Kisah Cinta Bung Karno dan Inggit
Last Updated on Thursday, 11 February 2010 15:07 Written by redaksi Thursday, 11 February 2010 15:06
Inilah cerita Bung Karno yang aku petik/ringkas dari buku Cindy Adams "Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia" terbitan Gunung Agung, 1966. Ejaan lama yang asli dari buku ini aku ubah dengan ejaan baru agar Anda nyaman membacanya.
Bung Karno bersekolah di Hogere Burger School, Surabaya dan tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto. Ketika Bung Karno diminta menikahi Utari (anak Pak Tjokro) oleh saudaranya Pak Tjokroaminoto untuk menggembirakan hati Pak Tjokro yang kuatir hari depan putrinya itu maka pada mulanya BK menampiknya. Alasannya Utari umurnya baru 16 tahun sedangkan BK 20 tahunan, namun karena didesak akhirnya BK setuju dengan cara "kawin gantung" artinya BK tidak "meniduri" isterinya itu. "Aku tidak melakukannya karena dia masih kanak-kanak. Boleh jadi aku seorang pencinta, tetapi aku bukanlah pembunuh anak gadis remaja. Itulah sebabnya kami melakukan kawin gantung. Pesta kawinnyapun digantung."
Sewaktu BK melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi di Bandung, Pak Tjokro mengusahakan pemondokan dirumah temannya yaitu tuan Haji Sanusi. BK pergi terlebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihat-lihat kota. Kesan BK tentang kota Bandung : "Hawanya dingin dan wanitanya cantik-cantik."
Seorang laki-laki sudah baya yang memperkenalkan diri sebagai Sanusi datang menjemput BK dan membawanya kerumahnya. "Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tapi jelas bahwa ada keuntungan tertentu dalam rumah ini. Keuntungan utama sedang berdiri dipintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannya nampak jelas dikelilingi cahaya lampu dari belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga merah cantik melekat disanggulnya dan suatu senyuman menyilaukan mata. Ia isteri Haji Sanusi, Inggit Garnasih."
Segala percikan api, yang dapat memancar dari seorang anak 20an tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan 30 tahunan yang sudah matang dan berpengalaman. Disaat pertama aku melangkah melalui pintu masuk aku berpikir "Aduh luar biasa perempuan ini." Aku sadar, lebih baik aku cepat-cepat berhenti mengingatnya. Karena itu ingatan kepada nyonya rumah itu kuhilangkan dari pikiranku-untuk sementara-kemudian menyuruh datang Utari dan memusatkan pikiran pada persoalan masuk Sekolah Teknik Tinggi mengejar gelar Insinyur - bukan untuk merusak perkawinan orang.
Utari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur bahkan satu kamarpun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seorang yang baru kawin kasih sayang ku kepadanya hanya sebagai kakak. Aku ingin di-ibu-i oleh teman hidupku, kalau pilek ingin dipijitnya, kalau lapar ingin makan masakan yang dibuatnya sendiri, kalau bajuku koyak dia akan menambalnya. Isteri merupakan paduan seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Dengan Utari keadaannya terbalik. Aku yang menjadi orang tuanya, dia sebagai anak.
Ia bukan idamanku, karena tiada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling mencintai. Sebagai teman seperjuangan, orang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu tenagaku terpusat pada penyelamatan dunia ini, dia sementara itu sedang main bola-tangkap.
Sudah menjadi kebiasaanku untuk menoleh kepada seorang wanita supaya hatiku terhibur. Kalau harus diadakan pilihan antara wanita yang memiliki tangan cantik dengan seorang yang memiliki hati lembut, maka aku seringkali tertarik pada yang terakhir ini. Aku tidak lebih mengutamakan hubungan lelaki-perempuan, tetapi aku memerlukan hati lembut dan dorongan besar mulia yang hanya dapat diberikan oleh hati seorang wanita.
Inggit dan aku berada bersama-sama setiap malam. Aku adalah orang yang selalu bangun dan membaca. Inggitpun lambat pergi tidur, karena harus menyiapkan makanan untuk hari berikutnya. Dia selalu ada disekelilingku. Dia adalah nyonya rumah. Aku orang bayar-makan. Kami berteduh dibawah atap yang sama. Aku melihatnya dipagi hari sebelum ia menggulung sanggulnya. Dia melihatku dalam pakaian piyama. Aku senantiasa makan bersama-sama dia. Memakan makanan yang dimasaknya sendiri ........sayur lodeh atau oncom yang ku-suka-i atau makanan lain yang khusus dibuatnya untuk menyenangkan hatiku.
Dia itulah..........bukan isteriku.....yang membereskan kamarku, melayaniku, memperhatikan pakaianku dan mendengarkan buah pikiranku. Dialah yang bertindak sebagai ibu kepadaku, bukan Utari.
