintahan UGM itu secara umum mengonsep sebuah sistem ala monarki konstitusional di Yogyakarta. Mereka menyusun, Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pengageng Keistimewaan Yogyakarta.
Pengageng Keistimewaan Yogyakarta adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai satu-kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengageng adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman yang bertahta secara sah.
Sementara Pemerintah Daerah dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah. Namun, istimewanya, Pengageng memiliki hak memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perorangan bakal calon atau bakal-bakal calon Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang dinyatakan telah memenuhi syarat kesehatan dan adminisitratif oleh Komisi Pemilihan Umum. Kemudian juga Pengageng berhak mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Selain itu, Gubernur juga dirancang wajib mengikuti arahan umum Pengageng dan berkonsultasi dengan Penageng untuk sejumlah urusan.
Namun, Pengageng juga memiliki keterbatasan. Tim dari UGM ini merancang, Pengageng dilarang menjadi pengurus dan anggota partai politik; melakukan kegiatan bisnis yang terkait dengan kewenangannya; dan membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, atau golongan tertentu.
Namun, usulan Tim UGM ini hanya menjadi sekadar rancangan. Sampai DPR periode 2004-2009 berakhir, RUU Keistimewaan Yogyakarta gagal diundang-undangkan.
Dan untuk DPR periode 2009-2014 ini, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo, pemerintah belum memasukkan lagi usulan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Ganjar sendiri sudah menyilakan pemerintah kembali memasukkan rancangan yang sama. (sj)
UGA SILIWANGI :
.....
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
....
selengkapnya :
http://wikisource.org/wiki/Uga_Wangsit_Siliwangi