Monday 31 January 2011

Kasus Dana Revolusi Tutup

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/19/0007.html

Kasus Dana Revolusi Tutup
From: apakabar@clark.net
Date: Sat Aug 19 1995 - 09:57:00 EDT

From: John MacDougall

From: nicojt@server.indo.net.id (Nico J. Tampi)

DANA REVOLUSI

Kisah Perburuan Itu Ditutup

Pemerintah menyatakan, pelacakan Dana Revolusi dianggap sudah
selesai. Sebagian dana itu sudah diperoleh Pemerintah.

IBARAT film, adegan pelacakan Dana Revolusi yang menjadi sorotan
masyarakat sejak akhir 1986 telah berakhir meski dengan setumpuk
pertanyaan. Layar telah ditutup oleh Menteri Sekretaris Negara
Moerdiono, Jumat siang pekan lalu. "Kami berpendapat, selesai
sampai di sini," kata Moerdiono kepada wartawan di Gedung Utama
Veteran, Jakarta. Alasannya: Pemerintah tak menemukan bukti-bukti
baru tentang dana tersebut. Yang ada hanyalah analisis. Artinya,
seperti diungkapkan Jaksa Agung Singgih -- yang juga hadir di
situ -- fakta yang ada hanya berdasarkan analisis berita.
Menyiarkan berita burung, menurut Singgih, bisa meresahkan
masyarakat. "Pernyataan siapa pun yang tak disertai bukti akan
terkena sanksi hukum," kata Singgih mengancam.

Harap maklum, dalam kasus ini, Singgih telah membentuk tim. Tim
itu telah melakukan penelitian, termasuk menanyakan langsung
kepada Soebandrio dan sejumlah orang yang dikabarkan berkaitan
dengan masalah ini. Hari itu tim telah melakukan evaluasi yang
pertama sekaligus terakhir.

Pengumuman ini sekaligus menjawab teka-teki ada atau tidaknya
Dana Revolusi. "Dana Revolusi memang ada," kata Moerdiono. Dana
itu dihimpun pada tahun 1964 atas instruksi Presiden Soekarno.
Ketika itu, menurut Moerdiono, Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno
menginstruksikan kepada Menteri Urusan Bank Sentral untuk
menghimpun dan mengatur Dana Revolusi.

Tapi sejak Orde Lama tumbang, cerita itu seperti hilang ditelan
bumi. Baru pada akhir 1986 Dana Revolusi jadi bahan perbincangan
nasional. Adalah tokoh SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia) Dr. Suhardiman, yang ketika itu menjadi salah satu
pimpinan Fraksi Karya di DPR, yang mencuatkannya kepada
masyarakat. Sebelum itu Soebandrio, orang yang disebut memegang
dana tersebut, dari penjara mengirim surat kepada Presiden
Soeharto. Intinya, menyampaikan laporan kepada Presiden bahwa ada
kekayaan negara di bank luar negeri atas namanya. Yaitu US$ 450
juta di Union de Banques Suisses dan emas lantakan senilai 125
juta pound di Bank Barclay's, London. Ada lagi masing-masing US$
250.000 di Bank Guyerzeller Zumont, Zurich, dan Bank Daiwa
Securities, Tokyo. Sayangnya, surat Soebandrio itu, seperti
dikatakan Moerdiono, sama sekali tak dilengkapi bukti.

Namun Pemerintah tak tinggal diam. Presiden Soeharto
menginstruksikan Moerdiono -- ketika itu Menteri Muda Sekretaris
Kabinet -- untuk melacaknya. Moerdiono membentuk Tim Operasi
Teladan. Tim itu dipimpin Marsekal Pertama Kahardiman, waktu itu
Kepala Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu). Sekarang Kahardiman menjadi
Hakim Agung di Mahkamah Agung. Anggotanya, antara lain, Hartanto
(Sekretaris Moerdiono) dan Teuku Mochamad Zahirsjah (ketika itu
Direktur Bank Indonesia). "Orang-orang inilah yang saya tugaskan
melacak ke Inggris dan Swiss," kata Moerdiono.

Hasilnya memang nihil. Emas lantakan dan uang US$ 450 juta yang
diharapkan tak ditemukan. Tapi bukan berarti Tim Operasi Teladan
gagal total melacak Dana Revolusi. Pada 1987, tim berhasil
menyelamatkan aset negara. Misalnya, Bank Indonesia telah
menerima dari dana tersebut sekitar US$ 550 ribu dan Rp 1,5
milyar. Selain itu US$ 250 ribu di Bank Guyerzeller Zumont, dan
US$ 250 ribu di Bank Daiwa Securities. "Uang ini semua masuk ke
kas negara sejak 1 Oktober 1987," kata Menteri Moerdiono. Hanya
itu. Jadi jumlahnya tak sebanyak yang digembar-gemborkan.

