Wednesday, 17 November 2010

KUJANG

sumber :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1272332684432&set=a.1221694578511.2031199.1113346586

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot.

Deskripsi

Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. Manusia yang sempurna dihadapan Allah dan mempunyai derajat Ma'rifat yang tinggi. Pantas ageman (agama) Kujang menjadi icon Prabu Siliwangi. Sebagai Raja yang tidak terkalahkan.

Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)

Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Bagian-bagian Kujang

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Mitologi

Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai;
Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang

Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu?

Cara-ciri Manusia ada 5
1. Welas Asih (Cinta Kasih),
2. Tatakrama (Etika Berprilaku),
3. Undak Usuk (Etika Berbahasa),
4. Budi Daya Budi Basa,
5. Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan".

Cara-ciri Bangsa ada 5
1. Rupa,
2. Basa,
3. Adat,
4. Aksara,
5. Kebudayaan

Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya.

Jatidiri di Bilah Kujang

PARA sesepuh masyarakat kampung adat Sunda di tatar Parahyangan, umumnya senang menunjukkan beraneka senjata pusaka warisan leluhur. Bahkan sangat terbuka menceritakan seluk-beluk tombak, golok, keris, pedang, dan jenis senjata lain, kecuali kujang.

KUJANG memang tidak sembarang diperlihatkan kepada orang lain. Biasanya benda pusaka ini disimpan di langit-langit rumah tinggal, leuit (lumbung padi), atau di tempat yang terpisah dengan senjata-senjata. Koleksi kujang baru diperlihatkan ketika para sesepuh benar-benar yakin, orang yang mau melihat kujang punya niat baik. Minimal memiliki cukup wawasan tentang kujang.

Pengalaman tersebut ternyata pernah dialami Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, H Ahmad Syafe'i tahun 1976, saat berkunjung ke sebuah kampung adat di Jawa Barat. Waktu itu Ahmad Syafe'i pergi bersama Endang Karman Sastraprawira (anggota DPR RI 2004-2009), karena terdorong rasa penasaran ingin mempelajari keistimewaan kujang.

Dalam acara Guaran Kujang di Common Room di Jalan Kyai Gede Utama, Bandung, Jumat (20/11) sore, kedua tokoh masyarakat Jawa Barat ini mengaku terkesan karena di masa sekarang makin banyak orang muda yang tertarik menggali makna historis dan filosofis kujang.

Guaran Kujang yang diawali seni tarawangsa, merupakan satu dari rangkaian agenda Helarfest Bandung 2009. Obrolan berlangsung santai dipandu Budayawan Aat Soeratin. Sunda Underground dan Brotherhood of Culture selaku pelaksana, menghadirkan pembicara utama mewakili orang muda, Budi Setiawan Garda Pandawa.

Pria kelahiran Bandung, 16 Oktober 1971 yang akrab disapa Budi Dalton ini, lebih dulu dikenal sebagai musisi sekaligus pelopor gerakan anak muda yang aktif melakukan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan komunitas masyarakat di kota Bandung.

Budi Dalton kini tak hanya antusias memelihara dan merawat ribuan kujang yang dibuat sekitar abad ke-3 hingga abad ke-15. Diapun tak pernah letih meneliti makna bentuk, wujud, simbol, dan filosofis kujang.

Sebagian koleksi kujang milik Budi merupakan titipan komunitas adat Sunda. Ada pula yang didapat setelah pria berjanggut ini melakukan pencarian ke berbagai tempat di dalam maupun luar negeri.

"Bagi saya kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tenang asal usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta," jelas dosen Karawitan Universitas Pasundan.

Dengan meneliti kujang, Budi bahkan yakin kalau istilah Sunda bukan sekadar penyebutan terhadap suku bangsa yang mendiami sebelah barat Pulau Jawa. Kujang sendiri merupakan simbol nilai-nilai luhur ajaran Sunda.

"Ketika simbol-simbol itu sulit ditemukan, akan sulit bagi kita buat menelusuri dan mempelajari ajaran tersebut. Apalagi sejak abad ke-15 artefak kujang maupun catatan tentang kujang sudah sangat jarang ditemui. Kemungkinan ada pihak tertentu yang sengaja melenyapkan. Cerita tutur yang sering dijadikan acuan tentang kujang hanya Pantun Bogor," ungkap Budi.

Satu peristiwa yang membuat Budi terkejut adalah ternyata cukup banyak kujang yang diyakini asli buatan masyarakat Sunda saat ini dikoleksi beberapa pejabat Singapura maupun para sultan di Brunei Darussalam.