Tuan Sanusi sudah berumur dan sama sekali tidak peduli terhadap isterinya. Seorang penjudi yang gemar main bilyar...............setiap malam dia berada dirumah bola. Pada prakteknya mereka bercerai disatu rumah. Rumah tangga mereka tidak bahagia. Sebagai suami-isteri mereka serumah, lain tidak. Lalu masuklah kedalam lingkungan ini seorang muda yang bernafsu dan berapi-api. Ia sangat tertarik kepadanya. Ia melihat dalam diri perempuan itu seorang wanita yang sadar, bukan kanak-kanak, seperti yang satunya yang masih main kucing-kucingan diluar. Keberahian ini mulai bangkit.
Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan dihari-hari itu belum ada TV..........hanya Inggit dan aku dirumah yang kosong. Dia kesepian. Aku kesepian.
Perkawinannya tidak betul dan perkawinanku tidak betul. Adalah wajar bahwa hal-hal yang demikian itu tumbuh.
Inggit dan aku banyak mengalami saat-saat menyenangkan bersama-sama. Kami keduanya punya perhatian yang sama. Dan barangkali, juga..........yah, kami keduanya bahkan sama mencintai Sukarno. Disamping hakekatnya sebagai seorang perempuan, dia memuja Sukarno secara menghambakan diri sama sekali dan membabi buta...........baik atau buruk, benar atau salah. Tidak lain dalam hidupnya, kecuali Sukarno serta segala apa yang menjadi pikiran, harapan dan idaman Sukarno. Aku berbicara, dia mendengarkan. Aku berbicara dengan sangat gembira, dia menghargai.
Utari menyadari apa yang terjadi, tetapi ia mengetahui bahwa persatuan kami tidak akan membawa kebahagiaan. Ia tidak pernah mengenalku dalam arti suami-isteri yang sebenarnya, maka tidak timbul iri hati dari pihaknya. Haji Sanusi pun tahu apa yang sedang berkembang, tetapi perkawinannya sudah sejak lama rusak. Aku tidak merasa bahwa aku merebutnya atau merusak suatu rumah tangga bahagia. Bahkan Haji Sanusi sendiri pun tidak ada usaha untuk merebut hati isterinya lagi.
Setelah 6 bulan berada di Bandung, aku sendiri membawa Utari pulang ke rumah bapaknya di Surabaya dan aku menjatuhkan talak satu kepada Utari..............bercerai. Pak Tjokro menghargai apa yang dikatakan Bung Karno dan tidak menanyakan persoalan pribadi. Setelah kejadian ini hubunganku dengan Pak Tjokro sekeluarga tetap baik seperti sebelumnya. Jadi ditahun 1922 itu aku hanya menyerahkan pengantinku yang masih kanak-kanak itu kepada bapaknya.
Aku kembali ke Bandung..........dan kepada cintaku yang sesungguhnya. Setelah kami bersama-sama selama satu tahun, pada suatu malam aku berkata pelahan : "Aku mencintaimu."
"Akupun begitu", keluar cepat dari mulut Inggit.
"Aku ingin mengawinimu," kubisikkan.
"Akupun ingin menjadi isterimu," dia balas berbisik.
Haji Sanusi mau bekerja sama. Dalam tempo singkat Inggit pun bebas. Inggit dan Bung Karno kawin ditahun 1923.
Inggit yang bermata besar dan memakai gelang ditangan itu tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, tetapi intelektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah ke-manusia-annya. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh buku. DIA MEMBERIKU KECINTAAN, KEHANGATAN, TIDAK MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI. DIA MEMBERIKAN SEGALA APA YANG KUPERLUKAN YANG TIDAK DAPAT KUPEROLEH SEMENJAK AKU MENINGGALKAN RUMAH IBU.
Psychiater akan mengatakan bahwa ini adalah pencarian kembali kasih sayang ibu.
Mungkin juga, siapa tahu. Jika aku mengawininya karena alasan ini, maka itu terjadi secara tidak sadar. Dia waktu itu dan sekarangpun masih seorang perempuan budiman. Perasaan-perasaan yang dibangkitkannya padaku tidak lain seperti pada seorang kanak-kanak.
INGGIT DALAM MASA SELANJUTNYA DARI HIDUPKU INI SANGAT BAIK KEPADAKU.
DIA ADALAH ILHAMKU. DIALAH PENDORONGKU. DAN AKU SEGERA MEMERLUKAN SEMUA INI.
Aku sekarang sudah menjadi mahasiswa tingkat kedua. AKU SUDAH KAWIN DENGAN SEORANG PEREMPUAN YANG SANGAT KUHARAPKAN DENGAN PERASAAN BERAHI. Aku sekarang sudah melalui umur 21 tahun. Masa jejakaku sudah berada dibelakangku. Tugas hidupku merentang didepanku. Dengan Inggit berada disampingku aku melangkah maju memenuhi amanat menuju cita-cita.(roso daras)