Jumlah dana yang sudah diselamatkan itu mungkin merupakan hasil
pelacakan yang dilakukan aparat Orde Baru, setelah meletusnya
G-30-S/PKI, September 1965. Soalnya, setelah G-30-S/PKI meletus
dan sejumlah pejabat Orde Lama ditangkap -- termasuk Soebandrio
dan Omar Dhani -- upaya penyelamatan harta negara memang
dilakukan.

Salah satu yang bertugas untuk itu adalah Tim Pekuneg (Pengawasan
Keuangan Negara) pimpinan Mayor Jenderal Soerjo. Dari surat
Kepala Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), Marsekal Pertama
Kahardiman, 30 Juli 1987, kepada salah seorang Direktur Bank
Indonesia, diketahui bahwa sejumlah aset negara yang diselamatkan
Tim Pekuneg. Menurut surat tadi, sejak 1966 sampai Maret 1973,
Pekuneg telah menyelamatkan uang dan barang sekitar US$ 9,8 juta.
Dari jumlah itu sekitar US$ 9 juta berasal dari Dana Revolusi.
Selain itu ada lagi: N FL 500.000, ditambah 153 ribu yen,
ditambah Rp 93.773, dan 100,5 kg emas, serta 100 kg perak.

Dalam surat itu juga disebutkan, pada 26 November 1960,
Soebandrio membuka rekening di Union de Banques Suisses,
Schweizerische Bank Geselinschaft Bern, Switzerland, Nomor GF
90074891. Artinya, Pekuneg sudah tahu rekening Soebandrio di
Swiss itu. "Saya mendapat informasi tentang nomor account itu,
kemudian saya serahkan kepada bank," kata Kahardiman kepada
Gatra.

Selain itu Tim Operasi Teladan pada tahun 1987 telah memanggil
sejumlah tokoh untuk ditanyai tentang Dana Revolusi. Di antara
mereka: Husbin Mutahar, eks pejabat keuangan di Departemen Luar
Negeri, Mulyadi Milono, eks bendahara Badan Pusat Intelijen (BPI)
yang dipimpin Soebandrio, Hartono, orang kepercayaan Soebandrio
di Departeman Luar Negeri waktu itu, dan Habir, eks Kepala Bagian
Ekonomi atau Kepala Kantor Pampasan Perang KBRI Tokyo.

Jawaban mereka cukup mengejutkan. Mutahar, misalnya, tahu ada
Dana Revolusi US$ 250 ribu di Bank Guyerzeller Zurmont, Swiss. Ia
juga tahu bahwa Hartono menyimpan US$ 250 ribu di Bank Daiwa
Securities, Tokyo. Dana tersebut akan digunakan untuk
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tahun 1965, tapi gagal.
Sisa uang ia berikan kepada tim pemeriksa waktu itu: Kolonel Her
Tasning, Kolonel Harsono, dan Mayor Sudharmono.

Sementara itu Mulyadi Milono dalam pemeriksaan tersebut mengaku
menerima dana US$ 500 ribu. Sekitar US$ 300 ribu dari jumlah itu
ia habiskan untuk membiayai pendidikan dan membeli peralatan
intel. Sisanya, US$ 200 ribu, ia serahkan kepada tim pemeriksa
pada waktu itu yang dipimpin Kolonel Her Tasning. Sedangkan
Hartono mengaku menyimpan uang masing-masing US$ 250 ribu di Bank
Guyerzeller Zurmont, dan Bank Daiwa Securities. Menurut Hartono,
Soebandrio -- dalam status tahanan -- menandatangani surat kuasa
kepada Kolonel Her Tasning untuk mengambil uang di kedua bank
tersebut. Semua dana yang berhasil disita itu mungkin sudah
termasuk dalam angka Dana Revolusi yang berhasil diselamatkan,
seperti disebutkan Menteri Moerdiono tadi.