Bukan untuk Diperdebatkan

BANYAK orang memberi makna terhadap kujang. Beberapa peneliti menyatakan istilah kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kudi berarti senjata sakti, Hyang merupakan rajanya para dewa. Sehingga Kudihyang dimaknai sebagai senjata sakti milik raja para dewa.

Kujang identik dengan identitas dan eksistensi kebudayaan masyarakat Sunda (Anis Djatisunda). Kujang digambarkan sebagai senjata (Djamadil AA, dkk) yang memiliki kekuatan supranatural (Mr Moebirman), dan simbol konsep ajaran Sunda Besar (Aris Kurniawan Joedamanggala).

Lainnya mengacu pada istilah kukuh kana jangji (teguh memegang janji). Janji meneruskan perjuangan nenek moyang untuk menegakan cara?ciri manusa dan cara-ciri bangsa. Cara?ciri manusia yaitu welas asih (cinta kasih), tatakrama (etika berprilaku), undak usuk (etika berbahasa), budi daya budi basa, wiwaha yuda na raga "ngaji badan". Sedangkan lima cara?ciri bangsa yaitu rupa, basa, adat, aksara, dan kebudayaan.

Namun peneliti kujang, Budi Dalton, berharap perbedaan cara pandang tersebut tidak dijadikan alat berdebat. "Kujang bukan buat diperdebatkan. Tapi kode-kode yang sudah bisa kita mengerti, segera dilakoni atau dijalankan," tandasnya.

Sementara budayawan Aat Soeratin mengungkap perbedaan cara pandang tentang kujang, justru memberi cakrawala lebih luas kepada generasi muda saat ini untuk menjaga dan mempelajari kujang.

"Belajar tentang kujang bahkan bisa menjadi bekal kita untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia. Jangan kita terus-terusan nuturkeun budaya barat," tandas Aat Soeratin.

Catatan di Pantun Bogor

SETELAH melakukan penelitian tentang kujang koleksinya, Budi memiliki catatan sendiri tentang beragam fungsi kujang. Sebagian besar telah tercantum dalam Pantun Bogor.

Berikut pembagiannya :
1. Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan)
2. Kujang Pakarang (alat berperang, buat menangkis serangan)
3. Kujang Pangarak (alat upacara adat)
4. Kujang Pamangkas (sekarang masih dipakai alat berladang)
5. Kujang Sajen (alat upacara adat)

Berdasar bentuk bilah, ada kujang yang disebut :
1. Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan)
2. Kujang Badak (menyerupai badak)
3. Kujang Ciung (menyerupai burung ciung)
4. Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango)
5. Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga)
6. Kujang Geni
7. Kujang Bangkong (menyerupai katak)
8. Kujang Buta
9. Kujang Lanang
10. Kujang Balati (biasa dipakai tusuk sanggul)
11. Kujang Daun

Bagian?bagian Kujang
1. Papatuk/congo (ujung yang menyerupai panah, atau paruh burung)
2. Eluk/siih (lekukan atau gerigi bagian punggung)
3. Waruga (badan kujang)
4. Pamor (garis atau bintik di badan kujang)
5. Mata (lubang kecil jumlah bervariasi)
6. Tonggong (sisi tajam di bagian punggung)
7. Beuteung (sisi tajam di bagian perut)
8. Tadah (lengkungan menonjol di bagian bawah perut)
9. Paksi (ekor kujang)
10. Combong (lubang di gagang kujang untuk mewadahi paksi)
11. Selut (ring di ujung atas gagang kujang)
12. Ganja (gagang atau tangkai kujang)
13. Kowak (sarung kujang)

Wikipedia

Search results

AddThis

Bookmark and Share

Facebook Comment

Info Archive

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat :

"Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/05/1725383/Para.Sultan.Dukung.Keistimewaan.Yogya

THE FSKN STATMENT IN SULTANATE OF BANJAR : SESUNGGUHNYA KETIKA RAJA - RAJA MEMBUAT KOMITMENT DGN BUNG KARNO DALAM MENDIRIKAN REPUBLIK INI , SEMUA KERAJAAN YG MENYERAHKAN KEDAULATAN DAN KEKAYAAN HARTA TANAHNYA , DIJANJIKAN MENJADI DAERAH ISTIMEWA. NAMUN PADA KENYATAANNYA ...HANYA
YOGYAKARTA YG DI PROSES SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA ... AKANKAH AKAN MELEBAR SEPERTI KETIKA DI JANJIKAN ... HANYA TUHAN YG MAHA TAU. ( Sekjen - FSKN ) By: Kanjeng Pangeran Haryo Kusumodiningrat

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=177026175660364&set=a.105902269439422.11074.100000589496907