Bekas Wakil Presiden Sudharmono -- salah satu nama yang disebut
sebagai penyelamat Dana Revolusi itu, selain Kolonel Her Tasning
dan Kolonel Harsono -- tak bersedia memberi keterangan ketika
ditemui Gatra, pekan lalu. Ia manyarankan untuk menanyakan soal
itu kepada Pemerintah. "Saya sudah katakan, kalau ada data atau
informasi baru tentang Dana Revolusi, sebaiknya langsung
dilaporkan kepada Pemerintah," kata Sudharmono kepada Genot
Widjoseno dari Gatra.

Tapi selain Tim Pekuneg dan tim Kolonel Her Tasning tadi ada pula
Tim Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Ali Moertopo, yang
ternyata turut pula berusaha menyelamatkan harta negara
peninggalan rezim Orde Lama. Ali Moertopo minta bantuan Des Alwi,
tokoh yang terkenal sebagai pemburu benda bersejarah Indonesia di
luar negeri, untuk mengecek dana tersebut di luar negeri. Des
yang mengaku bukan anggota Opsus berhasil menyelamatkan sekitar
S$ 2 juta. Uang itu, katanya, sisa barter ekspor kita -- terutama
karet -- ke Malaysia dan Singapura. Ini dilakukan Des seusai
konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Uang itu dimasukkan Des ke
Bank Indonesia di Hong Kong.

Des Alwi juga berhasil melacak US$ 100 ribu dari Bank Arab di
Paris. Itu terjadi pada 1973. "Tapi uang itu hangus dibawa mati
oleh pimpinan cabang bank tersebut di Amerika Selatan," kata Des
Alwi kepada Dani Hamdani dari Gatra. Pimpinan bank itu, Belgas,
melarikan uang bank yang dipimpinnya ke sebuah negara di Amerika
Latin dan ia meninggal di sana. Bank ini jarang disebut orang
sebab, kata Des, bank itu sendiri sudah bangkrut. Menurut Des
Alwi, pencarian Dana Revolusi ini sebenarnya sia-sia saja. "Tak
masuk akal ada duit sampai trilyunan rupiah," katanya. Sebab,
katanya pula, negara kita waktu itu sedang bangkrut. Utang
kiri-kanan.

Des Alwi mengaku, tak tahu sama sekali tentang temuan Opsus dalam
bentuk emas. Memang ada isu yang menyebutkan bahwa Tim Opsus Ali
Moertopo disebut-sebut berhasil mengamankan 100 kg emas dan 400
kg perak. "Saya tak pernah mendengar itu. Setahu saya, di dunia
tak ada orang menyimpan emas di bank," kata Des Alwi, putra
Bandaneira, yang berusia 68 tahun itu.

Menurut pengetahuan Harry Hoepoedio, kemenakan istri pertama
Soebandrio, ada satu nama lagi yang dianggapnya tahu tentang
dokumen Dana Revolusi. Orang itu, katanya, dari satuan tugas
khusus luar negeri. Ada yang menyebut orang ini cuma informan.
Ketika rumah bekas Waperdam I Soebandrio diserbu mahasiswa dan
pemuda, tahun 1966, orang itu sempat menemukan beberapa dokumen
atau cek. Setelah demo mereda, orang itu ke Jepang untuk
mencairkan cek tersebut. Tapi pihak keamanan tahu kasak-kusuk
orang itu. Nah, begitu sampai di Tanah Air, ia ditangkap.
Kemudian ia dibawa ke Markas Polisi Militer di Guntur, Jakarta
Selatan. Tak ada kabar setelah itu. "Orang itu mati dalam
tahanan. Dana Revolusi ternyata makan korban," kata Haji Harry
Hoepoedio, 50 tahun.

Kini pelacakan Dana Revolusi sudah dihentikan. Pengumuman Menteri
Moerdiono dan Jaksa Agung Singgih tersebut tentu disambut baik
oleh Soebandrio dan keluarganya. Dokter Soebandrio, yang pernah
menjadi orang kuat nomor dua di negeri ini tentu akan bisa
menikmati sisa usianya dengan tenang. Sebab Dana Revolusi sudah
tak diperbincangkan lagi. Layar telah ditutup. Paling-paling
setelah keluar sel, Soebandrio harus memikirkan utangnya kepada
Musa bin Mohamad Kasdi, mitranya dari Malaysia, untuk menguber
Dana Revolusi. Rupanya, 27 Februari 1981, ia mengutang kepada
Musa US$ 10.000 dengan bunga 12% per tahun, yang agaknya akan
dilunasi kalau perburuan Dana Revolusi berhasil.

Julizar Kasiri dan Linda Djalil

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907